Papua dalam bahaya pemusnahan (Foto: Ist) |
Oleh, Mikael Kudiai
Beberapa waktu lalu, pada bulan September 2015, saya sempat melakukan liburan selama sebulan di Papua. Di Papua tepat di Nabire.
Nabire merupakan kota pintu dari empat kabupaten besar di daerah pegunungan tengah Papua karena geografisnya terletak pada daerah daratan pantai. Empat kabupaten tersebut adalah Paniai, Dogiyai, Deiyai dan Intan Jaya. Empat kabupaten tersebut juga merupakan wilayah pemekaran dari kabupaten induk awal, yaitu Paniai yang dimekarkan pasca sesudah dilakukannya Pepera 1969 yang ilegal.
Berkunjung di Nabire merupakan sesuatu niscaya selama sebulan di sana. Nabire tak seperti dulu, Nabire tidak seperti yang selama ini saya bayangkan. Mengapa?
Setidaknya sebelum melakukan kunjungan liburan di sana, yang ada dalam pikiran saya adalah sekarang mengalami perubahan. Perubahannya, ya, masyarakatnya diberdayakan oleh penguasa pemerintah setempat di segala sektor.
Setiba disana, apa yang ada dalam pikiran saya berbanding terbalik. Semua yang saya bayangkan tentang pendidikan, ekonomi, politik, budaya, HAM, keamanan dan sektor-sektor lainnya bias dari apa yang saya pikirkan selama ini.
Benar! Semua ini setingan sistem yang merebak pada bisnis politik yang dipermainkan oleh segelintir orang.
Selama sebulan di Nabire, tak ada cerita lisan yang terdengar di telinga saya tentang hal-hal yang positif. Semua ambigu dan berantakan. Semua yang saya dengar hanya dari pandangan dan cerita lisan yang negatif.
Cerita lisan yang negatif itu menonjol ketika saya mengunjungi tempat-tempat anak-anak Papua berkumpul-kumpul, misalnya Balai Desa, Kelurahan, dan Sekolahan. Yang dahulunya tempat bersenang-senang, tempat-tempat belajar anak-anak Papua di bawah usia Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah (Atas) melakukan proses belajar, tetapi sekarang berbanding terbalik. Berbandingnya seperti apa? Entahlah!
Suatu ketika, sekitar pukul 16:00 sore waktu Papua, saya dari rumah saya di Bumiwonorejo [1] berjalan santai menuju tempat-tempat yang saya sudah jelaskan di atas. Tiba di sana sekitar pukul 18:30 sore.
Disana ramai, tak ada orang yang tidak melakukan aktivitas. Semua melakukan aktivitas sesuai dengan apa yang mereka buat.
Sejenak, di sebuah jembatan kecil di sebelah kanan gerbang pertama, Karang Barat (nama dusun) di ada sekelompok anak usia sekolah. Rata-rata usia SMP dan SMA. Mereka membuat sebuah lingkarang dan di tengah-tengah lingkaran tersebut ada sebuah motor dan digantungkan sebuah plastik hitam besar di atas motor tersebut.
Plastik hitam besar tersebut berisi air. Entah itu air apa!
Berjalan mendekati mereka. Karena salah satu dari mereka melihat kedatangan saya, tiba-tiba satu di antara mereka mengangkat plastik besar yang diisi air tersebut dan dibuangnya ke dalam parit. Dan mereka semua pun lari ketakutan karena melihat saya menghampiri mereka.
Saya jadi bingun dan bertanya-tanya, sebenarnya apa yang sedang mereka lakukan dan kenapa mereka begitu ketakutan melihat saya ketika saya menghampiri mereka.
Tak satu pun yang tak lari, semua kabur bagai air jernih yang ketika kita mau menangkap ikan dan ikan-ikat tersebut lari hingga airnya menjadi kotor.
Disitu ada sekelompok perempuan. Yaa, usia mereka juga sama seperti anak-anak tadi. Saya menghampiri mereka dan bertanya kepada mereka,
“Ehhh, dong (mereka) kenapa lari? Sa (saya) mau salam mereka baru?”
“Yang tadi itu sia-siapa eee? Masa dong takut lihat sa tu (itu)?” tanya saya lagi.
