ilustrasi gambar |
Tatanan Kapitalisme hingga hari ini terus
tidak mampu keluar dari penyakit krisis yang terus berulang. Ia terus bergerak
dari krisis yang satu ke krisis-krisis lainnya. Dunia telah kembali ke abad 19,
dengan peran Negara dalam urusan
pasar yang semakin
dipangkas, meskipun di
sisi lain peran
negara masih difungsikan untuk
melindungi aktivitas eksploitasi (stabilitas politik dan keamanan). Negara
hanya menjadi satpam pemilik modal.
Sementara kondisi kehidupan rakyat semakin
parah, timbul berbagai reaksi kemarahan rakyat. Perang dagang, rasisme, konflik
batas wilayah, konflik-konfik horizontal berdasarkan ras, agama, etnis
berkecamuk di mana-mana. Sebut saja perang dan krisis kemanusiaan di Yaman,
Perang Afganistan, konflik dagang antara Amerika dan China yang mengalami
kebuntuan.
Di Indonesia akibat program neoliberalisme
ala Jokowi, timbul berbagai aksi perampasan, penghisapan dan PHK yang
masif terhadap buruh, konflik-konflik
agraria, pembungkaman ruang demokrasi, dan permainan isu sara (untuk
mengalihkan perhatian rakyat) untuk kepentingan kelompok politik tertentu.
Rasisme
bukanlah isu baru
di Indonesia. Politik
rasial adalah cara-cara
lama yang terus
dirawat, terutama oleh kelompok militer, untuk kepentingan politik,
misalnya rasis terhadap kaum Tionghoa, kelompok minoritas LGBTIQ, hingga Orang
Papua.
Tindakan persekusi dan diskriminasi rasial
serta upaya penyudutan terhadap Orang Papua di Surabaya, pembungkaman aspirasi
Mahasiswa Papua di
Malang dan pengepungan
Asrama West Papua
di Semarang yang terjadi beberapa waktu lalu kemudian melahirkan reaksi
dari berbagai pihak.
Rakyat Indonesia secara umum, mengutuk aksi
tentara dan negara, walaupun hanya sebatas HAM; kaum cendekiawan (Universitas-Universitas,
LSM, akademisi) mempertanyakan kembali perkembangan pemikiran dan kebudayaan
Indonesia yang belum tuntas; kaum gerakan rakyat Indonesia yang mempertanyakan
persoalan kebangsaan dan kolonialisme di Papua dan tatanan Kapitalisme, dan
rakyat Papua secara umum yang menolak kata rasis “Monyet”.
Pihak pemerintah kolonial, walikota Malang
mengeluarkan opsi pemulangan terhadap mahasiswa Papua. Gubernur Papua
menyatakan siap memulangkan mahasiswa Papua. Pernyataan tersebut didukung oleh
Dewan Perwakilan Rakyat maupun Majelis Rakyat Papua dan berbagai kepala adat
Papua dari berbagai wilayah. Walaupun dalam perkembangan terakhir, elit-elit
Papua agak ingkar janji.
Sementara,
pernyataan pejabat pemerintahan
tersebut menimbulkan situasi
di internal mahasiswa Papua di berbagai daerah
perbincangan hangat yang menjurus ke dalam dua opsi, yakni: Harus pulang atau
tidak Mahasiswa Papua?
Tentu situasi tersebut memiliki alasan
logis untuk terjadi.
Internasional
Melalui dua perang Imperialisme (Perang
Dunia I dan Perang Dunia II) dunia telah habis terbagi di antara beberapa kekuatan
monopoli (Amerika Serikat,
negara-negara Uni Eropa,
dan Jepang). Sementara perkembangan teknologi yang pesat
menimbulkan produksi komoditi terus meningkat.
Di lain sisi, tenaga kerja manusia menjadi
tidak berguna (buruh menghadapi aturan perburuhan baru di berbagai yang rawan).
