Halloween party ideas 2015

 

@korankejora


“Ko kalo sayang Papua jangan terlibat dalam parpol yang munafik itu, tahun 2024 Pemilu serentak kan, jadi jawaban ada pada rakyat pejuang!. Terus menerus membelah orang yang telah menghianati kita, atau minta pemekaran negara?. Baiklah, di tunggu jawabannya 2024.”  Mark Pahabol

 

Sebagai anak asli Papua tentunya sedih dan tidak rela ketika menulis dengan judul yang agak mengganggu perasaan kawan-kawan pembaca (khusus orang Papua). Tapi di kesempatan lain, saya juga ingin menyampaikan bahwa ini sudah realitas, dan situasi ini yang sedang terjadi di Tanah Papua. Para elit politik diatas tanah Papua itu, telah menjual tanah dan manusia Papua ke Jakarta. Sehingga mau tidak mau elit politik adalah musuh rakyat. Rakyat pejuang harus ambil skat-skat tertentu dalam berpolitik, jaga jarak dan hati-hati dalam memilih sekutu.

Hampir setengah abad lebih Bangsa Papua dianggap binatang bahkan lebih rendah dari binatang sehingga politik rasialisme, diskriminasi, perampasan hak hidup, lahan dan tempat tinggal, penangkapan sewenang-wenang hingga kebijakan-kebijakan Jakarta (pemerintah pusat) terkait Papua juga tidak pernah melibatkan wakil Orang Asli Papua (OAP). Dalam kasus paling umum soal keterlibatan OAP misalnya:

New York Agreement pada 15 Agustus 1962

Perjanjian New York ini dilatarbelakangi oleh usaha Indonesia untuk merebut Papua Barat (kini Papua) dari tangan Belanda. Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag saat pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda disebutkan bahwa masalah Papua Barat akan diselesaikan dalam tempo satu tahun sejak KMB. Namun sampai tahun 1961, tak pernah terselesaikan sehingga terjadi ketegangan antara Belanda dan Indonesia dalam situasi ini.

Amerika Serikat yang takut bila Uni Soviet makin kuat campur tangan dalam soal Papua Barat, mendesak Belanda untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia. Delegasi Indonesia di pimpin oleh Adam Malik dan Belanda oleh Dr. Van Roijen, sedang Elias Bunker dari Amerika Serikat menjadi perantaranya. Sementara wakil rakyat Papua sebagai objek dan subjek dalam pembicaraan tidak di libatkan satu orang pun.

Roma Agreement pada 30 September 1962

Perjanjian Roma adalah perjanjian lanjutan dari New York Agreement yang di tandatangani oleh Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat merupakan perjanjian yang sangat kontroversial dengan 29 pasal yang mengatur dalam perjanjian New York, yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara atau One Man One Vote. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA kepada Indonesia. Namun dalam perjanjian tersebut tidak pernah melibatkan wakil rakyat Papua padahal kala itu sudah banyak orang Papua yang terpelajar, dan terdidik.

PEPERA pada 14 Juli - 2 Agusutus 1969

Sesuai perjanjian Roma dan New York pada tanggal 14 Juli - 2 Agustus 1969 dilakukan PEPERA untuk menentukkan status daerah Papua Barat, apakah Merdeka sebagai sebuah bangsa atau tetap bersama Indonesia. Laki-laki maupun perempuan yang telah diseleksi oleh militer Indonesia sebanyak 1.025 orang secara aklamasi memilih bergabung dengan Indonesia, sedangkan populasi penduduk Papua Barat saat itu sebanyak 800.00 ribu juta jiwa. Yang artinya Indonesia menghianati hukum Internasional yaitu tentang mekanisme "One Man One Vote" yang di sepakati ketika pertemuan New York pada 15 Juli 1962.

Otsus Papua pada 2001

Otonomi Khusus (Otsus) Papua lahir pada tahun 2001. Otsus lahir dilatarbelakangi oleh gelombang protes rakyat Papua yang minta lepas dari Indonesia pasca reformasi tahun1998. Namun dalam perjalanannya Pimpinan Dewan Presidum Papua (PDP) Alm.Theys Hiyo Eluay dibunuh oleh Kopassus sehingga pergerakan redam. Situasi dan kondisi ini dimanfaatkan oleh elit politik Papua untuk meminta Otonomi Khusus kepada Megawati Soekarno Putri sebagai president Republik Indonesia (RI) waktu itu.

Otsus Papua Jilid II pada Tahun 2021

Pada tanggal 15 Juli 2021 DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (RUU Otsus Papua) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-23 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021. Walaupun seluruh elemen rakyat Papua dan 112 Organsasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) menolak perpanjangan Otsus dan meminta Hak rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai sebuah bangsa melalui mekanisme Internasional yakni "Referendum Papua”.

