Halloween party ideas 2015

 


Aliansi Perjuangan Demokratik (APD) di makasar, front perjuangan tersebut tergabung dari beberapa organisasi Perempuan Perempuan, yang Bersatu lawan penindasan. Yang tiap kali di Peringati Hari Internasional Women’s Day jatuh pada tanggal 8 maret 2022. 

Hari  yang setiap tahunnya dirayakan dan dimaknai sebagai hari perjuangan perempuan untuk menuntut kesetaraan, keadilan dan kesejahteraan bagi kaum perempuan. 

Rentetan kasus diskriminasi, kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender, yang dialami perempuan adalah cerminan dari lemahnya perlindungan Hak Asasi Perempuan. Keterlibatan aktor Negara dan oligarkinya yang berpihak kepada modal menambah banyak rentetan kasus kekerasan. Hasilnya muncul UU yang timpang seperti Omnibus Law, UUMinerba, perubahan terhadap RUU PKS menjadi RUU TPKS yang turut menambah  rentetan ketertindasan kepada kaum perempuan.

Internasional Women’s Day tidak hanya menjadi sebuah momentum semata tetapi menjadi landasan bagi perjuangan untuk melawan segala bentuk penindasan terhadap perempuan. Hampir disemua sektor terjadi diskriminasi, misalnya di sektor Pendidikan sampai hari ini Permendikbud No 30 thn 2021 belum di realisasikan ditengah maraknya kasus kekerasan seksual, di sektor lain kita tau  bahwa Omnibus Law menjadi legitimasi perampasan lahan yang berdampak terhadap turunnya produktifitas petani, nelayan, rakyat miskin kota,masyarakat adat dan buruh perempuan. Disisi lain, banyak pula aturan yang tidak pro terhadap rakyat, seperti UU OTSUS Jilid II yang juga turut menindas  perempuan Papua.




Semua bentuk kekerasan, dan subordinasi yang dialami perempuan adalah bentuk dari ketidak mampuan  rezim oligarki yang  pro modal dalam  memberikan keadilan terhadap perempuan. Negara tidak lagi menjadi rumah yang aman untuk perempuan dan kaum minoritas lainnya.

Inilah rentetan ketidak adilan yang dialami perempuan, bahkan ditengah wabah covid-19  perempuan masih saja bergelut dengan kekerasan, kemiskinan dan subordinasi yang takberkesudahan. Sudah saatnya perempuan bersatu dan melawan segala bentuk penindasan yang dialami sampai hari ini.

Maka, dalam peringatan International Women’s Day kali ini, kami dari Aliansi Perjuangan Demokratik menuntut;

1. Tolak perubahan RUU TPKS dan segera sahkan RUU PKS

2. Sahkan RUU Perlindungan PRT

3. Tolak RUU Ketahanan keluarga

4. Berikan cuti Haid, cuti Hamil dan cuti Melahirkan untuk buruh perempuan

5. Hapuskan diskriminasi dan kekerasan berbasis SOGIESC

6. Hentikan kekerasan militer terhadap perempuan papua

7. Bersihkan predator seksual dari organisasi dan gerakan

8. Segera terapkan PERMENDIKBUD NO. 30 Tahun 2021

9. Berikan ruang aman bagi korban kekerasan seksual

10. Solidaritas untuk buruh perempuan, kelompok marjinal, dan penyintas korban 65

11. Naikkan upah 100% dan upah yang setara untuk kerja yang setara

12. Bebaskab seluruh tahanan politik

13. Tuntaskan segala kasus pelanggaran HAM

14. Tolak segala bentuk Penggusuran dan Perampasan ruang hidup

15. Hentikan represifitas terhadap gerakan rakyat

16. Hentikan kekerasan terhadap jurnalis

17. Berikan kebebasan beragama, berideologi, berkeyakinan, berserikat, dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat

18. Wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan berperspektif gender

19. Wujudkan pendidikan gratis

20. TOLAK PENGGUSURAN BARA-BARAYA!


Demikainlah pernyataan ini di buat, demi kesetaraan dan kebersamaan, kami ucapkan banyak terimah kasih.



Photo Perantara. 

Karya, Grace Yeimo


Perempuan Bukan Cuman Untuk Di Tiduri
Perempuan Bukan Untuk Di XPLOITASI
Perempuan Bukan Bahan PERKOSAAN
Perempuan Bukan Di Jadikan Budak NAFSU
Perempuan Bukan Pemuas

Birahi,Tapi Perempuan Untuk Di Hargai
Perempuan Untuk Di Hormati
Perempuan Untuk Di Setarakan
Perempuan Untuk Di Sejarahkan
Perempuan Untuk Di Perlakuan Adil.

Karena Dari Rahim Perempuan Kita Dilahirkan Dari Asi Berkembang 
Dengan Baik Sebab Mereka Bertaruh Nyawa Demi Melahirkan Kita. 
Mereka Tidak Butuh Di Agung-Agungkan.
Mereka Ingin Di Setarakan 
Berilah Hak Kaum Perempuan 
Setulus Kita Mencintai Orang Tua Kita
Sayangilah Layaknya Menyayangi Ibu Kita
Dan sayangilah istrimu lebih dari apapun.

Lelaki itu di lahirkan oleh wanita .
Di besarkan oleh wanita ,
Di cintai oleh wanita ,
Menikah dengan wanita ,
maka anda sebagai pria sadarlah & hargailah wanita
dengan sepenuh hatimu seperti anda menghargai ibumu.

**Toputo Kumba**


Design Koran Kejora

Pada hakekatnya,  perjuangan kemerdekaan Papua Barat harus dipahami sebagai suatu perjuangan pembebasan dari segala bentuk penindasan. Kemerdekaan bangsa Papua Barat akan sejati mana kala tak ada lagi penindasan terhadap setiap perempuan diatas Tanah Papua.

-PERSATUAN TANPA BATAS PERJUANGAN SAMPAI MENANG-

Oleh :Joice Etulding Uropdana (MamSe)**

Perjuangan Papua Merdeka atau Lingkup Sejarah

Koran Kejora (KJ) - Sejak, 1 Desember 1961 secara de facto dan de jure bangsa Papua Barat telah memproklamirkan diri sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Tetapi kemudian direbut secara paksa oleh kolonial Indonesia, diawali dengan dikumandangkan Trikora pada 19 Desember 1961 di alun-alun utara Yogyakarta, New York Agreement 15 Agustus 1962, setelah perjanjian New York dilakukan lagi Roma Agreement 30 September 1962, perjanjian ini datang karena saran dari Elsworth Bunker. Kedua perjanjian itu, ditandatangani oleh Indonesia, Amerika Serikat, dan Belanda, tanpa melibatkan satu pun rakyat Papua padahal yang di bicarakan adalah nasib Bangsa Papua Barat. Kemudian terjadi Aneksasi Papua 1 Mei 1963, Kotrak Karya PTFI 7 April 1967, Proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang Ilegal 1969 dan diikuti berbagai operasi militer yang dilancarkan di Papua sampai hari ini.

Rentetan peristiwa itu merupakan sebuah Dosa kolonial Indonesia yang telah menabur bibit perlawanan dan melahirkan perlawanan-perlawanan oleh orang Papua Barat hingga detik ini. Orang-orang Papua telah di Indonesiakan secara paksa. Jika tak ada penyelesaian maka perjuangan Papua merdeka akan tetap menjadi duri dalam daging NKRI. Perlawanan ini dimulai karena adanya kesadaran rakyat Papua dan para pejuang pendahulu, para perintis kemerdekaan Papua Barat akan sejarah bangsanya yang telah dimanipulasi oleh Indonesia, Belanda dan PBB hanya demi kepentingan ekonomi-sosial-politik. Tetapi satu hal yang pasti, selama orang Papua masih ada dan hidup, perjuangan Papua Merdeka akan terus hidup dan tak akan mati.

Indonesia telah mengikuti dan mempelajari pola-pola perjuangan Kemerdekaan Rakyat Papua selama puluhan tahun. Kolonial Indonesia telah mengetahui setiap, kekuatan dan kelemahan perjuangan, sehingga dengan mudah mengambil kesempatan untuk mengatasi dan memutuskan gerakan perjuangan Papua Merdeka. Cara paliang mujarab yang telah digunakan oleh kolonial Indonesia adalah “rayuan & maut”. Mengapa demikian? Karena apa bila rayuan tak berhasil maka, akan berubah menjadi maut dibawah todongan senjata serta aparat militer Indonesia (TNI/POLRI). Bisa juga dilakukan operasi militer dalam skala besar jika rayuan tak mempan. Tak mengherankan jika banyak orang asli Papua bahkan menjadi kaki-tangan kolonial Indonesia, dengan iming-iming uang, jabatan, dan kekuasaan. Hal ini sudah berlaku sejak dulu hingga sekarang. Banyak “YUDAS” di Papua!

Di dalam organ perjuangan pun telah banyak disusupi oknum kaki-tangan colonial. Sehingga, kita bahkan tidak bisa membedakan mana kawan  yang sesungguhnya dan mana lawan yang hanya berpura-pura sebagai kawan. Lamanya penindasan diatas Tanah Papua, membuat model penindasan terhadap orang Papua selalu diperbaharui seiring berjalannya waktu.

Di situasi seperti ini, persatuan menjadi hal yang sangat penting agar kita tetap bertahan dan berjuang bersama. Setiap pejuang harus mempertebal iman perjuangan yang luhur agar tidak mudah tergoda oleh rayuan kolonial. Selain itu, dalam organisasi perjuangan, tidak boleh membedakan latar belakang social, suku , agama, ras, bahkan gender.

Perempuan Papua Saat Ini

Ringkasan sejarah diatas kemudian dapat menjadi acuan bagaimana proses penjajahan di Tanah Papua berlangsung sampai saat ini. Tanah Papua hari ini merupakan sebuah wilayah koloni Indonesia. Papua tak hanya dikenal dunia karena kandungan sumber daya alam (SDA) yang melimpah serta keunikan orang asli Papua (OAP)-nya, tetapi dikenal pula karena stigma-stigma negative yang dibangun oleh Kolonial Indonesia, untuk meruntuhkan mental, karakter serta harkat dan martabat orang Papua.

Pada zaman kolonial Belanda, orang Papua diklasifikasikan berdasarkan 7 wilayah adat, dengan jumlah ± 250an suku, tentu saja didalamnya termasuk kaum perempuan. Dampak pejajahan (Belanda, Jepang sampai Indonesia), tidak hanya berlaku bagi laki-laki Tanah ( laki-laki Papua) tetapi, berlaku pula bagi perempuan Tanah (perempuan Papua).  Jika ditelaah kembali, perempuan Papua telah melewati Lima fase kehidupan,  yang secara langsung maupun tak langsung membentuk karakter dan pola hidup mereka. Kelima fase tersebut antara lain fase komunal, mengenal agama (Islam & Kristen), fase koloni Belanda, fase koloni Nippon (Jepang) dan fase Koloni Indonesia (skarang). Menyebakan perempuan dari tiap fase memiliki karakter, gaya hidup dan pola berpikir yang berbeda beda.

Pada saat ini, karakter dan pola pikir perempuan Papua telah terhegemoni oleh kolonial Indonesia. Perempuan Papua terus dihadapkan pada standart–standart hidup yang dibuat oleh Indonesia. Jika perempuan Papua tak mengimbangi hal tersebut maka akan dianggap tertinggal dan terbelakang. Sehingga banyak perempuan tanah yang terjebak dalam hegemoni kolonial yang terstruktur dengan rapih. Sehingga perempuan Papua berlomba-lomba mengikuti trend kekinian yang tanpa disadari mengikis identitas diri mereka sebagai perempuan Papua. Hal-hal yang berbau etnik, kedaerahan dianggap ketinggalan zaman.

Tetapi, disisi lain banyak pula perempuan Papua yang masih menganggap bahwa keberadaan perempuan Papua itu penting adanya dan perlu menjaga keotentikan perempuan Tanah. Sebab, orang Papua sejak dulu melihat “Tanah” sebagai mama (perempuan) yang memberi kehidupan. Perempuan Papua pun akhirnya banyak yang turut mengambil bagian didalam gerakan-gerakan yang mengkampanyekan pentingnya menjaga warisan leluhur dan kembali mencintai diri sendiri tanpa harus berpatokan pada standar kecantikan, gaya, atau kehidupan orang lain. .

Keterlibatan Perempuan Papua di dalam Perjuangan Papua Merdeka

Didalam perjuangan Papua Merdeka, perempuan Papua telah turut serta dalam garis Perjuangan sejak decade 60-an. Walaupun tidak begitu nampak dan tidak terlalu banyak literasi yang memaparkan secara detail mengenai keikutsertaan perempuan Papua dalam gerakan perjuangan. Kemerdekaan. Tetapi, secara lisan berdasarkan cerita, banyak sekali nama-nama pejuang perempuan yang telah terpatri sepanjang jalan perjuangan untuk merebut kembali kemerdekaan Papua Barat. Banyak pula yang pada tahun-tahun itu dengan terpaksa harus berpisah dengan sanak-famili dan mencari perlindungan di kamp-kamp pengungsi di PNG.

Keterlibatan perempuan Papua dalam perjuangan kemerdekaan bermula dari kondisi-kondisi obyektif  rakyat Papua (termasuk perempuan) diatas Tanah Papua. Dari kondisi inilah kemudian memicu pergerakan perempuan Papua untuk turut berlawan. Diera 90an-2000an banyak dari mereka telah menjadi pemimpin dalam gerakan anatara lain ; Heny ‘luna’ Lani (alm.), Olga Helena Hamadi (alm), Metty Ronsumbre (alm), mama Yosepha Alomang, Raga Kogoya, Susan Griapon, Dolly Iyowau, Julia Opki, Sayang Mandabaya dll. Semangat juang mereka tidak dapat diragukan, daya mobilisasi mereka yang kuat dan kecintaan mereka akan tanah air (Papua Barat) dan manusia Papua mendorong banyak perempuan muda Papua akhirnya sadar dan ikut terlibat aktif dalam perjuangan Papua Merdeka. Dipihak lain kehadiran Veronica Koman yang notabene bukan perempuan asli Papua tetapi begitu aktif mengadvokasi dan menyuarakan issue Papua pun menjadi api penyemangat baru bagi perempuan tanah saat ini.

Baca juga terkait: perempuan-papua-dalam-pagar kolonialisme (1)

Perempuan-perempuan hebat diatas, tidak hanya eksis sebagai pejuang tetapi  konsisten menyuarakan suara-suara kaum tertindas terutama kaum perempuan di Papua dan hak kemerdekaan Papua Barat. Beberapa dari perempuan  tangguh ini menolak rayuan kolonial Indonesia dan tetap setia hingga ajal menjemput. Contoh yang baik bagi generasi baru perempuan Papua di saat ini dan saat nanti.
Kekuatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan suatu bangsa tidak bisa dianggap enteng atau diremehkan. Begitu pula perempuan Papua, mereka memiliki peran yang sangat besar dan penting bagi generasi penerus di masa dulu, masa sekarang dan masa datang. Dengan demikian Perempuan Papua harus terdidik!

