@koker |
“Jika
kesadaran. Berpasangan dengan kesadaran. Cahaya akan bertambah. Dan jalan
menjadi terang. Tapi jika binatang buas. Mendampingi sesamanya. Kegelapan akan
bertambah dan jalan pun akan lenyap.” (Jalaluddin Rumi)
Kawan, tahukah kamu: bahwa 1 Desember 1961 itu merupakan Hari Kemerdekaan Bangsa West Papua? Hanya kebebasan dan kedaulatan yang dirasakan tidak bertahan lama, karena pada 19 Desember Pemerintah Indonesia menyemburkan instruksi Trikora di alun-alun Utara Yogyakarta
Melalui perintah inilah West Papua didekati sebagai wilayah kolonial. Orang-orang merdeka di sana kontan ditundukan dengan begitu rupa: rasisme dipadukan dengan keberingasan pasukan bersenjata hingga tanah air Papua Barat dirampas secara brutal.
Pada 1962 dilaksanakan dua persetujuan penuh tipu-daya: New York Agremeent (15 Agustus) dan Roma Agremeent (30 September). Dalam kedua perjanjian ini sama sekali tidak melibatkan Rakyat-Bangsa West Papua, melainkan elit-elit durjana dari Indonesia, Inggris, dan Amerika. Melalui kesepakatan yang dimonopoli oleh ketiganya, maka 1 Mei 1963 UNTEA menyerahkan administrasi Bumi Kasuari ke tangan Pemerintah Indonesia.
Kawan, kamu juga mesti mengetahui: dalam melancarkan proyek aneksasinya Indonesia mendorong gerombolan militer ke sana dengan beragam operasi: dibuka oleh Operasi Bharatayudha (1966-1968) pimpinan Pangdam XVII Cendrawasih Brigjen R.R. Bintaro, lalu dilanjutkan Operasi Wibawa (1968-1969) dari Brigjen Sarwo Edhi Wibowo.
Bergentayangannya serdadu di tanah West Papua kemudian menebar ancaman. Pada 2 Agustus 1969, penduduk negeri Cendrawasih diseret mengikuti Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Mulut kepala-kepala suku dan para tokoh berpengaruh disumpal dengan dana berlimpah. Sedangkan bagi penduduk yang mencoba menolak keinginan tentara diteror dan diintimidasi menggunakan todongan senjata.
1026 orang kemudian berhasil dilumpuhkan oleh horornya Pepera. Setelah Bangsa West Papua dipreteli dalam arena penuh muslihat, maka operasi militer kembali berlanjut: Operasi Pamungkas (1969-1973) Brigjen Acub Zainal; Operasi Koteka dan Operasi Senyum (1977-1978) Pangab M. Jusuf; Operasi Gagak (1985-1990) Mayjen Ali Moertopo; dan Operasi Rajawali (1990-1998) Mayjen Abinowo.
Kawan, apakah kamu tahu berapa besar korban operasi militer di tanah Papua. Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Jan Warinussy memperkirakan mencapai jumlah raksasa: hampir 100.000 jiwa. Sementara dalam Mencari Jalang Tengah: Otonomi Khusus Provinsi Papua (2003), Agus Sumule melacak agak rinci sebagian kasus pelanggaran HAM Berat TNI-Polri:
Pada 1977 telah dibunuh 126 orang di Asologaiman dan 148 di Wasi, lalu 1979 sebanyak 201 penduduk dibunuh lagi di Kelila-Jayawijaya, dan sepanjang 1980-1995 ada 13 warga hilang dan 80 perempuan diperkosa di pelbagai wilayah Papua.
Walau kejahatan kemanusiaan telah mengonggok, pada 1998 bangsa tertindas kembali dibanduli wacana angkara. Rencana pemberlakuan Otsus ditebarkan ke mana-mana dengan dukungan TNI-Polri. Sepanjang 1998-2002, 3000-4000 personil diarahkan ke Papua. Dikerahkannya ribuan pasukan ini karena rakyat Papua menolak Otsus, hingga Theys Eluay sebagai inspirator gerakan perlawanan ini pun ditekan, dikriminalisasi, dan dibunuh secara keji oleh tentara.
