DOC. foto saat aksi di ambi 01 desemer 2021 |
Hari bersejarah yang jatuh tepat 01 desember 2021, Tepat 60 Tahun Kemerdekaan west papua, Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota (AMP-KK) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Asosiasi Mahasiswa Papua se pegunungan tengah di indonesia (AMPTPI ) melaksanakan aksi bersama di Kota ambon di bungkam dan di refresif .
Aksi ini juga didedikasikan untuk memperingati 60 Tahun Deklarasi Kemerdekaan Bangsa West Papua
Dengan tema aksinya adalah: ‘Demiliterisasi, Cabut Perpanjangan Otsus, dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua’.
Aksi Tersebut tidak berjalan sampai ke titik aksi, di karenakan pihak ormas yang tergabung dalam Patriot Garuda Nusantara melakukan tindakan anarkis berupa penghadangan, pemukulan dan pelemparan
karena menghadapi praktik pembungkaman ruang demokrasi yang begitu rupa: direpresi hingga dipukul mundur oleh Ormas Reaksioner Patriot Garuda Nusantara (PNG) sekaligus pembiaran yang di lakukan pihak kepolisian terhadap massa aksi Aliansi Mahasiswa papua dan Front rakyat indonesia untuk west papua
Berikut ini kronologis aksi AMP, FRI WP dan AMPTPI
Kronologis
Aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Kk Ambon, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (Fri - West Papua) Kota Ambon dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI) Cabang Ambon di Gong Perdamaian Kota Ambon di represif.
10:22 WIT, sekitar 20-an lebih Intel sudah berada di sekitaran Gong Perdamaian.
10.23 WIT, massa aksi tiba di lokasi dengan menaiki 2 (dua) angkutan kota (angkot). Massa aksi dengan tertib berdiri di atas trotoar Gong Perdamaian kemudian membuka spanduk, poster dan bendera Fri - West Papua serta AMP di kibarkan. Juga 2 (dua) massa aksi membagi-bagikan selebaran dengan tema "Demiliterisasi, Cabut Perpanjangan Otsus dan Berikan Hak Menentukan Nasi Sendiri".
10:24 WIT, beberapa Intel TNI dan Polres Parigi Lima Kota Ambon mengambil foto massa aksi dengan tuntutan yang di pegang juga memfoto selebaran.
10:26 WIT, Moderator membuka aksi dan menyampaikan maksud aksi hari ini.
10:26 WIT Moderator memberikan megaphone kepada Korlap untuk menyampaikan orasi politiknya. Korlap menyampaikan pelanggan HAM di Papua dan sejarah kemerdekaan Papua.
10:31 WIT, Intel TNI dan Polres Parigi Lima Kota Ambon mulai berdatangan dan menutup massa aksi agar spanduk, poster yang dibawa massa aksi tidak bisa dilihat oleh warga sekitar Gong Perdamaian.
10:33 WIT, Moderator mengambil megaphone dari Korlap dan mengutuk tindakan represif yang dilakukan aparat TNI/Polisi terhadap orang Papua juga aksi-aksi terkait Papua. Modertor lalu mempersilahkan kawan Papua untuk menyampaikan orasinya.
10:36 WIT, ketika moderator mengambil megaphone kembali. Sekitar 10-15 intel mendatangi massa aksi, intel yang lain menyebar ke sekitaran masyarakat untuk mengancam agar tidak ada yang video maupun foto. Warga yang mendokumentasikan situasi massa aksi disuruh untuk hapus.
10:37 WIT, Moderator terus berorasi. Intel TNI dan Polres Parigi Lima mendatangi massa aksi untuk menyampaikan aksi harus di bubarkan dengan sudah berikan 10 menit untuk berorasi. Kawan Ibo kemudian berdebat dengan mereka. Setelah itu intel mendatangi kawan Abner dengan hal yang sama untuk aksi harus bubar. Melihat itu kawan Ibo dan Jum melakukan isyarat untuk massa aksi segera rapat barisan dan bordil.
10:38 WIT, Intel banyak berdatangan ke massa aksi. Kawan Ibo kemudian mengambil megaphone, memberi aba-aba ke massa untuk tetap bertahan. Massa aksi kemudian di dorong dengan teriakan bubar.