Barang Dagangan (komoditi) yang terus meningkat, tidak mampu membeli, mendesak
para pemilik modal membutuhkan pasar-pasar baru yang lebih luas.
Hal tersebut memaksa negeri-negeri
imperialis memikirkan kembali batas-batas baru bagi wilayah perdagangannya. Hal
yang kemudian menimbulkan konflik-konfik batas wilayah, batas laut, dan perang
dagang yang kian memanas antara Amerika Serikat dan China.
Pada awalnya, perdagangan bebas
globalisasi-neoliberalisme merupakan jalan keluar untuk bebas dari bahaya
krisis over produksi (kelebihan komoditi/barang jualan tanpa daya beli
masyarakat). Namun akhirnya membuka jalan bagi krisis yang lebih luas dan lebih
rusak serta mencakup seluruh dunia.
Negeri-negeri kapitalis pusat memikirkan
kembali untuk menyelamatkan diri mereka dari krisis yang saling mempengaruhi.
Tahun 2017 lalu, Trump mengeluarkan
kebijakan ‘American First’ atau ‘Mengutamakan Amerika’ yang merupakan refleksi
dari menguatnya tendensi proteksionisme (kecenderungan untuk melindungi pasar
domestic/dalam negeri dari barang-barang luar); mengembalikan lapangan
pekerjaan, pemangkasan tarif pajak, dan
menata kembali perjanjian-perjanjian perdagangan,
terutama dengan China
dan Meksiko; merobek perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP) dan
Transatlantic Trade and Investment Partnership
(TTIP); dan mengancam
membatalkan perjanjian perdagangan
bebas NAFTA dengan Meksiko dan Canada.
Sementara Inggris, yang
beberapa tahun belakangan hangat dengan isu Brexit. Inggris menyatakan
keluar dari lingkungan dagang Uni Eropa, untuk menyelamatkan pasar domestic
(dalam negeri) dari ancaman krisis yang menjangkit Yunani, Spanyol, dan Italia.
Walaupun di sisi lain inggris masih ingin mengakses pasar-pasar Uni Eropa.
Sementara di Prancis, dunia dikejutkan dengan aksi Yellow Vest akibat kenaikan
pajak bahan bakar dan program neoliberalisme.
Sementara
perang dagang antara
Amerika versus China menguat,
yang tentunya mempengaruhi stabilitas ekonomi dunia,
termasuk India yang menjadi motor penggerak ekonomi asia. Di samping timbulnya
resesi ekonomi (melemahnya pertumbuhan ekonomi) global, termasuk Amerika
Serikat.
Krisis pun melanda beberapa negeri Amerika
Latin, seperti Argentina. Juga Mexico dan Barzil. Tanggal 21 Agustus 2019, Sri Mulyani memberi lampu
kuning sebagai tanda hati-hati untuk ekonomi Indonesia akibat pelemahan ekonomi
global tersebut.
Sementara dunia bergerak ke arah yang tidak
pasti, akibat kelimpahan produksi dan perang, fokus kerja komunitas-Komunitas
Internasional, termasuk PBB, diarahkan untuk membersihkan puing-puing yang
tersisah dari pertempuran antara kelas penindas dan kelas yang ditindas.
Diarahkan untuk merapikan isu-isu
kontemporer, seperti isu
obat-obatan (drugs), migrasi
penduduk, lingkungan hidup,
populasi, tantangan ekonomi global, krisis demokrasi liberal, fusi dan
pembelahan, dan produksi senjata ringan, serta perubahan iklim (di kawasan
pacific). Dan menghilangkan persoalan kebangsaan, yang sedang berkembang di
mana-mana dan persoalan pertentangan kelas di dalam tatanan kapitalisme. Dan
persoalan obat neoliberalisme yang tidak manjur.
