Seruan Aksi Nasional Jepang Toyota dan Famili Mart Kembali Jajah Indonesia |
Pada 13 Februari 2018, Serikat Buruh Bumi Manusia PT. Nanbu Plastics Indonesia (SEBUMI PT. NPI) mengajukan permohonan pengawasan/pemeriksaan khusus norma ketenagakerjaan kasus penyimpangan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk Atika Nafitasari dan sembilan pekerja kontrak lainnya atau PKWT.
Nanbu mempekerjakan Atika dan sembilan pekerja lainnya di bagian kerja yang bersifat tetap yang menyalahi ketentuan Pasal 59 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Kepmenakertrans No. 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT. Perlu diketahui, Atika Nafitasari tidak saja mengalami penyimpangan PKWT, tetapi juga menjadi korban kecelakaan kerja saat menjalankan mesin press pada 28 September 2016 di pabrik Plant 1 Nanbu di Kawasan MM2100, Cikarang, Kab. Bekasi, Jawa Barat.
Pada 20 Maret 2018, UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah II Jawa Barat mengeluarkan nota pemeriksaan nomor 560/1815-BP2K.Wil.II berdasarkan pemeriksaan lapangan yang dilakukan pada 8 Maret 2018, yang menyatakan bahwa “pekerjaan yang disediakan oleh PT. Nanbu Plastics Indonesia terhadap para pekerja bersifat musiman/sesuai dengan pesanan (order), dengan demikian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.” Nota pemeriksaan tersebut dikeluarkan tanpa mengutip sama sekali satu pasal aturan ketenagakerjaan untuk menjelasakan “ketentuan yang berlaku” yang dimaksud. Karena nota pemeriksaan ini, Nanbu menolak mengangkat pekerja menjadi karyawan tetap dan saat ini malah menggugat buruh di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung.
Dalam hasil temuan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan tertanggal 8 Maret 2018 yang ditandatangani oleh Monang Sihotang dan diketahui oleh Richard Sinanu, salah temuannya mengatakan bahwa “pengurus sedang tidak ada di tempat (demo ke PT Toyota)”. Padahal, kenyataannya masih ada pengurus yang berada di pabrik untuk menunggu kedatangan pegawai pengawas. Wakil Ketua SEBUMI PT. NPI, Aulia Istiqomah Rusly berada di pabrik pada tanggal 8 Maret 2018.
Pada 25 Mei 2018, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bekasi mengeluarkan Anjuran Nomor 565/3089/Disnaker yang menyatakan “sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Pasal 5 dan pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: Kep. 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu sebagaimana tersebut di atas, maka hubungan kerja Sdr. Atika Nafita Sari, dkk (8 orang) dengan pihak pengusaha PT. Nanbu Plastics Indonesia demi hukum menjadi perjanjian waktu tidak tertentu terhitung sejak terjadinya hubungan kerja.”
Disnaker mengacu pada Pasal 5 Kepmen 100/MEN/VI/2004 yang mengatur bahwa PKWT untuk pekerjaan-pekerjaan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan. Dalam dokumen PKWT antara Atika Nafitasari, dkk, dengan perusahaan, disebutkan pada Pasal 1 ayat (3) berbunyi: “Perjanjian ini didasarkan atas jangka waktu sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK).” Sedangkan pada pasal tersebut disebutkan PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Berdasarkan fakta-fakta dan ketentuan tersebut, maka Disnaker menilai Atika Nafitasari, dkk, seharusnya menjadi karyawan tetap di Nanbu.
Anjuran yang disampaikan oleh Disnaker Kab. Bekasi disertai dengan fakta-fakta hukum, sedangkan nota pemeriksaan yang dibuat oleh Pegawai Pengawas Monang Sihotang tidak menyebutkan aturan yang menjadi dasar keluarnya nota pemeriksaaan tersebut. Pegawai Pengawas juga mengabaikan bukti-bukti yakni berupa dokumen Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang disampaikan oleh pihak serikat pekerja.
Monang Sihotang mengizinkan Nanbu menggunakan pekerja dengan hubungan kerja PKWT dengan alasan pekerjaan berdasarkan order/pesanan. Padahal, Nanbu menerima pesanan secara terus-menerus dari berbagai perusahaan. Dalam Pasal 5 dan 6 Kepmen 100/MEN/VI/2004, pekerjaan untuk memenuhi pesanan atau target memang dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman, tapi hal ini hanya berlaku bagi buruh yang melakukan pekerjaan tambahan. Perusahaan juga harus membuat daftar nama daftar nama pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.