Kawan, kamu perlu tahu: matinya Theys kemudian disambut oleh pemerintah dengan menyelundupkan Otsus menjadi UU Nomor 21 Tahun 2001. Menjelang berakhirnya Otsus pada 2021 ini, negara kolonial ingin ingin melanjutkannya lewat pemberlakuan Otsus Jilid II. Tetapi sejak 2019, penolakan terhadap Otsus tampil membara. Di Papua, protes-protes kecil hingga aksi massa berkobar penuh amarah. Militer kemudian diterjunkan secara berlimpah. Saat 2019 TNI-Polri dikerahkan sebanyak 10.000 personil, lalu 2020 kembali dikirim 8.000 penjagal, dan tiba 2021 lagi-lagi ditransfer 3.609 aparat bebal.
Membuncahnya pasukan di sana berhasil menyulap tanah Papua jadi pusara: 2019-2021, korban tewas di Nduga mencapai 259. Walhasil: jumlah Bangsa West Papua yang dalam sensus penduduk 1969 mencapai 800.000 jiwa, kini justru total populasinya berkembang pesakitan–tidak lebih dari 1,5 juta OAP, bahkan cenderung menurun tiap tahunnya.
Kawan, tidakkah kamu mengerti: di bawah praktik kolonial, OAP di Bumi Kasuari terus-menrus diselimuti bahaya. Sejak seruan Trikora dan paksaan aneksasi–mereka tak sekedar ditindas melalui serangan bedil, melainkan pula menggunakan hegemoni sosial-budaya dan dominasi ekonomi-politik.
Itulah mengapa Otsus digulirkan bukan untuk mencerdaskan dan menyejahterakan, melainkan menjamin perampokan kekayan alam dan menguatkan diskriminasi rasial terhadap Rakyat-Bangsa West Papua. Derasnya rasisme kekuaasaan kemudian mengarahkan hukum Indonesia untuk mendekati bangsa tertindas tanpa kandungan keadilan. Inilah kenapa polisi yang dimandatkan sebagai penegak hukum marak menampilkan akrobat ketidakadilan: banyak pejuang pembebasan West Papua dijadikannya tapol, bahkan tiap aksi protes mahasiswa Papua dibanduli represi dan kriminalisasi yang banal.
Kawan, sepertinya sekarang kamu sudah mengetahui. Bahwa sejak gelombang kolonial menghantam Bumi Kasuari, maka kemerdekaan Bangsa West Papua ditenggelamkan dalam lautan darah. Perpaduan antara militerisme dan rasisme telag mengubur Ras Melanesia dengan lumpur etnosida. Sampai sekarang bencana kemanusiaan ini belum usai karena kelas penguasa masih mempertahankan dan melancarkannya kepentingangannya di sana. Itulah mengapa kami terus melancarkan kampanye untuk memblejeti kejahatan-kejahatan mereka.
“[Kami] yakin bahwa penataan yang ada sekarang ini buruk: [kami] ingin berjuang melawannya untuk mempercepat pelenyapannya. Kuhadirkan dalam perjuangan ini suatu kebencian mendalam, yang diperkeras setiap harinya oleh pemandangan memuakkan suatu masyarakat di mana segalanya dangkal, segalanya pengecut, di mana segala sesuatunya menjadi penghalang bagi perkembangan hasrat-hasrat manusia … [kami] ingin menunjukkan pada kaum borjuis bahwa kenikmatan mereka akan terganggu….” (Imajinasi Anti-Kolonial)
Ada
Apa di Balik Operasi Militer dan Rasisme di Tanah Papua?
"Sirkus kekerasan polisi dan tentara telah menyulap kehidupan kita menjadi konyol, sempit dan berbahaya: penuh dengan bangunan penjara dan lautan pusara dari korban-korban kezaliman negara." (Bangsa Tertindas)
Demi melindungi kekuasaan kapitalisme dan statisme, kaum tertindas, terhisap dan miskin bukan hanya gampang dipenjara melainkan pula mudah dilenyapkan segala. Di Papua, benih kurungan dan pembantaian telah ditabur lama: ditanam sejak Operasi Trikora 19 Desember 1961, mulai berbuah pada aneksasi 1 Mei 1963, hingga semakin menjulang tinggi sampai 2021 kini. Sedangkan pupuk dari semua itu adalah doktrin ultra-nasionalisme: NKRI Harga Mati.
