Ilustrasi Gambar Oleh AMP "Pernyataan Sikap: FRI-West Papua Dan AMP Hari Perempuan Internasional 2018" |
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Waa… waa… waa… waa… waa… waa… waa… waa… waa… waa!
Selamat Hari Perempuan Internasional 2018!
Salam Solidaritas!
Hari Perempuan Internasional merupakan momen bersejarah bagi perjuangan kaum perempuan di seluruh dunia dalam hal ekonomi, politik dan sosial-budaya. Sejarah telah memastikan bahwa peran perempuan merupakan salah satu elemen penting dalam keseluruhan perjuangan manusia untuk menjadikan hidupnya lebih mulia. Kesetaraan—dalam hal ekonomi, politik dan sosial budaya—selamanya tak akan dapat dinikmati tanpa adanya peran perempuan.
Akan tetapi, meski Hari Perempuan Internasional telah diperingati sejak seabad lalu, perempuan saat ini masih saja mengalami beragam bentuk penindasan: kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Perjuangan perempuan untuk meraih kehidupan yang lebih baik belumlah mencapai kemenangan.
Perempuan West Papua berdiri tegak!
Di tengah bentangan panjang sejarah bangsa West Papua dalam menentukan nasibnya sendiri, perempuan-perempuan West Papua berdiri sambil menderitakan bermacam penindasan. Baik ketika di bawah pemerintahan kolonial Belanda, pun di bawah pemerintahan Indonesia. Penderitaan bukanlah kosakata baru dalam hidup perempuan West Papua.
Pada masa Perang Dunia II, tanah Papua menjadi medan pertempuran antara pasukan Jepang dan Sekutu. Rakyat, khususnya perempuan West Papua, menjadi korban. Sampai Perang Dunia II berakhir, Papua masih berada di bawah kuasa Belanda (yang menjanjikan dekolonialisasi), setidaknya hingga Indonesia melakukan upaya-upaya “pembebasan” tanah Papua. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora dengan tujuan “membebaskan” Papua dari cengkeraman Belanda. Trikora kemudian mengejawantah menjadi serangkaian operasi militer. Rakyat, khususnya perempuan West Papua, menjadi korban. Sejak dikumandangkannya Trikora hingga saat ini, ada setidaknya 30 (tiga puluh) operasi militer yang terjadi di tanah Papua. Sebanyak, selama, seperih, sesakit, itulah yang harus dihadapi rakyat, khususnya perempuan West Papua dalam menanggung hidup.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Pokja perempuan Majelis Rakyat Papua dan International Center for Transitional Justice (ICTJ) Indonesia telah mendokumentasikan fakta kekerasan terhadap perempuan West Papua sepanjang tahun 1963 sampai 2009. Dari dokumen tersebut tercatat ada 138 kasus kekerasan negara dan 98 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan negara berarti tiap bentuk kekerasan terhadap perempuan, baik itu fisik, seksual dan psikologis, yang dilakukan atau didukung oleh aparat keamanan dan aparat pemerintahan. Penelitian terbaru dari Papuan Women’s Group (PWG) mencatat ada 60 perempuan dari 170 yang terlibat dalam penelitian pernah mengalami kekerasan, dan 48 di antaranya adalah korban kekerasan negara atau pelanggaran HAM.
Tentara menjadi aparat negara yang paling banyak menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan West Papua, hal yang masuk akal mengingat luar biasa banyaknya operasi militer yang digelar di Papua. Yang sulit diterima oleh akal manusia yang sehat adalah, bagaimana tentara dan/atau polisi Indonesia memperlakukan perempuan West Papua. Perempuan West Papua menderitakan kekerasan berupa pembunuhan (femicide), penghilangan, penembakan, percobaan pembunuhan, penahanan, penganiayaan, penyiksaan, penyiksaan seksual, pemerkosaan, percobaan perkosaan, perbudakan seksual, eksploitasi seksual, aborsi paksa, rasisme dan pengungsian paksa.
Belum lagi permasalahan seperti tidak adanya hak perempuan untuk terlibat dalam mekanisme pengambilan keputusan, tak bisa ambil bagian dari kompensasi, juga tak bisa mengakses kesempatan kerja baru karena industri lebih banyak memperkerjakan orang-orang pendatang. Juga tak boleh dilupa, perempuan West Papua terkena dampak atas kerusakan ekologis dan masalah-masalah sosial yang timbul akibat maraknya industri seperti perkebunan sawit, pertambangan, dan lain-lain.
