Halloween party ideas 2015

 



Foto saat aksi di refresif di denpasar 1 /12/2021




Tepat 60 Tahun Kemerdekaan west papua, Pada 01 Desember 1961 dan 1 Desember 2021, Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota (AMP-KK) Bali dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) sejawa timur, Bali dan Lombok  melaksanakan aksi bersama di Kota Denpasar Bali.

Aksi ini juga didedikasikan untuk memperingati 60 Tahun Deklarasi Kemerdekaan Bangsa West Papua
Dengan tema aksinya adalah: ‘Demiliterisasi, Cabut Perpanjangan Otsus, dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua’.

Aksi Tersebut tidak berjalan sampai ke titik aksi, di karenakan pihak ormas yang tergabung dalam Patriot Garuda Nusantara melakukan tindakan anarkis berupa penghadangan, pemukulan dan pelemparan
karena menghadapi praktik pembungkaman ruang demokrasi yang begitu rupa: direpresi hingga dipukul mundur oleh Ormas Reaksioner Patriot Garuda Nusantara (PNG) sekaligus pembiaran yang di lakukan pihak kepolisian terhadap massa aksi Aliansi Mahasiswa papua dan Front rakyat indonesia untuk west papua

A. Kronologi Pembungkaman Ruang Demokrasi dalam Aksi AMP dan FRI-WP 

- Pukul 05.10 Wita 
Massa Aksi AMP KK Bali dan FRI-WP berkumpul di Asrama Putra Mahasiswa Papua dengan jumlah massa 54 orang menuju Jalan Raya Puputan dengan titik Aksi di Konjen AS di Denpasar, Bali.

- Pukul 05.44 Wita 
Massa aksi sampai di Jalan Raya Puputan kemudian membentangkan pamflet kampanye dari AMP KK Bali dan FRI-WP.

- Pukul 06.02 Wita
Korlap I dari AMP KK Bali membuka Aksi Damai dengan menyampaikan status politik West Papua, Otsus Papua, Pelanggaran HAM, Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan di tanah west Papua.

- Pukul 06.12 Wita
Satu orang polisi dengan Mobil Patroli Sub-Sektor Renon mulai terlihat mendekat ke sekitar massa aksi.

- Pukul 06.32 Wita
Kesempatan memberi komando diberikan kepada Korlap II dari FRI-WP dan dia menyampaikan orasi politik tentang tanggung jawab Solidaritas terhadap Rakyat-Bangsa West Papua. Kemudian beberapa intel berpakaian preman hadir di lokasi Aksi Peringatan 1 Desember 2021.

- Pukul 06.42 Wita
Beberapa personil kepolisian muncul menghadang massa aksi dipimpin oleh M. Uder dengan mobil polisi Nissan warna hitam yang berplat Nomor XI 3-28.

-Pukul 06.50 Wita
Polisi masuk paksa dengan menerobos tali komando dari Massa Aksi AMP KK Bali dan FRI-WP.
- Pukul 06. 59 Wita
Gus Yadi, Ketua Ormas Reaksioner PGN, datang dengan kencang menggunakan motor Vario hitam yang berplat Nomor DK 6955 FAC. Dia ingin menabrak massa aksi, kemudian turun dan menendang massa aksi yang melakukan Aksi Damai. Kejadian ini disaksikan oleh aparat kepolisian secara abai.

- Pukul 07.19 Wita
Kelompok Ormas Reaksioner PGN memukul massa aksi kemudian mengucapkan kata-kata ‘Rasis’ ke mahasiswa West Papua dan menarik paksa spanduk massa aksi di hadapan polisi yang berjaga

- Pukul 07.35 Wita 
Dari sekitar kerumunan polisi, gerombolan Ormas Reaksioner PGN melempar botol-botol ke massa aksi.

- Pukul 07.34 Wita
Ormas Reaksioner mengeluarkan poster provokatif lalu mengadakan Aksi Tandingan tanpa surat pemberitahuan aksi kepada pihak kepolisian, tapi polisi justru membiarkannya begitu saja.