Daerah Otonomi Baru (DOB) pada Tahun 2022

Yang lebih baru tahun 2022 ialah Daerah Otonomi Baru (DOB). DOB adalah amanat UU Otsus tentang pembentukan Daerah Otonom Baru. DOB sendiri mendapat penolakan keras oleh seluruh rakyat Papua melalui aksi demonstrasi hampir seluruh kota-kota besar di Provinsi Papua dan Papua barat. Dalam aksi protes rakyat Papua dan Papua Barat ini tidak sedikit yang dikejar, ditangkap, dibubarkan paksa bahkan ditembak mati oleh Aparat TNI/Polri. Misalnya di Dekai Yahukimo, 2 orang masa aksi penolakan DOB ditembak mati dan 7 lainnya luka-luka (baca: 2 Orang Tewas Tertembak Saat Demo Tolak Pemekaran Papua di Yahukimo), dan di Nabire Papua satu pelajar SMK ditembak dan massa aksi lainnya dibubarkan secara brutal oleh TNI-POLRI Indonesia (baca: 4 mahasiswa yang ditangkap dalam pembubaran demo tolak pemekaran di Nabire dibebaskan).

Di tengah gelombang protes rakyat Papua terhadap kebijakan pemerintah pusat Jakarta hingga taruhan nyawa dimana-mana. Elit borjuis lokal dengan bangganya memperjuangkan Daerah Otonomi Baru (DOB).

Jika di lihat dari historis perjuangan Rakyat Papua diatas, menurut saya ada dua fase perkembangan rakyat Papua walau peristiwa yang ditulis diatas adalah di era pra-kolonial Indonesia yang artinya hampir sebagian besar orang Papua sudah terdidik.

Pertama, adalah ditahun 1962-2001-an. Ditahun ini semangat Soekarno untuk mengambil alih Papua selain Ekonomi-Politik juga untuk memperkuat pertahanan blok timur dari serangan blok barat. Tetapi propaganda yang di mainkan secara luas di Indonesia adalah bebaskan Irian Barat dari tangan belanda sebab senasib, sama-sama dijajah. Sehingga dalam pertemuan yang dilakukan di Amerika dan Italia yang tidak melibatkan wakil Papua adalah analisis subjektif Soekarno yang rasis dan diskriminatif terhadap orang papua. Soekarno menganggap bahwa rakyat papua belum mampu memimpin dirinya sendiri masih primitive,dsb sehingga Pepera 1969 di menangkan oleh Indonesia melalui sistim perwakilan. Itupun dibawa teror intimidasi dan cacat hukum Internasional.

Kedua, pada tahun 2001 hingga 2022 kini merupakan tahun-tahun paling kontroversial, seperti yang sudah di jelaskan diatas terkait periode umum penolakan kebijakan Jakarta atas Papua dimana-mana. Nampaknya selalu sukses saja. Maksud saya sukses adalah: rakyat sudah menyatakan sikap menolak Otsus, malawan rasialisme, menolak DOB, menolak PON, Menolak PT.Blok Wabu, Menolak PT. Freeport, dan menolak berbagai macam produk Jakarta (pemerintah pusat). Namun pemerintah pusat (Jakarta), bahkan terus-menerus tidak mendengarkan aspirasi rakyat Papua dan malah menunjukkan wajah non-komprominya. Justru terbalik ketika rakyat ingin menyampaikan aspirasi secara aman dan damai, penguasa akan menggunakan kekuatan aparat keamanan TNI/Polri untuk membungkam gerakan rakyat.

Jadi jika evaluasi dari tahun 2001 hingga kini tahun 2022, ada satu kekuatan Jakarta yang ada diatas tanah Papua. Lalu kekuatannya apa? Kadang kita tahu kekuatan ini tapi pura-pura tidak tahu, setiap saat dalam debat akademis pasti bicara hal itu. Kita tahu tapi masih bersandar ke dia. Siapa dia? Yaitu: Elit Politik Lokal yang rakus diatas Tanah Papua.

Terkadang hal ini sepele namun kenyataannya, aktor utama dalam hal kebijakan Papua-Jakarta adalah elit. Mayoritas masyarakat menolak kebijakan Jakarta namun minoritas elit borjuis ini yang selalu bardarah-darah di Jakarta atas nama kesejahtraan, pembangunan, dan sebagainya. Jakarta bukan apa-apa juga bukan siapa-siapa. Sekali lagi, Jakarta bukan apa-apa bukan siapa-siapa di tanah Papua. Jakarta kuat diatas tanah Papua karena ada perpanjangan suara jakarta diatas tanah Papua yaitu: Elit politik Papua yang putus asa, murahan, rakus jabatan, tamak, dan seterusnya.

Hal diatas ini menunjukkan bahwa mana lawan mana kawan. Bagaimana cara melawan elit politik lokal dan memutuskan hubungan Jakarta dan Papua lalu menentukan nasib sendiri sebagai sebuah bangsa merdeka?

Mulai sekarang satukan barisan perlawanan, dan menunjukkan Mosi Tak Percaya kepada Partai Politik (Parpol) borjuis di seluruh tanah Papua. Karena nyatanya elit politik Papua berlindung dibalik Parpol milik Jakarta, dan membangun Partai Alternatif. Kondisikan diri untuk tahun 2024 jawabannya ada pada perjuangan rakyat secara demokratis, sehingga tuntutannya pemekaran negara West Papua.

 

Makassar, 9 April 2022

 

Penulis : Mark Pahabol

 

(Penulis adalah anggota aktif di KK Makassar juga Biro Organisasi Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua)

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats