Doc. Koran kejora, Foto ilustrasi 59 Tajun Aneksasi west papua 01 mey 1963 - 2022 |
PRESS RELEASE
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Dan
Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRIWP)
Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!
59 Tahun Aneksasi Bangsa Papua Barat Ke Dalam Bingkai Kolonial Indonesia Dan Berikan Hak Menentukan Nasip Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi West Papua
Wilayah Papua telah lama menjadi sengketa antara Indonesia, Belanda serta Amerika dan Indonesia. Negosiasi dalam menentukan status Papua Barat di mulai dari Perjanjian Linggardjati pada 15 November 1946 dan dilanjutkan dengan Konfrensi Meja Bundar (KMB) antara Belanda-Indonesia tahun 1949. Namun dari kedua perjanjian tersebut status Papua Barat masih belum selesai hingga Belanda mengamandemenkan konstitusi bahwa Papua Barat adalah bagian dari Kerajaan Belanda pada tahun 1956.
Rakyat Papua yang melihat situasi objektif ini kemudian mulai mongkonsolidasikan diri agar terlepas dari Indonesia, Belanda maupun Amerika serikat. Tepat pada tanggal 1 Desember 1961 rakyat Papua mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai sebuah negara yang merdeka yang telah diakui dan sah secara de fakto maupun de jure. Namun Indonesia (Soekarno) menanggapi kebebasan berdaulat tersebut dengan mendeklarasikan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) pada 19 desember 1961 yang isinya ; Bubarkan negara boneka Papua buatan Belanda, Kibarkan sang saka merah putih di seluruh Irian barat dan bersiaplah melakukan mobilisasi umum.
Ir. Soekarno mengklaim Papua Barat bagian dari Indonesia dengan berbagai alasan. Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit, Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung Papua Barat di klaim oleh sultan Tidore dan Soekarno sebagai bagian dari Kesultanan Tidore yang berdasarkan teritori sebagai daerah “Indonesia Bagian Timur”. Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda. Soekarno juga yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme Barat di Asia Tenggara. Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda. Ia juga memiliki perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat merupakan benteng Belanda yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede politionele aktie) pada 19 Desember 1948 untuk menghancurkan negara RI.
Dari ambisi Belanda maupun Indonesia untuk merebut Papua Barat ini kemudian melahirkan perjanjian New York (New York Agreement) dan Perjanjian Roma (Roma Agreement) di tahun 1962. Dari Perjanjian tersebut dengan tekanan Amerika serikat, tepat pada 01 Mei 1963 pemerintah Belanda menyerahkan Papua kepada UNTEA (United Nation Temporary Executivee Authority) sebagai perwakilan badan ekseskutif sementara PBB yang akan menyerahkan Papua Barat ke Indonesia sesuai mekanisme hukum internasional. Namun Setelah menganeksasi Papua Barat, UNTEA dan Indonesia telah melanggar Hukum Internasional, Melanggar Prinsip-Prinsip Demokrasi, dan Melanggar Hak-Hak Dasar Masyarakat Papua Barat sebagaimana perjanjian yang telah di tetapkan tanpa melihat hak kemerdekaan bangsa Papua Barat yang telah dicapai.
Dalam New York Agreement telah disepakati proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang akan dilaksanakan pada tahun 1969. Namun sebelum PEPERA dilakukan, berbagai macam Operasi khusus (Opsus) dibawah komando mandala Soeharto dan di ketuai oleh Ali Murtopo digencarkan oleh Indonesia. Melalui ABRI (kini TNI) telah menghancurkan bangsa dan rakyat Papua Barat dengan membakar semua buku-buku, symbol negara, memerkosa,menyiksa, membunuh hingga mencuri dan menjarah semua harta benda yang dimiliki rakyat Papua. Kemudian mekanisme one man one vote (New York Agreement) juga diubah menjadi musyawarah mufakat seperti budaya rakyat Indonesia. Dari 809.337 orang asli papua yang memiliki hak hanya diwakili oleh 1.025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan hanya 175 orang yang memberikan pendapat. Sebelum dilaksanakannya PEPERA juga tepatnya di tahun 1967, Indonesia dibawah pimpinan soeharto telah menandatangani kontrak dengan perusahaan tambang Freeport Mc Moran milik Amerika serikat melalui UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Maka dari itu Proses Aneksasi hingga mekanisme PEPERA dianggap cacat moral dan hukum oleh rakyat Papua.
Hingga saat ini, Paket kebijakan otonomi khusus yang dipaksakan terhadap rakyat papua dari tahun 2000 semakin memperparah penjajahan di Papua. Menurut data yang di rangkum oleh Sawitwatch (2021) 998, 094,2 ha (Papua) di tambah 576,090 ha (Papua Barat) adalah luas hutan yang dieksploitasi oleh kelapa sawit dengan ratusan perusahaan di dalamnya. Akses pertambangan legal maupun ilegal seperti tambang minyak, gas, emas, perak, uranium, biji besi dan lainnya yang dibuka lebar bagi investor lokal dan asing. Demi melancarkan eksploitasi sumber daya alam Papua, dilakukan operasi-operasi militer yang mengakibatkan 13.687 jiwa mengungsi dari Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, Puncak, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat dan daerah lainnya hingga 64 jiwa meninggal selama pengungsian (SORAKPATOK,2021). Tingkat pelanggaran HAM pun semakin marak terjadi. Mulai dari penembakan terhadap masyarakat sipil, penangkapan aktivis, pembungkaman ruang demokrasi, pelecehan seksual,serta kriminalisasi gerakan pro kemerdekaan papua dengan memberikan label teroris tanda adanya dasar hukum yang jelas.
Pemekaran Daerah Otonomi Baru dan pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, pelabuhan dll) merupakan akses yang dibangun untuk melancarkan perputaran modal /eksploitasi besar-besaran diatas tanah papua tanpa memperhatikan masa depan rakyat papua sebagai subjek maupun objek dari tanah papua itu sendiri.demi kepentingan pemilik modal dan elit-elit birokrat.
Dari sejarah dan situasi maupun kondisi yang terus berkembang sampai hari ini. Dapat di simpulkan bahwa tidak akan pernah ada masa depan selama bangsa papua masih berada di dalam ketiak kolonial Indonesia dan hanya dengan menentukan nasibnya sendiri bangsa papua akan terbebas dari segala bentuk system yang menindas; Militerisme,kolonialsimne, dan Imperialisme.
Maka dari itu, kami Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRIWP) menuntut serta menyatakan sikap bahwa:
1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua
2. Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II
3. Cabut Omnibus Law
4. Tolak pemekaran DOB di seluruh tanah papua
5. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua
6. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua
7. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia
8. Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat
9. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang
10. Usut tuntas pelaku penembakan dua anak di Intan Jaya
11. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM
12. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri terhadap mahasiwa dan rakyat west papua
13. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, puncak papua, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya
14. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua
15. Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung
16. Buka Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua
Demikian PRESS RELEASE ini kami buat dan menyerukan kepada dunia internasional, PBB dan semua gerakan yang peduli akan kemanusia dan keadilan atas perhatian dan kerja samanya kami ucapkan banyak terima kasih
Salam Demokrasi!
Medan juang
Minggu, Tanah kolonial , 01 Mei 2022