- Pukul 07.38 Wita
Ormas Reaksioner kembali melempar tetapi dengan batu ke Mobil Komando Massa Aksi AMP KK Bali dan FRI-WP dengan disertai cacian ‘Rasis’.

- Pukul 07.59 Wita
Gerombolan PNG mendorong dan memukul mundur massa aksi AMP KK Bali dan FRI-WP menggunakan mobil komando tandingan.

- Pukul 08.03 Wita
Terjadi bentrokan antara Massa Aksi AMP KK Bali dan FRI-WP dengan Ormas Reaksioner PNG.

- Pukul 08.13 Wita
AMP KK Bali dan FRI-WP membacakan pernyataan sikap (terlampir). Namun diganggu konsentrasinya dengan lagu-lagu dan orasi-orasi tandingan dari Ormas Reaksioner PGN.
- Pukul 08.30 Wita
Gerombolan PNG menyerang massa aksi damai AMP KK Lombok dan FRI-WP secara membabi buta sampai mundur ke perempatan jalan Puputan.

B. Nama-Nama Korban Pukulan, Sepakan dan Lemparan dari PNG

1. Hiskia: luka di tangan, kena lemparan batu dari ormas
2. Fery: luka di bahu, kena lemparan batu dari ormas.
3. Emti: tergores di bahu dan kena pukulan pakai helm.
4. Victor: terdapat goresan di tangan.
5. Joice: ditendang di perut.
6. Mepa: dipukul di bagian wajah dan pinggang. Bagian belakang telinga luka.
7. Ampix: tangan terobek, kepala bengkak.
8. Herry: terkena pukulan di kepala.
9. Sances: kena lemparan batu.
10. Melvi: kena sepakan dari ormas di dada.
11. Markus: kepala bengkak dan bagian belakangnya luka akibat lemparan batu dari ormas.
12.  Elis: kena lemparan batu di bagian kaki.
13. Jeksen: terkena lemparan batu, luka di tangan.

C. Barang-Barang yang Dirusak PNG di Hadapan Aparat Kepolisian
1. Kaca Pick-Up Mobil akomando pecah akibat lemparan batu dari ormas.
2. Spanduk tuntutan dirobek.
3.Poster-poster dirobek.
4. Microfon rusak, terkena lemparan batu dari ormas.

Berikut ini pernyataan sikap Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk west Papua sebagai berikut

Pernyataan Sikap

PERINGATAN 60 TAHUN DEKLARASI KEMERDEKAAN WEST PAPUA

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP)


DEMILITERISASI, CABUT PERPANJANGAN OTSUS,

DAN BERIKAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI BAGI BANGSA WEST PAPUA!


Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!


Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!


Tepat pada hari ini, 60 tahun, sebuah momentum bagi sejarah rakyat Bangsa West Papua. Pada 01 Desember 1961, rakyat bangsa West Papua mendeklarasikan kemerdekaan. Sejak itu, untuk pertama kali bendera Bintang Kejora berkibar di Kota Hollandia atau Jayapura. Peristiwa tersebut bukanlah aksi spontan, namun telah dilandasi dengan kesadaran kebangsaan rakyat. Ketika West Papua masih menjadi wilayah sengketa antara Indonesia dan Belanda, tuntutan kemerdekaan rakyat West Papua sudah ada jauh sebelum Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan West Papua yang terdidik lewat sekolah polisi dan sekolah Pamong Praja (bestuurschool) di Hollandia/Jayapura, yang mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 untuk mempersiapkan kemerdekaan West Papua. 

Atas desakan para politisi dan negarawan West Papua yang terdidik, maka Pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea).  