10:39 WIT, Karena massa aksi tetap bertahan aksi dorong itu menjadi represif, massa aksi dipukul mundur dan jauh dari titik aksi awal.
Massa aksi terus di pukul hingga membuat angkot, mobil dan sepeda motor warga harus terhenti (macet) karena ulah Intel. Intel terus memukul dan menarik beberapa massa aksi dari Indonesia agar terlepas dari bordil. Beberapa massa aksi berteriak karena di pukul tapi dengan semangat terus berteriak Papua Merdeka.
10:52 WIT, Karena jalanan macet yg dilakukan Intel dengan merepresif massa aksi membuat massa terhimpit oleh beberapa mobil warga. Karena terus di pukul, massa aksi memilih naik angkot yang tidak ada penumpang. Aksi brutal yang dilakukan semakin menjadi-jadi dengan memukul massa aksi, massa aksi yg sempat naik angkot ketika didepan pintu angkot di pukul, di tendang bahkan di tarik terpisah dengan sebagian massa yang sudah di angkot. Massa yang di mobil terus menahan agar massa aksi yang lain bisa masuk ke angkot. Beberapa massa aksi yang belum sempat naik angkot dipukul dengan brutal oleh intel hingga pakaiannya robek. Salah satu massa aksi dari Indonesia jatuh dan lemas karena di cekik di bagian leher.
10.57 WIT, Massa aksi yang sudah di angkot terus di pukul, Intel terus memprovokasi massa aksi. Sopir angkot pun harus turun dari angkot karena takut, ada intimidasi dari intel. Bahkan sopir meminta agar massa aksi karena takut. Sebagian Intel berteriak mengintimidasi massa aksi "yang bukan orang Papua amankan".
Massa aksi terus membujuk sopir agar mau mengantarkan massa aksi balik dan sopir pun naik ke mobilnya dan mengantarkan massa aksi ke asrama Papua.
Keterangan:
Massa aksi yang di represif dan mengalami luka-luka:
* Luka dan Lebam:
1. J (Fri), bekas lebam dileher karena dicekik, pinggang lebam dipukul, telinga kanan berdarah, jaket robek.
2. A (Fri), baju robek, lebam di punggung belakang karena di pukul.
3. O (Fri), kaki kanan luka dan berdarah.
4. P (AMP), Kening sebelah kanan robek karena dipukul.
5. H (AMP), Kepala bagian atas robek di pukul pakai kayu.
* Dipukul dan Lebam:
6. I (Fri), Lebam di pinggang karena di tendang, ditarik hingga jaket lepas di badan, jari kelingking kiri lepas.
7. W (Fri), di tarik, dipukul dan ditendang.
8. A (Fri), di tarik dan dipukul saat mau naik angkot.
9. I (Fri), Ditarik dan dipukul.
10. F (Fri), ditarik dan dipukul.
11. J (AMP) dipukul dan ditarik.
12. D (AMP) ditarik ketika melindung kawan-kawan Indonesia.
13. H (AMP) di pukul ketika melindungi kawan-kawan massa aksi.
14. A (AMP), dipukul dan ditarik hingga baju robek.
15. Y (AMP), dipukul.
16. Y (AMP), dipukul.
17. K (AMP), dipukul dan ditarik saat naik dalam angkot.
18. A (AMP), dipukul, ditendang, ditarik.
19. B (Indprodem), di tarik dari massa aksi, dipukul.
* Perlengkapan aksi:
1. Poster dan spanduk di rampas.
2. Bendera AMP di ambil.
3. Megaphone masa aksi di rusak dengan memutuskan tali megaphone.
4. Dua kacamata massa aksi dirampas
* Atribut massa aksi:
1. Sendal rusak
2. Sepatu rusak.
3. Pakaian robek karena ulah Intel.
Catatan:
Setiap orang atau masyarakat yg mengambil dokumentasi, pihak Intel menyuruh mereka untuk menghapusnya.
Berikut ini pernyataan sikap
Pernyataan Sikap
PERINGATAN 60 TAHUN DEKLARASI KEMERDEKAAN WEST PAPUA
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP)
DEMILITERISASI, CABUT PERPANJANGAN OTSUS,
DAN BERIKAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI BAGI BANGSA WEST PAPUA!
Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!
