Ilustrasi Orang papua di paksa, Sumber Suara.com |
Oleh: Hery Meaga
Di Kala itu, aku pernah. Iya, ku pernah berkibar di langit ufuk timur dan menghiasi bumi Cenderawasih dengan warna- warniku Merah, Biru dan Putih.
Aku pernah menari di langit biru dan membuat seorang wanita yg sedang mengandung itu menangis bahagia hingga, air mata nya tak terbendung.
Dalam hati ku berpikir "kini ekspektasi ku telah tercapai" Namun, sayang. ternyata itu salah, Semuanya hampa !! Kebahagian itu berlalu bagaikan mimpi.
Aku ingin abadi di langit dan menari di setiap gunung, pesisir pantai, setiap lembah, ataupun hutan rimba sembari menemani setiap insan dalam tangis maupun bahagia.
Namun, kini aku teralienasi dari rumah sendiri, tempat sendiri, ditolak hingga aku terkucil dan diasingkan dari bumi Cenderawasih yang ku cinta.
Hati sangat teriris dengan melihat semua ini dan hanya bisa meratapi nasib dari lorong nan sunyi bersama pusara- pusara tanpa nama yang terbaring kaku.
19 Desember, Ya. Itulah hari malapetaka bagiku dan tak pernah hapus dari benakku. Semenjak itu kebahagian ku di rebut paksa dengan moncong senjata.
Kalah itu hingga kini ku terbiasa dengan tubuh yang berlumuran darah dan air mata. akhirnya setiap insan yang mau menolongku di Cap separatis, monyet, kkb, teroris dsb.
Barangkali jiwa dan roh ku telah dikubur hidup- hidup di kala 19 desember 1961
dan kini ku hanya bisa meratapi nasib sedih. Nasib nan tak pernah di impihkan.
Namun, aku belum Mati. dan takkan perna Mati!! Sesungguhnya, Jiwa dan Rohku akan terpatri dalam setiap insan yang lahir dari rahim- rahim nan Tertindas dan Terhisap.
Dewata, 15 maret 2022
Penulis Adalah Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) KK BAli