Setelah melakukan berbagai persiapan, disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional Papua yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea mempersiapkan kemerdekaan West Papua. Akhirnya berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya: Menentukan nama negara “ Papua Barat”, Menentukan lagu kebangsaan “ Hai Tanahku Papua”, Menentukan bendera negara “Bintang Kejora” Lambang negara Papua Barat adalah “Burung Mambruk” dengan semboyan “One People One Soul”

Akan tetapi, deklarasi tersebut tak diakui oleh Pemerintah kolonial Republik Indonesia yang menganggapnya sebagai negara boneka buatan Belanda. Pemerintah Indonesia melalui Soekarno saat itu lantas `melakukan aneksasi terhadap West Papua melalui seruan Tri Komando Rakyat (Trikora). Seruan ini dilakukan di Yogyakarta, 19 Desember 1961, yang kemudian diejawantahkan dalam serangkaian operasi militer yang menumpahkan banyak korban rakyat sipil West Papua. Peristiwa ini, tidak bisa dilepaskan dari konteks Perang Dingin yang secara langsung turut memperkeruh nasib bangsa West Papua. Amerika Serikat yang memiliki kepentingan tak kalah besar terhadap West Papua (Kontak Karya Freeport 1967) akhirnya turut terlibat menekan Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Perundingan kemudian berlangsung di New York pada 15 Agustus 1962 (New York Agreement) yang mana Amerika bertindak sebagai mediator. Perlu dicatat bahwa dalam perundingan ini tidak ada satu pun perwakilan rakyat West Papua yang terlibat. Padahal perundingan ini menyangkut keberlangsungan hidup dan nasib rakyat West Papua. 

Ketika Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif atas West Papua pada tahun 1963, teritori itu tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri di bawah hukum Internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua. Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum Internasional.

 Satu-satunya penentuan nasib sendiri yang dilakukan adalah Pepera yang tidak sah pada tahun 1969. Tidak sah karena hanya 1.022 orang (4 orang lainnya tidak ambil bagian) yang terlibat dalam pemungutan suara, atau kurang dari 0,2% dari populasi rakyat West Papua (800 ribu jiwa), yang dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia. Musyawarah untuk mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan Pepera yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi, serta adanya pelanggaran HAM berat. Nyatanya hasil dari pelaksanaan Pepera tersebut hanya “dicatat” di Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat Resolusi 2504 (XXIV) yang mana tidak disebutkan bahwa PEPERA telah dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement maupun prosesnya memenuhi standar “penentuan nasib sendiri” seperti yang diamanatkan oleh Resolusi PBB 1514 dan 1541 (XV). Proses integrasi yang cacat ini beriringan dengan pendekatan militeristik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru Soeharto dalam upaya “mengindonesiakan” rakyat West Papua. Serangkaian pelanggaran HAM berat terjadi, salah satu-nya adalah Tragedi Biak Berdarah, Tragedi Mapeduma. 

Kejatuhan Orde Baru kembali menggelorakan perjuangan kemerdekaan rakyat West Papua, terlebih pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Meskipun Gus Dur telah melakukan hal yang lebih halus—proses integrasi yang cacat, serta berpuluh tahun penindasan dan kekerasan oleh militer Indonesia—telah terlanjur membekas dalam ingatan rakyat West Papua. Hal itu ditandai dengan tuntutan kemerdekaan yang tetap lantang. Salah satu upaya itu dilakukan dengan mengadakan Kongres Nasional II Rakyat Papua yang menetapkan Theys Eluay sebagai Presidium Dewan Papua. Theys Eluay kemudian dibunuh oleh Tim Mawar, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di bawah pimpinan Hartomo pada 10 November 2001. Kematian Theys segera ditindaklanjuti pemerintah Indonesia di bawah presiden Megawati mengesahkan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus).

