Photo Mahasiswa Papua di Kupang, 13 April 2019 |
Pernyataan Sikap
“Pesta Demokrasi Sejati adalah Pelaksanaan Hak Menentukan Nasib Sendiri”
Salam Pembebasan Nasional West Papua !!!
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa !!!
BOIKOT PEMILU 2019 DAN BERIKAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI SEBAGAI SOLUSI DEMOKRATIS BAGI BANGSA WEST PAPUA
West Papua telah mendeklarasikan diri sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat pada 01 Desember 1961. Namun, usia kemerdekaan ini sangatlah pendek. Tepat 19 hari setelahnya, Indonesia menganeksasi West Papua melalui program Trikora. Trikora adalah pintu awal masuknya operasi militer yang berdarah-darah. Semenjak itu, dan dalam kurun waktu 1961-1991, ada sedikitnya 44 operasi militer dengan mobilisasi ribuan angkatan bersenjata ke Papua. Hasilnya lebih dari 500.000 orang Papua di bunuh.
Sebagian besar rakyat Indonesia percaya, atau dipaksa percaya, bahwa Papua merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini jelas bertentangan dengan fakta sejarah dan kehendak rakyat Papua itu sendiri. Proses integrasi Papua ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dilakukan dengan cara-cara represif dan bertentangan dengan hukum internasional. Dari 800an ribu jiwa penduduk Papua hanya 1025 orang (4 orang lainnya tidak ambil bagian) yang terlibat dalam pemungutan atau kurang dari 0,2% dari populasi Papua, yang dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia. Inilah alasan mengapa sekalipun proyek mengindonesiakan Orang Asli Papua berlangsung hingga 50-an tahun lamanya, rakyat West Papua tetap pada pendirian awal: lepas dari NKRI.
Sejarah memperlihatkan pada rakyat West Papua, juga rakyat Indonesia, bahwa Indonesia hampir selalu gagal menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di West Papua. Mulai dari soal pelanggaran kesepakatan New York Agreement 15 Agustus 1962, ketika Indonesia diwajibkan menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat secara one person one vote; genosida perlahan setelahnya selama kurun 50-an tahun; perusakan hutan yang begitu masif; gizi buruk; eksploitasi begitu masif terhadap bahan-bahan tambang (emas, tembaga, uranium, minyak, gas dsb)—yang berakibat peningkatan jumlah ton tailing yang merusak alam West Papua; ketimpangan sosial antara penduduk asal dan pendatang; extra judicial killing terhadap warga sipil termasuk aktivis; perlakuan rasis terhadap rakyat West Papua; hingga pengekangan kebebasan berkumpul dan berpendapat.
Kontestasi pemilu tahun ini sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Masing-masing partai, beserta calon-calon legislatifnya dan calon presiden serta wakil presiden, berebut suara dari rakyat West Papua. Tapi mari kita perhatikan, apakah mereka bersedia mendengarkan suara rakyat Papua yang paling mendasar, “hak menentukan nasib sendiri”? Atau bicara soal mengurangi mobilisasi militer dan mengadili para pelaku pelanggar HAM? Atau menjamin kebebasan berkumpul dan berpendapat bagi semua kelompok sipil?
Meski suara dukungan rakyat West Papua jadi rebutan, ironisnya dalam debat Pilpres pertama, soal West Papua sama sekali tidak diperbincangkan baik oleh Jokowi maupun Prabowo. Prabowo sendiri memiliki track record buruk di Papua dalam kasus Mapenduma. Namun, bukan berarti Jokowi lebih baik. Jokowi sebagai incumbent, telah membiarkan pelanggaran hak asasi manusia berulang kali terjadi. Misalnya, kasus Paniai Berdarah yang tak rampung, kasus Deiyai dan Dogiyai yang juga tak selesai, belum lagi kasus-kasus penangkapan massal terhadap para aktivis West Papua yang belakangan makin sering terjadi.
Jokowi memiliki kekuasaan. Namun, kekuasaannya tidak digunakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan membiarkan pelanggaran HAM terus terjadi. Pembiaran itu artinya, mengiyakan dan jadi bagian perbuatan pelanggaran HAM.