Tepat pada hari ini, 60 tahun, sebuah momentum bagi sejarah rakyat Bangsa West Papua. Pada 01 Desember 1961, rakyat bangsa West Papua mendeklarasikan kemerdekaan. Sejak itu, untuk pertama kali bendera Bintang Kejora berkibar di Kota Hollandia atau Jayapura. Peristiwa tersebut bukanlah aksi spontan, namun telah dilandasi dengan kesadaran kebangsaan rakyat. Ketika West Papua masih menjadi wilayah sengketa antara Indonesia dan Belanda, tuntutan kemerdekaan rakyat West Papua sudah ada jauh sebelum Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan West Papua yang terdidik lewat sekolah polisi dan sekolah Pamong Praja (bestuurschool) di Hollandia/Jayapura, yang mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 untuk mempersiapkan kemerdekaan West Papua.
Atas desakan para politisi dan negarawan West Papua yang terdidik, maka Pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea).
Setelah melakukan berbagai persiapan, disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional Papua yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea mempersiapkan kemerdekaan West Papua. Akhirnya berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya: Menentukan nama negara “ Papua Barat”, Menentukan lagu kebangsaan “ Hai Tanahku Papua”, Menentukan bendera negara “Bintang Kejora” Lambang negara Papua Barat adalah “Burung Mambruk” dengan semboyan “One People One Soul”
Akan tetapi, deklarasi tersebut tak diakui oleh Pemerintah kolonial Republik Indonesia yang menganggapnya sebagai negara boneka buatan Belanda. Pemerintah Indonesia melalui Soekarno saat itu lantas `melakukan aneksasi terhadap West Papua melalui seruan Tri Komando Rakyat (Trikora). Seruan ini dilakukan di Yogyakarta, 19 Desember 1961, yang kemudian diejawantahkan dalam serangkaian operasi militer yang menumpahkan banyak korban rakyat sipil West Papua. Peristiwa ini, tidak bisa dilepaskan dari konteks Perang Dingin yang secara langsung turut memperkeruh nasib bangsa West Papua. Amerika Serikat yang memiliki kepentingan tak kalah besar terhadap West Papua (Kontak Karya Freeport 1967) akhirnya turut terlibat menekan Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Perundingan kemudian berlangsung di New York pada 15 Agustus 1962 (New York Agreement) yang mana Amerika bertindak sebagai mediator. Perlu dicatat bahwa dalam perundingan ini tidak ada satu pun perwakilan rakyat West Papua yang terlibat. Padahal perundingan ini menyangkut keberlangsungan hidup dan nasib rakyat West Papua.
Ketika Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif atas West Papua pada tahun 1963, teritori itu tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri di bawah hukum Internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua. Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum Internasional.
Satu-satunya penentuan nasib sendiri yang dilakukan adalah Pepera yang tidak sah pada tahun 1969. Tidak sah karena hanya 1.022 orang (4 orang lainnya tidak ambil bagian) yang terlibat dalam pemungutan suara, atau kurang dari 0,2% dari populasi rakyat West Papua (800 ribu jiwa), yang dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia. Musyawarah untuk mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan Pepera yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi, serta adanya pelanggaran HAM berat. Nyatanya hasil dari pelaksanaan Pepera tersebut hanya “dicatat” di Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat Resolusi 2504 (XXIV) yang mana tidak disebutkan bahwa PEPERA telah dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement maupun prosesnya memenuhi standar “penentuan nasib sendiri” seperti yang diamanatkan oleh Resolusi PBB 1514 dan 1541 (XV). Proses integrasi yang cacat ini beriringan dengan pendekatan militeristik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru Soeharto dalam upaya “mengindonesiakan” rakyat West Papua. Serangkaian pelanggaran HAM berat terjadi, salah satu-nya adalah Tragedi Biak Berdarah, Tragedi Mapeduma.
Kejatuhan Orde Baru kembali menggelorakan perjuangan kemerdekaan rakyat West Papua, terlebih pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Meskipun Gus Dur telah melakukan hal yang lebih halus—proses integrasi yang cacat, serta berpuluh tahun penindasan dan kekerasan oleh militer Indonesia—telah terlanjur membekas dalam ingatan rakyat West Papua. Hal itu ditandai dengan tuntutan kemerdekaan yang tetap lantang. Salah satu upaya itu dilakukan dengan mengadakan Kongres Nasional II Rakyat Papua yang menetapkan Theys Eluay sebagai Presidium Dewan Papua. Theys Eluay kemudian dibunuh oleh Tim Mawar, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di bawah pimpinan Hartomo pada 10 November 2001. Kematian Theys segera ditindaklanjuti pemerintah Indonesia di bawah presiden Megawati mengesahkan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus).
