Logo Komitmen |
Pilihan golput bukanlah pernyataan bahwa tidak ada yang cocok dengan kami,melainkan bahwa sistem politik kita sudah sepenuhnya bobrok.
Sebaik apapun citra yang ditampilkan oleh calon-calon yang sudah diseleksi oligarki partai,sistem politik yang ada tidak memungkinkan terjadinya perubahan mendasar. Syarat-syarat pembentukan partai yang tidak masuk akal dan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen hanya membuka ruang bagi partai-partai yang ada dan para bohirnya untuk memonopoli serta memperkokoh penetrasi kapital atas proses politik dan sendi-sendi kehidupan rakyat di Indonesia.
Pada pilpres ini,di balik simbol agama yang dimainkan kedua paslon,ada kekuatan kapital dan militer yang mengendalikan permainan. Dari barisan konglomerat,di kubu Jokowi, ada Aburizal Bakrie,Chairul Tanjung,Erick Thohir,Hary Tanoesoedibjo, Oesman Sapta Odang,Surya Paloh,Riza Chalid,Rosan Roeslani. Sementara di kubu Prabowo, antara lain: Hashim Djojohadikusumo, Sandiaga Uno, Hutomo Mandala Putra. Dari barisan jenderal, kubu Jokowi memiliki Moeldoko, Wiranto, Luhut Binsar Pandjaitan,Ryamizard Ryacudu, Try Sutrisno, Marsetio, Cakra 19 (12 purnawirawan TNI),dan Bravo-5 (lebih dari 20 purnawirawan TNI). Di lingkaran Prabowo, ada Djoko Santoso, Susilo Bambang Yudhoyono, Tedjo Edhy Purdijatno, Widjojo Soejono, Yunus Yosfiah,serta 300 purnawirawan TNI.
Tentunya orang-orang ini tidak akan mengulurkan bantuan tanpa mendapatkan imbalan. Menguatkan cengkraman mereka atas kehidupan kita bukan sesuatu yang kita inginkan. Kami tidak berniat untuk menguranginya,kami ingin menghapusnya sama sekali.
Selanjutnya,bagi kelompok-kelompok yang ditindas dari rezim ke rezim,berikut adalah beberapa alasan kenapa ikut serta dalam pemilu adalah sia-sia:
Buruh & Petani: Rezim Jokowi telah terbukti menunjukkan keberpihakannya kepada kepentingan kapitalis. Lewat PP 78 dan kebijakan-kebijakan ekonominya, kesengsaraan buruh semakin bertambah. Pendengung politiknya berusaha untuk menutupi kondisi nyata ratusan juta orang yang hidup melarat sehari-hari dengan menggembar-gemborkan proyek infrastruktur pemerintah yang telah merugikan warga setempat. Di samping itu, industri sawit, semen, dan tambang diberi lampu hijau untuk menggusur dan merampas lahan, serta merusak lingkungan.
Bagi petani, Reforma Agraria palsu Jokowi dan program bagi-bagi sertifikatnya adalah tameng untuk menutupi penderitaan mereka. Dari tahun 2015 hingga 2017, telah terjadi 1.361 konflik agraria. Sepanjang 2017, ada 659 konflik agraria, meningkat 50 persen dibandingkan 2016. Konflik agraria dalam empat tahun pemerintahan Jokowi telah mengakibatkan 940 petani dikriminalisasi, 546 orang dianiaya, 51 orang tertembak, hingga 41 yang tewas. Kekerasan yang mereka alami melibatkan TNI, polisi, dan preman. Selain itu, Perpres No. 86/2018 yang dikeluarkan Jokowi membenarkan TNI, polisi, dan PNS sebagai penerima redistribusi tanah dengan skema kepemilikan lahan perorangan yang justru memperlancar proses akumulasi dan konsentrasi kapital yang ada. Sementara skema jaminan penguasaan lahan secara kolektif bagi masyarakat adat malah diabaikan. Pemerintah juga memiliki mekanisme konsinyasi yang memudahkan tanah warga diambil paksa atas nama pembangunan dan kepentingan negara.
