Ilst.Koran Kejora |
Pernyataan Sikap
Aliansi Mahasiswa Papua
_________________________________________________________
TUTUP FREEPORT DAN BERIKAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI BAGI BANGSA WEST PAPUA
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Waa… waa… waa… waa… waa… waa… waa… waa… waa… waa!
Salam Pembebasan Nasional Bangsa Papua Barat!
PT Freeport Indonesia telah lama menjadi malapetaka bagi bangsa West Papua. Kehadiran Freeport di tanah West Papua tak bisa dipisahkan dengan kehadiran pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan kerusakan lingkungan di tanah West Papua. Juga, pemerintah kolonial Indonesia ikut andil dalam malapetaka yang diderita bangsa West Papua. Sejak Freeport Mc Moran beroperasi 1967 hingga 2020 yang ke-53 tahun merupakan kemauan modal Imperialis dan keuntungan Kapitalis Internasional dari perebutan sumber daya alam di West Papua sertakan Pembungkaman Hak Demokratis. Ditambah oleh pandemic Covid-19 dikolonial Indonesia yang menjalar hingga ke Tanah Papua Barat, hal ini merupakan agenda kolonialis Indonesia untuk melakukan Genocida terstruktur dan merebut ekonomi politinya ke kanca Internasional dalam menjual tanah West Papua tanpa melihat Rakyat asli West Papua, Indonesia telah melakukan kontrol diatas Tanah Papua Barat melalui militer sejak Orde Lama hingga saat ini.
Demi pengamanan proses penanaman modal dan pembungakan hak Demokratis serta pelaksana pemilu dari tahun ke tahun, operasi-operasi militer Indonesia digelar. Setelah Operasi Trikora pada 19 Desember 1961, ada beragam operasi militer seperti Operasi, Banten Kedaton, Operasi Penyisiran, Operasi Koteka, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Jayawijaya, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu, Operasi Sadar. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Force, Operasi Cakra, Operasi Wisnumurti, Operasi Brathayudha, Operasi Wibawa, Operasi Lumba-lumba, Operasi Mapenduma, Operasi Penangnan Pepera, Operasi Koteka, Operasi Senyum, Operasi Gagak, Operasi Kasuari, dan Operasi Khusus lainnya. Semuanya dilakukan demi penguasaan wilayah West Papua. Demi kenyamanan dan keamanan proses penanaman modal belaka serta menanamkan cakar praktek kolonialisme dan melanggengkan kapitalisme di atas Tanah West Papua.
Pada tahun 2000, ELSHAM Papua membuat laporan tentang kekerasan aparat keamanan yang terjadi di berbagai wilayah di West Papua. Di Paniai, tercatat 614 orang meninggal, 13 orang hilang, 94 orang diperkosa. Di Biak, 102 orang meninggal, 3 orang hilang, 37 orang dianiaya, 150 orang ditahan. Di Wamena, 475 orang meninggal. Di Sorong, 60 orang meninggal, 5 orang hilang, dan 7 orang korban pemerkosaan. Di Jayawijaya, 137 orang meninggal, 2 orang hilang, 10 orang menjadi korban pemerkosaan, 3 orang menjadi korban penganiayaan. Belum lagi pembakaran rumah ibadah, kampung, rumah, alat-alat adat istiadat. Itu pun belum termasuk wilayah-wilayah lainnya, yang belum terdata dengan baik mulai dari 01 Mei 1963 Rakyat West Papua di aneksasi hingga saat ini.
Selain terhadap kekerasan terhadap kemanusiaan, Freeport Indonesia juga berperan besar pada kerusakan alam West Papua. Puluhan ribu Hektar hutan telah diubah menjadi hutan mati. Peluapan sungai akibat endapan limbah yang masuk dalam kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya). Limbah tailing yang dibuang ke Sungai Ajkwa, salah satu sungai di antara lima sungai lain di Mimika. Masih ada sungai-sungai lain seperti Sungai Aghawagon, Sungai Otomona, Sungai Minjerwi, Sungai Aimoe, dan Sungai Tipuka. Freeport Indonesia telah mengkontaminasi perairan dengan cairan asam berbahaya bagi kehidupan akuatik dan terancam bagi rakyat setempat.