Dipupuk semangat nasionalitik yang menggila, maka TNI-Polri berlomba-lomba ingin menjadi patriot bangsa. Hanya patriotisme itu bukan mengarahkan merek berjalan di atas jalur kemuliaan dan kebijaksanaan, melainkan kehinaan dan kepandiran. Dengan mematut kenaifan patriotik segala bentuk kejahatan kemanusiaan polisi dan tentara di atas tanah Papua dianggap sebagai hal biasa. Leon Tolstoy memang pernah mendefinisikan patriotisme sebagai pendirian durjana: ‘prinsip yang akan membenarkan latihan pembunuhan dalam skala besar; sebuah keahlian yang membutuhkan peralatan yang lebih baik guna melatih para pembunuh manusia daripada memenuhi kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian, dan rumah’.
Dengan prinsip itulah kekuasaan bukan hanya nekad menjajah tenaga manusia dan kekayaan alam bangsa lainnya sebagai negara kolonial, melainkan pula menampilkan dirinya sebagai rezim fasis. Fasisme bagi Clara Zetkin memang bukan hanya tumbuh di atas krisis kapitalisme, tapi juga disulut oleh perasaan nasionalisme vulgar yang dibangun dari kepercayaan buta terhadap kesucian otoritas dan hierarki negara.
Fanatik dengan negara, maka polisi dan tentara dibuai ketengikan purba hingga menjulurkan militerisme dan rasisme. Inilah mengapa Emma Goldman menjelaskan bahwa patriotisme membuat pemeluknya tenggelang dalam kubangan ‘keangkuhan, kesombongan, dan egoisme’. Mereka merasa dirinya superior: menjadi orang-orang terpilih yang lahir dan hidup di peradaban maju dan utama. Untuk menyebarkan dan mempertahankan keyakinan gila itulah peperangan, pembunuhan, dan pertunjukan superioritas dilakikan untuk menaklukan bangsa lainnya. Dimulai sejak Operasi Trikora 19 Desember 1961, Papua didekati seperti itu oleh kelas penguasa Indonesia yang mulai mengarahkan kekuasaannya ke jalan fasisme. Paul F. Fink berkata:
“Bagi fasisme tendensi ke arah imperium, yakni melakukan ekspansi terhadap bangsa-bangsa lain adalah ungkapan kekuatan hidup; kebalikannya , yakni tinggal di rumah, adalah suatu tanda kemerosotan: orang yang bangkit atau bangkit kembali adalah imperialis[-kolonialis]; orang-orang yang mati adalah orang-orang yang terbuang….”
19 Desember 1961 adalah hari paling gelap tapi bersejarah bagi Rakyat-Bangsa West Papua. Sejak saat itulah Operasi Trikora sebagai awal Kolonialisme Indonesia menebar ketakutan di tanah Papua. Keagungan Deklarasi Kemerdekaan West Papua (1 Desember 1961) pun diluncurkan dengan praktik militerisme yang berlanjut melalui aneka pengerahan pasukan lainnya: Operasi Sorong, Biak, dan Jayawijaya (1962); Wisnu Murti I dan II (1963-1964); Operasi Khusus Persiapan Pepera (1961-1965); Operasi Bharatayudha (1966-1968); Operasi Wibawa (1968-1969); Operasi Pamungkas (1969-1973); Operasi Koteka dan Operasi Senyum (1977-1978); Operasi Gagak (1985-1990); dan Operasi Rajawali (1990-1998).
Dari zaman Orde Lama-Orde Baru, kolonialisme yang ditopang militerisme telah berhasil memanggungkan aneka kejahatan kemanusiaan: penganiayaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penculikan dan penghilangan paksa, pelecehan dan pemerkosaan, dan pembunuhan hingga pembantaian terhadap Ras Melanesia. Itulah mengapa jumlah korbannya meraksasa. Sampai tahun 1995 saja, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Jan Warinussy mendata: 100.000 Orang Asli Papua (OAP) telah dimangsa. Melewati cerobong hitam Reformasi hingga kini nyala kekejian militer kolonial masih membara. Sepanjang 2018-2021, kobaran kekerasan TNI-Polri tidak saja melalui letupan tembakan membabi-buta di sepanjang pemukiman warga, tapi juga penghancuran rumah-rumah hingga pengusiran penduduk dan penjarahan harta-benda segala.
