Gambar: Asrama Mahasiswa Papua Makassar |
Oleh: Beyas C Ap
Masih ingat kah peristiwa rasisme Surabaya hingga orang Papua protes dengan berbagai demonstrasi di mana-mana? Anda adalah salah satu korban, juga menjadi bagian dari ribuan mahasiswa Papua yang pulang akibat ujaran rasis itu? Masih ingatkah ormas-ormas bentukan tentara itu mengatasnamakan warga Makassar lalu mengepung asrama Mahasiswa Papua pasca rasisme Surabaya?
Karena kejadian itu banyak Mahasiswa alami trauma yang panjang. Belum lama pulih, muncul lagi isu miring atas peristiwa kecelakaan lalu lintas dan kelalaian lakalantas (Pada 27/02) di Dogiai. Sekelompok manusia tak bertanggung jawab memanfaatkan peristiwa tersebut menyebarkan informasi provokatif, kebencian yang berujung mengadu-domba, bahkan mengundang ujaran rasis kepada orang Papua. Dampaknya mahasiswa Papua di Sulawesi kembali terteror. Banyak mahasiswa yang tak dapat beraktivitas kuliah dengan baik. Ketakutan itu kembali menguasai pikiran.
Darimana sumber ketakutan itu?
Begini, kawan! Rasisme, kebencian antar-sesama manusia, saling membunuh, itu semua ulah dari penjajahan Indonesia di Papua. #Tudepoin saja! Keberadaan Pemerintah Indonesia di Papua hanya untuk mengambil semua sumber Daya Alam Papua. Mereka menguasai Papua, mengambil semua Kekayaan, lalu dipakai untuk kepentingan mereka sendiri. Orang Papua dapat apa? Rasisme, pembunuhan, pembantaian, pengejaran, kemiskinan, terpinggir di atas negerinya sendiri, juga penderitaan. Kebaikan Indonesia hanya satu, Iaitu membiarkan orang Papua menentukan Surga atau Neraka. Kalau hidup didunia ini, mesti harus dikontrol setiap hari. Mau jadi DPR Kah, Bupati Kah, Gubernur kah, Tentara Kah, Polisi kah: orang Papua itu sama di mata NKRI: Monyet terjajah.
Kembali ke propaganda murahan atas Peristiwa Kecelakaan dan kelalaian Lakalantas tadi. Peristiwa yang tak ada kaitannya dengan OPM, KNPB tapi media massa dan social media terus mengkriminalisasi ketua KNPB Dogiai. Padahal Beliau klarifikasi bahwa Ia tak ada di TKP saat itu. Tidak hanya itu! Mahasiswa Papua terteror psikologi akibat postingan-komentar provokaitf di sosial Media, mencoba mengadu domba antara sesame rakyat tertindas. Media Nasional juga akun-akun FB palsu banyak memberikan komentar, memberitakan informasi yang miring. Mereka membangun opini seakan-akan kejadian Dogiai adalah tindakan OAP vs Warga Sulawesi. Atau mencoba mengadu domba antara warga kulit putih dengan hitam. Itu tidak benar. Dan warga Sulawesi juga tauh siapa dalang dibalik itu semua.
Anda tahu siapa yang memainkan sentimen rasis itu? Mereka adalah Buzzer. Buser ini sekelompok orang yang didanai oleh Negara untuk memprovokasi isu tentang Papua, mengadu domba antara sesame rakyat. Mereka ada dibawa pemerintah Kolonial Indonesia. Mereka gunakan akun-akun palsu untuk sebar kebencian, kreasi video-video provokatif di youtube, buat berita-berita miring. Misalnya mereka gunakan diksi “Babi sama harganya dengan Nyawa” untuk kejadian Dogiai ini. Padahal kronologi dan hasil olah TKP oleh Kapolda Papua mengatakan bahwa ini murni kecelakaan lalu lintas dan kelalaian lakalantas; semua anggota Polisi yang di TKP juga akan diperiksa, juga pelakunya meninggalnya Sopir YY akan diusut oleh Polisi.
Sekalipun demikian, Mahasiswa Papua Makassar tetap terteror dengan bom informasi miring disebar yang diatur sedemikian rupa. Sampai ada rekaman suara yang beredar via akun WhatsAp bahwa “orang Papua di Makassar jangan dulu keluar asrama, Kos-kosan”. Tambah meneror lagi dengan komentar-komentar rasis, tak sedap oleh akun-akun FB palsu. Lebih gila lagi video kejadian pengepungan Asrama Papua Makassar tahun lalu (2019) itu di sebar ulang dengan #hestek #AramaPapuaMakassardiserang|#Babi_samaharga_dengan_nyawa, dll. Tentu jelas motifnya. Hal itu membuat Mahasiswa Papua Makassar terteror dan sulit beraktivitas siang juga malam hari.