Nanbu mempekerjakan buruh kontrak sebanyak 305 orang dari 648 keseluruhan jumlah pekerja. Dari 305 orang, sebanyak 275 buruh adalah perempuan (hasil inspeksi Bidang Pengawasan Wilayah II Jawa Barat, 8 Maret 2018). Artinya, hampir 50 persen buruh tidak mendapatkan jaminan kepastian kerja. Jika negara melalui pegawai pengawas memberikan keleluasaan pengusaha untuk menggunakan buruh kontrak, maka negara sesungguhnya dirugikan.
Ada potensi kerugian negara di balik praktek-praktek penggunaan buruh tidak tetap dan upah murah. Negara kehilangan pendapatan melalui Pajak Penghasilan (PPh21) yang dibayarkan setiap bulannya oleh buruh yang berpenghasilan di atas Rp4,5 juta. Semakin lama masa kerja seorang buruh, maka upahnya akan semakin besar sehingga pajak penghasilannya pun meningkat. Namun, masa kerja buruh tidak mungkin akan melebihi tiga tahun dan mendapatkan kenaikan upah karena penambahan masa kerja apabila buruh dipekerjakan sebagai buruh kontrak. Negara jelas-jelas dirugikan oleh pengusaha yang menggunakan banyak buruh kontrak.
Oleh karena itu, kami menilai bahwa Pegawai Pengawas Monang Sihotang tidak melakukan pekerjaannya secara profesional dan bertanggung jawab, semakin memiskinkan buruh serta telah menimbulkan potensi kerugian bagi negara dan masyarakat.
Kami menyatakan MOSI TIDAK PERCAYA terhadap kinerja Monang Sihotong sebagai pegawai pengawas dan menuntut sebagai berikut:
1. Copot Monang Sihotang dari jabatan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Wilayah II Jawa Barat.
2. Pemeriksaan ulang terhadap kasus penyimpangan PKWT Atika Nafita Sari dkk, serta kasus-kasus lain yang ditangani oleh Monang Sihotong.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat, atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih.
Tolak Penjajahan Modal Family Mart-Jepang:
Tetapkan 26 Buruh PT FMI Menjadi Karyawan Tetap dan Penuhi Hak-Haknya
Fakta-Fakta Pelanggaran Hak Buruh Gudang Family Mart:
1. Buruh dipekerjakan sebagai buruh kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT) secara terus-menerus di bidang produksi yang bersifat tetap tanpa surat perjanjian kerja. Hal ini tidak dibenarkan oleh aturan yang ada. Demi hukum, status buruh seharusnya berubah menjadi karyawan tetap (perjanjian kerja waktu tidak tertentu/PKWTT).
(Aturan yang dilanggar di antaranya: Pasal 54 ayat (1) huruf (i), Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Pasal 10 ayat (1) Kepmen No. 100/2004 tentang Pelaksanaan PKWT)
2. Buruh Emak-Emak dipekerjakan sebagai buruh harian lepas (BHL) dengan upah Rp13.000 per jam atau di bawah ketentuan upah minimum. Sesuai aturan yang ada, buruh Emak-Emak seharusnya dibayar Rp.22.800 per jam. Dalam satu bulan, seorang buruh menderita kerugian sedikitnya Rp.1.029.000. Nilai uang ini sangat berarti bagi buruh Emak-Emak yang harus menopang hidup keluarganya. Buruh Emak-Emak juga seharusnya diangkat menjadi karyawan tetap karena hukum ketenagakerjaan Indonesia melarang buruh harian dipekerjakan secara terus-menerus lebih dari 21 hari dalam satu bulan selama lebih dari tiga bulan berturut-turut. Sementara, perbuatan membayar upah di bawah ketentuan adalah perbuatan pidana yang yang diancam dengan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dalam kasus ini, Family Mart tidak saja merampas hak buruh, tapi juga mengeksploitasi kaum perempuan.
(Aturan yang dilanggar di antaranya: SK Gubernur Jawa Barat Nomor 561/Kep-1065-Yanbangsos/2017 tentang Upah Minimum di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat; Permenaker No. 100/2004 dan; Pasal 90 jo. Pasal 185 UU No. 13/2003)
3. Buruh yang disuruh masuk kerja pada hari besar nasional tidak dihitung sebagai lembur, tapi hanya diganti dengan hari libur pada hari kerja biasa. Hal ini membuat buruh kehilangan pendapatan ekstra yang sangat berarti untuk menopang hidupnya dan keluarganya.
(Aturan yang dilanggar di antaranya: Kepmenaker No. KEP. 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Lembur dan Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan)
4. Upah lembur buruh dibayarkan dengan cara dirapelkan pada bulan berikutnya. Artinya upah buruh ditahan selama satu bulan.
