Diskusi di Mataram AMP dan Solidaritas,01 July 2021 |
Laporan Diskusi Terbuka 1 Juli 2021 di Mataram
Kota Mataram -- Diskusi ini digelar hari Kamis (1/7/21) sore di Lapangan Rektorat Unram. Kegiatan berlangsung dengan gairah 1 Juli: 50 Tahun Proklamasi Kemerdekaan Bangsa West Papua (01 Juli 1971-01 Juli 2021). Mengambil tema Demokrasi dan HAM di Papua, maka pemantiknya diusung dua kawan: (1) Kamerad Rangga (PEMBEBASAN Kolkot Mataram) memapar mengenai demokrasi dan (2) Kamerad Nyamuk (AMP KK Lombok) mendedah terkait pelanggaran HAM.
Hadir dalam diskusi itu beragam organisasi kemahasiswaan: Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) Cabang Mataram, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Mataram, dan Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Mataram. Atas perhatian dan keterlibatan kalian, kami ucapkan terima kasih kawan-kawan. Hormat, kamerad!
Bersama mereka diskusi kami langsungkan. Walau terus dipantau gerombolan intel--yang bergentayangan di sekitar lokasi--dan sesekali mendapat teguran satpam--sebelum kawan-kawan undangan* datang, tapi kegiatan terus dijalankan. Hanya dalam memperingati 1 Juli sebagai Hari Proklamasi Kemerdekaan West Papua, pembahasan tetap berpatok pada tema: Demokrasi dan HAM di Papua.
Garis besar diskusi itu memandang bahwa demokrasi dan HAM di Papua berada dalam kubangan mengerikan dan hina. Soalnya kebebasan dan kemanusiaan tidak ditemukan mekar dan berjaya di sana. Daripada hidup merdeka dan setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia; mereka justru dikerangkeng dalam situasi masyarakat terjajah.
Garis besar yang disampaikan Pemantik I (Kawan Rangga) ialah mengenai pengabaian hak-hak ekonomi-politik dan sosial-budaya Rakyat-Bangsa West Papua. Itulah mengapa Papua dan Papua Barat bukan hanya menempati peringkat provinsi paling miskin di Indonesia, tapi juga menjadi daerah paling tinggi tingkat kekerasan, kematian dan angka buta hurufnya.
"Kemiskinan di tanah Papua sebenarnya berlangsung di atas perampokan sumber kekayaan alam oleh perusahaan-perusahaan asing maupun korupsi-korupsi yang dilakukan elit-elit birokrasi. Sementara kekerasan, kematian, dan buta huruf diperuncing oleh pendropan pasukan militer organik dan non-organik: Keberadaan TNI-Polri di tanah Papua memiliki fungsi: menjaga kegiatan sirkulasi dan akumulasi kapitalis. Mereka menjaga pelbagai perusahaan nasional dan multinasional. Mereka membangun pos-pos militer di segala tempat kontrol-strategis dan melakukan aneka pelanggaran HAM. Mereka menguasai pusat-pusat layanan umum: puskesmas, rumah sakit, hingga sekolah-sekolah dari beragam tingkatan."
Sedangkan dari Pemantik II (Kawan Nyamuk), kami menggarisbawahi: Rakyat-Bangsa Papua telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961, tapi kesempatan merdeka kontan dihancurkan oleh operasi militer hingga beragam perjanjian dan kesepakatan yang tidak demokratis.
"Tahun 1952, Pemerintah Belanda telah memberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua sesuai dengan Pasal 73 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada 5 April 1961, Orang Asli Papua (OAP) membentuk Dewan New Guinea sebagai Parlemen Papua yang bertanggung jawab untuk merancang dan melaksanakan kemerdekaan penuh. Tepat 19 Oktober 1961, New Guinea Raad mengadakan Kongres Nasional I Papua di Hollandia yang menetapkan simbol-simbol bagi Papua Barat: Lagu kebangsaan 'Hai Tanahku Papua', bendera nasional Papua Barat 'Bintang Kejora', dan memutuskan nama negara 'West Papua' dengan lambangnya 'Burung Mambruk'. Namun laju kemerdekaan kemudian diluncurkan oleh beragam prahara: Operasi Trikora (19 Desember 1961; New York Agreement (15 Agustus 1962); Roma Agreement (30 September 1962); Peralihan Tanah Papua dari Belanda ke UNTEA (1 Oktober 1962; Aneksasi Papua Ilegal (1 Mei 1963); dan Pepera Kriminal (14 Juli-2 Agustus 1969)."
Dari paparan para pemantik, peserta diskusi bersepakat akan buruknya kondisi demokrasi dan HAM di Papua. Bagi Kawan Yudit (FMN), apa yang berlangsung di Papua serupa dengan pelanggaran HAM di Pulau Lombok. Di Lombok Timur misalnya, berlangsung perampasan tanah petani Sembalun oleh negara dan PT Sembalun Kusuma Emas (SKE) guna melancarkan program Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Kini, lahan seluas 183 hektare direnggut paksa untuk kepentingan kapital (modal-pariwisata) melalui tangan-tangan aparatus represif negara.
Sedangkan disampaikan Kawan Angga (SMI) bahwa pelanggaran HAM bukan hanya soal militerisme tapi juga keterbatasan akses pendidikan. Baginya, pemerintah yang tidak memberikan kesempatan kepada kaum miskin untuk mengecap bangku sekolah merupakan bentuk pelanggaran atas hak sosial-budaya. Di Indonesia inilah persoalan yang sampai sekarang ditentang oleh Kawan-Kawan SMI. Sementara untuk Papua, dia mengakui paparan dari para pemantik terkait berlangsungnya kejahatan kemanusiaan yang jauh lebih parah lagi.
Kejahatan kemanusiaan itu persis yang ditambahkan Kawan Manu (IMAPA). Bahwa di tanah Papua, bukan hanya diselimuti militerisme melainkan pula rasisme. Keduanya menerabas pelbagai lini kehidupan Rakyat-Bangsa West Papua. Serdadu membunuh pelajar dan pendeta, melecehkan anak-anak gadis dan ibu-ibu, meneror dan mengusir warga dari desa-desanya, serta terus-menerus mengeriminalisasi aktivis-aktivis mahasiswa dan KNPB.
Bagi, Kawan Nyamuk: jalan keluar untuk menyelamatkan demokrasi dan HAM di Papua adalah dengan memberikan Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua. "Kami harus merebut kembali kedaulatan kami yang sejak 19 Desember 1961 dirampas melalui Operasi Trikora Indonesia. Kami mesti kembali menjadi rakyat yang berdaulat di atas Tanah-Air Bangsa West Papua."
Hanya pendapat yang mengharuskan adanya referendum itu mendapat tanggapan dari Kawan Angga. Baginya, SMI secara nasional sangat berhati-hati dalam memandang HMNS. "Referendum yang mana dulu yang diinginkan Papua: Referendum Borjuis atau Referendum Proletar? Jika berbicara tentang solidaritas, kami bersolidaritas terhadap gerakan kaum tertindas. Tapi terkait Papua, harus ada syarat obyektif menuju revolusi kemerdekaan dan program revolusioner."
Menanggapi pernyataan itu, Kawan Yohanes (PEMBEBASAN) angkat bicara. Bahwa gerakan rakyat Papua merupakan perjuangan demokratis. "Kaum proletariat yang terorganisir dan partai kelas pekerja memang belum terbentuk di Papua, karena tidak ada kebebasan yang diberikan kepada rakyat untuk mendirikan serikat-serikat buruh dan partai-partai lokal. Tapi: di sayap mahasiswa ada AMP; di sayap rakyat ada KNPB; di sayap internasional ada ULMWP; dan di sayap militer ada TPNPB. Rata-rata di antara mereka memeluk paham dan gerakan sosialis. Itulah mengapa banyak dari mereka yang tidak sepakat dengan kepemimpinan elit-elit daerah yang menjadi bagian kelas borjuis dan menerapkan aksi massa dan pemogokan sebagai metode perjuangan."
Meski HMNS sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua menjadi perdebatan antara AMP dan PEMBEBASAN dengan SMI, tapi pandangan ketiganya mengenai persoalan HAM di tanah Papua bisa bertemu. Dalam kondisi inilah jalannya diskusi tidak sampai menimbulkan perdebatan yang lama. Akhirnya, diskusi yang dibuka pukul 16.05 Wita bisa diselesaikan pada 18.10 Wita.
***
Walau tak membahas tuntas tentang hak demokratis (referendum), tapi setidaknya kegiatan ini secara inheren menjadi bentuk peringatan 50 Tahun Kemerdekaan Bangsa West Papua (01 Juli 1971-01 Juli 2021). Bagi kami (AMP KK Lombok dan PEMBEBASAN Kolkot Mataram): diskusi Demokrasi dan HAM di Papua, pada Kamis (1/7/21), mengandung semangat protes 1 Juli 1971. Terutama menentang kekuasaan yang telah lama meluncurkan hak-hak asasi dan nilai-nilai demokrasi.
Dengan mendiskusikan persoalan Demokrasi dan HAM di Papua--praktik kolonialisme: militerisme dan rasisme, kami pikir kegiatan diskusi itu mencoba mengingat kembali apa-apa yang dibawa oleh letusan protes 1 Juli 1971. Dalam rekaman sejarahnya; momentum Hari Proklamasi Kemerdekaan West Papua ini merupakan gerakan penolakan kolosal terhadap Trikora, New York Agreement, Roma Agreement, Peralihan Tanah Papua dari Belanda ke UNTEA, Aneksasi Papua Ilegal, dan terutama Pepera Kriminal. Persis yang tertulis pada materi AMP tentang Tujuan Proklamasi 1 Juli 1971:
1. Menyatakan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dunia Internasional dan Pemerintah Republik Indonesia, bahwa Rakyat Papua Barat tidak setuju dan secara tegas menolak hasil pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 yang tercacat dalam agenda Resolusi PBB NOMOR 2504 /VI/ tanggal 19 November 1969 yang menyatakan bahwa Papua Barat adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia.
2. Menyatakan kepada dunia Internasional dan Pemerintah Republik Indonesia bahwa terhitung tanggal 1 Juli 1971 Rakyat Papua Barat kembali mengibarkan Bendera Negara Republik Papua Barat. Yaitu sang Bintang Fajar di bumi Papua Barat yang pernah dikibarkan pada tanggal 1 Desember 1961 dan diturunkan tanpa hormat oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963.
3. Menyatakan kepada Dunia Internasional, bahwa Rakyat Papua Barat memohon dengan hormat kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mengembalikan dan mengakui kemerdekaan Republik Papua Barat pada 1 Desember 1961 sesuai UUD 1945 pembukaan alinea pertama yang mengatakan; "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab ini, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusian dan peri-keadilan."
4. Menyatakan kepada Dunia Internasional dan Pemerintah Republik Indonesia bahwa Rakyat Papua Barat menolak dengan tegas pelaksanaan pemilihan (UMUM) di tanah Papua pertama kali pada tanggal 15 Juli 1971.
5. Menyatakan kepada Dunia Internasional bahwa terhitung pada tanggal 1 Juli 1971 Rakyat Papua Barat (BERTEKAD) menghihupkan kembali induk Organisasi Kemerdekaan Rakyat Papua Barat yang dikenal dengan nama; ORGANISASI PAPUA MERDEKA yang disingkat OPM.
6. Menyatakan kepada Dunia Internasional dan Pemerintah Republik Indonesia bahwa terhitung pada tanggal 1 Juli 1971 UUD/KONSTITUSI SEMENTARA Republik West Papua disahkan dan mulai berlaku sebagai dasar hukum untuk membentuk dan mengatur Pemerintah Republik Papua Barat di tanah Air Papua.
*Dalam diskusi terbuka ini kami mengundang beragam organisasi. Hanya kepada Kawan-Kawan SMI Cabang Mataram, FMN Cabang Mataram, dan IMAPA Mataram--kami mematut sikap hormat dan pernyataan terima kasih. Sementara terhadap BEM Unram, PMKRI Cabang Mataram, HMI FH Unram, HMI FEB Unram, HMI Lafran Pane Unram, HMI FKIP Unram, HMI Muhammadiyah Ummat, HMI Darwis Ummat, dan HMI FEBI UIN-Ma--dinyatakan: kami tidak sedikitpun berkecil hati atas ketidakhadiran kalian dan kami yakin suatu saat kita akan berdiskusi bersama--terutama mempertentangkan ide dan gagasan.