Mereka (Mahasiswa) masing-masing terkurung dalam asrama, juga kos-kosan. Sangat berhati-hati keluar masuknya. Minggu, 1 Maret kemarin disebar informasi tentang akan ada penyerangan ke asrama Papua. Entah darimana sumbernya, informasi itu masuk ke Asrama Papua, bahkan mahasiswa Papua satu kota Makassar dapat kebagian; tak banyak mahasiswa yang bisa tidur dengan nyaman akibat Bom Info Hoax tersebut.
Kapolda sudah memberitakan hasil olah TKP Kejadian itu murni kecelakaan dan kelalaian lakalantas. Artinya taka ada hubungannya dengan orang Papua dan Sulawesi, kulit putih dengan Hitam, atau sentiment lainnya. Kecelakaan lalu lintas itu tak direncanakan. Tidak juga dibicarakan, direncanakan bersama oleh kelompok, atau masyarakat Papua. Dalam kejadian itu dua orang telah meninggal dunia, dan kita semua tidak menginginkan kejahatan itu terjdi.
Artinya bila itu ada orang yang senantiasa mengadu domba, menggiring opini public ke dalam pandangan rasis, sentiment hitam dan putih, maka itu tak jauh beda dengan kejadian di Surabaya pada 2019 lalu. Kita semua tahu siapa pelaku rasisme, siapa yang suka mengadu domba antara warga. Mesin pembuat HOX, isu-isu miring, provokatif itu Negara. Karena Negara memiliki sarana produksi: Media, Tentara, Penjara, dan UU. Peristiwa Surabaya mesti jadi pelajaran untuk mencari tahu siapa dalang penyebar kebencian dan provokator itu. Aparat Tentara RI dan Ormas-ormas binaan Tentara itu pelakunya. Ormas-ormas itu selalu menggunakan nama besar warga setempat. Kejadian di Surabaya ormas-ormas (pelaku) itu mengatasnamakan warga Surabaya. Tapi pelakunya tak semua warga Surabaya. Mereka adalah ormas-ormas bayaran. Buktinya banyak solidaritas yang datang dari mana-mana, termasuk warga kota Surabaya sendiri. Begitu juga di Makassar. Banyak warga yang mengalami sengsara akibat ulah pemerintah dan peraturannya serta tindakan-tindakan main hakim sendiri oleh aparat Negara. Banyak warga yang tergusur sepanjang jalan Petterani. Ada pula warga yang tergusur di Bara-Baraya. Banyak wartawan menjadi korban kekerasan aparat saat meliput. Warga Sulawesi juga sering jadi korban represif, ruang-ruang demokrasinya dibungkam saat mereka perjuangkan nasib mereka, mempertahankan hidup mereka di Sulawesi tanah tumpa darah mereka ini. Bahkan terjadi DO besar-besaran di sejumlah kampus hanya karena mahasiswa-mahasiswa itu berdiri di barisan ketidak-adilan dan berjuang bersama rakyat ketika reformasi dikorupsi.
Pendeknya Penguasa ingin dan selalu putar otak untuk perpecahan itu terjadi. Warga tertidas terus saling benci, saling bermusuhan, itu kebahagiaan kaum penguasa. Sebab Ia tak ingin rakyat Papua, Sulawesi, Jawa, rakyat tertindas lainnya di Negeri ini bersatu, dan melawan penindasan. Ia hendaki tak boleh rakyat bersatu, apa lagi bersama bergerak mengakhiri tirani. Oleh itu kebencian itu ia terus produksi, disebarluaskan melalui sarana yang negara miliki: media, tentara, UU yang diskriminatif, memproduksi kebijakan pro pemodal, dan seterus.
Negara ini telah menciptakan sengsara bagi umat manusia di Negeri ini. Tidak hanya kepada bangsa Papua, juga di Sulawesi, Jawa, di mana-mana. Bila NKRI ini sedang baik-baik saja tak mungkin buruh dan mahasiswa turun ke jalan, kepalkan suara perlawanan. Tak mungkin buruh turun ke jalan-jalan menuntut hak mereka. Tak mungkin mahasiswa itu berdemonstrasi. NKRI itu penjajah bagi bangsa-bangsa di Nusantara ini. Negara ini manfaatnya diperuntukkan kepada pemodal, yang dong sebut Kapitalisme Global; kesengsaran yang dinikmati warga kelas bawa.
Salam Perjuangan!
Medan Juang, 4 Maret 2020
*Penulis adalah penulis lepas di koran kejora