Freeport Mc Moran, imperialisme Amerika Serikat dan kolonialisme serta militerisme Indonesia di West Papua merupakan kesatuan yang berperan besar terhadap rangkaian penindasan yang tersistematis di West Papua. Negara digunakan sebagai alat kelompok pemodal yang sedang berkuasa untuk melegalkan penindasan di bumi Papua. Kontrak karya pertama PT Freeport dan Indonesia dilakukan pada tahun 1967, sementara Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dilakukan pada tahun 1969, itu pun dengan praktik yang manipulatif serta tidak demokratis. Ini merupakan sebuah cerminan dari kolaborasi antara kapitalisme, kolonialisme dan militerisme yang diaplikasikan melalui praktik politik penggabungan paksa (aneksasi) West Papua ke dalam bingkai Republik Indonesia tanpa memberikan kebebasan bagi Rakyat West Papua untuk menentukan nasib sendiri.
Kondisi Hari ini, penyebaran Covid-19 terus bertambah di Papua Barat dan pengungsian rakyat Asli suku Amungge telah terjadi sejak 06 Maret 2020 sekitar 40.819 orang dari sekitar areal Papua menuju kota Timika akibat dari penguasaan Militer Kolonial Indonesia di area Freeport dan Perlawanan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat [TPNPB] terhadap TNI/Porli yang sedang mengamankan areal PT.Freeport yang milik Imprealis, di Rilis di media suarapapua.com (12/03/20). Maka Bagi TPNPB terhadap TNI/PORLI merupakan agenda kolonial di tanah West Papua untuk membungkam proses perjuangan gerakan rakyat West Papua tuntut perjuangan kemerdekaan dan sertakan meloloskan agenda para kolonial dan kapitalis Internasional di bawa tangan Imperialis menyangkut Freeport Mc Moran. Di tanah West Papua operasi militer kolonial Indonesia dilakukan terus-menerus di beberapa tempat terutama di Nduga, Intan jaya, Pegunungan Bintang, areal PT.Freeport Timika dll. Melalui militer Indonesia terus melakukan kolonisasi yang berlebihan melalui pembungkaman, penindasan, penembakan, pemboman, penyisiran, pemerkosaan, penangkapan, pemenjarahan dan beragam penindasan terhadap rakyat West Papua. Dari subjek ini, melalui kolonial Indonesia terus juga, membungkam pergerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat [TPNPB] dengan sebutan KKB,KKBS,Teroris, Separatis; sebenarnya memperjuang untuk memperoleh Hak Penentuan Nasib sendiri dan rakyat sipil di angggap sebagai separatis hingga saat ini; termasuk pembungkaman ruang demokrasi mahasiswa, perempuan, buruh, tani, nelayan, mama-mama pasar Papua dan lain-lain.
Operasional Freeport McMoran tidak membawah kesejahteraan dan keuntungan bagi Rakyat West Papua dan Covid-19 yang sengaja dibiarkan oleh Jakarta hingga sampai ke atas Tanah Papua harus harus dilawan bersama, oleh karena itu,melihat kekejaman kerja kolonialis Indonesia yang semakin brutal, kapitalis dan kaum Imperialis Internasional di West Papua. Maka dari itu, kami Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menuntut serta mengambil sikap dan menyatakan sikap kepada rezim Jokowi/MA bahwa:
1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Solusi Demokratik Bagi Bangsa West Papua
2. Covid-19 adalah Angenda Kolonialis, Kapitalis dan Imperialisme di West Papua
3. Hentikan dan segera Lockdown seluruh Tanah West Papua
4. Tutup dan Usir Freeport
5. Audit kekayaan freeport serta berikan pesagon untuk buruh
6. Audit cadangan tambang dan kerusakan lingkungan
7. Tarik TNI-Polri organik dan non-organik dari seluruh Tanah West Papua
8. Hentikan rekayasa konflik seluruh Tanah West Papua
9. Buka Akses Jurnalis dan Informasi diseluruh Tanah West Papua
10. Usut, tangkap, adili dan penjarakan pelanggaran HAM selama keberadaan Freeport McMoran di West Papua
Demikian pernyataan sikap ini dibuat, atas dukungan, pastisipasi dan kerjasama semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih.
Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!
Medan Juang, 07 April 2020