Aksi Demo damai Peringggati Trikora awal kolonialisme di papua di refresif oleh ormas reaksioner dan pihak kepolisian, Sesuai seruan aksi nasional, Komite Kota Aliansi Mahasiswa Papua [KK-AMP] Semarang menggelar aksi demo damai memperingati Hari Trikora ke-61. Semarang, Minggu (19/01/21) .
Namun dalam prakteknya pihak kepolisian menggambil alih untuk merefresif dan biarkan ormas reaksiner terus berulah hingga kami di bawah ke Porlesta sedangkan tempat aksi kami bukan di porlesta dan biarkan oramas terus berulah
Berikut ini Kronologisnya sebagai berikut:
Pada sekitar Pukul 07 : 20 WIB, kawan-kawan memantau di titik kumpul, terlihat di sana beberapa anggota Kepolisian dan Intel Polres Semarang sudah lebih duluh stand by. Di sebelahnya, tepat depan kantor Telkomsel Pleburan puluhan anggota Ormas Garda Pengawal Nusantara berdiri bersama sebagian anggota Polisi berdiri bersama mereka.
Selanjutnya, semua kawan-kawan berkumpul di depan kampus Undip Pleburan. Kemudian jalan menuju depan Patung Kuda untuk memulai aksi demo. Saat hendak memulai aksi yang dipimpin Koorlap Ricarda Ogetay, langsung direpresi oleh Aparat. Negosiator aksi mencoba negosiasi tapi Kepolisian bersikeras ingin membubarkan aksi tanpa memberikan alasan. Massa tetap bertahan sambil menyampaikan orasi-orasi politik tentang sejarah Trikora dan situasi terkini di Papua seperti Operasi Militer di Nduga, Timika, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Maybrat, Yahukimo yang mengakibatkan 60.000 warga Papua mengungsi.
Namun kepolisian tetap bersikeras membubarkan massa aksi. Beberapa menit kemudian sekitar Pukul 9 : 25 anggota Kepolisian menggunakan motor ke arah massa aksi untuk membubarkan aksi demo damai ini. Dibelakang Kepolisian Ormas Nusantara lari sambil teriak "bubar, bubar," dengan nada keras.
Selanjutnya, tejadi saling dorong. Hingga massa aksi AMP didorong naik kedalam mobil Dalmas, sebagian tetap bertahan namun didorong dengan cukup represif. Dalam kondisi ini beberapa kawan kena luka sobek dan baju ikut sobek. Lalu massa diangkut ke Polrestabes Semarang sekitar Pukul 10: 15 WIB. setelah sampai di Polrestabes Kepolisian membiarkan massa berada di halaman dalam. Sehingga kawan-kawan berisiatif untuk keluar berorasi di pintu Masuk Polrestabes. Saat hendak menyampaikan orasi, dihalang-halangi oleh beberapa Polisi sehingga sempat terjadi adu peedebatan. Namun aksi tetap dilanjutkan dengan penyampaian orasi-orasi poltik dan nyanyian perjuangan hingga Pukul 11 : 30.
Berikut Pernyataan Sikap yang dibacakan oleh Koordinator Umum Kansas Mom:
PERNYATAAN SIKAP
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Semarang
Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak. Wawawawawawa...wa...wa...wa...wa!
"TRIKORA 19 DESEMBER 1961 AWAL KOLONIALISME INDONESIA DI PAPUA"
Akhir-akhir ini menunjukan Papua tidak baik-baik saja. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara masif melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam Papua melalui berbagai izin usaha yang ilegal. Untuk meloloskan dan mengamankan kepentingan pemodal / kapitalis itu dibangun pos-pos dan markas alat kekerasannya yaitu TNI-Polri di setiap wilayah. Dalam prakteknya TNI-Polri sebagai alat negara / kapitalis menjadi pekerja dan mengamankan proyek sehingga terjadi kekerasan baik rakyat sipil, anggota TNI-Polri maupun TPNPB. Dalam kurun waktu 2017-2021 terjadi pengungsian secara massal di beberapa wilayah diantaranya Nduga, Timika, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Maybrat dan Yahukimo. Dewan Gereja dalam laporan terbaru melaporkan lebih dari 60.000 rakyat Papua mengungsi. [1] Artinya selama 4 tahan berturut-turut rakyat Papua tidak merayakan Natal sebagai Hari Besar umat Kristen. Selain disebutkan diatas, proses pemiskinan secara ekonomi, pelayanan kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak layak dan persoalan di berbagai sektor dilakukan negara dengan sadar dan terencana.
Semua persoalan yang dihadapi rakyat bangsa Papua ini bukan terjadi baru-baru ini. Tetapi disebabkan oleh proses sejarah yang panjang, terutama di dalam cengkraman Kolonialisme NKRI selama 61 tahun ini.