Kondisi
Kolonial
Persoalan neoliberalisme di Indonesia sudah
dimulai ketika Soeharto menandatangani Letter of Intent (LOI), yang lanjutkan
dengan mejalankan Program Penyesuaian Struktural (Structural Ajustment
Program). Mengurangi peran negara dalam urusan pasar (walaupun di Indonesia
justru borjuisnya menghamba pada negara), Membuka pasar yang lebih luas,
mengurangi subsidi dan anggaran belanja negara di bidang pendidikan, kesehatan,
dan memangkas kebijakan yang menjadi penghalang investasi modal internasional.
Perubahan lingkungan ekonomi yang terjadi
tahun 2008 paska krisis ekonomi yang mengguncang Tiongkok, turut mengubah
lingkungan investasi. Indonesia kemudian dikelompokkan ke dalam kelompok MIST
(Meksiko, Indonesia, South Africa, dan Turky) sebagai negara yang nyaman untuk
melakukan investasi.
Tahun 2010, Indonesia mengagendakan program
bersama yang bertumpuk di bawah naungan Master Plan Percepatan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) memetakkan Indonesia menjadi beberapa koridor. Dan
meletakkan 8 Program Utama, yaitu pertanian, pertambangan, energy, industri, kelautan,
pariwisata, dan telematikal serta pengembangan kawasan strategis. Yang biaya
pembangunannya sebagian ditanggung oleh modal swasta internasional dan
pemangkasan anggaran belanja negara dan subsidi. Papua dan Maluku menjadi Pusat
Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional.
Guna mengejar kelancaran tersebut, beberapa
program umum colonial Indonesia diluncurkan. Di bawah rejim Jokowi, untuk
mengejar pekerjaan yang belum diselesaikan SBY, terutama infrastruktur, sebagai
factor penunjang paling penting untuk menunjang percepatan eksploitasi dan
akumulasi modal. Jokowi menekankan pentingnya pekerjaan pembangunan dengan
jargon “kerja, kerja, kerja”. Proyek pembangunan pembangkit listrik, pelabuhan,
jalan/jalan tol, dan proyek infrastruktur lainnya yang dikemas dalam Proyek
Strategis Nasional (PSN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 58 Tahun
2017.
Di atas situasi ekonomi global yang semakin
tidak menentu, Jokowi jilid II kembali meneriakkan jargon yang sama.
Memprioritaskan pembangunan Infrastruktur, liberalisasi pasar, perampingan
lembaga pemerintahan, dan perluasan serta kemudahan bagi penanaman modal asing
di Indonesia.
Dampak dari kebijakan pemerintah colonial
yang pro terhadap modal internasional tersebut terjadi penindasan yang masif
terhadap rakyat. Utang menjadi kekuatan bagi badan-badan keuangan internasional
untuk mendesak Indonesia menjalankan programnya. Dalam masa pemerintahan
Jokowi, terhitung 2 Mei 2018, telah terjadi 334 kasus konflik agrarian di
Indonesia; pemangkasan terhadap subsidi listrik, BBM, dll; dan program
fleksibilitas ketenagakerjaan yang kemudian memperbesar keleluasan bagi majikan
untuk menghisap dan membuang buruh dalam kemiskinan dan membawa rakyat
dalam kesengsaraan.
***
Sementara pertarungan
politik di Jakarta antara kubu Jokowi-Mega dan Prabowo untuk menjadi kaki
tangan modal internasional semakin akur. Jokowi, sekalipun berlatar belakang
sipil, tidak menguasai partai atau mesin politik manapun. Akhirnya berkompromi
dengan sisa-sisa Orde Baru, yakni: tentara, golkar, dan Keluarga Cendana.
Kemudian menjalankan kebijakan-kebijakan yang berwatak Orde Baru, seperti
control terhadap media massa (dengan wacana hoax), pembatasan internet di
Papua, dan anti- demokrasi.
Meskipun Orde Baru telah
runtuh bersama tumbangnya Soeharto, namun sisa-sisanya masih berkeliaran dan
berusaha memperlebar kekuatan dan kekuasaannya dengan berusaha berada dalam
lingkaran pemerintahan. Sebab, secara aturan maupun modal Borjuis Nasional
tidak dapat berkembang tanpa menguasai negara.