Dari udara, bom mereka lempar. Di tanah, kaki-kaki bersepatu lars dan badan bersenjata lengkap bergentayang menyisir. Jalannya bahkan menerabas gerbang-gerbang pasar, sekolah, gereja, rumah sakit, teater seni-budaya hingga kantor-kantor berita. Teror aparatus represif negara merajalela di sana. Tetapi tidak pernah praktik buas mereka dikukuhkan sebagai aksi terorisme. Daripada menyematkan label teroris di tubuh TNI-Polri; negara justru membandulinya kepada tentara pembebasan West Papua. Padahal semua mengerti: perjuangan kelompok pemberontak bersenjata itu tak pernah masuk kategori terorisme.
Daripada melaksanakan teror terhadap warga; pasukan pemberontak malah menjadi garda terdepan yang tak penah menyerah memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Sejak Operasi Trikora, kelompok bersenjata itu bergerilya di hutan-hutan guna melancarkan perlawanan. Meski kalah maju urusan persenjataan, tapi mereka punya senjata tradisional dan begitu menguasai medan. Didorong oleh semangat baja dan ketahanan fisik yang ditempah oleh alam; maka militer kolonial tidak pernah mampu meredam pemberontakan. 1 Juli 1971, tentara pembebasan memproklamasikan kemerdekaan bangsanya untuk yang kesekian kalinya. 26 Maret 1973, mereka berhasil mendefinitifkan pasukannya menjadi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Di mata rakyat Papua dan elemen-elemen solidaritas untuk Bangsa West Papua, TPNPB dikenal sebagai pejuang pembebasan bangsa tertindas; sementara di hadapan Hukum Humaniter Internasional diakui menjadi Kelompok Kombatan. Hanya dalam kacamata kuda kolonial, mereka dilabel lancung: mulai dari separatis, kriminal bersenjata, hingga yang terkini adalah teroris. Padahal jika diamati secara seksama: teroris sejatinya adalah Negara Indonesia sebagai pelaku praktik kolonialis-militeris. Operasi militer yang dilakukannya selama ini telah mewarnai Bumi Cendrawasih dengan teror-teror buas, sadis, hingga membuat ratusan ribu OAP berkalang sengsara, luka-luka dan tewas.
Dihadapkan dengan kondisi seperti itulah mengapa sejak awal pergerakan TPNPB tampil sebagai pasukan pemberontak. Di bawah kekuasaan tiranik maka pemberontakan bukan semata langkah nekad yang bermartabat, melainkan pula pilihan terbaik untuk mempertahankan hidup. Dalam Hak untuk Melawan dan Hak untuk Memberontak (2019), Yulia Razmetaeva bahkan berucap. Bahwa perlawanan dan pemberontakan merupakan hak bagi bangsa yang menghadapi pendekatan kolonialistik—militeristik dan rasialistik:
“…hak rakyat untuk penentuan nasib sendiri dan pengakuan akan perlawanan, terutama hak untuk memberontak, paling didukung dalam kasus bangsa di bawah penindasan dan pendudukan kolonial…. Preambule dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 adalah rujukan tersurat kepada perlawanan dalam bentuk pemberontakan: adalah wajib jika manusia tidak dipaksa untuk menolong dirinya sendiri—sebagai pilihan terakhir—dengan memberontak melawan kelaliman-kelaliman dan penindasan…. Pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia dapat mengawali pelaksanaan terus-menerus hak untuk memberontak dan hak untuk menentukan nasib sendiri.”