Implementasinya OTSUS pun lebih terfokus pada proyek-proyek pembangunan. Sementara pada saat yang sama aparat keamanan meraup banyak untung dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua yang melimpah dengan dalih operasi kontrapemberontakan dan transmigrasi. Hal ini menyebabkan kasus-kasus pembungkaman kebebasan berekspresi secara damai terus berlanjut. Larangan pengibaran bendera Bintang Kejora tetap diberlakukan, dan tetap terjadi pembunuhan di luar hukum oleh TNI/Polri. Oleh sebab itu, pada 2020 organisasi-organisasi masyarakat sipil dan aktivis politik mengorganisasi penolakan atas evaluasi UU Otsus dan perpanjangannya. Pada Juli 2020, terbentuklah Petisi Rakyat Papua (PRP) yang awalnya didukung oleh 16 Orgnainsasi sampai 112. 


Keprihatinan atas tindakan keras terhadap penyampaian pendapat di muka umum, yang disuarakan dalam surat bersama Pelapor Khusus PBB, ditanggapi Pemerintah Indonesia dengan mengatakan bahwa tindakan keras terhadap demonstrasi tolak Otsus dilakukan demi menghindari penyebaran Covid-19. Namun, Pemerintah juga mengamini tindakan itu dilakukan karena ada unsur “separatisme”. Karenanya, pihak berwenang menggunakan pandemi sebagai dalih pembubaran aksi protes dan mempercepat pembahasan UU Otsus sambil menumpas kubu yang menolak. Militerisasi di West Papua sudah pada level yang teramat memprihatinkan dan telah terbukti gagal menghentikan bahkan memperburuk eskalasi kekerasan di tanah West Papua. Bahkan hal ini juga sudah disadari, salah satunya, oleh Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih Mayor Jenderal Ignatius Yogo Triyono. Dikutip dari Majalah Tempo beberapa waktu lalu, ia menyatakan mendukung pendekatan dialog untuk mengatasi konflik di Papua dan melakukan kontak tembak, tapi dengan syarat dialog itu tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Serangkaian penjelasan di atas dapat menyimpulkan bahwa akar permasalahan yang terjadi di West Papua adalah cacatnya sejarah integrasi. Kondisi ini kemudian membuahkan praktek militerisasi yang berimbas pada maraknya pelanggaran HAM (pembunuhan di luar hukum, penangkapan, penyiksaan, pembungkaman kebebasan berpendapat), penyingkiran Orang Asli Papua (OAP), dan kerusakan lingkungan. Karenanya diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni hak menentukan nasib sendiri. Tentu dengan tidak mengesampingkan demiliterisasi di West Papua terlebih dahulu.

Selama 60 Tahun kolonial Indonesia menduduki bangsa West Papua telah terjadi, eksplotasi alam, Genocide dan pembunuhan masal oleh militerisme terhadapat rakyat Bangsa West Papua. 


Maka, dalam rangka peringatan 60 Tahun Hari Deklarasi Kemerdekaan Bangsa West Papua kami  Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menyatakan sikap politik kepada PBB dan Jokowi-Maruf Amin sebagai berikut: 

1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua 

2. Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II 

3. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua 

4. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua 

5. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia 

6. Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat 

7. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang 

8. Usut tuntas pelaku penembakan dua anak di Intan Jaya 

9. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM 

10. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri 

11. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya 

12. Cabut Omnibus Law

13. Belanda harus bertanggung jawab untuk menuntaskan proses dekolonisasi West Papua sebagaimana pernah mereka janjikan 

14. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua

15. Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung 

16. Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua 

17. stop terror dan intimidasi terhadap mahasiswa papua, Aktivis ham, aktivis Prodem dibali  dan seluruh tanah papua

Demikian pernyataan sikap ini dibuat. Kami menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di West Papua untuk mendukung perjuangan bangsa West Papua dalam menentukan nasib sendiri. Juga penting kami sampaikan pada rakyat Indonesia, West Papua, dan dunia, mari kita bersama-sama bersatu untuk mengakhiri penipuan sejarah dan penderitaan di yang ada di Tanah air West Papua. 

Medan Juang, 

Denpasar Rabu, 01 Desember 2021



AMP  dan FRI-WP se- Jawa Timur, Bali, Lombok




lampiran:



















Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats