Saat kordinator aksi membacakan pernyataan sikap. 0 km, Yogyakarta, Selasa (6/7/2019). Foto: Lala/amp. |
Memperingati 3 tahun pengepungan asrama Papua Yogyakarta, Mahasiswa Papua Yogyakarta melakukan aksi bagi-bagi bingkisan sebanyak 100 bingkisan berisi snack dan selebaran kepada masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya disekitaran Malioboro, Selasa (16/07/2019) pukul 13.00 WIB.
Berjumlah 20an massa aksi Mahasiswa Papua dan rakyat Indonesia yang bersolidaritas awalnya berkumpul di asrama Papua Kamasan I Yogyakarta, kemudian bergerak ke taman Pintar. Selanjutnya massa terbagi dalam 2 kelompok kemudian melakukan bagi-bagi bingkisan kepada warga, Kelompok pertama mulai membagikan bingkisan ke arah Barat hingga di titik nol (0) km dan kelompok lainnya mulai bergerak dari arah timur hingga ke titik nol.
Aksi bagi-bagi bingkisan mengundang perhatian warga hingga mendapatkan banyak komentar dari warga: pedagang kaki lima di pinggiran jalan malioboro, juga beberapa wisatawan serta mahasiswa dan pelajar yang ditemui di jalan.
Salah satu bapak yang juga adalah pedagang pinggiran jalan berkata “Saya menyukai mahasiswa Papua tapi tidak suka kalau mabuk-mabuk,” ungkapnya. Massa juga menjelaskan tujuan pembagian bingkisan tersebut kepada masyarakat sebelum membagikan bingkisannya dengan tujuan tidak terjadi lagi diskriminasi dan rasial terhadap mahasiswa papua di Yogyakarta.
Salah satu bapak yang juga adalah pedagang pinggiran jalan berkata “Saya menyukai mahasiswa Papua tapi tidak suka kalau mabuk-mabuk,” ungkapnya. Massa juga menjelaskan tujuan pembagian bingkisan tersebut kepada masyarakat sebelum membagikan bingkisannya dengan tujuan tidak terjadi lagi diskriminasi dan rasial terhadap mahasiswa papua di Yogyakarta.
Akhir dari pembagian bingkisan, seluruh massa berkumpul dititik nol dan menyerukan pernyataan sikap. Pada pukul 15.00 WIB pernyataan sikap diselesaikan dengan aman tanpa ada gangguan dari aparat maupun ormas setempat.
Usai aksi, korankejora menemui Pimpinan AMP Jogja, Julia Opky mengatakan aksi bagi-bagi bingkisan ini themanya bingkisan anti rasialisme. “Jadi selain bagi bingkisan juga kita tetap bangun hubungan social dengan warga Jogja ditengah berkembangnya rasisme yang sangat tinggi ini. Itu yang penting,” Tutupnya. Sementara itu massa aksi lainnya Ita Penggu mengatakan kita lakukan aksi yang berbeda. Sebab warga sudah tahu kalau mahasiswa Papua di Jogja sering demo. “Artinya dengan aksi bingkisan ini bentuk aksinya yang berbeda untuk menyampaikan pesan tentang anti rasisme itu,” Pungkasnya.
Berikut Pernyataan sikapnya:
Peringatan 3 Tahun Pengepungan Asrama Kamasan
Tentu masih hangat dalam ingatan kita, peristiwa pengepungan Asrama Papua Kamasan I Yogyakarta pada tanggal 15-16 Juli 2016. Aksi Negara (Kepolisian Republik Indonesia) yang membungkam hak bebas berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum, melakukan kekerasan baik fisik maupun psikis, diskriminasi, dan rasialisme.
Peristiwa tersebut bermula ketika Mahasiswa Papua dan beberapa Organisasi Prodemokrasi Indonesia yang tergabung dalam front Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua barat (PRPPB) hendak menyelenggarakan beberapa rankai kegiatan, yang rencananya akan dimulai pada tanggal 13-16 Juli 2016.
Rencana kegiatan tersebut berangkat dari hasil kesimpulan atas kondisi penindasan dan pembungkaman ruang demokrasi terhadap Rakyat Papua yang semakin massif terjadi, baik di Yogyakarta maupun di Papua. Salah satunya adalah penangkapan yang pernah dilakukan oleh kepolisian Indonesia di Papua terhadap hampir 2000-an orang massa aksi Komite Nasional Papua Barat (KNPB), yang terjadi pada tanggal 2 Mei 2016. Dan berlanjut di bulan Juni hingga awal Juli.
Pada tanggal 15 Juli, Aksi damai dilakukan. Aksi tersebut bertujuan menuntut diberikannya ruang demokrasi yang seluas-luasnya bagi rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri; menutup seluruh perusahaan Multynational Corporation (MNC); menarik militer (TNI/POLRI) dari Papua; dan mendukung pengajuan keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dalam organisasi regional di kawasan Melanesia atau yang sering disebut Melanesian Spearhead group (MSG).
