@korankejora |
“Ko
kalo sayang Papua jangan terlibat dalam parpol yang munafik itu, tahun 2024
Pemilu serentak kan, jadi jawaban ada pada rakyat pejuang!. Terus menerus
membelah orang yang telah menghianati kita, atau minta pemekaran negara?. Baiklah,
di tunggu jawabannya 2024.” Mark Pahabol
Sebagai anak asli Papua tentunya
sedih dan tidak rela ketika menulis dengan judul yang agak mengganggu perasaan
kawan-kawan pembaca (khusus orang Papua). Tapi di kesempatan lain, saya juga
ingin menyampaikan bahwa ini sudah realitas, dan situasi ini yang sedang
terjadi di Tanah Papua. Para elit politik diatas tanah Papua itu, telah menjual
tanah dan manusia Papua ke Jakarta. Sehingga mau tidak mau elit politik adalah
musuh rakyat. Rakyat pejuang harus ambil skat-skat tertentu dalam berpolitik,
jaga jarak dan hati-hati dalam memilih sekutu.
Hampir setengah abad lebih Bangsa
Papua dianggap binatang bahkan lebih rendah dari binatang sehingga politik
rasialisme, diskriminasi, perampasan hak hidup, lahan dan tempat tinggal, penangkapan
sewenang-wenang hingga kebijakan-kebijakan Jakarta (pemerintah pusat) terkait Papua
juga tidak pernah melibatkan wakil Orang Asli Papua (OAP). Dalam kasus paling
umum soal keterlibatan OAP misalnya:
New
York Agreement pada 15 Agustus 1962
Perjanjian New York ini dilatarbelakangi
oleh usaha Indonesia untuk merebut Papua Barat (kini Papua) dari tangan
Belanda. Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag saat pengakuan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda disebutkan bahwa masalah Papua Barat akan
diselesaikan dalam tempo satu tahun sejak KMB. Namun sampai tahun 1961, tak pernah
terselesaikan sehingga terjadi ketegangan antara Belanda dan Indonesia dalam
situasi ini.
Amerika Serikat yang takut bila Uni
Soviet makin kuat campur tangan dalam soal Papua Barat, mendesak Belanda untuk
mengadakan perundingan dengan Indonesia. Delegasi Indonesia di pimpin oleh Adam
Malik dan Belanda oleh Dr. Van Roijen, sedang Elias Bunker dari Amerika Serikat
menjadi perantaranya. Sementara wakil rakyat Papua sebagai objek dan subjek
dalam pembicaraan tidak di libatkan satu orang pun.
Roma
Agreement pada 30 September 1962
Perjanjian Roma adalah perjanjian
lanjutan dari New York Agreement yang di tandatangani oleh Indonesia, Belanda,
dan Amerika Serikat merupakan perjanjian yang sangat kontroversial dengan 29
pasal yang mengatur dalam perjanjian New York, yang mengatur 3 macam hal,
dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada
praktek Internasional yaitu satu orang satu suara atau One Man One Vote. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer
Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA kepada Indonesia.
Namun dalam perjanjian tersebut tidak pernah melibatkan wakil rakyat Papua
padahal kala itu sudah banyak orang Papua yang terpelajar, dan terdidik.
PEPERA
pada 14 Juli - 2 Agusutus 1969
Sesuai perjanjian Roma dan New York
pada tanggal 14 Juli - 2 Agustus 1969 dilakukan PEPERA untuk menentukkan status
daerah Papua Barat, apakah Merdeka sebagai sebuah bangsa atau tetap bersama
Indonesia. Laki-laki maupun perempuan yang telah diseleksi oleh militer
Indonesia sebanyak 1.025 orang secara aklamasi memilih bergabung dengan
Indonesia, sedangkan populasi penduduk Papua Barat saat itu sebanyak 800.00
ribu juta jiwa. Yang artinya Indonesia menghianati hukum Internasional yaitu
tentang mekanisme "One Man One Vote"
yang di sepakati ketika pertemuan New York pada 15 Juli 1962.
Otsus
Papua pada 2001
Otonomi Khusus (Otsus) Papua lahir
pada tahun 2001. Otsus lahir dilatarbelakangi oleh gelombang protes rakyat
Papua yang minta lepas dari Indonesia pasca reformasi tahun1998. Namun dalam
perjalanannya Pimpinan Dewan Presidum Papua (PDP) Alm.Theys Hiyo Eluay dibunuh
oleh Kopassus sehingga pergerakan redam. Situasi dan kondisi ini dimanfaatkan
oleh elit politik Papua untuk meminta Otonomi Khusus kepada Megawati Soekarno
Putri sebagai president Republik Indonesia (RI) waktu itu.
Otsus
Papua Jilid II pada Tahun 2021
Pada tanggal 15 Juli 2021 DPR RI
mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (RUU Otsus Papua)
dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-23 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021.
Walaupun seluruh elemen rakyat Papua dan 112 Organsasi yang tergabung dalam
Petisi Rakyat Papua (PRP) menolak perpanjangan Otsus dan meminta Hak rakyat
Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai sebuah bangsa melalui mekanisme
Internasional yakni "Referendum Papua”.