Di sisi lain, pihak Prabowo juga tidak memiliki program konkret apa pun untuk menyejahterakan buruh dan petani. Cukup melihat siapa kekuatan pemodal dan tentara yang berada di balik mereka untuk mengetahui keberpihakan mereka.
Perempuan: Ucapan-ucapan “keberagaman gender”, “perempuan harus didengar”, “menteri saya banyak yang perempuan”, “pendukung kami emak-emak” tidak lain hanyalah retorika patriarkis dari kelas penguasa yang ingin mempertahankan posisi mereka di atas masyarakat. Lagi-lagi, tidak ada satu pun program yang jelas dari mereka selain memberi pengakuan simbolis untuk meraup suara. Pembebasan perempuan artinya membebaskan perempuan secara ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, fisik, dan psikologis. Melawan kapitalisme—yang menghasilkan penindasan kelas, ras, dan gender serta mengukuhkan patriarki—adalah langkah logis yang harus kita ambil, dan ini sudah pasti berlawanan dengan kepentingan kedua kubu.
LGBT: Tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, sampai sekarang kelompok LGBT masih diserang, didiskriminasi, dan dikriminalisasi. RKUHP anti-LGBT didukung oleh semua pihak pemerintah, baik pendukung maupun oposisi. Stigma ‘menyimpang’ tetap dirawat dan disebarluaskan oleh negara dan aparaturnya. Memilih dalam pemilu artinya mengesahkan penindasan sistematis terhadap LGBT, karena Jokowi atau Prabowo sudah dipastikan akan meneruskannya.
Papua: Sejak 1969, lebih dari 500.000 warga Papua telah dibunuh secara sistematis. Ribuan lain mengalami penyiksaan, pemerkosaan, penangkapan sewenang-wenang, pemenjaraan di luar proses hukum, dan rasisme. Posisi pemerintah mengenai Papua jelas: kekayaan tak terhitung yang telah dihisap dari alam Papua lewat kerja sama negara dengan korporasi asing akan terus berlanjut, kekuasaan aparat TNI-Polri di Papua akan tetap bertahan, hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua tidak mungkin diberikan, infrastruktur yang dibangun pemerintah dan kerap dipromosikan ke seluruh masyarakat menjadi validasi bagi integrasi Papua ke dalam NKRI. Bagi rakyat Papua, memilih tidak ada artinya.
HAM: Keputusan Jokowi untuk memilih Ma’ruf Amin yang giat mendiskriminasi dan mengkriminalisasi kelompok minoritas dan seksual sebagai pendampingnya menunjukkan oportunisme dan ketidakacuhannya terhadap hak asasi manusia. Fatwa MUI pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat berujung pada SKB anti-Ahmadiyah tahun 2008 berkat desakan dari suara konservatif dan Ma’ruf Amin yang ketika itu menjadi penasihat SBY. SKB ini kemudian menjadi landasan bagi peristiwa berdarah di Cikeusik dan ratusan kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah hingga sekarang. Selain itu, Ma’ruf Amin juga ikut serta mengeluarkan fatwa haram tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, fatwa sesat terhadap Gafatar, mendukung kriminalisasi terhadap LGBT, dan menyusun SKB pendirian rumah ibadah.
Pembubaran kegiatan diskusi, penyitaan buku, kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan, LGBT, jurnalis, aktivis lingkungan, buruh, dan petani tetap berjalan tanpa sedikit pun tindakan aparat negara untuk menghentikannya. Justru dalam banyak kasus, negara menjadi pelopornya, aparat negara tidak menghormati hak-hak dan kebebasan dasar. Sementara itu, suatu penyelesaian berkeadilan atas kejahatan genosida 1965-66 sampai saat ini selalu ditampik. Kami objektif: selama ini penuntasan kejahatan serius di masa lalu dan upaya untuk mengakhiri impunitas bukanlah trajektori yang menguntungkan bagi kekuasaan oligarki dan para elite politik. Bahkan sekadar niat politik dan langkah-langkah programatis untuk menyelesaikannya tidak hendak diwujudkan oleh mereka yang kini bersaing dan berseteru merebut kekuasaan negara.