Dalam ranah rumah tangga, perempuan West Papua juga kerap mengalami tindak kekerasan berupa poligami, menjadi korban perselingkuhan, penelantaran ekonomi, penganiayaan, kekerasan psikis, pemerkosaan dalam perkawinan, perkosaan anak, pembunuhan anak, kawin paksa, hingga tertular HIV/AIDS. Sepanjang 2016-2017, jumlah kekerasan rumah tangga bahkan mencapai angka 2000-an.
Juga yang masih cukup segar di ingatan kita orang-orang Indonesia, sebagai bagian dari bangsa yang pelupa, bagaimana puluhan balita meninggal di Papua karena masalah gizi buruk, meski penelitian masalah gizi buruk di Papua sudah terbit sejak tahun 2005.
Pemujaan terhadap konsep kecantikan kulit putih di Indonesia telah meminggirkan perempuan-perempuan Papua yang berkulit hitam. Dalam produk budaya, terutama televisi dan film, menjadikan orang Papua sebagai bahan olok-olok. Perempuan Papua menjadi kelompok yang paling menderita karena dihegemoni untuk mengikuti standar kecantikan negeri jajahan yang patriarkis dan rasis. Standar kecantikan yang juga bahkan bisa diamini oleh laki-laki Papua. Dalam penjajahan budaya ini yang dihancurkan adalah kepercayaan diri perempuan Papua atas warna kulit dan ciri biologisnya untuk menciptakan ketidakberdayaan, menyerah dan kekalahan.
Sekali lagi, di tengah bentangan panjang sejarah bangsa West Papua dalam menentukan nasibnya sendiri, perempuan-perempuan West Papua berdiri sambil menderitakan bermacam penindasan. Angka-angka tersebut bukanlah sekadar bilangan belaka. da manusia-manusia, perempuan-perempuan, yang tegak, tegar, berdiri, dipaksa menderita, berani, dan melawan. Angka-angka itu adalah perempuan-perempuan yang benar-benar hadir di dunia, di tanah West Papua, hadir dalam sejarah perjuangan bangsanya.
Kami menilai, realitas kekerasan yang dialami oleh perempuan West Papua tak dapat dipisahkan dari problem kolonialisme dan kepentingan modal internasional. Banyaknya aparat bersenjata Indonesia yang dikirim ke tanah Papua, baik dalam upaya operasi militer, pembangunan komando teritorial, pun untuk tenaga penjagaan industri—yang kesemuanya dilakukan demi kepentingan modal, tanpa berupaya memanusiakan perempuan West Papua, juga bangsa West Papua secara keseluruhan.
Akar permasalahan di Papua adalah penjajahan, dan oleh karena itu pembebasan Perempuan Papua hanya bisa diraih dengan pemenuhan atas hak menentukan nasib sendiri (self-determination) bagi bangsa Papua. Sebab, perkembangan bangsa Papua tak bisa lebih maju lagi di bawah kolonialisasi, bahkan bangsa Papua terancam musnah karena kematian akibat pembunuhan dan penyakit, serta pengusiran.
Oleh sebab persoalan-persoalan tersebut, kami Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua, dalam momentum Hari Perempuan Internasional 2018, menuntut:
1. Jaminan pemenuhan pendidikan dan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi bagi Perempuan Papua.
2. Tangkap dan penjarakan pelaku pelecehan seksual, perkosaan dan pembunuhan terhadap Perempuan Papua.
3. Bongkar berbagai tragedi di Papua yang mengakibatkan terjadinya kekerasan seksual dan non seksual terhadap Perempuan Papua.
4. Tarik militer organik dan non organik dari tanah Papua.
5. Adili Jenderal pelaku pelanggaran HAM dan adili tentara dan polisi yang melakukan kekerasan seksual dan non seksual kepada perempuan Papua melalui pengadilan publik.
6. Jaminan kebebasan berorganisasi seluas-luasanya bagi Perempuan Papua baik itu untuk bergabung ke organisasi-organisasi gerakan rakyat maupun mendirikan organisasi perempuan itu sendiri.
7. Hapuskan diskriminasi terhadap perempuan Papua di lapangan kebudayaan.
8. Tolak Poligami
Tuntutan darurat tersebut adalah bagian tak bisa dipisahkan dari proses penentuan nasib sendiri bagi rakyat dan bangsa West Papua.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat, atas dukungan, pastisipasi dan kerjasama semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih.
Salam Solidaritas!
Medan Juang, 7 Maret 2018