Alm. Musa Mako Tabuni.pic |
Disana ada dunia kita, kawan
Masih terus kutelusuri diantara dedaunan duri di setiap lembaran berliku
Masih tersimpan banyak tentang kita di alam sana, kawan
Masih diberikan pancaran fajar pagi yakni tuntunan tanda panggilan-Nya
Namun janganlah kau bercerita tentang sirnanya wajah kawan kita
Sebab bagimu lentera jiwa dan roh, hantu jalanan
Dari setan berpuri yang sedang menggadai bugil di setiap jalan kita,
Bagai pesona alam bulu Harimau
Kedok wayang pun semakin bersebrangan lantaran jalan
Jangankan para anjing berkalung rantai emas sembah sang Babi nyepet
Semua permaisurinya dipayungi hidup jiplak taman firdaus,
Lantaran hidup bagi rakyat bagai rumput di padang pasir
Itulah jalan. Setapak nan rupa seni bibir buah keringat
Jalan berlika-liku, menyebrangi jembatan di setiap tikungan
Menyerpihan wajah barisan derap langka nan gagah perkasah berkisah rongga
Adalah rangkaian selirik lagu yang indah untuk di nyanyikan oleh kemudian hari
Setelah 61 teras tapak perjuangan ini di letus oleh hati cendekiawan
Akan kita akhiri dimana setelah musim revolusi ini?
Sebab hari semakin siang. Haruskah sore dan benih baru tumbu, lalu tuntas kh?
Hari ini, Kini, disini, dan saat ini, kau, aku, dan dia adalah pelaku. Salam Revolusi.
Penulis adalah mahasiswa asal Papua, di Jogja, anggota AMP Komite Kota