Penciptaan konflik
horizontal berdasarkan SARA, juga rasisme merupakan pola tradisional yang terus
dipertahankan dan digunakan, terutama dari kelompok tentara dan sisa-sisa Orba
untuk kepentingan- kepentingan politik. Misalnya rasisme terhadap kaum Tionghoa
di tahun 1998 yang digunakan Soeharto sebagai ajang tawar-menawar dengan modal
Internasional. Atau dalam isu penistaan agama yang dituduhkan pada Ahok, dan
komplotan sisa Orde Baru di balik pemenangan Anis dalam pilkada Jakarta. Atau
yang lebih dengan dengan kasus gerakan Papua adalah kasus pukul mundur gerakan
Republik Maluku Selatan. Pukul mundur gerakan dengan dalil SARA.
Kini kelompok tersebut
tengah membagi-bagi kue kekuasaan, setelah
bertarung mati-matian dalam Pilpres bulan lalu. Dalam tawar-menawar
kekuasaan terjadi kemelud yang menimbulkan saling serang di antara mereka.
Prabowo dan Megawati bersatu melalui politik 'Nasi Goreng' membentuk kubu Teuku
Umar sementara 4 pimpinan partai politik (PKB, PPP, Golkar, dan Nasdem)
membentuk kelompok Gondangdia.
Walaupun mereka berdiri
di atas latar belakang kelas yang sama, kelas borjuis nasional dan bagian dari
sisa-sisa Orde Baru, turut terlibat dalam penciptaan panasnya situasi politik
terakhir demi kepentingan politik masing-masing. Kepentingan bagi-bagi jatah
kekuasaan.
Papua menjadi
salah satu wilayah
prioritas pembangunan infrastruktur: pembangunan
jalan Trans Papua, Bandar Udara,
Pelabuhan, guna mempercepat proses eksploitasi sumber daya alam. Hal tersebut
diikuti dengan pembangunan pangkalan-pangkalan baru militer dan pengiriman
militer yang massif.
Aksi pembungkaman ruang
demokrasi di Malang, pengepungan asrama Papua di Surabaya, dan Semarang merupakan
turunan dari pidato
Jokowi yang mengatakan
bahwa “Siapapun yang menghambat investasi harus ditumpas”
bukan hanya terhadap gerakan Pembebasan Nasional Papua namun kepada gerakan
rakyat secara menyeluruh di Indonesia.
Di bawah rezim Jokowi
yang membuka lebih lebar jalan Neoliberalisme, HAM dan Demokrasi Indonesia
berada di titik terendah di jaman reformasi. Untuk menggambarkan secara singkat
dampak dari rejim neolib Jokowi, singkat bisa kita mengambil cuitan Dandhy
Laksono "Sistem jaminan kesehatan terancam ambruk, masalah Papua memburuk,
KPK makin rentan dihabisi, kerusakan lingkungan berbuah bencana, ibadah
dibubarkan paksa, buku disita, internet dibatasi, konflik agraria bertaut
kekerasan". Bahwa kebijakan yang dipaksakan kemudian melahirkan
kesengsaraan bagi rakyat, baik rakyat Papua maupun Rakyat Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa, Aliansi Mahasiswa Papua merupakan barometer untuk mengukur ada atau
tidaknya demokrasi di Indonesia. Maka bukan sesuatu yang mustahil bahwa AMP
merupakan hitungan dalam pemerintahan colonial untuk kenyamanan dalam
menjalankan program penghisapan.
Surabaya merupakan
wilayah strategis yang menjadi pusat distribusi logistic baik ekonomi maupun
keamanan, akibat letak geografisnya yang masuk dalam garis jalur laut nasional
maupun internasional dan orientasi pembangunan yang semakin ke arah timur. Maka
upaya pembungkaman berkali-kali terhadap aksi-aksi AMP Surabaya dan Malang
merupakan aktivitas kaum penindas untuk membungkam perjuangan rakyat secara
umum.