Namun, aksi demonstrasi damai tersebut disambut oleh kepungan gabungan Kepolisian dan beberapa Ormas Reaksioner yang mengatasnamakan warga Yogyakarta. Pengepungan tersebut dimulai dengan Apel Pagi pukul 07.00 WIB di Jl. Kusumanegara, depan Asrama Papua Kamasan I Yogyakarta. Aksi massa dihadang agar tidak keluar dari asrama Papua untuk menyampaikan aspirasi; beberapa mahasiswa yang hendak menuju asrama ditahan diperjalanan melalui praktik sweeping mendadak khusus Orang Papua; terjadi penyitaan dan pengrusakan terhadap beberapa motor milik penghuni asrama; kriminalisasi terhadap kawan Obby Kogoya; dan ujaran rasis oleh ormas-ormas reaksioner backing-an polisi.
Peristiwa pengepungan tersebut tentu memberikan aroma busuk bagi praktik HAM dan Demokrasi di Indonesia yang mengakui diri sebagai negara hukum. Setidaknya peristiwa tersebut telah melahirkan noda-noda yang mengotori lemari buku-buku UU yang tersusun rapi di dalam istana. Terdapat beberapa aksi pelanggaran terhadap UU yang terjadi saat pengepungan.
pertama, adalah pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang bertentangan dengan UU no. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU no. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, UU no. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum.
Kedua, terjadi tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap Mahasiswa Papua di luar lingkungan asrama. Hal tersebut bertentangan dengan UU no. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU no. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan UU no. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Kovenan Menentang Penyiksaan.
Ketiga, terjadi hate speech berupa kekerasan verbal mengandung unsur rasisme dari ormas intoleran yang juga ikut mengepung asrama, terhadap mahasiswa Papua. Hal ini bertentangan dengan UU no. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Keempat, terjadi pembiaran oleh aparat keamanan atas orasi berisi hate speech rasis dari ormas intoleran. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Kelima, terjadi penangkapan dan penahanan terhadap mahasiswa Papua. Satu di antaranya dijadikan tersangka tanpa alat bukti yang kuat. Hal ini tentu bertentangan dengan UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU no. 12 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Keenam, terjadi penggunaan kekuatan berlebihan oleh kepolisian yang terlihat dari pengerahan jumlah aparat secara besar-besaran, penggunaan senjata, dan adanya tembakan gas air mata yang diarahkan ke Asraman Mahasiswa Papua.
Pengepungan dan pembungkaman terhadap Asrama dan Mahasiswa Papua yang terjadi pada tanggal 15-16 Juli 2016 lalu, tentu hal tersebut tidak terlepas dari kepentingan kelas berkuasa atau kaum pemilik modal agar tetap melanjutkan aksi penghisapan terhadap kekayaan alam Papua dan membuang manusianya ke dalam lubang pemusnahan—seperti yang telah terjadi selama setengah abad lebih, sejak aneksasi (penggabungan paksa) Papua ke dalam bingkai NKRI, yang dilakukan 1 Mei 1963.
Menjadi pelajaran yang berharga, bahwa UU seindah apapun tidak berlaku bagi Bangsa tertindas (Mahasiswa/Orang Papua) juga kaum pekerja dari bangsa penjajah. Negara, hukum, dan alat kekerasannya (TNI/POLRI) akan selalu berpihak pada kelas yang berkuasa. Memotong lidah-lidah kelas buruh dan rakyat pekerja yang ingin bersuara.
Maka, bertepatan dengan peringatan 3 tahun pengepungan Asrama Papua Kamasan I Yogyakarta, atau yang kita sebut dengan peringatan “HARI RASIS DAN DISKRIMINASI TERHADAP ORANG PAPUA DI YOGYAKARTA”. Maka Aliansi Mahasiswa Papua menyerukan bahwa, tak ada masyarakat yang lebih sejahtera, adil, partisipatif, dan dunia yang lebih baik tanpa demokrasi.
“Hak Menentukan Nasib Sendiri, Solusi Demokratis bagi Rakyat Papua”
Berikut Pernyataan sikapnya:
Peringatan 3 Tahun Pengepungan Asrama Kamasan
Tentu masih hangat dalam ingatan kita, peristiwa pengepungan Asrama Papua Kamasan I Yogyakarta pada tanggal 15-16 Juli 2016. Aksi Negara (Kepolisian Republik Indonesia) yang membungkam hak bebas berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum, melakukan kekerasan baik fisik maupun psikis, diskriminasi, dan rasialisme.
Peristiwa tersebut bermula ketika Mahasiswa Papua dan beberapa Organisasi Prodemokrasi Indonesia yang tergabung dalam front Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua barat (PRPPB) hendak menyelenggarakan beberapa rankai kegiatan, yang rencananya akan dimulai pada tanggal 13-16 Juli 2016.