Sudah jelas bahwa kedua paslon tidak memiliki perhatian sedikit pun terhadap persoalan mendasar yang menyangkut kemerdekaan sipil dan keadilan sosial. Visi-misi mereka penuh dengan slogan dan retorika nasionalis banal, tanpa satu pun program konkret untuk mewujudkan kesejahteraan bagi kelas pekerja, tanpa menghormati kebebasan dan melindungi kelompok minoritas pada saat hak-hak dan kemerdekaannya dirampas bahkan diserang, ataupun tanpa upaya untuk mengembalikan tentara ke barak—di mana mereka seharusnya berada. Semua visi-misi mereka bukan hanya menghina akal sehat, tetapi dari tahun ke tahun mengebiri kecerdasan masyarakat luas. Kami sepenuhnya sadar bahwa keadilan bukan sesuatu yang diberikan, tetapi harus direbut. Karena itu, meminta paslon mana pun untuk memberi perhatian tidaklah berguna. Kami tidak sedang mengidap penyakit kekanak-kanakan.
Sekarang, dalam demokrasi yang dikebiri dan semakin tidak menghormati hak-hak asasi manusia, apakah kami “tidak realistis”? Kami punya pijakan “realisme politik” sendiri. Demokrasi elektoral berbasis patronase politik hanya bisa diubah jika suara rakyat tidak dibungkam; jika kami yang memperjuangkan hak asasi kami untuk mempertahankan sumber daya alam dan lahan kehidupan, tidak dikriminalkan. Ketika ada yang berseru kami “tidak realistis”,sebenarnya mereka sedang berbicara di depan cermin.
Apakah kelompok golput punya strategi politik yang jelas? Tentu. Beberapa di antaranya dengan merebut ruang publik dari genggaman kelompok-kelompok reaksioner; melakukan intervensi politik ke dalam pabrik, kampus, kampung, dan jalanan;
membangun solidaritas antarwarga dengan melakukan pendampingan, advokasi, dan pendidikan politik serta belajar bersama rakyat yang tertindas.
Memilih dalam pemilu apapun—pileg, pilkada, pilpres—artinya memberi legitimasi terus-menerus kepada sesuatu yang terus membusuk. Menunggu pemilu dan berharap pergantian pemimpin beriringan dengan datangnya perubahan adalah mimpi siang bolong. Kami tidak naif. Kami tidak memiliki ilusi apa pun untuk menggelar karpet merah bagi kedatangan juru selamat lewat sistem politik dan ekonomi yang ada. Namun dalam masyarakat yang membutuhkan ilusi dan terus ditakut-takuti dengan ancaman kebohongan “khilafah dan komunisme”, meminta mereka menghapus ilusi memabukkan tersebut berarti meminta mereka untuk melepas belenggu ilusi.
Tujuan golput bukan untuk tidak memilih. Golput, abstain, ataupun boikot pemilu hanya langkah lanjutan yang harus diambil untuk beranjak keluar dari barbarisme. Menyuruh rakyat untuk berpartisipasi dalam sandiwara pemilu sama dengan melanggengkan pembodohan, dan bertolak belakang dengan cita-cita kami untuk membangun sebuah masyarakat di mana semua manusia dapat berkembang penuh dan merdeka—sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan dalam sistem politik dan ekonomi yang ada.
Jakarta, 13 April 2019
Federasi Serikat Buruh Demokratik (F-SEDAR)
Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN)
Partai Pembebasan Rakyat (PPR)
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
International People's Tribunal 1965 (IPT 65)
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia (SeBUMI)
Asep Komaruddin
Gading Yonggar Ditya
Qory Dellasera
Pdt. Suarbudaya Rahadian (pengasuh rubrik Kristen Progresif IndoProgress)
Rinto Pangaribuan (pemimpin redaksi PENALAIDE)
Jasman Simanjuntak
Kelana Khatulistiwa
Yohanes Bayu Christianto
Christian Yahya