Hanya bagi kelas penguasa di negeri ini, pemberontakan oleh kaum terjajah bukan saja dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya bagi kekuasaannya. Melainkan pula dihinakan dengan lilitan stigma. Tidak mampu mencemari perlawanan bangsa tertindas dengan isolasi separatis dan kelompok kriminal bersenjata; kini tuduhan teroris disembur bukan sekadar untuk menghina perjuangan luhur dan suci TPNPB, tapi terutama melegitimasi segala banalitas kejahatan terhadap Rakyat-Bangsa West Papua. Kedurjanaan itu dapat dilukiskan melalui ucapan Arundthai Roy:
“Untuk melumpuhkan binatang buas, orang memotong kakinya. Untuk melumpuhkan bangsa, orang memotong rakyatnya. Orang merampas tekad mereka. Orang mendemonstrasikan kekuasaan atas nasib mereka.”
Melalui penetapan TPNPN sebagai teroris penguasa kolonial sepertinya mencoba memperlihatkan kedigdayaannya. Terutama dalam menyelundupkan keputusan demi mempertahankan kekuasaannya. Hanya di sisi rakyat tertindas perbuatan itu dipandang sangat-sangat tercela. Dengan memberi stigma pandir kepada pejuang kemerdekaan Papua Barat, maka pemerintah kolonial tak sekedar tampil muram-durja tapi juga pengecut, panik, dan gila.
Tetapi kami mengerti bahwa kekuasaam memiliki agenda tersendiri dalam melanggengkan konflik: membalas gerakan rakyat yang menentang Dwifungsi ABRI dengan mengalihkan konflik vertikal menjadi horizontal. Dengan cara seperti inilah kalangan birokrat-fasis berupaya menyelundupkan seabrek kepentingan konyol: menunda dan menggagalkan proses pemeriksaan para perwira tinggi dan purnawirawan TNI yang terlibat kejahatan KKN dan HAM, mempertahankan konsep wawasan nusantara serta struktur teritorial TNI, dan terutama melindungi pelbagai kegiatan usaha militer—bisnis legal, ilegal, dan kriminal.
Sekarang, kami yakin: motif di balik penetapan TPNPB sebagai teroris tidak pernah beringsut dari agenda-agenda kelompok kapitalis-oligarkis dan birokrat-birokrat fasis. Hanya dalam menyelubungi kepentingan ekonomi-politiknya, mereka berupaya mendulang dukungan masyarakat dengan memantik sentimen-sentimen kebangsaan melalui doktrin dan slogan-slogan nasionalis. Dengan logika dan moralitas nasionalistik seseorang diarahkan bukan hanya untuk mendekati bangsa lainnya dengan beragam prasangka buruk dan sikap megalomaniak. Melainkan pula ikut membela negara dan kelas penguasa yang telah lama membusuk. Dalam kondisi inilah nasionalisme tidak tampil sebagai kulit luar dari bolshevisme, melainkan menjadi cangkang dari fasisme. Merasakan kekuasaan fasis yang terus mengancam, kami tutup saja catatan ini dengan sebuah pernyataan berlawan.
“Pemberontakan
permanen dengan ucapan, tulisan, belati, senapan, dan dinamit. Bagi kita apapun
bagus asal berada di luar legalitas.” (Jose Rizal)
Lawan Militerisme dan Rasisme terhadap Bangsa West Papua
“Orang yang ingin hidup dan meraih bagiannya saat ini dari matahari, dari bunga dan sukacita, harus menegaskan dirinya sendiri, berpikir dengan otaknya sendiri. Bertindak dengan bebas; bereaksi tanpa gencatan senjata, melawan belenggu yang ditempatkan oleh sebuah organisasi sosial yang absurd pada kepuasan kebutuhan yang paling mendasar dan keinginan yang paling logis. Menolak perbudakan adalah kondisi sine qua non pemenuhan kebutuhan ini.” (Victor Serge)
Begitulah kami menegaskan: kebebasan dan perdamaian adalah bagian dari kemanusiaan yang paling mendasar. Inilah mengapa perlawanan terhadap otoritarianisme negara dan modal menjadi sebuah keharusan dalam hidup. Apalagi jika melihat keadaan sekarang, maka dapat ditemukan alasan: kekerasan aparatus represif negara yang menjalar ke mana-mana telah mengancam keberlangsungan kehidupan. Kini kekerasan itu bahkan sudah menyulap pemerintahan tidak lagi demokratis, melainkan fasis bahkan kolonialis. Situasi kebangsaan sekarang memampangkan itu semua. Bila tak percaya lihatlah ke Papua sana: pelanggaran HAM tak menjadi aib, melainkan praktik yang wajib. Begitulah berlangsungnya perampokan, peracunan, penganiayaan, pemerkosaan, penahanan, penculikan, penghilangan paksa, pembunuhan dan pembantaian terhadap jutaan OAP.