Ditambah lagi, sampai sekarang masih dilakukan operasi militer di Nduga (Distrik Dal, Distrik Yigi, Distrik Mbua, Distrik Mikuri, Distrik Enikngal, Distrik Yal, Distrik Mam dan Distrik Mugi). Sebagaimana operasi-operasi militer sebelumnya di West Papua, operasi militer itu memakan banyak korban sipil. Puluhan rakyat termasuk anak-anak meninggal, terjadi penahanan dan pembakaran rumah. Ada setidaknya 20 ribu orang yang terpaksa mengungsi keluar dari daerah tersebut.
Akibatnya, pendidikan, kegiatan ekonomi, dan keagamaan, tak berjalan dengan normal. Akses pemerintahan sipil, wakil rakyat, jurnalis, pekerja kemanusiaan, sangat sulit. Kehadiran aparat TNI/Polri di sana justru menyebabkan rakyat trauma.
Kondisi hari ini, Pemilu 2019 kolonial Indonesia akan dilakukan di seluruh daerah secara serentak pada 17 April 2019 mendatang, yang mana adalah salah satu agenda kolonial di tanah West Papua untuk membungkam proses perjuangan gerakan rakyat West Papua dalam perjuangan kemerdekaan, serta meloloskan agenda kolonial dan kapitalis Internasional. Media-media Indonesia memberitakan pemerintah akan mengerahkan aparat sebanyak 3.000 – 15.000 untuk mengamankan Pemilu di West Papua. Proses pengamanan Pemilu 2019 Indonesia di tanah West Papua juga merupakan bagian dari operasi militer yang akan di lakukan di beberapa tempat terutama di Nduga. Melalui militernya, pemerintah Indonesia terus melakukan kolonisasi, juga dengan cara melakukan pembungkaman, penindasan, penembakan, pemboman, penyisiran, pemerkorsaan, penangkapan, pemenjarahan dan beragam penindasan terhadap rakyat West Papua. Pemerintah Indonesia juga berusaha membungkam pergerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat [TPNPB] dengan menyebut mereka dengan sebutan KKB, KKBS, separatis, dan tak mau mengakui sebagai tentara pembebasan. Perjuangan sipil untuk menuntut Hak Penentuan Nasib sendiri juga diangggap sebagai separatis hingga saat ini; termasuk pembungkaman ruang demokrasi mahasiswa, perempuan, buruh, tani, nelayan, mama-mama pasar Papua dan lain-lain.
Dalam kenyataan sejarah dan keadaan seperti itu, wajar jika rakyat West Papua tak berpusing soal Pemilu maupun Pilpres 2019. Gelaran tersebut hampir mustahil menjadi hal yang penting bagi rakyat West Papua. Sebab, 1) keberadaan Indonesia di wilayah West Papua ilegal, 2) tak ada partai politik yang menyuarakan permasalahan nasional West Papua, dan 3) pelaksanaan Pemilu itu sendiri tak lain hanya untuk melanggengkan praktek-praktek kolonialisme: menjadi alat bagi pemerintahan kolonial untuk menempatkan penguasa-penguasa lokal dalam mengamankan kepentingannya.
Kami dari Mahasiswa Papua Kupang, seperti halnya rakyat West Papua, mustahil membayangkan adanya demokrasi, kesejahteraan, bagi rakyat West Papua jika masih berada dalam cengkeraman kolonialisme Indonesia. Tak ada pesta demokrasi jika rakyat tak memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Untuk itu kami mengambil sikap dan menyatakan bahwa:
1. Tidak mengikuti Pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum 2019
2. Segera tangkap dan adili pelaku pemukulan terhadap massa aksi di malang
3. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua
4. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, dan yang lainnya, yang Merupakan Dalang Kejahatan Kemanusiaan di atas Tanah Papua.
5. Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi rakyat West Papua
6. Berikan ruang demokrasi dan akses bagi Jurnalis Independent Internasional dan Nasional di West Papua.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat, kami akan terus menyuarakan dan melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, pembungkaman, penindasan dan penghisapan, terhadap Rakyat dan Bangsa West Papua.
Salam Solidaritas !
Kupang , 13 April 2019
Mahasiswa Papua Kupang