Daerah
Otonomi Baru (DOB) pada Tahun 2022
Yang lebih baru tahun 2022 ialah Daerah
Otonomi Baru (DOB). DOB adalah amanat UU Otsus tentang pembentukan Daerah
Otonom Baru. DOB sendiri mendapat penolakan keras oleh seluruh rakyat Papua
melalui aksi demonstrasi hampir seluruh kota-kota besar di Provinsi Papua dan
Papua barat. Dalam aksi protes rakyat Papua dan Papua Barat ini tidak sedikit
yang dikejar, ditangkap, dibubarkan paksa bahkan ditembak mati oleh Aparat
TNI/Polri. Misalnya di Dekai Yahukimo, 2 orang masa aksi penolakan DOB ditembak
mati dan 7 lainnya luka-luka (baca: 2 Orang Tewas Tertembak Saat Demo Tolak Pemekaran
Papua di Yahukimo), dan di Nabire Papua satu pelajar SMK ditembak dan massa aksi
lainnya dibubarkan secara brutal oleh TNI-POLRI Indonesia (baca: 4 mahasiswa
yang ditangkap dalam pembubaran demo tolak pemekaran di Nabire dibebaskan).
Di tengah gelombang protes rakyat Papua
terhadap kebijakan pemerintah pusat Jakarta hingga taruhan nyawa dimana-mana.
Elit borjuis lokal dengan bangganya memperjuangkan Daerah Otonomi Baru (DOB).
Jika di lihat dari historis perjuangan
Rakyat Papua diatas, menurut saya ada dua fase perkembangan rakyat Papua walau
peristiwa yang ditulis diatas adalah di era pra-kolonial Indonesia yang artinya
hampir sebagian besar orang Papua sudah terdidik.
Pertama, adalah ditahun 1962-2001-an.
Ditahun ini semangat Soekarno untuk mengambil alih Papua selain Ekonomi-Politik
juga untuk memperkuat pertahanan blok timur dari serangan blok barat. Tetapi
propaganda yang di mainkan secara luas di Indonesia adalah bebaskan Irian Barat
dari tangan belanda sebab senasib, sama-sama dijajah. Sehingga dalam pertemuan
yang dilakukan di Amerika dan Italia yang tidak melibatkan wakil Papua adalah
analisis subjektif Soekarno yang rasis dan diskriminatif terhadap orang papua.
Soekarno menganggap bahwa rakyat papua belum mampu memimpin dirinya sendiri
masih primitive,dsb sehingga Pepera 1969 di menangkan oleh Indonesia melalui
sistim perwakilan. Itupun dibawa teror intimidasi dan cacat hukum
Internasional.
Kedua, pada tahun 2001 hingga 2022 kini merupakan
tahun-tahun paling kontroversial, seperti yang sudah di jelaskan diatas terkait
periode umum penolakan kebijakan Jakarta atas Papua dimana-mana. Nampaknya
selalu sukses saja. Maksud saya sukses adalah: rakyat sudah menyatakan sikap menolak
Otsus, malawan rasialisme, menolak DOB, menolak PON, Menolak PT.Blok Wabu,
Menolak PT. Freeport, dan menolak berbagai macam produk Jakarta (pemerintah
pusat). Namun pemerintah pusat (Jakarta), bahkan terus-menerus tidak mendengarkan
aspirasi rakyat Papua dan malah menunjukkan wajah non-komprominya. Justru
terbalik ketika rakyat ingin menyampaikan aspirasi secara aman dan damai, penguasa
akan menggunakan kekuatan aparat keamanan TNI/Polri untuk membungkam gerakan
rakyat.
Jadi jika evaluasi dari tahun 2001
hingga kini tahun 2022, ada satu kekuatan Jakarta yang ada diatas tanah Papua.
Lalu kekuatannya apa? Kadang kita tahu kekuatan ini tapi pura-pura tidak tahu, setiap
saat dalam debat akademis pasti bicara hal itu. Kita tahu tapi masih bersandar
ke dia. Siapa dia? Yaitu: Elit Politik Lokal yang rakus diatas Tanah Papua.
Terkadang hal ini sepele namun
kenyataannya, aktor utama dalam hal kebijakan Papua-Jakarta adalah elit.
Mayoritas masyarakat menolak kebijakan Jakarta namun minoritas elit borjuis ini
yang selalu bardarah-darah di Jakarta atas nama kesejahtraan, pembangunan, dan
sebagainya. Jakarta bukan apa-apa juga bukan siapa-siapa. Sekali lagi, Jakarta
bukan apa-apa bukan siapa-siapa di tanah Papua. Jakarta kuat diatas tanah Papua
karena ada perpanjangan suara jakarta diatas tanah Papua yaitu: Elit politik Papua
yang putus asa, murahan, rakus jabatan, tamak, dan seterusnya.
Hal diatas ini menunjukkan bahwa
mana lawan mana kawan. Bagaimana cara melawan elit politik lokal dan memutuskan
hubungan Jakarta dan Papua lalu menentukan nasib sendiri sebagai sebuah bangsa
merdeka?
Mulai sekarang satukan barisan perlawanan,
dan menunjukkan Mosi Tak Percaya kepada Partai Politik (Parpol) borjuis di
seluruh tanah Papua. Karena nyatanya elit politik Papua berlindung dibalik
Parpol milik Jakarta, dan membangun Partai Alternatif. Kondisikan diri untuk
tahun 2024 jawabannya ada pada perjuangan rakyat secara demokratis, sehingga
tuntutannya pemekaran negara West Papua.
Makassar,
9 April 2022
Penulis : Mark Pahabol
(Penulis adalah anggota aktif di KK
Makassar juga Biro Organisasi Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua)