Aparat Gabungan TNI, Brimob dan Polisi Tembak Mati 4 orang Pelajar di Paniai, 08 Desember 2014
|
Penulis: Soleman Itlay*
Pelanggaran Hak dan Kedaulatan
Pada tahun 1847 Pakistan berpisa dari India karena, satu: perbedaan agama, yakni Hindu dan Muslim. Orang Papua Barat ingin menjauh dari Indonesia bukan satu alasan. Tetapi orang Papua Barat mempunyai suku, agama, ras, tanah, dan wilayah tersendiri. Orang Papua Barat memiliki ciri khas kebangsaan. Orang Papua Barat tidak bisa dipaksakan disebut bangsa lain (Melayu). Perbedaan inilah yang harus diakui, bukan menyangkal lagi.
Tidak bisa pungkuri. Bahwa orang Papua Barat punya bendera sendiri: Bintang Kejora. Orang Papua Barat punya lambang tersendiri: Burung Mambruk. Orang Papua Barat memiliki nama kebangsaan dan wilayahnya: Papua Barat. Orang Papua Barat mempunyai lagu nasional: Hai Tanahku Papua. Buktinya orang Papua Barat punyai hari besar: 1 Desember 1961. Orang Papua Barat mempunyai semua ini semenjak 1961. Sungguh ini hakekat sejarah Papua Barat.
Pada tahun 1961, orang Papua Barat, Sir Jouwe mengatakan, tahun kedaulatan. Kedatipun Soekarno menyangkal orang Papua Barat sebagai “Bukan Melanesia” tetapi semua orang mesti membaca dan memahami ini baik, terutama kata-kata hidup Sir Nicolas Jouwe. Sebenarnya, bukan tidak mungkin ya? Sir Nicolas Jouwe berbicara berdasarkan pengakuan Belanda ditengah melaksanakan ekpansi di Nederlansd Nieuw Guinea semenjak 1898. Soekarno melanggar ini semua, terlebih hak dan kedaulatan bangsa Papua Barat.
Sir Nocolas Jouwe dalam buku “Kisah-Kisah Hidup Orang Papua”, meyebutkan Soekarno menyangkal: Orang Papua Barat Bukan Melanesia. Bukan tidak mungkin lagi. Soekarno bersaksi dusta dibawah matahari. Lawan bisa baca sekali. Tetapi Soekarno, menurut Sir Nikolas tidak menghargai hak orang Papua Barat. Bahkan tidak menganggap Deklasi PBB pada 14 Desember 1960. Deklrasi itu mengenai Hak Asasi Manusia dan Piagam Pemberian Kemerdekaan Negara-Negara dan Orang-Orang Jajahan.
Stigmatisasi Sepanjang Masa
Bukan orang Papua Barat semata. Belanda pun tidak menyukai Jerman karena menyebut “moffin”.Tempo dulu, Ali Mortopo pernah menyuru orang Papu Barat keluar dari Indonesia (1966). Baru-baru ini, Luhut Panjaitan menyuruh orang Papua Barat pindah ke Pasifik (2016). Dari dulu sampai detik ini, orang Papua Barat sering diistigmakan dengan: “separatis, KKB, GPK, bodok, miskin, monyet, kanibal, primitif. Makar, dan masih banyak lagi. Siapa[un tidak akan menerima kata-kata mati rasial ini.
Bukan memancing atau memutarbalikan fakta,melainkan semua ini sudah terbukti dan sering dijumpai dimana-mana. Semua itu bisa dilihat di facebook, intagram, twiter, majalah, Koran, radio, foto, video, dan buku. Dari waktu ke waktu, orang Papua Barat dengar di dalam homili (gereja), seminar, pertemuan, jumpa pers, dan lain sebagainya. Sekali lagi ini tidak bisa menyangkal diri. Benar-benar terlalu menyakitkan.
Luka kata-kata itu amat sangat menyakitkankan. Luka karena pukulan dan kecelekaan itu bisa dilupakan dengan kesembuhan. Tetapi sekali lagi, luka yang disebabkan oleh kata-kata amat rasial ini sulit dikebumikan di dalam waktu. Sepanjang masa akan teringat dalam kehangatan daya ingat orang Papua Barat. Sungguh tantangan hidup yang sial. Orang Papua Barat seperti tidak layak disebut manusia lagi, jika sepanjang bermukim sementara di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tambah pedas lagi kalau semua itu lihat dan dengar diatas tanah leluhur Papua Barat.
Populasi Orang Papua Barat Kecil
Orang Papua Barat sudah menjadi sedikit bersama Indonesia. Orang Papua telah menjadi minoritas diatas tanah leluhur. Semakin parah jika suatu saat seluruh Pasifik dan Indonesia dikuasai oleh Cina yang punya ambisi untuk menjadi negara adidaya dunia. Australia hanya punya penduduk 50 juta. Selandia Baru mungkin 6 atau 7 juta penduduk. Cina termasuk yang ada di Papua sudah memiliki penduduk 1 Milliar lebih. Sungguh orang Papua Barat akan punah!
