KJ. Prjock Picture |
"REFLEKSI 1 TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN DI NDUGA - PAPUA"
Persoalan Ndugama dan Ruang Hidup (2 Desember 2018 - 2 Desember 2019)
Awal mulanya pada tanggal 02 Desember 2018, telah terjadi Kontak senjata antara TNI-POLRI dan TPN-PB di Nduga Papua yang mengakibatkan terbunuhnya para pekerja Istaka Karya 19 orang, dengan status jelas adalah aparat TNI-POLRI. Kejadian ini pula mengakibatkan operasi Militer Indonesia besar-besaran di Nduga, baik itu terror, intimidasi, penembakan brutal, pengeboman lewat udara, pembakaran Honai (rumah warga) dimana-mana, pembakaran fasilitas umum, penghancuran rumah dan kantor-kantor (bangunan kantor distrik, puskesmas, gereja, sekolah dan rumah-rumah guru).
Awal mulanya pada tanggal 02 Desember 2018, telah terjadi Kontak senjata antara TNI-POLRI dan TPN-PB di Nduga Papua yang mengakibatkan terbunuhnya para pekerja Istaka Karya 19 orang, dengan status jelas adalah aparat TNI-POLRI. Kejadian ini pula mengakibatkan operasi Militer Indonesia besar-besaran di Nduga, baik itu terror, intimidasi, penembakan brutal, pengeboman lewat udara, pembakaran Honai (rumah warga) dimana-mana, pembakaran fasilitas umum, penghancuran rumah dan kantor-kantor (bangunan kantor distrik, puskesmas, gereja, sekolah dan rumah-rumah guru).
Operasi sadar yang dilakukan oleh Aparat TNI-POLRI ini menimbulkan Tragedi Kemanusiaan di Nduga, yang terus terjadi sampai saat ini tepat 1 tahun (2 Desember 2018 - 02 Desember 2019) masyarakat Nduga mengungsi lebih dari 12 distrik yang sudah tak berpenghuni lagi. Jumlah pengungsian-nya pun sudah melebihi 45 ribu orang. Mereka mengungsi ke gunung-gunung yang dikelilingi oleh hutan belantara, ada juga yang mengungsi ke Kabupaten Wamena, Puncak Papua, dan Timika.
Dari pengungsian tersebut, telah mengakibatkan nasib 700-An lebih Pelajar SD – SMU Nduga terbengkalai dan tidak dapat menerima pendidikan dengan baik sampai hari ini. Belum lagi seluruh mahasiswa Nduga yang terlantar nasib pendidikannya akibat exodus besar-besaran di seluruh kota study yang ada di Negara Indonesia, yang dikarenakan kejadian rasisme Surabaya oleh perlakuan beberapa aparat TNI-POLRI dan Ormas Reaksioner pada tanggal 16-17 Agustus 2019 lalu, dan juga kejadian terror dan intimidasi dimana-mana akhir dari rasisme itu.
Sampai saat ini (Desember 2019) telah tercatat 238 lebih Rakyat Nduga yang meninggal, yang diakibatkan oleh kurangnya Makanan, Sakit, Dan Lelah Saat Mengungsi. Bahkan adapula yang dibunuh oleh Militer Indonesia, yang secara membabi buta menyerang rakyat sipil di Nduga, dengan kejadian pengeboman pada tanggal 04 Desember 2018, dan penyerangan-penyerangan lainnya. Tanpa disadari, ini adalah penindasan manusa Nduga yang sangat tidak manusiawi oleh system pendekatan hukum degara lewat aparat Militer Indonesia yang bisa dibilang telah melakukan pelanggaran HAM Berat (Pembunuhan Manusia), terror dan intimidasi secara langsung kepada masyarakat Nduga, Papua.