Pada 19 Desember 1961 bertempat di Alun-Alun Utara, Kota Yogyakarta Presiden pertama RI, Ir. Soekarno membacakan seruan Trikora (Tri Komando Rakyat) yang isinya: pertama, bubarkan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda. Kedua, kibarkan bendera merah-putih di seluruh tanah Papua. Ketiga, bersiap untuk mobilisasi umum guna mempertahankan dan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air kita. [2] Seruan ini menandai tonggak sejarah kolonialisme NKRI di West Papua.
Nafsu Soekarno untuk menguasai Papua didorong beberapa hal diantaranya: pertama, ingin mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit. Kedua, Klaim atas kekuasaan Tidore. Ketiga, Papua dan Indonesia sama-sama dijajah Belanda. Keempat, mengusir pengaruh imperialisme Belanda di Asia Tenggara. Dari dua klaim diatas tidak ada bukti ilmiah yang dapat dibuktikan. Sedangkan klaim ketiga (sama-sama jajahan Belanda) tidak dapat dijadikan alasan karena wilayah administratif Hindia Belanda berada di Batavia (Jakarta). Sedangkan pemerintahan kolonial Belanda di Papua bernama Netherlands Niuw Guinea dengan ibu kota Holandia (Jayapura). Prinsip Hukum Uti Posidetis untuk wilayah Papua sudah tidak relevan dijadikan dasar klaim Teritorial Indonesia sejak wilayah Papua masuk dalam daftar Komisi Dekolonisasi (C-24) sebagai wilayah tidak berpemerintahan sendiri. Atau dengan kalimat sederhananya adalah bahwa wilayah Papua bukan milik siapa-siapa, bukan milik Indonesia ataupun Kerajaan Belanda.
Dengan demikian, klaim Ir. Soekarno tersebut diatas dapat disebut KOLONIALIS, RASIS, dan FASIS. Karena Indonesia yang merdeka dari Belanda mencoba mempraktekan dominasi baru terhadap bangsa Papua. Hal ini pernah disebut Wakil Presiden pertama RI, M. Hatta dalam sidang BPUPKI “Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua tidak sama sekali saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka.” Dengan menganggap Negara Papua yang dideklarasikan pada 1 Desember 1961 sebagai “boneka’ Soekarno berlaku rasis dan merendahkan martabat bangsa Papua bahwa bangsa Papua tidak dapat menentukan kemauan politik dan tidak dapat menentukan nasib sendiri. Fasis karena realisasi dari isi Trikora dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. [3]
Militerisasi di Papua sudah pada level yang teramat memprihatinkan dan telah terbukti gagal menghentikan bahkan memperburuk eskalasi kekerasan di tanah Papua. Bahkan hal ini juga sudah disadari, salah satunya, oleh Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih Mayor Jenderal Ignatius Yogo Triyono. Dikutip dari Majalah Tempo beberapa waktu lalu, ia menyatakan mendukung pendekatan dialog untuk mengatasi konflik di Papua dan melakukan kontak tembak, tapi dengan syarat dialog itu tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Serangkaian penjelasan di atas dapat menyimpulkan bahwa akar permasalahan yang terjadi di West Papua adalah cacatnya sejarah integrasi. Kondisi ini kemudian membuahkan praktek militerisasi yang berimbas pada maraknya pelanggaran HAM (pembunuhan di luar hukum, penangkapan, penyiksaan, pembungkaman kebebasan berpendapat), penyingkiran Orang Asli Papua (OAP), dan kerusakan lingkungan. Karenanya diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni hak menentukan nasib sendiri. Tentu dengan tidak mengesampingkan demiliterisasi di Papua terlebih dahulu.
Dalam rangka menyikapi 19 DESEMBER 1961 AWAL KOLONIALISME INDONESIA DI PAPUA tersebut hingga 60 Tahun, penyiksaan, pemerkosaann, penindasan, pengisapan, penjajahan terhadap rakyat papua terus berlangsung
Maka dari itu kami Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite kota Semarang menyatakan sikap politik sebagai berikut:
1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua
2. Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II
3. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua
4. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua
5. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia
6. Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat
7. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang
8. Usut tuntas pelaku penembakan dua anak di Intan Jaya
9. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM
10. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri
11. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya
12. Cabut Omnibus Law
13. Belanda harus bertanggung jawab untuk menuntaskan proses dekolonisasi West Papua sebagaimana pernah mereka janjikan
14. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua
15. Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung
16. Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua
17. Tolak LIN (Lumbung Ikan Nasional)
18. Stop perampasan tanah adat di Maluku (Marafenfen, Sabuai, Banggoi)
19. Bebaskan tapol hati nurani Maluku
20. Mengecam tindakan kriminalisasi aparat Brimob terhadap masyarakat Tamilouw.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat. Kami menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di West Papua untuk mendukung perjuangan bangsa West Papua dalam menentukan nasib sendiri untuk mengakhiri penipuan sejarah dan penderitaan di atas Tanah West Papua.
Medan Juang,
Semarang, 19 Desember 2021