Ilustrasi - AMP |
May Day atau 01 Mei adalah hari bersejarah bagi buruh Internasional dan rakyat West Papua. Sejarah dimana diwarnai dengan tumpahan darah-darah berjuta buruh dan rakyat West Papua. Merayakan 01 Mei di tahun 2018 ini adalah bukan sebuah kemerdekaan atau merayakan anugrah sejarah atas kemenangan buruh, juga rakyat West Papua, tetapi kesengsaran yang berkepanjangan—yang berkomitmen pada perlawanan selama sekian tahun untuk menciptakan kondisi buruh dan rakyat Papua yang lebih baik dan bermartabat.
Perjuangan kaum buruh Indonesia hari ini yang percaya terhadap keyakinan untuk Indonesia lebih baik, serta perjuangan rakyat West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri secara demokratis, adalah kekuatan kita yang saling terkonsolidasikan (walau kita adalah yang sedikit tapi demokratis) untuk melawan siapa musuh kita bersama. Siapa musuh kita hari ini? Siapa penguasa hari ini? Siapa pemegang kebijakan dan eksekutor di West Papua, di pabrik-pabrik, pedesaan? Jawabannya ada di realita sejarah dan hari ini.
Kapitalisme-Imperialisme membawa umat manusia, bangsa Indonesia (yang tertindas) juga rakyat West Papua ke dalam kesengsaraan.
Kebijakan Rezim negara serta tindakan Aparatus reaksionernya telah membuat rakyat terasing dan sengsara. Peniadaan hak-hak buruh: upah murah, jaminan sosial dan keselamatan kerja tak diprioritaskan kepada buruh, serta jam kerja yang tinggi yang menguras jam aktivitas sosial, dan lain-lainnya.
Begitu pula rakyat West Papua, sejak 01 Mei 1963 secara tanpa sepengetahuan orang West Papua, atas kesepakatan sepihak Belanda, Indonesia dan Amerika Serikat di New York (1962) Papua dianeksasi kedalam Indonesia. Tindakan memaksakan orang Papua pun diberlakukan secara tak manusiawi. 12 rangkaina operasi milter sejak tahun 1962 hingga tahun 2004, tercatat telah menelan 100 ribu nyawa manusia West Papua—hingga kini populasi orang West Papua tinggal 1,98% saja.
Berbicara soal 01 Mei adalah hari Aneksasi Rayat West Papua mengenal ABRI (sekarang TNI--militer) sebagai wajah Indonesia. Wajah indonesia mencerminkan pembunuh, pemerkosa, perampok, penjaga pertambangan, sawit, perusahan minyak, gas, musuh rakyat West Papua dan sebagainya. Setiap regulasi pemerintah Indonesia, bahkan kedatangan Presiden Indonesia ke Papua, orang Papua tetap berada di posisi rakyat terjajah.
Kebijakan penanaman modal asing di Indonesia pada tahun 1967 serta pendudukan perusahaan raksasa milik AS, PT. Freeport Indonesia di Papua pada 2 tahun sebelum Pepera (1969), merupakan orientasi yang sungguh jauh dari nasionalisme Indonesia. Perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dibangun atas dasar anti terhadap Imperialisme dan Kolonialisme Belanda, serta Fasisme Jepang, justru jauh dari kata merdeka landasan nasionalisme tersebut. Setelah kemerdekaan, semangat perjuangan tersebut tak ada nilainya ketika watak penjajah masih tersisah didalam otak kaum brengsek itu. Dan mempraktekannya yang salah.
Nasionalisme NKRI hanya menjadi kedok bagi pemodal, petinggi militer serta rezim untuk mempertahankan sistim yang menindas tetap terus ada. Pancasilah hanya menjadi ayat hafalan kaum borjuis, rakyat merasahkan kemiskinan, ketidak adilan dan sebagainya. Nasionalisme menjadi tak bernilai dan tak bermanfaat ketika Indonesia menganeksasi West Papua hanya untuk merungguh pada kekayaan alam West Papua demi kapital dan terus menjajah rakyat West Papua.
Sehingga kontradiksi pokok kita hari ini, buruh dan rakyat West Papua adalah Kapitalisme-Imperialisme, Militerisme, serta rezim negara RI (bagi Buruh dan Rakyat Indonesia) dan Kolonialisme (bagi Rakyat West Papua).
Itu lah mengapa 01 Mei menjadi hari perlawanan Buruh dan rakyat Indonesia yang melawan dan rakyat West Papua (bersatu) untuk Indonesia lebih baik dan Rakyat West Papua dapat menentukan nasibnya sendiri.
Medan Juang, 28 April 2018
Jhon Gobai
Ketua Umum AMP