Aksi Massa Demo Damai di Semarang Pada 24 Agustus 2019 |
Rasisme terhadap Orang Papua sudah dimulai sejak awal penggabungan paksa Papua ke dalam wilayah NKRI. Berlangsung sejak 1962 pasca Imperialisme Amerika Serikat berusaha merampas kekayaan alam Rakyat dan kekuasaan politik oleh Kolonial Indonesia di Papua, dengan melibatkan diri dalam Perjanjian New York. Perjanjian yang membahas masa depan Papua yang melahirkan penjajahan baru di Bumi West Papua setelah Belanda tanpa melibatkan Orang Papua.
Diskriminasi rasial (rasis) merupakan metode kolonial, yang banyak berperan dalam sejarah kolonialisme. Rasisme digunakan untuk menyudutkan dan melanggengkan dominasi atas rakyat Papua. Kita mesti menarik garis yang jelas bahwa sebutan ‘Orang Papua Monyet’, keluar dari mulut segelintir kelompok ormas reaksioner piaraan militer, penyambung lidah kolonial. Kolonial Indonesia sedang berusaha merendahkan perjuangan suci Rakyat Papua untuk kebebasan dan kemerdekaan ke dalam perang rasial dan konflik horizontal. Perang Orang Papua versus Amber (pendatang di Papua).
Maka, dengan peristiwa pengepungan, penangkapan, serta penyebutan "monyet Papua" di Surabaya beberapa waktu lalu, kami menghimbau agar tidak terprovokasi dengan propaganda-propaganda yang memicu saling serang antar kelompok etnis dan/atau beragama di Papua. Sebab propaganda semacam itu, digunakan untuk merendahkan perjuangan Pembebasan Nasional Papua. Perjuangan untuk merebut kemerdekaan dan membersihkan kebudayaan yang merendahkan martabat manusia.
Oleh sebab itu, kami menghimbau rakyat Papua satu-kan barisan, memperlebar mobilisasi massa tanpa membedakan suku, agama, ras, dan lain-lain. Membangun kekuatan, persatuan, mobilisasi massa untuk menolak kolonialisme, menolak menolak, dan menuntut Kebebasan dan Hak untuk menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua, sebagai satu-satunya jalan untuk mengakhiri rasisme.
Hormat diberi! Rakyat West Papua yang telah melumpuhkan jalan setiap kota di West Papua dan kotakota Kolonial, sejak tanggal 18 Agustus dan menyebar hingga hari ini. Juga kepada solidaritas kaum tertindas dari Bangsa Penjajah dan Internasional. Kita mesti menunjukan bahwa kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang meletakan nasionalisme di atas landasan kemanusiaan, yang memperjuangkan kebebasan, kemerdekaan, dan kesetaraan bagi seluruh umat manusia. Perjuangan Pembebasan Nasional adalah perjuangan yang tidak dilandasi atas semangat suku, agama, dan ras.
Maka, dalam mewujudkan kemerdekaan nasional semangat yang menjadi landasan perjuangan kita, harus kita sebarkan ke setiap sudut, tempat rakyat dijajah berada. Kemerdekaan Papua akan tercipta, ketika persatuan di antara rakyat tertindas—buruh, tani, perempuan, masyarakat adat, pelajar-mahasiswapemuda, nelayan—dari bangsa penjajah dan bangsa yang terjajah itu tercipta. Persatuan Rakyat yang mampu mengguncang dari hulu sampai hilir jalannya penjajahan di Papua. Papua harus bergejolak, Pusat Kolonial harus dirusak! Sebab itulah salah satu syarat kemerdekaan.
Perkembangan terkini Pemerintah Kolonial baik di Jakarta maupun Papua sedang berusaha menggiring perjuangan Rakyat ke arah kepentingannya masing-masing, terutama persoalan keberlangsungan Otonomi Khusus. Puluhan Rakyat Papua yang yang menolak rasisme dihadang dan dihadapkan dengan hukum, sementara pelaku rasis dibiarkan berkeliaran bebas tanpa melalui proses hukum. Di lain sisi berbagai hal yang terjadi di Papua dibiarkan begitu saja. Nduga masih darurat kemanusiaan, Pembangunan Infrastruktur masih berjalan, penambahan militer terus dilakukan, eksploitasi kekayaan alam, dan Rakyat Papua terus dijajah habis-habisan dan tak ada satu yang ditanggapi oleh pemerintah kolonial di Papua (Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Majelis Rakyat Papua).
Satu hal yang mesti kita garis bawahi adalah “Rakyat Papua harus memperjuangkan kepentingan pembebasannya sendiri di bawah kepemimpinan gerakan rakyat, tanpa menggantungkannya kepada elit birokrasi/pejabat pemerintah kolonial di Papua”. Peristiwa rasial di Surbaya tentu telah menjadi panggung kaum elit birokrasi untuk saling memaafmaafkan dan berdialog kedamaian dalam kerangka NKRI tanpa melihat akar historisnya, yakni persoalan penjajahan terhadap suatu bangsa. Berdasarkan itu, Aliansi Mahasiswa Papua dan Rakyat Papua yang berada di luar Papua nyatakan sikap:
1. Pengepungan di Surabaya, pembungkaman ruang demokrasi di Malang dan Semarang, merupakan bagian dari kelanjutan Penjajahan di Papua. Maka, kami menyatakan: Lawan Militerisme--dalang rasisme, Hapuskan Kolonialisme, dan Hancurkan Imperialisme.
2. Revolusi Nasional harus dipimpin oleh gerakan rakyat.
3. Seluruh komponen gerakan yang mencintai kebebasan dan kemerdekaan segera mengevaluasi diri dan mendorong terbentuknya persatuan nasional yang lebih luas, demokratis, partisipatif di Dalam Negeri West Papua untuk memimpin Perjuangan Pembebasan Rakyat.
4. Menolak seluruh tanggapan kolonial, termasuk seruan Mahasiswa Papua di luar Papua pulang oleh Majelis Rakyat Papua (MRP), Pemerintah Kolonial Provinsi Papua, serta menolak seruan “Papua Pulang maka orang Indonesia Pulang dari Papua”.
5. Menolak rencana kedatangan tim Pemerintah Kolonial Provinsi Papua ke Jawa dan Bali (tidak hanya di Malang dan Surabaya) sebelum semua elit politik dan pejabat Orang Papua melepaskan Garuda dan menuntut Referendum di tanah Papua.
6. Mahasiswa Papua akan pulang ke tanah air, jika, dan hanya jika, keputusan referendum diberlakukan di West Papua.
7. Rakyat dan Mahasiswa Papua di luar Papua siap kepung Jakarta untuk meminta Jokowi memulangkan kami dengan syarat Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri melalui mekanisme referendum.
8. Persoalan Papua bukan persoalan rumah tangga Indonesia, persoalan Papua merupakan persoalan penjajahan terhadap suatu bangsa yang telah merdeka. Maka kami menuntut agar adanya intervensi dari Dunia Internasional.
9. Buka akses wartawan dan jurnalis asing meliput di Papua.
Demikian pernyataan ini dibuat, kami ucapkan hormat untuk rakyat pejuang! Salam Pembebasan! Medan Juang, 24 Agustus 2019
Komite Pusat
Aliansi Mahasiswa Papua
Pimpinan Pusat
Ketua Umum SekertarisUmum
Jhon Gobai Albert Mungguar