Atas kekerasan yang berlangsung di tanah Papua; bukan hanya jutaan jiwa yang menderita, miskin-lemah, dan meninggal dunia. Tapi juga puluhan ribu orang ikut mengungsi meninggalkan kampung halamannya. Larinya mereka dari rumah-rumahnya tak sebatas karena takut mati, melainkan pula sudah tidak ada yang bisa ditinggali. Operasi militer soalnya sangat-sangat horor dan keji: menduduki rumah sakit, sekolah, geraja, pasar, desa, hingga mamborbardil rumah-rumah penduduk sampai hangus dilahap api. Baru-baru kemarin (27/4), serangan TNI-Polri telah meluluhlantahkan Desa Efus di Puncak Papua: ratusan rumah adat diberondong tembakan peluru dan bom dari udara, kampung hancur-terbakar, empat gereja direbut paksa, hingga semua penduduk beringsut menyelamatkan diri ke Tanah Merah.
Sejak fasisme-militerisme yang berdiri di atas lantai statisme-kolonialis dan kapitalisme-imperialis menggerayangi Papua—dari 1961 sampai akhir 1980-an—tercatat 10.000 OAP mengalami pembunuhan. Memasuki 2021, korban kebrutalan TNI-Polri itu semakin meningkat bukan saja dalam bentuk kekerasan fisik yang bersifat langsung tapi juga aneka sifat kekerasan lain: alienatif, represif, dan tidak langsung. Hanya tidak ada satupun dari pelbagai kejahatan ini yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Daripada mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan, Presiden dan MPR RI justru menyemprotkan pernyataan pandir dan jahat: akan melakukan operasi militer besar-besaran untuk menumpas Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.
Digelorakannya dalih-dalih ultra-nasionalisme maka pendropan TNI-Polri dalam melakukan pembantaian mendapat pembenaran. Bahkan didasarkan semangat nasionalistik yang ekstrim; praktik pemusnahan Ras Melanesia tidak dianggap kejahatan melainkan kehormatan dan kepahlawanan. Padahal kita semua mengerti: TNI-Polri dikirim ke Papua bukan untuk menjaga kedamaian dan mewujudkan kesejahteraan, tapi membangun imperium fasis-militeris dan mengamankan bisnis kapitalis-imperialis. Singkatnya, pengiriman mereka ke Papua dapat dilukiskan melalui tulisan Clara Zetkin dalam Melawan Fasisme (2020):
“Angkatan bersenjata hanya bertugas membela tanah air. Itulah janji dari kaum fasis. Namun, pada kenyataannya perkembangan kapasitas militer dan perluasan terhadap persenjataan diorientasikan dalam melakukan penjelajahan imperialisme…. Ratusan juta lira telah disetujui untuk membangun industri berat militerisme dengan mesin yang paling modern dan untuk menciptakan instrumen-instrumen kematian yang begitu mematikan.”