Lihat penduduk di 5 kabupaten/kota provinsi Papua, pendudknya didominasi oleh pendatang (transmigrasi dan penduduk Melayu yang masuk bebas. Berikut data BPS 2010: Kabupaten Merauke (62.73%), Nabire (52.46%), Mimika (57.49%), Keerom (58.68%), dan Jayapura (65.09%). Sekitar 23 kabupaten lainnya di provinsi Papua dalam data BPS 2016 kemarin, pendatang dapat menunjukkan peningkatan yang begitu pesat. Orang pribumi Papua Barat sungguh menjadi minoritas. Menakjubkan bukan?
Sementara provinsi Papua Barat, jumlah penduduk orang asli Papua tercatat: 51,67% dari total 760.00 atau keseluruan penduduk sekarang, termasuk pendatang. Baca selengkapnya data penduduk BPS Papua Barat di kompas.com, Selasa (11/01/2011). Dilain sisi, data ini tidak bisa percaya seutuhnya. Kadang di pemilihan legisllatif, dan eksekutif saja sering terjadi perombahkan. Besar kemungkinan jumlah orang Papua Barat bisa prediksi dibawah dari itu.
Orang Papua Barat berada dalam ancaman kepunahan yang luar biasa. Orang Papua Barat sama persis dimana Amerika Serikat menghabiskan etnis di India. Pun juga sama seperti Inggris dan Amerika Serikat menghilangkan orang Aborigin di Australia yang menduduki 50.000 tahun silam di negeri Kanguru. Potensi pemusnahan ras Melanesia di Papua Barat semakin besar.
Peningkatan HIV/AIDS di Papua Barat
Dimana penderita HIV/AIDS di provinsi Papua dan Papua Barat semakin banyak. Lagi-lagi penderitanya adalah kebanyak orang asli Papua Barat. Data dinas kesehatan rovinsi Papua pada kwartal II, hingga Juni 2016 tercatat 7000-an penduduk. Dari jumlah tersebut, kepala dinas Aloysius Giyai menyebutkan, urutan pertama ada di jantung hati pulau Papua, Jayawijaya, HIV sebanyak 1.484 dan AIDS 3.809 orang. Jumlah penderita 5.293 dan yang meninggal 400 orang.
Urutan kedua, Timika yang masih menderita HiV HIV/AIDS 4.162 orang, dan kota Jayapura, penderita HIV/AIDS sekarang 1.813 orang. Menurut dia kabupaten lain berada dibawah itu dan terus meningkat dari waktu ke waktu. Data ini dikutip dari media terpercaya di Papua, Tabloid Jubi edisi Juni 2016 dan disesuaikan pada buku “Papua di Ambang Kehancura” dari SKPKC Fransiskan Papua (2016).
Sementara kabar berita dari antara Papua Barat, menyebut khusus kabupaten Manokwari saja, per Agustus 2016 sudah mencapai lebih dari 1.445 kasus. Hal itu dibenarkan Pengelola Program Penanggulangan HIV/AIDS KPA Manokwari, Jennie Payung, di Manokwari, Senin (05/12/2016). Sementara di ibu kota provinsi Papua Barat terdapat 1.117 orang. Data tersebut dibenarkan oleh sekertaris Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Kota Sorong, John Toisutta, Kamis (17/09/2015. Kutip dari Jubi edeisi 17 September 2015.
Program KB dan Operasi Ibu Hamil Papua Barat
Orang Papua Barat tidak punya harapan hidup baik di dalam Indonesia. Dari waktu ke waktu banyak orang meninggal dimana-mana. Baik di rumah, hutan, jalan, hotel, resstoran, ruko, toko dan paling banyak di rumah sakit. Orang Papua Barat tidak percaya rumah sakit yang dibangun Indonesia. Rumah sakit memilik pemerintah bukan dianggap lagi sebagai tempat orang diselamatkan. Setiap rumah sakit orang Papua Barat melihat penuh hati-hati.
Orang Papua Barat punya pandangan pada rumah sakit adalah tempat dimana orang kulit hitam sengaja disakitkan dan dimatikan secara sistematis. Setiap waktu banyak orang Papua Barat meninggal di rumah sakit. Kematian paling banyak Ibu dan Anak. Ibu-ibu dan perempuan muda selalu diarahkan untuk mengikuti program Keluarga Berencana (KB). Program ini diluar sampai di rumah sakit diberlakukan.
Orang Papua Barat (ibu-ibu) sekalipun tolak, tetapi psikologisnya terganggu saat berhadapan dengan pegawai BKKBN dan rumah sakit. Karena selalu dinasihati sampai membuat ibu-ibu tenggelam di dalam buaian “pemusnahan etnis” ini. Bukan hanya itu, perempuan asli Papu Barat kebanyakan melakukan operasi medis di rumah sakit. Sungguh ini benar-benar tidak menolak oleh ibu-ibu asli Papua Barat. Tidak akan ada ujung untuk mengakhiri ini. Tentu akan menghadapi ini sepanjang masa orang Papua Barat di Indonesia.
Masalah Lain-Lain
Banyak lagi orang Papua Barat mati karena minuman keras (Miras). Gubernur Papua, Lukas Enembe, baru-baru ini mengeluarkan peraturan daerah untuk produksi, peredaran dan mengonsumsi Miras tapi pengusaha tidak mengindakan. Belum ada tindakan pemerintah khususnya aparat yang mengawasi ini. Bukan itu saja, ada banyak tempat Pekerja Sex Komersial (PSK) yang meruak di seluruh tanah Papua Barat.
Untuk Miras di provin Papua sendiri punya peraturan untuk mencabut dan melarang produksi, peredaran dan penjualan mIras itu sendiri. Namun Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol ini tidak maksimal. Kahirnya, munyusul lagi Instruksi Gubernur Papua Nomor 3/INSTRGUB/Tahun 2016 Tentang Pendataan Orang Asli Papua.
Namun dua kebijakan ini belum bisa dikatakan telah dijalankan. Rupanya ada upaya sistematis dan teruktruktur untuk menghambat peraturan ini. Sampai saat ini Perda ini buktinya belum berhasil menertibkan di seluruh Papua. Pengusaha-pengusaha yang sukses dari Miras ini terus melancarkan usaha. Hanya Mathius Awoitauw yang berhasil memulangkan Miras ke kota asal Surabaya pada Sabtu, 16 September 2017. Namun masih banyak lagi tempat yang menjadi pekerjaan bagi Awoitauw bakal untuk daerah lain.
Gara-gara ini, banyak orang Papua Barat meninggal banyak. Gara-gara Miras juga orang Papua Barat ditembak dan bunuh banyak. Dari Miras orang Papua Barat mengalami kecelakaan. Bahkan ada pula yang sengaja di tabrak. Kalau kecelakaan yang bermotif sengaja disebut “tabrak lari”. Banyak orang Papua Barat ditemukan di parit, jembatan, kos, rumah, dan tergantung di hutan dalam keadaan tidak bernafas.
Bagian ini tidak ada pelaku yang sering ditangkap oleh aparat. Ujung-ujung sebut Orang Tak di Kenal (OTK). Kalau tidak sebut suku ini dan suku itu. Permainan untuk menciptakan konflik sangat nampak. Banyak kota yang diakronomikan dan disebut lain-lain. Misalkan Timik dan Mimia. Timika: Tiap Minggu Kacau dan Mimika: Minggu-Minggu Kacau. Momen apa pun, yakni Pilkada, Pilgub, Pilres dan Legislatif selalu membuahkan darah dan nyawa manusia Papua Barat.
Setiap daerah yang memiliki potensi alam terutama emas, tembaga, batu bara, nikel, air terjun, danau, sungai dan lain sebagainya identik dengan kekacauan. Semua adalah sesuatu yang baru kelihatan sepanjang Tuhan Maha Pencipa segala sesuatu, menempatkan orang Papua Barat ari Sorong-Merauke. Jika ada konflik selalu muncul: ahk itu aktornya dari kelompok separatis, GPK, KKB, Makar, dan lain sebagainya. Sebuah realitas yang pahit di negeri sendiri.
Solusi Dialog Jakarta-Papua?
Ingin kasih ingat kembali lagi. Dainius Puras, pernah megatakan di kantor sinode GKI di Tanah Papua (2016). Bahwa: “saya mendapat kesan bahwa mereka, orang Papua kecewa dengan otonomi khusus ini. Terlalu kecil. Orang Papua punya rasa tidak percaya sama Jakarta”. Baca di www.satuharapan.com tentang Pelapor Khusus PBB Menilai Orang Papua Tak Percaya Jakarta.
Indonesia sangat amat kehilangan kepercayaan di mata orang Papua Barat. Tidak bisa salahkan kepada apa-apa, siapa-siapa, mengapa-mengapa, dimana-mana, kemana-mana, dan bagaimana-bagaimana. Karena semua ini: janji penyelesaian kasus pelanggaran HAM, janji untuk membuka akses bagi jurnalis asing, membangun Pasar Mama-Mama Papua dan Arus Kereta Api dan segala macam janji lainnya. Belum Terbukti!
Apakah Dialog Jakarta-Papua akan menjawab semua? Oh, rupanya terlambat. Orang Papua Barat sudah fokus kepada ULMWP. Apakah orang asli Papua Barat mau? Oh, orang Papua tidak akan balik dan terima itu. Apalagi yang harus dibuat oleh Indonesia? Hentikan pakai orang Orang Papua Barat, yakni: Franz Alberth Joku, Nokolas Messet, Lenis Kogoya, Ramses Ohee dan lainnya. Karena cara itu, dan memutarbalikan fakta dan kebenaran di PBB dan lain sebagainya, akan membuat orang tidak percaya.
Solusi paling terakhir adalah: Pertama pemerintah meminta maaf kepada orang Papua Barat atas semua pelanggaran baik sengaja maupun tidak sengaja. Kedua mengakui segala kesalahan pemerintah. Ketiga, mengakui orang Papua Barat sebagai manusia yang mempunyai hak dan kedaulatan politik, dan memiliki derajat yang sama seperti bangsa lain di dunia. Barangkali ini ada pada pilihan dan keputusan negara, terutama Joko Widodo.
Penulis adalah anggota aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura, Papua