Rencana kegiatan tersebut berangkat dari hasil kesimpulan atas kondisi penindasan dan pembungkaman ruang demokrasi terhadap Rakyat Papua yang semakin massif terjadi, baik di Yogyakarta maupun di Papua. Salah satunya adalah penangkapan yang pernah dilakukan oleh kepolisian Indonesia di Papua terhadap hampir 2000-an orang massa aksi Komite Nasional Papua Barat (KNPB), yang terjadi pada tanggal 2 Mei 2016. Dan berlanjut di bulan Juni hingga awal Juli.
Pada tanggal 15 Juli, Aksi damai dilakukan. Aksi tersebut bertujuan menuntut diberikannya ruang demokrasi yang seluas-luasnya bagi rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri; menutup seluruh perusahaan Multynational Corporation (MNC); menarik militer (TNI/POLRI) dari Papua; dan mendukung pengajuan keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dalam organisasi regional di kawasan Melanesia atau yang sering disebut Melanesian Spearhead group (MSG).
Namun, aksi demonstrasi damai tersebut disambut oleh kepungan gabungan Kepolisian dan beberapa Ormas Reaksioner yang mengatasnamakan warga Yogyakarta. Pengepungan tersebut dimulai dengan Apel Pagi pukul 07.00 WIB di Jl. Kusumanegara, depan Asrama Papua Kamasan I Yogyakarta. Aksi massa dihadang agar tidak keluar dari asrama Papua untuk menyampaikan aspirasi; beberapa mahasiswa yang hendak menuju asrama ditahan diperjalanan melalui praktik sweeping mendadak khusus Orang Papua; terjadi penyitaan dan pengrusakan terhadap beberapa motor milik penghuni asrama; kriminalisasi terhadap kawan Obby Kogoya; dan ujaran rasis oleh ormas-ormas reaksioner backing-an polisi.
Peristiwa pengepungan tersebut tentu memberikan aroma busuk bagi praktik HAM dan Demokrasi di Indonesia yang mengakui diri sebagai negara hukum. Setidaknya peristiwa tersebut telah melahirkan noda-noda yang mengotori lemari buku-buku UU yang tersusun rapi di dalam istana. Terdapat beberapa aksi pelanggaran terhadap UU yang terjadi saat pengepungan.
pertama, adalah pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang bertentangan dengan UU no. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU no. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, UU no. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum.
Kedua, terjadi tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap Mahasiswa Papua di luar lingkungan asrama. Hal tersebut bertentangan dengan UU no. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU no. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan UU no. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Kovenan Menentang Penyiksaan.
Ketiga, terjadi hate speech berupa kekerasan verbal mengandung unsur rasisme dari ormas intoleran yang juga ikut mengepung asrama, terhadap mahasiswa Papua. Hal ini bertentangan dengan UU no. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Keempat, terjadi pembiaran oleh aparat keamanan atas orasi berisi hate speech rasis dari ormas intoleran. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Kelima, terjadi penangkapan dan penahanan terhadap mahasiswa Papua. Satu di antaranya dijadikan tersangka tanpa alat bukti yang kuat. Hal ini tentu bertentangan dengan UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU no. 12 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Keenam, terjadi penggunaan kekuatan berlebihan oleh kepolisian yang terlihat dari pengerahan jumlah aparat secara besar-besaran, penggunaan senjata, dan adanya tembakan gas air mata yang diarahkan ke Asraman Mahasiswa Papua.
Pengepungan dan pembungkaman terhadap Asrama dan Mahasiswa Papua yang terjadi pada tanggal 15-16 Juli 2016 lalu, tentu hal tersebut tidak terlepas dari kepentingan kelas berkuasa atau kaum pemilik modal agar tetap melanjutkan aksi penghisapan terhadap kekayaan alam Papua dan membuang manusianya ke dalam lubang pemusnahan—seperti yang telah terjadi selama setengah abad lebih, sejak aneksasi (penggabungan paksa) Papua ke dalam bingkai NKRI, yang dilakukan 1 Mei 1963.
Menjadi pelajaran yang berharga, bahwa UU seindah apapun tidak berlaku bagi Bangsa tertindas (Mahasiswa/Orang Papua) juga kaum pekerja dari bangsa penjajah. Negara, hukum, dan alat kekerasannya (TNI/POLRI) akan selalu berpihak pada kelas yang berkuasa. Memotong lidah-lidah kelas buruh dan rakyat pekerja yang ingin bersuara.
Maka, bertepatan dengan peringatan 3 tahun pengepungan Asrama Papua Kamasan I Yogyakarta, atau yang kita sebut dengan peringatan “HARI RASIS DAN DISKRIMINASI TERHADAP ORANG PAPUA DI YOGYAKARTA”. Maka Aliansi Mahasiswa Papua menyerukan bahwa, tak ada masyarakat yang lebih sejahtera, adil, partisipatif, dan dunia yang lebih baik tanpa demokrasi.
“Hak Menentukan Nasib Sendiri, Solusi Demokratis bagi Rakyat Papua”
Reporter: Lala
Editor: Jhe