(Aturan yang dilanggar di antaranya: Pasal 20 PP No. 78/2015)
5. Upah buruh sering dipotong secara sewenang-wenang sebagai denda akibat adanya produk yang hilang (lost) saat stock opname. Pemotongan upah ini tidak disertai dengan data mengenai rincian produk yang hilang dan tidak ada peraturan perusahaan yang mengatur mengenai denda. Buruh pernah mengalami pemotongan upah hingga Rp300 ribu per bulan.
(Aturan yang dilanggar: Pasal 54 ayat (2) PP No. 78 Tahun 2015 yang menyatakan jenis-jenis pelanggaran yang dapat dikenakan denda, besaran denda dan penggunaan uang denda diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama)
6. Buruh tidak mendapatkan fasilitas uang makan dan transportasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Ketentuan Penyelenggaraan Fasilitas Kesejahteraan Pekerja di Perusahaan Swasta.
7. Setelah semua pelanggaran di atas, pengusaha melakukan upaya-upaya untuk mendesak buruh kontrak mengundurkan diri dan mengalihkan hubungan kerja buruh ke perusahaan outsourcing yang bernama PT Atalian Global Service. Dampaknya, seluruh pelanggaran sebelumnya dihilangkan begitu saja. Seorang buruh yang menolak malah diancam akan dipolisikan surat dokternya dengan tuduhan pemalsuan surat dokter. Buruh dipaksa tanda tangan atau dibawa ke kantor polisi. Seorang oknum manajemen sampai membuat panggilan telepon yang diklaim ke petugas polisi untuk membawa buruh tersebut. Meskipun tidak merasa bersalah, melihat oknum manajemen tersebut seolah memiliki kedekatan dengan petugas polisi, buruh menjadi ketakutan akan dibawa ke polisi sehingga terpaksa menandatangani surat pengunduran diri.
Pihak Serikat Buruh, Asosiasi Karyawan untuk Solidaritas Indonesia (AKSI) telah berusaha membicarakan masalah ini secara baik-baik dengan pihak perusahaan. Telah dilakukan perundingan bipartit sebanyak tiga kali dan berakhir tidak ada kesepakatan (buntu/deadlock). Dalam perundingan bipartit ketiga tanggal 15 Agustus 2018, pengusaha FMI hanya menyetujui pembayaran kekurangan upah buruh Emak-Emak. Pengusaha MENOLAK mengangkat 26 buruh (termasuk buruh Emak-Emak) yang mengajukan pengangkatan dan MENOLAK memberikan fasilitas uang makan serta uang transport.
Di sisi lain, Family Mart adalah jaringan waralaba toko kelontong terbesar kedua di Jepang setelah 7-Eleven, yang juga beroperasi di Taiwan, China, Filipina, Thailand, Vietnam dan Malaysia. Di Indonesia, toko Family Mart di Indonesia telah mencapai 100 gerai per tanggal 3 Juli 2018 lalu. Pasokan barang-barang di toko berasal dari gudang PT Fajar Mitra Indah (PT FMI) di mana di situ ada buruh-buruh yang dirampas hak-haknya.
Padahal Family Mart memiliki kebijakan audit internal setiap tahun untuk memastikan pemenuhan hukum di suatu negara sebagaimana yang dimuat dalam Ethics and Compliance Basic Guidelines Family Mart. Namun, kenyataannya praktek-praktek penggunaan buruh di Family Mart tidak sesuai dengan hukum ketenagakerjaan di Indonesia.
Oleh karena itu kami melakukan aksi pada tanggal 9 September 2018 untuk memprotes ketidakadilan dan penjajahan modal yang dilakukan oleh perusahaan asal Jepang. Investasi di Indonesia dilakukan dengan cara menindas hak-hak buruh adalah bentuk penjajahan yang paling nyata yang bisa kita rasakan.
Dengan kami menyatakan sikap dan menuntut sebagai berikut:
1. Angkat 26 orang pekerja/anggota PTP AKSI PT FMI menjadi pekerja tetap dengan diterbitkan SK pengangkatan dan masa kerja dihitung dari awal masuk kerja.
2. Penuhi Fasilitas Makan dan Transportasi untuk 26 orang pekerja/anggota PTP AKSI PT FMI dalam bentuk uang makan dan uang transportasi.
3. Negara harus memastikan agar buruh Indonesia mendapatkan hak-haknya.
Demikian pernyataan sikap ini, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Pernyataan Solidaritas untuk
Buruh Toyota Filipina:
17 Tahun Toyota Filipina Terlantarkan
227 Buruh
Toyota Motors Philippines Corporation (TMPC)
berdiri sejak Agustus 1988 di Bicutan, Paranaque City. TMPC membuka pabrik baru
di Santa Rosa City, Provinsi Laguna pada November 1996. TMPC mempekerjakan
1.700 pegawai dan memproduksi 49 ribu kendaraan setiap tahun yang merupakan
satu dari 53 produsen mobil Toyota di seluruh dunia. TMPC adalah manufaktur
mobil terbesar di Filipina dalam hal penjualan dan produksi.