“Tadi dong minum bobo [2] sama isap ganja. Dong takut kaka baru dong lari.” Kata seorang peremuan mudah disitu.
Saya kaget. Gaget ketika mendengar kalau mereka ternyata minum bobo dan isap Ganja.
Di dalam pikiran saya, saya meletakan anak-anak tersebut sebagai korban sebuah konspirasi sistem. Walau pun saya belum menemukan bukti yang rill.
Keesokan harinya ketika saya pulang ke rumah. Yang ada di dalam pikiran saya, saya hanya mau menulusuri, sebenarnya ada apa dibalik kejadian tadi malam.
Sekitar pukul 11:00 siang waktu Papua, saya bertemu dengan salah satu kawan saya. Saya mencoba bertanya banyak hal tentang kejadian dan situasi di Nabire.
Ternyata apa yang saya duga di atas soal penyebaran Ganja, Miras Lokal dan Narkotika lainnya, ternyata benar, semuanya dijual oleh para polisi dan intelijen di Nabire. Letak penjualan mereka di Kalibobo, Nabire, Papua.
Saya sempat bertemu dengan beberapa anak-anak Papua yang sudah terjerumus dan sering menggunakan Ganja, Miras lokal, dan Narkotika lainnya, dan bertanya kepada mereka, mereka memberikan jawaban yang sama. Rata-rata yang melakukan penjualan dan bisnis adalah polisi dan intelijen di Nabire.
Saya berpikir, tak hanya miras, narkotika atau obat-obat terlarang lainnya saja yang mereka melakukan bisnis di Papua. Terbukti ketika saya membaca dokumen Badan Intelijen Negara (BIN) Indonesia pada Mei 2014 yang bocor, beberapa informasi yang saya dapatkan dari anak-anak Papua pelaku narkotika di Papua sendiri, yang saya saksikan sendiri bagaimana militer melakukan bandar penjudian Togel, dan beberapa informasi tentang digunakannya perempuan sebagai alat penyebaran HIV/AIDS untuk memusnahkan orang Papua oleh Polisi dan BIN.
Militer dan Bisnis Togel
Di Nabire, saya sudah hampir 17 tahun lebih tinggal disitu. Berkisah dari lahir hingga tamat SMA. Aktivitas masyarakat di beberapa titik di Nabire, tak lain adalah berjudi Togel.
Setidaknya Penjudian Togel telah dan sudah menciptakan sebuah ketergantungan masyarakat dalam necari nafka di Nabire. Tak hanya di Nabire, di beberapa kota di Papua, seperti di Jayapura, Manokwari, Merauke, dan beberapa kota lain pun demikian.
Lihat saja, kalau anda melakukan kunjungan atau liburan Papua, aktivitas sore hari masyarakat tak lain, hanya judi Togel dan Togel. Ketika penjudian Togel menciptakan sebuah ketergantungan, masyarakat pribumi Papua lebih condong dibentuk untuk tidak menghasilakan ekonominya dari hasil bumi mereka sendiri, dibandingkan setiap harinya hanya berjudi Togel.
Akibatnya rumput naik karena tak pernah dibersihkan di pinggiran halaman rumah mereka. Tak hanya itu, yang dahulunya masyarakat Papua adalah komunal, sekarang meloncat secara paksa hanya bermain judi dan judi Togel menjadi masyarakat budak. Kebun-kebun mereka yang dahulunya mampu menghasilakn hasil bumi yang melimpa dan mampu memberikan kehidupan kepada mereka, sekarang semakin berkuran akibat adanya penjudian Togel.
Terus, sebenarnya siapa dibalik penjudian Togel tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya punya pengalaman. Pengalaman yang tak jauh dari apa yang sudah saya jelaskan di atas.
Suatu ketika, sekitar enam (6) tahun yang lalu, ketika saya duduk di bangku SMA kelas 2. Setelah pulang sekolah, saya pulang mengikuti arah tempat penjudian Togel. Kebetulan, arah rumah saya melewati tempat itu.
Sebelum melewati tempat tersebut, ada empat mobil Patroli milik Polisi, parkir di tempat penjudian Togel.