Melihat masyarakat yang dipaksa keluar dari tempatnya untuk bertahan hidup dikarenakan konflik bersenjata yang terjadi sejak 2 Desember 2018 hingga saat ini masih terus berlangsung, terjadi pengiriman pasukan besar-besaran di Nduga Papua. Menurut data investigasi berita online (jubi.co.id; tirto.id; bbc.com; merdeka.com), tercatat bahwa pada tanggal 04 Desember 2018, terjadi pengiriman 153 pasukan gabungan TNI dan POLRI dikirim sebagai pasukan khusus untuk memburu TPN-PB di Nduga;
Pada tanggal 05 Desember 2018, terjadi penambahan pasukan RAIDER dengan keahlian tempur dikirim oleh KODAM XVII Yonif 751/Vira Jaya Sakti yang bermarkas di Sentani, Jayapura; Pada tanggal 09 Maret 2019, penambahan 600 pasukan TNI dikirim oleh Batalyon 432 KOSTRAD Makassar dan Batalyon Zipur 8 Makassar; Pada tanggal 04 Juli 2019, Seorang anak perempuan berusia 1 tahun diduga disandera aparat setelah ibunya dibunuh; Pada tanggal 12 Agustus 2019, 200 personil BRIMOB didatangkan ke Timika dan selanjutnya ditempatkan (tugas) di Nduga, Puncak dan Puncak Jaya; dan pada tanggal 10 Oktober 2019, tercatat juga 5 orang Jenaza pengungsian ditemukan di Mbua, ditemukan dalam satu lubang yang ditutupi oleh daun-daunan sebelum ditimbun tanah. Hal ini, perlakuan pembunuhan dilakukan oleh aparat TNI-POLRI yang lagi bertugas disana.
Dalam situasi krisis kemanusiaan yang sangat serius ini, pemerintah Papua dan Pemerintah Pusat hanya sibuk dengan membahas DOB (Pemekaran Provinsi dan Kabupaten Baru di Papua). Bahkan yang menjadi trending topik adalah rekrutmen relawan untuk mensukseskan PON 2020 di Papua, yang dikerjakan oleh KNPI dengan dana yang sangat besar sampai setiap orang relawan digaji jutaan Per- bulan. Bagi saya ini adalah pengalian isu oleh Negara Indonesia untuk melupahkan, menghilangkan dan membiarkan isu tragedi Nduga-Papua tetap dalam kekejaman (Pembunuhan Manusia) Pelanggaran HAM berat tanpa ada solusi kemanusiaan bagi keselamatan masyarakat Nduga.
Sebagai sesama Orang Papua, ketika melihat saudara kita (Masyarakat Nduga) yang dibunuh, mengungsi, dan mengalami krisis kemanusiaan yang belum berakhir. Pertanyaan-nya, apakah Nduga Bukan Papua ? Apakah Pengungsi Nduga bukan manusia sebagai sesama rakyat Papua ? Apakah Pemekaran Provinsi (DOB) lebih penting dari pengungsi dan pelajar-mahasiswa exodus yang terlantar di Nduga ? Apakah PON 2020 lebih penting dari 238 lebih korban meninggal di Nduga ? Kita semua sama-sama manusia yang terlahir sebagai orang asli Papua (OAP) dan seharunya hidup bebas tanpa Intimidasi, Teror dan Pembunuhan dalam bentuk penindasan apa pun di atas negeri kita sendiri.
Sebelum memasuki perayaan Natal 2019, mari kita refleksikan sejenak Tragedi Kemanusiaan yang terjadi di Nduga semenjak tanggal 02 Desember 2018 hingga kini. Kiranya pemerintah Papua dan seluruh masyarakat Papua harus sadar bahwa rakyat Papua, khususnya masyarakat Nduga telah menjadi pengungsi diatas tanah-nya sendiri dan telah menjadi korban pembunuhan dari kebiadaban (klonialisme) pendekatan militer Indonesia, yang telah mengakibatkan 238 jiwa rakyat Nduga meninggal dunia dan ribuan rakyat Nduga mengungsi selama setahun.
Perlunya kita sebagai Rakyat Papua baik itu Pemerintah, LSM, Agama, Akar Rumput, Pelajar dan Mahasiswa, maupun juga lembaga hukum Indonesia dan Internasional harus menekan kepada Pemerintah Indonesia (Pusat) agar segerah membuka akses jurnalistik nasional dan internasional di Nduga, dan melakukan suatu tindakan hukum yang kongkrit untuk menyelesaikan kasus tragedi kemanusiaan ini. Sebab kalau tidak maka masyarakat Nduga akan punah dengan sendirinya. Saran kongkrit saya kepada pemerintah Papua dan seluruh elemen-sosial masyarakat yang peduli kepada Tragedi Kemanusiaan Nduga agar segera meminta Presiden Jokowi Dodo untuk menarik seluruh operasi aparat TNI-POLRI yang ada di Nduga, baik itu pasukan organik maupun non organik sebagai solusi kongkrit penyelesaian masalah ini.
Penulis adalah aktivist Self-Determination
Sumber:
- Media Online (jubi.co.id; tirto.id; bbc.com; merdeka.com)
- Kajian data diskusi ilmiah Mahasiswa Nduga, 03 Desember 2019