Implementasinya OTSUS pun lebih terfokus pada proyek-proyek pembangunan. Sementara pada saat yang sama aparat keamanan meraup banyak untung dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua yang melimpah dengan dalih operasi kontrapemberontakan dan transmigrasi. Hal ini menyebabkan kasus-kasus pembungkaman kebebasan berekspresi secara damai terus berlanjut. Larangan pengibaran bendera Bintang Kejora tetap diberlakukan, dan tetap terjadi pembunuhan di luar hukum oleh TNI/Polri. Oleh sebab itu, pada 2020 organisasi-organisasi masyarakat sipil dan aktivis politik mengorganisasi penolakan atas evaluasi UU Otsus dan perpanjangannya. Pada Juli 2020, terbentuklah Petisi Rakyat Papua (PRP) yang awalnya didukung oleh 16 Orgnainsasi sampai 112.
Keprihatinan atas tindakan keras terhadap penyampaian pendapat di muka umum, yang disuarakan dalam surat bersama Pelapor Khusus PBB, ditanggapi Pemerintah Indonesia dengan mengatakan bahwa tindakan keras terhadap demonstrasi tolak Otsus dilakukan demi menghindari penyebaran Covid-19. Namun, Pemerintah juga mengamini tindakan itu dilakukan karena ada unsur “separatisme”. Karenanya, pihak berwenang menggunakan pandemi sebagai dalih pembubaran aksi protes dan mempercepat pembahasan UU Otsus sambil menumpas kubu yang menolak. Militerisasi di West Papua sudah pada level yang teramat memprihatinkan dan telah terbukti gagal menghentikan bahkan memperburuk eskalasi kekerasan di tanah West Papua. Bahkan hal ini juga sudah disadari, salah satunya, oleh Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih Mayor Jenderal Ignatius Yogo Triyono. Dikutip dari Majalah Tempo beberapa waktu lalu, ia menyatakan mendukung pendekatan dialog untuk mengatasi konflik di Papua dan melakukan kontak tembak, tapi dengan syarat dialog itu tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Serangkaian penjelasan di atas dapat menyimpulkan bahwa akar permasalahan yang terjadi di West Papua adalah cacatnya sejarah integrasi. Kondisi ini kemudian membuahkan praktek militerisasi yang berimbas pada maraknya pelanggaran HAM (pembunuhan di luar hukum, penangkapan, penyiksaan, pembungkaman kebebasan berpendapat), penyingkiran Orang Asli Papua (OAP), dan kerusakan lingkungan. Karenanya diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni hak menentukan nasib sendiri. Tentu dengan tidak mengesampingkan demiliterisasi di West Papua terlebih dahulu.
Selama 60 Tahun kolonial Indonesia menduduki bangsa West Papua telah terjadi, eksplotasi alam, Genocide dan pembunuhan masal oleh militerisme terhadapat rakyat Bangsa West Papua.
Maka, dalam rangka peringatan 60 Tahun Hari Deklarasi Kemerdekaan Bangsa West Papua kami Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menyatakan sikap politik kepada PBB dan Jokowi-Maruf Amin sebagai berikut:
1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua
2. Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II
3. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua
4. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua
5. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia
6. Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat
7. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang
8. Usut tuntas pelaku penembakan dua anak di Intan Jaya
9. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM
10. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri
11. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya
12. Cabut Omnibus Law
13. Belanda harus bertanggung jawab untuk menuntaskan proses dekolonisasi West Papua sebagaimana pernah mereka janjikan
14. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua
15. Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung
16. Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua
Demikian pernyataan sikap ini dibuat. Kami menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di West Papua untuk mendukung perjuangan bangsa West Papua dalam menentukan nasib sendiri. Juga penting kami sampaikan pada rakyat Indonesia, West Papua, dan dunia, mari kita bersama-sama bersatu untuk mengakhiri penipuan sejarah dan penderitaan di yang ada di Tanah air West Papua.
Medan Juang,
Denpasar Rabu, 01 Desember 2021
Lampiran