Serikat buruh Toyota, Toyota Motors Philippines
Corporation Workers Association (TMPCWA), terdaftar di Departemen of Labor and
Employment (DOLE) setempat. Pada Maret 2000, DOLE memberikan sertifikat hak
untuk berunding dengan pengusaha Toyota. Namun Toyota Filipina melakukan
komplain dan menyatakan bahwa hal itu tidak sah. Pada 21-23 Februari 2001, DOLE
menggelar acara dengar pendapat (hearing). Sebanyak 300 anggota TMPCWA mengambil
hari libur untuk menghadiri hearing tersebut, tapi Toyota menganggapnya sebagai
mogok ilegal.
Toyota melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)
terhadap 227 pekerja dengan alasan telah melakukan pemogokan ilegal. Menolak
PHK, 227 pekerja melakukan pemogokan yang sebenarnya. Pemogokan diakhiri oleh
DOLE dengan membawa kasus ini ke arbitrase pada 10 April 2001. Sejak itu, nasib
buruh terkatung-katung.
Tidak cukup sampai di situ, petugas keamanan
Toyota menuntut 20 buruh secara pidana dengan tuduhan pengancaman selama
pemogokan. Alat bukti yang digunakan oleh pengusaha adalah video yang diambil
dari kamera keamanan gedung TMPC sendiri. Upaya-upaya kriminalisasi yang
dilakukan oleh pengusaha terhadap pengurus serikat buruh untuk melemahkan
perjuangan buruh.
Pada tahun 2003, TMPCWA mengadukan masalah ini
di Komite Kebebasan Berserikat Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang
menghasilkan rekomendasi untuk Pemerintah Filipina di antaranya agar:
menjadikan prinsip kebebasan berserikat dan berunding bersama masuk ke dalam
program legislasi nasional; melakukan segala upaya memastikan TMPCWA dan TMPC
bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan bersama; memulai diskusi untuk
mempertimbangkan mempekerjakan buruh kembali, atau membayar kompensasi yang
memadai; mengambil langkah-langkah mencabut tuntutan pidana terhadap pengurus
serikat
Tapi, pada 2008, Mahkamah Agung Filipina malah
memenangkan Toyota dengan menyatakan mogok buruh sebagai mogok ilegal dan
sertifikat hak berunding buruh tidak sah. Bahkan sudah sejak tahun 2006,
personel militer ditempatkan di depan pabrik Toyota.
Berkat dukungan ILO dan DOLE, akhirnya tuntutan
pidana terhadap 20 anggota TMPCWA ditarik di pengadilan oleh penggugat dan
mereka dibebaskan dari segala dakwaan pada Mei 2013. Namun, buruh telah
kehilangan kesempatan selama 12 tahun mendapatkan pekerjaan yang layak karena
tuntutan pidana.
Sejak tahun 2005, TMPCWA telah mengorganisir
kampanye Shame On Toyota, melakukan aksi setiap tahunnya untuk menuntut
tanggung jawab Toyota. Di Jepang, organisasi masyarakat sipil dan serikat buruh
mendirikan kelompok dukungan (Support Group) untuk perjuangan buruh TMPCWA.
Massa melakukan aksi setiap tahun di depan kantor pusat Toyota di Toyota city,
Tokyo. Tahun ini, Support Group for TMPCWA akan kembali melakukan aksi di
kantor pusat Toyota pada 17 September 2018.
Apa yang menimpa buruh Filipina adalah bukti
nyata penindasan yang dilakukan oleh korporasi terhadap buruh. Yang mana hal
ini juga bisa menimpa buruh Indonesia dan di seluruh dunia. Di bawah kekuasaan
korporasi yang memiliki modal dan dilindungi oleh negara, kekuatan kita hanyalah
solidaritas di antara massa tertindas.
Oleh karena itu, kami dari Komite Solidaritas
untuk Perjuangan Buruh menyatakan sikap sebagai berikut:
1.
Mendukung
Perjuangan Buruh Toyota Filipina untuk mendapatkan kembali hak-haknya.
2.
Mendesak
Toyota untuk kembali bernegosiasi dengan Toyota Motors Philippines Corporation
Workers Association (TMPCWA) dalam menyelesaikan kasus pemutusan hubungan kerja
(PHK) sepihak.
3.
Mendesak
Toyota untuk menjalankan rekomendasi International Labour Organization (ILO)
terkait dengan permasalahan PHK terhada 227 buruh TMPCWA.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan,
Panjang Umur Solidaritas!