Di
bumi Papua itulah yang sedang berlangsung. Bohong kalau TNI-Polri berjuang demi
tanah air semata, karena mereka dikirim sekaligus untuk membangun kerajaan
bisnis secara gandrung. Makanya di bawah langit Cendrawasih ada beragam unit
usaha polisi dan tentara. Hanya dalam La Empresa Guerra; Bisnis Perang
dan Kapitalisme Global (2005), George Aditjondro membaginya menjadi tiga
jenis usaha: (1) bisnis institusional (legal): berbentuk perusahaan-perusahaan
di bawah payung yayasan-yayasan dan koperasi-koperasi yang didirikan oleh
instansi TNI-Polri; (2) bisnis non-institusional (ilegal): usaha-usaha milik
Purnawirawan ABRI dan keluarganya yang telah berkembang menjadi bisnis-bisnis
yang kuat dan berjaya; (3) bisnis kriminal (kelabu): kegiatan memupuk laba
dengan cakupan yang luas—mulai dari perusahaan-perusahaan raksasa yang ingin
dilindungi dari gangguan kelompok bersenjata api maupun bersenjata tajam, dan
memiliki massa yang cukup banyak untuk melakukan intimidasi, sampai dengan
penjualan senjata ilegal, perdagangan narkoba [dan minuman keras], perdagangan
pekerja seks [dan perjudian], sampai dengan perdagangan flora dan fauna langka:
“Ketiga
bisnis militer itu berkembang maju mundur, membengkak dan menyusut, mengikuti
dinamika kerusuhan sosial di negeri ini. Mengapa? Sebab nyaris setiap kerusuhan
atau gejolak sosial di setiap daerah di Indonesia [terutama di tanah Papua],
dianggap merupakan masalah yang harus ‘diurus’ oleh tentara [dan polisi] dengan
cara-cara yang militeristik…. Tapi bukan bisnis senjata yang paling menghasilkan
uang…. Menurut hasil investigasi penulis [George Aditjondro], pemasokan ransum
bagi tentara dan polisi yang bertugas di lapangan [oleh negara dan
perusahaan-perusahaan kapitalis-imperialis], serta pemasokan semen untuk
pembangunan dan rehabilitasi asrama tentara dan polisi …, yang ratusan
jumlahnya merupakan sumber pemasukan yang lebih besar….”
Sekarang: dengan keberlangsungan operasi militer, ditambah derasnya pengiriman TNI-Polri, dan pembangunan Kodim-Kodim baru di tanah Papua—maka bukan hanya kejahatan kemanusiaan yang terus ditumpukan, tapi juga bertambah derasnya aliran keuntungan. Sedangkan OAP tidak mendapatkan manfaat sedikitpun, melainkan kerugian atas perampokan dan kematian akibat kekerasan. Bahkan pencaplokan lahan untuk membangun jalan, jembatan, dan mendirikan perusahaan yang berlangsung selama ini menjadi cermin bagaimana Rakyat-Bangsa Papua dicerabutkan dari kakayaan adat-istiadat, seni-budaya dan sumber daya alamnya.
Semua itu berlangsung di atas praktik fasistik-militeristik dari kolonialisme-imperialisme yang diselubungi rasionalitas dan moralitas nasionalistik. Logika dan moral ini secara ilutif menjerat manusia untuk tunduk dan patuh di bawah bayang-bayang otoritas-hierarkis. Itulah mengapa kelancungan praktik nasionalisme dan patriotisme yang menghalalkan peperangan dan pembantaian kemudian tidak pernah dipandang sebagai kejahatan. Melainkan kegandrungan terhadap kedaulatan dan kepahlawanan. Mereka sepertinya tidak mau mengerti apa yang dijelaskan oleh Emma Goldman. Bahwa sejatinya nasionalisme-patriotisme mengancam kebebasan dan kemerdekaan, karena keduanya mengandung ‘keangkuhan’ dan ‘kesombongan’ yang membuat pemeluknya ‘berkewajiban membunuh’ dan ‘rela mati’ demi memaksakan kekuasaan.
Persis seperti itulah militerisme yang berlangsung di tanah Papua. Mendakukan nasionalisme-patriotisme maka TNI-Polri bukan saja berlomba-lomba melecehkan hingga membantai OAP, tapi juga bersedia mengorbankan nyawanya demi membela kepentingan modal dan negara. Sedih, muak, dan berang terhadap semua inilah yang mendorong kami melanjutkan kampanye kemanusiaan dan anti-otoritarian--kapitalisme dan statisme. Bersama, kami menebarkan protes setegas kredo dari Zapatista:
"Kami tidak menghimbau untuk angkat senjata, tetapi kami ingin bernyanyi untuk mereka yang berani berteriak: cukup adalah cukup!”
Medan Juang, Perjuangan Sepanjang Kehidupan
Atas
nama kaum tertindas, terhisap dan miskin; panjang umur perjuangan.
Penulis:
Agi-Pro PEMBEBASAN Kolektif Kota Mataram