Kondisi Papua
Secara umum peta ekonomi
(pusat perputaran modal) ditempatkan dalam beberapa wilayah, yakni: Sofifi, Ambon,
Sorong (sebagai pintu
gerbang), Manokwari, Timika,
Jayapura, dan Merauke.
Peta tersebut kemudian diikuti dengan peta transportasi (laut, udara,
dan darat), pemekaran provinsi, dan bangunan politik serta keamanan
(pembangunan kekuatan militer).
Proyek besar yang
tentunya membutuhkan biaya yang tidak main-main. Biaya yang besar tersebut yang
kemudian mendorong beberapa pimpinan daerah (kabupaten) membentuk asosiasi
(seperti di Meepago atau Lapago, atau di daerah Provinsi Papua Barat dengan
agenda Provinsi Papua Barat Daya) agar dapat mengambil keuntungan dari program
tersebut.
Tema umum pembangunan
Papua, adalah Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan
Nasional. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, berbagai kebijakan diturunkan
untuk menciptakan ruang investasi yang nyaman.
Minimnya infrastruktur
sebagai faktor pokok perkembangan ekonomi menjadi latar belakang Jokowi
menjadikan Pembangunan Infrastruktur sebagai program prioritas di Papua. Dan
penguatan basis-basis militer (TNI & POLRI).
Dalam menjalankan
program-program kolonial di Papua, terjadi berbagai penindasan terhadap rakyat Papua. Perampasan tanah
untuk investasi, penemuan sumberdaya alam dan relokasi masyarakat dari tempat
tinggalnya, Stigma terhadap masyarakat hingga Operasi Militer.
***
Di atas proyek besar
Imperialisme dan kolonialisme tersebut, konsekuensi yang harus dibayar guna
kelancarannya adalah dengan memaksa mundur gerakan Pembebasan Nasional Papua.
Dalam situasi yang
normal, massa rakyat merupakan korban pasif dari sistem Imperialisme,
kolonialisme, dan militerisme. Rakyat dipaksakan menggantungkan hidup pada
sistem yang menindasnya secara menyeluruh. Sementara gerakan Pembebasan
Nasional Papua dipecah-pecah oleh kebudayaan anti demokrasi milik kolonial.
Kondisi tersebut
menciptakan peluang yang besar bagi siapapun mampu memainkan kepentingannya (asal
punya uang). Namun, secara menyeluruh aksi spontan yang terjadi di Papua
merupakan akumulasi dari tumpukan kemarahan yang sejak lama terbendung oleh
senjata dan kekerasan.
Aksi spontan rakyat yang
timbul tanpa kepemimpinan 'gerakan'--Kini kita sedikit mendapatkan pencerahan
ketika pimpinan aksi jilid I di Jayapura (BEM Uncen dan USTJ) ternyata membawa
kepentingan Gubernur. Jilid
berikutnya. Kawan-kawan bisa
baca tulisannya Nesta
Suhuniap yang dibagikan oleh Akun
Facebook Sonamapa Tambuna.
Sebab telah menjadi
barang mainan oleh elit-elit politik kolonial, Papua maupun Jakarta. Misalnya
Pemerintah provinsi, telah menjadikannya
sebagai tekanan untuk Jakarta agar menyepakati draf Otsus Plus. Majelis
Rakyat Papua (dan lembaga" adat di bawahnya) pun turut berada di samping
pemerintah Papua, sebab Otsus adalah jantung bagi MRP, dan tanpa Otsus MRP
mati. Sementara itu, militer memanfaatkannya untuk menggiring isu Pembebasan
Nasional menjadi perang antar ras. Serta dengan menggunakan manajemen konflik
dan provokasi aksi tolak rasisme, militer menggunakannya sebagai momen untuk
menambah jumlah militer (TNI/Polri) di Papua.
Medan Juang, 13 September 2019
Aliansi Mahasiswa Papua