Polisi menutupi pintu gerbang utama asrama Papua Jogja saat pengepungan. Foto amp |
Penulis: Beyaz C Ap, Reporter korankejora
Beberapa mahasiswa Papua di Yogyakarta, sangat ramai dengan postingan tentang peristiwa pengepungan asrama Papua Yogyakarta yang terjadi 3 Tahun Lalu di Facebook (selanjutnya baca FB), sejak tanggal 14 Juli kemaring. Julia Opky, Aktivis Perempuan, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Yogyakarta, menulis di Wall akun FB pribadinya “Kitong tra lupa dimana pada tanggal 16 Juli 2016, 3 tahun yang lalu tong dikurung di asrama papua, … setarakan kita dengan Hewan”. Setahun yang lalu, dimoment 2 tahu pengepungan, mahasiswa Papua melakukan kegiatan panggung budaya di asrama Papua. Pengantar yang dibuka oleh anggota Mahasiswa Papua dan aktivis prodemokrasi serta beberapa pembicara yang mengisi acara memberikan kesan tentang manusia, secara utuhnya harus bebas rasisme, diskriminasi rasial, serta penindasan bentuk lainnya. Kegiatan ini juga melibatkan banyak kalangan, tidak hanya mahasiswa Papua: Warga Yogyakarta, terutama, warga yang memberikan/mengantar makanan saat 2 hari pengepungan itu; juga kelompok solidaritas, aktivis pro demokrasi lainnya.
Tahun ini (2019), tepatnya 6 Juli adalah jatuhnya tahun ke tiga pasca pengepungan itu. Tahun ini, mahasiswa Papua di Yogyakarta bersama Rakyat Indonesia akan memperingati tentang rasisme, diskriminasi rasial, pembungkaman ruang demokrasi oleh militer serta ormas reksioner yang justru makin marak dimana-mana, ini akan dibungkusi dengan kegiatan aksi longmarch. Seruan aksi telah disebarkan; juga di akun FB-nya Opki.
Janua, salah satu anggota AMP yang sedang mempersiapkan perangkat aksi bersama kawan-kawannya di Asrama Papua, Sekret 105, ketika menghubunginya Via WhatsAp mengatakan “Kali ini kami lakukan aksi demontrasi. Aksi ini adalah bentuk perlawanan terhadap pembungkaman ruang demokrasi yang disertai dengan represif, diskriminasi rasial, terhadap kelompok-kelompok tertentu oleh aparat Negara.” Sementara itu Adhen, Mahasiswa Papua, juga mengatakan tindakan pembungkaman ruang demokrasi dengan membiarkan dan peliharaan para pelaku anti demokrasi, ini sangat massif.
Pembungkaman ini terjadi tidak hanya di Yogyakarta saja. Tidak juga terjadi pada 3 tahun lalu. Juga bukan kepada mahasiswa Papua saja. Pembubaran aksi, persekusi diskusi, pembatasan ruang ekspresi, ini semakin massif terjadi di beberapa kota: Surabaya, Malang, Bali, Makassar, Ambon, Semarang, Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan kota-kota lainnya dimana ada titik pergerakan rakyat untuk demokrasi. Kasus terbaru, ketika AMP dan FRI WP peringati hari proklamasi pada 1 Juli dan aksi peringatan 21 tahun tragedi Biak Berdarah pada 6 Juli 2019, terjadi pembubaran aksi AMP di Bali, dan Ambon pembubaran paksa oleh aparat Negara berujung dengan penangkapan terhadap 10 orang massa aksi AMP. Lalu terjadi tindakan melarang berdiskusi di Asrama Papua Semarang oleh Intel dan Ormas reaksioner.
Mengapa penting Peringati 3 tahun Pengepungan?
Pengepungan itu dilakukan atas perintah yang dikumandangkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono ke X yang mengatakan “Separatis tak punya tempat di Yogyakarta” dikutip repulika.co.id dan Tempo.co. Ia mengingatkan bahwa “Kalau di Asrama, Silahkan. Kalau disampaikan ke public, ditempat lain sana, tidak di Jogja”. Penyataan itu, disisi lain menjadi alasan legal atas tindakan pengepungan serta penganiayaan terhadap salah satu mahasiswa Papua, Obby Kogoya, yang juga tipenjarahkan oleh Polisi karena disangka memukul polisi saat Ia melakukan tindakan pembelaan diri saat Ia dikepung, dipukul, di Injak-injak, dan sebagainya.
Ironisnya adalah Ormas serta Aparat Negara tidak memerikan akses untuk mendapatkan makanan. Sejumlah media yang meliput kronologi hingga insiden pengepungan ini: Rappler.com, tempo, CNN mengabarkan cerita tentang Warga Umbulharjo lah yang mengantar/ memberikan makan dan minum kepada ratusan mahasiswa papua dan rakyat Indonesia yang berapa di asrama Papua itu. Bahkan sejumlah motor dibawa Polisi tanpa alasan apa pun kepada pemilik. Pendeknya, momentum ini, mengingatkan cerita tindakan semena-mena aparat Negara serta ormas di Asrama Papua.