Pasca rasisme di Malang dan Surabaya yang kemudian menimbulkan gelombang protes mengecam rasisme dan menuntut hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa Papua Barat. Aksi protes ini kemudian, direspon dengan pemblokiran internet, jaringan telekomunikasi, mobilisasi militer secara masif, rakyat yang protes kemudian direpresif, ditembak dan ditangkap dengan tuduhan provokator dan ditetapkan pasal makar (Pasal anti demokrasi yang diadopsi dari kolonial Belanda).
Negara sama sekali tidak menuntaskan persoalan rasisme secara hukum dan atau menginvestigasi akar masalah dan menyelesaikan akar masalah Papua.
Negara malahan merespon dengan saling meminta maaf, ramah-tamah atau silaturahmi dan bakar batu sebagai tanda damai dan persoalan selesai.
Namun, yang menjadi pertanyaan bagaimana mau damai sedangkan akar persoalan Papua belum diselesaikan bahkan hanya soal rasisme pun belum dituntaskan?
Bagaimana mau damai jika, pelaku rasis dan aktor intelektualnya masih berkeliaran secara bebas ?
Bagaimana mau damai jika, militer yang selama ini dan bahkan dalam sejarah banyak melakukan kekerasan terhadap rakyat Papua terus dimobilisasi tanpa ditarik dari Papua ?
Damai ala Republik Indonesia
NKRI (selanjutnya baca: Indonesia) mengira rakyat Papua masih hidup sama seperti jaman tahun 1960-an yang dengan mudah mereka atur semau mereka untuk kepentingan mereka.
Indonesia sama sekali tidak menyadari bahwa, sejarah yang panjang ini kemudian telah membuat rakyat Papua semakin berkembang maju sehingga, tidak mudah lagi di tipu.
Sama hal seperti dalam sejarah Pepera 1969 lalu, Indonesia masih menggunakan para kepala suku untuk melakukan deklarasi damai, membuat pernyataan damai sembari bakar batu dan model ramah-tamah lainnya.
Selain itu menurut Indonesia penambahan personil TNI-POLRI dengan dalil keamanan sebagai solusi damai dan juga penangkapan aktivis pro kemerdekaan Papua adalah solusi damai.
Namun, sayangnya masih saja tidak damai. Ini artinya bahwa, masih ada problem yang belum terselesaikan sebagai syarat damai atau damai ala Indonesia masih tidak tepat.
Damai itu namanya Referendum
Problem Papua adalah problem sejarah yang cacat hukum, cacat moral dan tidak demokratis yang dilakukan demi kepentingan ekonomi kaum imperialis dan kepentingan politik Indonesia dan tuannya imperialis.
Rasisme adalah anak kandung kolonialisme yang di sokong imperialisme untuk melanggengkan penjajahan di Papua.
Dengan ini maka, tuntutan rakyat Papua sebagai solusi damai, yang adil dan demokratis adalah diberikan hak penentuan nasib sendiri melalui mekanisme referendum.
Referendum merupakan suatu metode penyelesaian suatu sengketa yang paling demokratis yang tidak bertentangan dengan hukum, baik hukum Indonesia maupun hukum internasional juga, tidak melanggar prinsip hak asasi manusia.
Penutup
Tidak ada jalan lain selain diberikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi paling damai, adil dan demokratis melalui referendum.
Referendum bukan berarti Papua Merdeka namun, rakyat Papua diberikan kebebasan untuk menentukan nasib masa depannya sendiri secara demokratis dan apabila suara mayoritas rakyat Papua memilih tetap dengan Indonesia maka, kelompok pro Papua Merdeka haruslah menerima kenyataan itu dan apa bila sebaliknya, mayoritas rakyat Papua memilih pisah dari NKRI maka, Indonesia haruslah menerima kenyataan itu.
Tanah jajahan, 10 Oktober 2019