Dalam pikiran saya, pasti mereka mau melakukan penggeledaan atau sweeping terhadap para bandar Togel tersebut.
Berjalan menyusuri tempat itu. Situasi aman tak ada tanda-tanda penggeledahan atau sweeping di tempat itu. Masyarakat yang melakukan pembelian atau pemasangan penjudian Togel pun berjalan tanpa ada tanda-tanda Sweeping atau penggeledahan.
Sejenak, masuk dan menyaksikan aktivitas mereka.
Di depan mata dan kepala saya, para penjual Togel memberikan jaminan berupa uang kepada kepolisian sebagai upah perbulan. Dan mereka sendiri melakukan bandar penjudian Togel di tempat itu.
Waktu itu memang saya sendiri tidak menyadari semua akan hal-hal negatif mereka untuk memusnahkan manusia Papua.
Sejenak ketika mengingat kembali tentang hal itu, benar-benar gila. Militer melalui Polisi bukannya mengamankan semua, malah sebagai pagar yang menanam sambil memakan tanaman satu per satu.
Terus terang, kisah ini sampai sekarang masih tersimpan dalam pikiran saya. Bagaimana Polisi bekerja sebagai pembisnis untuk musnahkan orang Papua melalui hal-hal tersebut.
Secara struktural dan sistematis, kita bisa katakan bahwa, yang melakukan adanya orang Papua menjadi malas dan tak mau bekerja bukanlah orang Papua sendiri, tetapi ini adalah sebuah konspirasi sistem yang dipermainkan oleh elit-elit militer.
Boronan kerja Polisi pun semakin memuncak dengan melakukan bisnis-bisnis penjudian Togel yang merajut pada sebuah tingkatan kapitalis itu sendiri. Kapitalis itu sebuah sistem praktek yang mementingkan diri sendiri atau kelompok. Nah, praktek tersebut pun dilakukan demi kepuasaan mereka yang berakibat pada manusia Papua yang semakin hari kitan musnah di atas tanahnya sendiri.
Ironis!
Militer di Papua tak hanya tidak mengamankan masyarakat Papua, tetapi militer di Papua juga telah dan sudah melakukan sebuah praktek kapitalisme yang menguntungkan individu dan lembaga mereka. Kalau sudah sampai di tahapan seperti demikian, secara struktural, militer sudah dan telah melakukan pembunuhan secara tersistematis melalui bisnis-bisnis yang mereka lakukan.
Pembunuhan yang secara lambat dan membutuhkan waktu yang lama, tetapi sadis ketika kita sendiri merasakan bahwa keluarga kita, anak cucu kita, saudara kita dibunuh melalui mental, moral dan etika yang mereka gunakan secara bertahap.
Tak heran ketika para militer yang bertugas di Papua memiliki rekening gendut. Tak lain, kerja bisnis kekerasan, miras, perempuan, narkotika, dan togel di Papua.
Penulis adalah aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
------------------------------------------------------------------------------
Pustaka:
[1] Bumiwonorejo merupakan sebuah nama dusun masyarakat yang diberikan pada masa pemerintahan pertama di Nabire, Papua, yaitu pada masa bupati Karel Gobai. Dalam T I F A — Jurnal Ilmiah Etnografi Papua, Volume 02, Nomor 02, Maret 2014, Johanes Supriyono menjelaskan tentang penggantian nama tempat dan jalan juga merupakan sebuah politik pengasingan masyarakat Papua yang bergeres dan memperhambat sebuah pembangunan di Papua.
[2] Bobo merupakan sebuah Miras Lokal Papua. Kalau dulu masyarakat pesisir Pantai, Papua, biasanya mereka jadikan sebagai minuman lokal menyegar tubuh. Tetapi sekarang malah bias. Anak-anak mudah Papua sekarang malah jadikan minuman tersebut sebagai minuman yang malah menghancurkan tubuh mereka sendiri. Tetapi tak semudah itu kita salahkan mereka sebagai pengonsumsinya. Kita perlu melakukan sebuah kajian soal miras di Papua, karena dugaan saya, Miras, entah lokal maupun yang minuman toko (Bir, Robinson, dan lain-lainnya) merupakan pusat bisnis para penguasan dan militer di Papua.