Perempuan Papua Harus terdidik! 

Mengapa demikian? Karena untuk membebaskan sebuah bangsa yang besar seperti bangsa Papua Barat dari Kolonialisme Indonesia, mau-tidak mau perempuan Papua harus berjuang secara sadar dan terdidik, agar bisa memahami dengan baik problematika yang sedang terjadi diatas Tanah Papua. Jika perempuan Papua memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang masalah pokok maupun sektoral di Papua, maka dengan sendirinya dapat memicu kesadaran mereka akan posisinya dalam masyarakat dan dalam garis perjuangan pembebasan Papua Barat.

Perempuan Papua harus kuat secara mental, terdidik secara pemikiran dan sadar tentang akar masalah diatas Tanah Papua. Agar dapat turut serta dalam perjuangan Papua Merdeka, ini merupakan sebuah tanggung jawab moril bagi tiap perempuan Papua sebagai seorang individu yang akan melahirkan, membesarkan dan mendidik generasi baru Papua. Untuk membangun kesadaran individu tiap Perempuan Papua maka diperlukan “kawan seide” dalam topik-topik intelektual dan juga tentu saja membutuhkan “kawan mesra” dalam urusan asmara yang setia mendukung dan memberikan motivasi dalam kerja-kerja perjuangan perempuan Papua.

Sudah seharusnya perempuan Papua meggunakan kacamata yang baru dan tidak melihat segala bentuk penindasan yang dialami sebagai takdir Tuhan. Perempuan Papua harus sadar bahwa peran mereka sangat penting dalam keluarga, lingkungan sosial dan perekonomian dan masa depan Tanah Papua. Ada pun berbagai bentuk gerakan perlawanan yang dapat dilakukan tanpa kekerasan, antara lain ;  Pertama Berani berbicara (speak up), berarti bahwa setiap perempuan Papua harus bisa mengeluarkan pendapat dimuka public mengenai masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh perempuan Papua di Papua. Karena jika perempuan Papua hanya berdiam diri tanpa mengungkapkan apa yang pernah atau sedang dialami, maka suara-suara perempuan Papua tidak akan pernah didengar. Hal ini mengakibatkan segala bentuk penindasan yang dialami akan terus berlangsung. Kedua Menulis. Menulis menjadi kunci yang sangat penting untuk menyuarakan penindasan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan dan perjuangan pembebasan rakyat Papua. Jika perempuan masih merasa kesulitan menyuarakan pendapat secara lisan maka, cerita mengenai masalah yang dihadapinya dapat dituangkan dalam bentuk tulisan-tulisan. Dengan tujuan agar dapat dibaca oleh setiap orang. Karena Menulis adalah Melawan!. Ketiga Membaca. Untuk dapat menulis, setiap perempuan Papua dituntut untuk memperbanyak literasi dengan membaca. Bacaan apa pun, boleh. Asal seyogyanya bermanfaat bagi perbendaharaan kata dan menambah wawasan. Karena Membaca adalah Melawan!. Keempat Diskusi. Setelah membaca, perlu dilakukan pula diskusi ringan bersama kawan-kawan, baik perempuan maupun laki-laki. Akan lebih baik jika perempuan Papua-lah yang mempelopori kelompok diskusi yang progresif. Dengan pembahasan yang lebih tajam, agar bacaan tidak hanya menjadi sekedar bacaan kosong tanpa isi. Kelima Kelompok diskusi progressif perempuan Papua, dapat menjadi langkah awal terbentuknya gerakan perempuan Papua progressif. Sehingga bisa terlibat aktif dan ikut mengambil bagian dalam organisasi. Baik organisasi sosial maupun politik nantinya. Gerakan perempuan Papua saat ini, harus fokus terhadap masalah-masalah akar rumput di Papua. Dengan tergabung dengan kelompok yang lebih riil seperti terlibat dalam gerakan  seperti ; Gerakan Mama-mama Pasar Papua yang di inisiasi oleh kawan Roberth Jitmau (alm) dan dilanjutkan oleh beberapa kawan atau Kelompok Kerja Papua Untuk Perempuan seperti uang dilakukan oleh Dra. Mientje D.E Roembiak (alm), dkk.

Organisasi seperti apa yang sebaiknya diikuti oleh kaum perempuan Papua?

Akibat budaya patriarkis yang begitu kental di Papua, dimana kaum lelaki merasa superior dan sudah semestinya mempunyai kuasa atas perempuan. Maka, tak mengherankan bila perlakuan diskriminatif terhadap perempuan saat ini masih terjadi di tengah masyarakat kita. Perempuan dianggap lemah dan sangat rentan dalam kedudukannya sebagi individu maupun kelompok dalam tatanan sosial masyarakat Papua. Memperjelas ketidaksetaraan gender antara perempuan dan laki-laki di Papua.

Sehingga dalam konteks ini, gerakan perempuan Papua harus menemukan jalannya sendiri, perempuanlah yang harus bergerak, bukan menunggu hadiah atau belas kasihan dari kaum laki-laki. Untuk dapat ‘Merekonstruksi’ sistem yang ada saat ini, yang telah berlangsung secara turun-temurun diatas Tanah Papua. Perempuan Papua “dipaksa” untuk memiliki kualitas diri yang lebih tinggi untuk membangun gerakan perempuan Papua yang progressif secara  lebih luas. Semakin banyak kaum perempuan di Papua yang sadar maka, semakin besar kekuatan kita dan semakin mudah mendorong perjuangan guna merebut kembali kemerdekaan Papua Barat dan menghapus Penindasan diatas Tanah Papua.

Baca juga terkait: Klass-Feminist-Mama-Mama-Pasar-rabik Sejarah West Papua

Membangun gerakan perempuan Papua Progressif yang sadar dan berjuang untuk kemerdekaan, kesetaraan dan keadilan adalah hal yang penting untuk dilakukan saat ini. Perspektif keadilan dan kesetaraan perlu dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat di Tanah Papua. Perjuangan perempuan di Papua untuk menuju kesetaraan dan terbebas dari penindasan memang merupakan proses yang panjang dan tidak mudah tetapi pasti bisa dicapai. Maka, kehadiran gerakan perempuan progressif di Papua sangat penting. Teori feminism pun dapat dijadikan sebagai salah satu teori perlawanan oleh perempuan Papua sebagai acuan untuk melawan segala bentuk penindasan terhadap perempuan. Gerakan feminism juga dapat membantu perempuan  Papua menentukan sikap dan posisinya dalam perjuangan Papua Merdeka.

Didalam garis perjuangan yang paling keras seperti bergerilya, teori revolusioner aliran Guevara berargumentasi bahwa “Perempuan dan laki-laki Tua di antara pasukan dapat menghambat keefektifan.” Kekuatan perempuan disamakan dengan kekuatan pria tua. Namun argumentasi itu dipatahkan dengan realitas perjuangan revolusioner diberbagai belahan dunia yang didalamnya terlibat banyak kaum perempuan.

Selain itu, sebagian besar orang didalam gerakan progressif maupun organisasi pro demokrasi masih melihat perempuan Papua hanya sebagai Korban Penindasan ketimbang sebagai pelopor atau pelaku gerakan perubahan. Ironisnya laki-laki Papua juga cenderung melihat dengan cara serupa. Eksistensi perempuan Papua dalam organisasi/gerakan masih dinomor duakan. Keterlibatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan Papua pun dimatikan oleh orang Papua itu sendiri. Baik oleh laki-laki maupun perempuan. Sebab ada anggapan bahwa, perempuan dalam gerakan dapat menjadi penggerak perjuangan atau malah menjadi penghancur gerakan perjuangan baik secara individu  maupun secara umum dalam gerakan perjuangan. Dengan berbagai alasan. Keberadaan perempuan dalam gerakan perjuangan pembebasan Papua pun menjadi hal yang cukup rumit. Tanpa alasan apa pun, Peranan perempuan Papua dalam gerakan perjuangan Papua merdeka harus dinilai penting. Penting !

Sebab sejatinya perempuan Papua, harus berada di garda terdepan untuk dapat merubah segala hal yang selama ini telah menempatkan perempuan Papua dalam posisi terbelakang yang merendahkan nilai seorang perempuan sebagai manusia. Dalam Keterlibatannya didalam organisasi perjuangan Papua, perempuan Papua harus memiliki dasar teori yang kuat serta taktik perlawanan sendiri. Secara tak langsung terciptanya gerakan perempuan Papua merupakan proses pembentukan posisi dan peranan perempuan Papua dimasa depan. Perempuan Papua harus aktif didalam gerakan-gerakan yang lebih luas. Mampu bersolidaritas, mengorganisir massa, dan berpartisipasi dalam demonstrasi jalanan. Mobilisasi gerakan politik oleh kaum perempuan Papua progressif, kaum feminist, perempuan Papua yang termarjinalkan dan dianggap apolitis, kaum perempuan ini sudah seharusnya bergerak maju dan berani memperjuangankan kemerdekaan yang menjadi haknya.

Tetapi, cukup miris melihat realitas di Tanah Papua. Sebab, hak untuk terlibat dalam kontestasi politik maupun gerakan perempuan, umumnya masih dikuasi oleh perempuan kelas menengah keatas (sosialita Papua) yang masih acuh tak acuh mengenai issue-issue sekotoral maupun utama Papua, sehingga issue yang diangkat cenderung sangat reformis dan tak menyentuh persoalan yang lebih radikal.

Akhir kata, hormat diberikan kepada perempuan tanah dimana saja yang tengah berjuang untuk pembebasan sejati Tanah Papua dan manusia Papua. Yepmum!

Penulis adalah Aktivist Self Determination dan Aktif di AMP Komite Kota Bali


Ilus.West Papua oleh Koran Kejora
Penulis, Stella Tebay***

Pendahuluan

Semua persoalan yang kemudian muncul bergejolak terus menerus adalah masalah klass kaum tertindas,kaum ditindas dan kaum yang menindas;  kemudian memunculkan sebuah kontradiksi antara perlawanan dan kekuasaan yang semerta-merta muncul ditatanan rakyat pada umum-nya. Hal ini tidak terlepas dari masalah politik,ekonomi dan sosial disetiap aspek kehidupan masyarakat yang luas. Dalam konteks ini topik masalah akan merujuk pada penindasan terhadap perempuan West Papua yang terus mendominasi dibeberapa klass dan menjadi budak atas tanah sendiri atau pun termarjinal.

Lingkup Sejarah

Pada umumnya perempuan dan laki-laki tidak saling menindas dan tidak ada persaingan dalam kehidupan komunal mereka yang hidup setara dan sejajar. Patriarki muncul ketika manusia mulai mengenal tanah,  komoditi untuk mengolah, mereproduksi ditempat-tempat yang sangat subur untuk produktif dan mulai mengenal bercangkul dan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan komunal mereka.

Ada sedikit perbedaan antara sejarah patriarki terhadap perempuan di  Amerika, serta negara-negara yang ada di Eropa, Asia, Pasifik, Afrika dan di dunia.  Penindasan Patriarki terlihat juga terdahap perempuan West Papua. Pada massa komunal kehidupan masyarakat West papua tergolong dalam kultural/budaya dan dalam itu, ada beberapa hukum adat yang harus di patuhi pada fase -fase tersebut misalnya kepala suku, atau orang terpercaya di tempat tersebut yang mempunyai kekuasaan berhak menikahi siapa saja tergantung dia mampu atau tidak mampu walaupun tergolong didalam penindasan terhadap perempuan hal itu dikategorikan sebagai patriarki ini yang membuat perbedahan pada fase komunal di West Papua. Dengan budaya partiarki yang sangat melekat seperti itu dan tidak terlepas dengan sejarah peradaban rakyat West Papua dari sisi Hak Penentuan Nasib Sendiri menjadi kasus yang perlu di bahas.

Jika dilihat dari persoalan yang terus menjadi projek investigasi dan projek yang terus menjadi analisis secara kritis hal ini tidak terlepas dari sejarah perjuangan rakyat West Papua pada umumnya. Maka fokus utama adalah sejarah manivesto West Papua, Kemerdekaan West Papua pada 01 Desember 1961 yang bertahan 19 hari dan Soekarno mengomandankan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) di alun-alun Utara Kota Jokyakarta pada tahun 19 desember 1961 di lanjutkan perjajian New York Agreement pada tanggal 15 Agustus 1962 dan Roma Agreement pada 30 semtember 1962 (membahas PEPERA dll) pertemuan ini pun tidak ada satu orang West Papua yang mewakili perjanjian tersebut seharusnya disahkan oleh pemilik hak teritorial, hak ulayat dan hak atas tanah yang penghuni West Papua dan kesepakatan perjajian itu berhasil melahirkan aneksasi West Papua ke dalam Indonesia sejak 01 mei 1963 dan disamping itu, banyak operasi-operasi yang terus digecarkan untuk membuat rakyat pada umumnya  merasa traoma dan ketakutan akibat operasi tersebut dilajutkan Penentuan Pendapat Rakyat [PEPERA] pada tahun 1969 itu, tidak sesuai dengan mekanisme internasional dan ilegal bagi Rakyat West Papua dan di pertanyakan  kenapa sampai bisah illegal? sebelum PEPERA dimulai ada 1025 orang yang dipilih agar memilih pada saat pelaksanaan Penentuan Pendapatan Rakyat (PEPERA) dari jumlah yang ditentukan itu turun drastis menjadi 125 orang yang memilih,tetapi sudah disetingg dari Indoneia dan internasional untuk manipulasi ; sebelum PEPERA dilakukan kontra karya PT. FREEPOT pada pertama kalinya sudah masuk beroperasi di West Papua pada 19677. Jadi dua tahum sebelum PEPERA di Lakukan dengan kekerasn, pembungkaman, teror, rasis dan beragaman implementasi kekerasan yang di lakukan oleh kolonial Indonesia melalui dalil militernya.

Sejarah ini kemudian menjadi pengantar penindasan yang terus berkelanjutan didalam klass-klass sosial dari semua aspek yang terus terhegemoni dan mengkarakterkan Rakyat West Papua menjadi kaum modernisasi yang sangat meloncat dari peradaban manusia itu sendiri, artinya manusia West Papua dari komunal melompat ketahapan kapitalis dan tiga fase itu dilewatkan misalnya primitif ,komunal primitif dam feodal hal ini membuat Rakyat West Papua spontan didoktrin dan menstigmai, menjiwai kehidupan Rakyat West  Papua pada umumnya. Dari beberapa topik umum tetang penindasan diperkecilkan menjadi klass mama-mama pasar; ini kemudian menjadi klass yang kemudian dibudak dari berbagai lini dan segi kehidupan mama pada umumnya serta di West Papua.

Mama adalah payung kehidupan yang selalu memnguatkan kita pada keyakinan dan tekat untuk ber-evolusi dan mempertahankan kewajiban mereka segbagai ibu dari anak yang dilahirkan mama pada umumnya kekuatan pun akan diperkuatkan bilah proses penyadaran itu masuk melalui mama atau perempuan membahas tetang hak ekonomi dan hak politik yang kini telah tersistematis dalam klass-klass penindas itu.  Penyadaran adalah sebuah jalan untuk mencapai proses-proses dialektika pada perjuangan yang kuat dan radikal akan ideologi bangsa untuk itu, pembangunan organisasi sangatlah penting didaerah-daerah yang terisolasi dan daerah-daerah yang terhegemoni dengan arus kolonial karna kekurangan idealisme yang seharusnya menjadi agenda yang di savety untuk menjalankan hubungan menuju perjuangan sejati mama-mama pasar dan perempuan konteks West Papua.

Dalam meihat dari prekpektif sejarah West Papua dan Gerakan Feminist membutuhkan "Pembangunan organisasi" terkhusus mama-mama pasar. Dalam pandangan itu,  memabagun front taktik yang kuat sama hal dengan front yang di buat oleh negara-negara lain untuk merangkul feministme secara luas. Dengan itu, rakyat West Papua juga wajib membuat atau membangun front tersebut; dapat saya ilustrasikan seperti : FRONT PERSATUAN MAMA-MAMA PASAR ANTI IMPEARIALISME, KOLONIALISME DAN MILITERISME ( PMMP)

Realitas yang terjadi karna belum ada kakuatan front atau wadah, Sejak dilantik pada 9 April 2013 Gubernur Papua Lukas Enembe memasukan program pembangunan pasar Mama-Mama West Papua dalam program 100 hari kerja. Selanjutnya, pada 19 Juli 2013, Gubernur Lukas Enembe telah memerintahkan PU Provinsi Papua untuk membentuk tim pembangunan pasar Mama-Mama, namun kenyataannya sampai kini pembangunan pasar untuk mama-mama West Papua tersebut sama sekali belum terealisasi secara konkrit. Padahal, untuk pembangunan pasar, Pemprov sediri sudah mengalokasikan dana selama 3 tahun APBD secara berturut-turut, yakni Tahun 2010-2011 sebesar 10 Milyard; tahun 2011-2012 sebesar 10 milyard; tahun 2012-2013 sebesar 25 milyard yang dibagi dengan Damri sebesar 15 milyard dan untuk pembangunan pasar Mama-Mama sebesar 10 milyard. Jadi, total dana pembangunan untuk pasar Mama-Mama adalah 45 milyard yang nasibnya kini tidak jelas, sejalan dengan ketidakjelasan pembangunan pasar bagi Mama-Mama West Papua sampai saat ini 2019 dan itu hanya sebagai penindasan dari sebuah system yang terus mengasingkan mama-mama pasar West Papua. Inilah kasus yang sangat dapat di lihat bahwa pembohongan kelas borjuasi dengan system kolonial menjadi klass penindas yang bertahap pada massa klass mama-mama Pasar West Papua.

Sejak berlakunya otonomi khusus di tanah West Papua pada awal tahun 2001 hingga kini, belum dibangunnya pasar khusus mama-mama West Papua permanen di seluruh West Papua, seharus-nya ada suatu tempat yang layak untuk mama-mama West Papua pasarkan hasil kebun dan dagangannya mereka. realita bukannya memihak mama-mama West Papua, tetapi kasihan mereka harus berjualan di emperan-emperan seperti di lampiran gambar . Mama-mama Pasar West Papua berpikir ini adalah bentuk diskriminasi yang di lakukan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. secara langsung. pembagnunan kios pun hanya di peruntuk hanya untuk pedagang pendatang atau klass para migran. Kapan pembangunan ekonomi mau di mulai dan di bangun di West Papua secara riil, kalau rakyat kecil tidak di perhatikan dan di benahi secara serius dan bertahap. tidak dikhususkan. apakah pemerintah tidak mau atau tidak mampu untuk mengakomodasi untuk rakyat ekonomi lemah?

Pasar Mama-Mama sebagai pelaku ekonomi di Pasar tradisional yang bisa digolongkan pengusaha murni di sektor UKM ( usaha kecil menengah) ini yang memiliki modal, alat produksi, dan waktu kerja yang mereka atur sendiri, perlu dilindungi karena keberadan mereka di pasar-pasar tradisional mampu merepresentasikan lembaga ketahanan ekonomi orang asli West Papua, lembaga ketahanan sosial, sekaligus lembaga ketahanan kultural. Pasar tradisional merupakan representasi dari kultur masyarakat West Papua.

Namun mama-mama pasar ini banyak mengalami penindasan baik itu penindasan internal dan eksternal. Penindasan yang terjadi  adalah pertama persaingan dengan kolonialisme dalam hal berjualan, Apa yang mau di jual sama mama-mama West Papua pasti di jual pula dengan orang melayu;  di sana terjadi persaingan dan soal harga melayu mereka akan jual lebih murah di bandingkan mama-mama West Papua . Kedua tempat Jualan di kuasai oleh pendatang sehinga mama-mama West Papua itu, berjualan di emperan jalan sehingga harus di usir sama Satpol PP ( petugas keamanan ).ketiga Transportasi jika rumah, kebun dll terletak jauh dari pasar pasti akan memerlukan biaya yang besar sedangkan mereka punya penghasilan itu tidak seberapa.

Untuk Hak Menentukan Nasib sendiri di golongkan menjadi 3 bagian menjadi kebutuhan utama, yaitu Ekonomi, Budaya, Politik: Ekonomi pertama, Persaingan begitu banyak yang terjadi dilingkup  mama-mama pasar; langkah baiknya membangun salah satu pasar khusus untuk mama-mama pasar atau khusus rakyat asli West Papua supaya ekonomi mama-mama pasar meningkat seperti Front yang di jelaskan diatas. Kedua, Turunkan harga transportasi karena satu-satunya penghasilan yang mama-mama pasar hanya berjualan itu pun kentungannya tidak lebih dari Rp 30.000.-. atau buat peringanan terkhusus untuk rakyat West Papua sendiri. Politik pertama Perampasan lahan demi kepentingan para elit lahan pun di rampas secara skala besar di situ hilanglah mata pencaharian mama-mama pasar. Kedua janji pemerintah untuk membangun pasar mama-mama West  Papua yang layak tapi janji itu tidak di penuhi dari pemerintah provinsi dan kabupaten tersebut. Menjadi politik praktis sampai kini berlangsung. Ketiga, Meminta pemerintah untuk memberikan modal usaha karena hasil jualan saja tidak cukup untuk memenuhui kebutuhan keluarga, alangkah baiknya pemerintah buka usaha kecil-kecil dan bimbing sampai berhasil. Ke empat Militer mengancam mama-mama yang bekerja di kebun ini tahapan proses dalam praktis . Budaya pertama, Perampasan Lahan tanah yang duluhnya komunal atau klen yang di miliki dari masyarakat mayoritas daerah tersebut  di ambil ahli oleh pemerintah sebagai komoditi dan hancurlah budaya local yang duluhnya milik tanah adat berubah menjadi perusahaan atau pemerintah .kedua, Mariginalkan ketika mama di pasar tidak punya hak untuk jualan di tempat yang layak sehingga mereka ambil keputusan tidak apa dan termarjinal dari lingkup jualannya.

Dengan konsep ini, Front menjadi dasar utama dan bentuk sesuai realitas atas penghisapan,penindasan dan penganiayaan yang berkelanjutan terus terjadi terhadap  rakyat West  Papua lebih khusus terhadap mama-mama pasar yang berada diseluruh tanah West Papua,membuat penyadaran agar memuculkan kesadaran baru untuk melawan bourjiasi kecil dan tuan imperialisme,kolonialisme dan militerisme sebagai penghalang perlawanan menujuh cita-cita dan impian bangsa sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka atas teritory West Papua.

Penulis adalah Anggota Aktif Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali


Penulis: Cinta Griapon*


“Menerima ketertindasan bukan untuk diam, tapi dilawan. Karena mengembalikan hak dasar perempuan Papua tidak semata makan minum, tapi soal Identitas!”—Diary Pribadi.

Perempuan diartikan dengan berbagai keterangan sesuai realita dimana Ia berada. Terkadang perempuan diartikan berdasarkan kondisi fisik, ekonomi bahkan kondisi lingkungan. Ini dapat terbentuk akibat adanya realita dari situasi dan dikonstruksi oleh kekuasaan yang mendominasi. Mengapa realita perempuan di Palestina, tidak sama dengan di Inggris, begitu pula di Venezuela. Dan tentu akan berbeda dengan perempuan di Papua.

Basis material: sejarah perkembangan masyarakat dan kondisi ekonomi-politik dunia penting menjadi landasan analisa untuk memahami dan menemukan akar masalah penindasan terhadap perempuan. Secara umum mayoritas Perempuan  mengalami ketertindasan yang sama di ruang publik maupun domestik. 

Ketertindasan ini kemudian perlu diulas lebih jauh akar permasalahannya. 

Salah satu komunitas dunia yang mengalami ketertindasan atas nama moderenisasi adalah masyarakat adat, diantaranya masyarakat Papua. Keberadaan masyarakat adat terancam akibat adanya interaksi perdagangan untuk menghasilkan profit atau keuntungan bagi kelompok tertentu.

Untuk itu mari kita lihat persoalan perempuan Papua.

Kolonialisme Belanda

Terbentuknya kolonialisme akibat praktek (meluasnya) perdagangan yang besar dan menguasai sehingga adanya akumulasi modal atau penukaran barang bernilai. Itu dilakukan oleh Negara-negara di Eropa untuk mendapatkan barang-barang yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari atau untuk asesoris. Maka kolonialisme merupakan salah satu cara untuk membenarkan keberadaan kelompok perdagangan di suatu wilayah. 

Wilayah yang dijajah (dikuasai) tentu memiliki sumber daya alam melimpah. Kemudian kondisi masyarakat tak berkelas atau masyarakat yang kehidupannya bergantung pada alam, dan kehidupan saling bekerja sama, kerapkali menjadi tempat yang baik untuk dilakukan penjajahan. 

Mayoritas kondisi masyarakat seperti ini adalah masyarakat adat. Masyarakat adat biasanya hidup berdampingan dengan batasan suku, sebagai komunitasnya. Suku memiliki wilayah untuk hidup kemudian memiliki hukum-hukum adat. Hal inilah yang menjadi peluang penjajah (kepentingan eksploitasi) untuk menduduki wilayah tersebut. Hal ini bisa menjelaskan bagaimana Belanda melakukan penjajahan (ekspansi) di Indonesia, Inggris untuk Malaysia, Papua Nugini, dan India dan penjajahan Spanyol di sebagian besar wilayah Amerika latin untuk kepentingan eksploitasi lahan, juga keberadaan negara-negara Eropa Barat di Afrika. 

Penjajahan pada dasarnya untuk kepentingan akumulasi modal melalui perdagangan. Ini akan disesuaikan dengan komoditi yang dibutuhkan dalam selang waktu tertentu sesuai keinginan pasar saat itu. Maka, pada < 400 tahun yang lalu bahkan hingga sekarang masih ada perdagangan manusia atau perbudakan. 

Hal ini juga menjelaskan bagaimana konidsi yang dapat menjelaskan penjajahan di Papua barat. 

Juli 1828 dengan dua kapal Triton dan Iris berlabu di sebuah kaki gunung Lamenciri, kapal Triton yang membawa A. J. Van Delden seorang komisaris utusan Belanda di Maluku bersama kapten Let. J.J Stanboom untuk persiapan eksplorasi dan mendirikan benteng sebagai bukti kekuasaan Belanda di teluk Triton. 

24 Agustus 1828 diresmikan benteng Foor de bush di teluk Triton, kaki gunung Lamencari, Kaimana. Saat ini merupakan saat dimana Belanda mulai datang dan menengok wilayah Papua Barat. Pada abad 18 kebutuhan pasar akan rempah-rempah dan minyak. Hal itu yang menyebabkan keinginan negara-negara-negara yang memilki pedagang-pedagang handal untuk melakukan ekspansi. Akses Belanda ke Papua dikarenakan keberadaannya di wilayah Maluku. 

Masyarakat Papua yang mendiami di persisir pertama kali melakukan interaksi. Mayoritas wilayah pesisir menjadikan laut sebagai tempat mendapatkan makanan, maka transportasi laut sangat berkembang saat itu, salah satunya adalah suku Byak  yang berlayar dan interaksi keluar wilayah adatnya. 

Pelayaran suku Byak ke luar kampungnya untuk mendapatkan makan atau karena konflik di wilayahnya, hal ini yang menjawab keberadaan suku Byak di wilayah Manukwar, wilayah Jayapura, kepulauan Rajampat, dan berbagai wilayah lainnya. 

Pulau Byak juga merupakan wilayah strategis untuk pelabuhan transportasi laut di wilayah pasifik. Sehingga, interaksi ini membuat pulau Byak dijadikan sebuah tempat berlabuh, juga pada tahun 1940-an pulau Byak dijadikan tempat pertahanan fasis Jepang untuk melawan Amerika serikat. Pecahnya perang Dunia II, menjadikan fasis Jepang saat itu menduduki paksa kepulauan-kepulauan di Byak, akibatnya adanya perlawanan dari Angganita Manufandu yaitu perlawanan bersenjata, sebagai bentuk pengusiran terhadap penjajahan di wilayahnya.


Jayapura menjadi tempat berlabuh untuk kepentingan ekonomi, pengangkutan barang mentah dan administrasi Belanda. Kondisi masyarakat khususnya perempuan di Port Numbay (Jayapura) berbeda dengan wilayah lainnya, Belanda banyak melakukan pelatihan-pelatihan di bidang khusus dan pelayanan-pelayanan kesehatan, pendidikan dsb. 

Kebanyakan pelayanan ini juga melibatkan perempuan yang diperkerjakan di perkantoran, dan perawat. Hal ini berbeda jauh dengan Java (pulau Jawa) atau Maluku karena pendekatan di Papua, Belanda melakukannya dengan pendekatan keagamaan. Di balik itu pemerintahan Belanda pula melakukan eksplorasi-eksplorasi di wilayah Papua untuk kepentingan pembagian wilayah dan sumber daya alam.

Tercatat sejak 1900-an hingga 1930 telah dilakukan lebih dari 140 eksplorasi. Salah satu penemuan berharga yang dilakukan Belanda pada tahun 1920-an adalah gunung Nemangkawi, yang kini dihuni tambang PT. Freeport dan tambang-tambang kecil lainnnya. 

Pada tahun 1900-an eksplorasi dilakukan karena kebutuhan minyak menjadi kebutuhan pasar dunia saat itu. Eksplorasi dilakukan melalui udara dan air, pada saat eksplorasi dilakukan kebanyakan wilayah-wilayah yang ditempati beberapa suku seperti suku Mee masih memiliki kehidupan perdagangan berupa barter untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, begitu pula masyarakat yang hidup di kaki gunung Nemangkawi, kehidupan berdampingan. Pada saat itu gunung Nemangkawi dilihat sebagai salah satu keindahan alam sebab memiliki alam yang asri dan di puncak gunung diselimuti salju abadi, hingga dibuktikan oleh geolog yang datang dan menemukan keberadaan material tambang. 

Pada tahun 1920-an keperluan tambang tidak diminati sebab tambang tidak bisa menjalankan mesin-mesin, setelah revolusi Industri di wilayah Eropa barat. Setelah perang dunia II kebutuhkan pasar dunia akan bahan-bahan mentah seperti bahan tambang untuk keperluan pembuatan senjata dan alat-alat teknologi semakin tinggi, maka arsip yang dimiliki Belanda pada tahun 1920-an tentu menjadi berguna di tahun 1940-an. 1935 Pemodal-pemodal asal Belanda, Inggris dan Jerman sempat melakukan penyatuan modal untuk mendirikan perusaahan minyak yang bernama ‘Netherland Nieuw Guinea Petroleum Maatshappij (NNGPM) di wilayah Domberai, Papua, untuk menjawab kebutuhan pasar dunia akan minyak bumi. Inilah kerja-kerja kolonial, melakukan penjajahan atas kepentingan eksploitasi untuk kepentingan perdagangan kemudian memperoleh keuntungan. 

Kejahatan kolonial Belanda ditutupi dengan program-program keagaamaan untuk pelayanan-pelayanan, maka saat itu rakyat Papua kemudian susah melihat Belanda sebagai penjajah, apalagi saat Belanda menduduki Papua, belanda hanya melakukan eksplorasi. Hingga perang dunia II usai 1945 kemudian adanya organisasi-organisasi dunia yang melihat pentingan pembangunan Hak Asasi Manusia, pentingnya melepaskan wilayah-wilayah jajahan, hal ini tetap tidak terlepas dari kebutuhan pasar untuk mendapatkan bahan-bahan mentah. 

Setelah perang dunia II perempuanlah yang diandalkan menjadi tenaga produktif untuk mengembalikan situasi setelah Perang, karena kaum laki-laki dijadikan gerilya-gerilya untuk perang. Perempuan mengalami penindasan akibat adanya eksploitasi yang mengharuskan perempuan bekerja lebih banyak (beban ganda). Bayangkan saja situasi di Papua, menjadi tempat penjajahan Belanda kemudian menjadi tempat sementara Jepang dalam melaksanakan perang, situasi trauma juga situasi kelaparan. Setelah perang perempuan mencoba kembali melakukan aktivitas seperti biasa, kemudian Belanda didesak meninggalkan Papua, kemudian dilanjutkan dengan penjajahan Indonesia.

Kolonialisme Indonesia

Sang Proklamator Ir. Soekarno mengumandangkan komando pendudukan di Papua pada 19 Desember 1961. Alun-alun Yokyakarta menyaksikan bunyi Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) merupakan awal malapeta bagi rakyat Papua. TRIKORA, bagi rakyat Papua, adalah manifesto penjajahan.

Sejak itu Papua menjadi daerah operasi militer (DOM). Terhitung mulai 1961-1998 tercatat 15 rangkaian operasi militer, dan berlanjut hingga tahun 2004.Tak berhenti disitu, hingga kini dibeberapa wilayah masih dijadikan DOM seperti Sinak, Nduga, Illaga, Mulia,Tembagapura, daerah lainnya di tanah Papua.

Pertunjukan kekejaman kolonial Indonesia di Papua di mulai rangkaian operasi militer (1961-2004) telah memakan lebih dari 500.000 juta jiwa orang Papua mati dibantai secara brutal oleh Militer Indonesia. Belum dan tak pernah terhitung jumlah korban yang hilang, yang teridentifikasi. 

Kemudian secara paksa, melalui mekanisme yang tidak demokratis, tanpa melibatkan orang Papua, Indonesia melakukan pendekatan diplomatif kepada Amerka, yang menyepakati perjanjian New York/ New York Agreement  pada 15 Agustus 1962, dan menghasilkan tindakan aneksasi (penggabungan paksa) pada 1 Mei 196, teritori Papua menjadi bagian dari Indonesia. 

Pelaksaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 14 Juli – 2 Agustus 1969 menjadi alasan legal di muka Internasional. Akademisi Internasional, lembaga-lembaga akvokasi temukan banyak pelanggaran Hukum dan Hak Asasi. Pepera dilakukan dalam situasi operasi militer berlangsung, dengan mekanisme Musyawara—yang harusnya mengikuti keputusan Internasional bahwa One Man One Vote (Satu orang satu suara)—ala Indonesia, serta memperoleh manipulative. 

Betapa susahnya, saat itu, kondisi psikologis dan fisik rakyat Papua saat itu yang berduka akibat dihujani peluru, kemudian dipaksakan untuk memilih bergabung dengan Indonesia. Tentu saja pemerintah menggunakan cara yang jahat untuk memenangkaan suaranya.

Rakyat Papua di di intimidasi, tentu ada pemaksaan dalam memilih, juga keterlibatan yang tidak mewakili populasi rakyat papua.Kemenangan ABRI dalam pepera diwakili oleh 1024 suara dari 800 ribu juta jiwa jumlah populasinya.

Manipulasi ini disebabkan adanya dorongan kepentingan eksploitasi sumber daya alam Papua yang berlimpah. Selain wilayah yang strategis untuk jalur perdagangan  dan keamanan, SDA Papua menjadi perhatian rezim Indonesia, saat itu, tergiur. Bagaimana tidak laut berisi minyak, gunung mengandung material, tanah subur untuk penanaman kelapa sawit, sedangkan 1960-an setelah perang dunia II kebutuhan pasar adalah material-material tambang untuk pembuatan produk-produk semakin meningkat. 

Papua dikorbankan untuk kepentingan eksploitasi. 7 April 1967 merupakan kontrak karya PT. Freport Mc. Moran antara Indonesia dan Amerika serikat. Kontrak karya dilakukan dua tahun sebelum PEPERA (1969); dan tentu tak melibatkan masyarakat adat, satu pun orang papua sebagai pemilik ha katas gunung nemangkawi yang dikeruk. 

Hal ini membuktikan keterlibatan negara-negara imperialis (negara-negara yang memiliki modal untuk kepentingan perdagangan yang menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya) dalam menggabungkan paksa Papua menjadi bagian dari Indonesia. Pada rentang waktu 1960-an juga terjadi gejolak politik di Indonesia yakni kekalahan gerakan rakyat terhadap rezim fasis Soeharto (kapital-militer) terjadi sekitar 1965-1966, sehingga selain DOM di Papua, Indonesia terjadi pembataian manusia yang berasal dari gerakan rakyat. Bahkan kejahatan ini terus belanjut hingga kini, yakni militer menguasai sistem pemerintahan dan sektor-sektor lainnya.

Pada situasi 1960-an hingga 1998 perempuan Papua yang menjadi korban: budak seksual, dijadikan korban kekerasan untuk memukul mundur kaum laki-laki dalam perjuangan, dan perempuan dibunuh secara brutal. Perempuan dijadikan objek kekerasan karena perempuan adalah tenaga produktif untuk menghasilkan makanan (kehidupan trandisional rakyat papua (1961-1998), kemudian perempuanlah yang akan melahirkan. 

Kondisi tersebut membuat banyak perempuan Papua terjebak dalam trauma yang mendalam. Trauma itu yang menjadi salah satu alasan, banyak perempuan yang memilih diam, memilih untuk perlindungan yang berlebihan (over protektif) kepada anggota keluarganya. Kondisi ini pula yang dapat menjawab semakin sedikit rakyat Papua membicarakan tentang hak demokrasinya. Perempuan dijadikan budak seksual kemudian terus berlanjut setelah 1998, dimana perempuan-perempuan Papua akan dikencani oleh militer untuk kepentingan memuaskan nafsunya (Nonton Video: Papua Voice ‘Surat Cinta kepada sang prada), ada pula diperkosa. 

Hal ini terus terjadi seperti lingkaran setan. Perempuan dituntut untuk bersekolah namun, tidak ada perlindungan terhadap perempuan, tidak ada upaya nyata dalam mengurangi stigma buruk terhadap perempuan, sehingga perempuan Papua terus menjadi korban. Lingkaran setan ini tidak berhenti di kekerasan militerisme. Kekerasan terhadap diskriminasi dalam sistem kesehatan, pelayanan yang buruk menyebabkan banyak kerugian yang dialami perempuan Papua. Sistem budaya yang dicengkoki budaya kolonial Belanda dan Indonesia melebur menjadi satu, budaya patriarki (dominasi laki-laki), budaya patron (yang lebih tua lebih mengerti segalanya, mentokohkan seseorang) dan budaya-budaya lain yang menjadikan perempuan semakin disingkirkan. 

Kondisi ini yang menjawab mengapa wilayah adat/ tanah adat di Papua, hampir tidak ada keterlibatan perempuan dalam pelepasan tanah adat kepada investor atau pemerintah. Budaya patron yang menyebabkan banyak perempuan yang menjadi sempit dalam berpikir, kesulitan kaum perempuan dalam berserikat apalagi menentukan nasibnya sendiri, kesulitan dalam mengakses banyak hal yang dapat meningkatkan tenaga produktifnya. Hal ini dikarenakan daerah domestik dan lingkungan menekan keberadaan perempuan, kemudian perempuan diikat dengan budaya-budaya yang menindas. Tahun 2001 – 2019 merupakan tahun dimana otonomi khusus (Otsus) diberlakukan di Papua, Otsus adalah anak kandung kolonial Indonesia di Papua, kebutuhan pasar dunia terhadap produk-produk pertanian, bahan mentah minyak sawit, bahan mentah minyak bumi, bahan mentah material tambang, jasa dsb, membuat kolonial Indonesia akan terus menawarkan program-program ‘pembangunan’ untuk menipu rakyat Papua. Selain perampasan tanah adat, negara juga menjadikan perempuan menjadi komoditi atau jasa seksual. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak pekerja seks komersial (PSK), hal ini disebabkan kebutuhan pasar adalah jasa seks sehingga mayoritas perempuan maupun laki-laki dan transgender harus dikorbankan untuk memenuhi pasar. 

Kondisi ini dialami perempuan Papua, kebiasaan mendapatkan makanan di alam/hutan/wilayah adatnya, kemudian dihentikan akibat aktivitas pertambangan, perkebunan, peternakan yang bukan untuk kepentingan perempuan tersebut. Bahkan tanah yang dikelolanya sekian tahun dirampas tanpa keterlibatnya dalam mengambil keputusn, ketika perempuan ingin bersuara akan dibenturkan dengan mocong senjata, kemudian muncul stigma-stigma lainnya, sehingga perempuan Papua di masa kolonial Indonesia benar-benar hidup dalam lingkaran setan. Fenomena-fenomena ini terus terjadi, dan akan terus terjadi bila tidak ada kesadaran yang baik dari perempuan –perempuan Papua. 

Kesadaran itu tidak dibentuk dari perempuan yang mendapat gelar Ph.D atau perempuan tidak perlu menjadi orang lain untuk melawan penindasan. Perempuan perlu menyadari dirinya sebagai manusia yang merdeka, manusia yang memerdekakan orang lain. Perempuan papua juga perlu sadar terhadap kebebasan yang membebaskan bangsanya dan bangsa tertindas lainnya. Alternative perjuangan harus ditawarkan oleh kaum perempuan dan kaum tertindas lainnya sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi penjajahan. 

*Penulis adalah aktivis AMP, Perempuan Papua, Mahasiswa Yogyakarta.
___________
Sumber :
Alua, A., Papua dari pangkuan ke pangkuan.,
Pigai N.D., Evolusi Nasionalisme dan sejarah konflik politik di Papua, 2000., 
Anonim., Papua Voice Film ‘ Surat cinta kepada sang prada’

Ilustrasi Gambar Oleh AMP
"Pernyataan Sikap: FRI-West Papua Dan
AMP Hari Perempuan Internasional 2018
"
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

Waa… waa… waa… waa… waa… waa… waa… waa… waa… waa!

Selamat Hari Perempuan Internasional 2018!
Salam Solidaritas!

Hari Perempuan Internasional merupakan momen bersejarah bagi perjuangan kaum perempuan di seluruh dunia dalam hal ekonomi, politik dan sosial-budaya. Sejarah telah memastikan bahwa peran perempuan merupakan salah satu elemen penting dalam keseluruhan perjuangan manusia untuk menjadikan hidupnya lebih mulia. Kesetaraan—dalam hal ekonomi, politik dan sosial budaya—selamanya tak akan dapat dinikmati tanpa adanya peran perempuan. 

Akan tetapi, meski Hari Perempuan Internasional telah diperingati sejak seabad lalu, perempuan saat ini masih saja mengalami beragam bentuk penindasan: kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Perjuangan perempuan untuk meraih kehidupan yang lebih baik belumlah mencapai kemenangan.

Perempuan West Papua berdiri tegak!

Di tengah bentangan panjang sejarah bangsa West Papua dalam menentukan nasibnya sendiri, perempuan-perempuan West Papua berdiri sambil menderitakan bermacam penindasan. Baik ketika di bawah pemerintahan kolonial Belanda, pun di bawah pemerintahan Indonesia. Penderitaan bukanlah kosakata baru dalam hidup perempuan West Papua.

Pada masa Perang Dunia II, tanah Papua menjadi medan pertempuran antara pasukan Jepang dan Sekutu. Rakyat, khususnya perempuan West Papua, menjadi korban. Sampai Perang Dunia II berakhir, Papua masih berada di bawah kuasa Belanda (yang menjanjikan dekolonialisasi), setidaknya hingga Indonesia melakukan upaya-upaya “pembebasan” tanah Papua. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora dengan tujuan “membebaskan” Papua dari cengkeraman Belanda. Trikora kemudian mengejawantah menjadi serangkaian operasi militer. Rakyat, khususnya perempuan West Papua, menjadi korban. Sejak dikumandangkannya Trikora hingga saat ini, ada setidaknya 30 (tiga puluh) operasi militer yang terjadi di tanah Papua. Sebanyak, selama, seperih, sesakit, itulah yang harus dihadapi rakyat, khususnya perempuan West Papua dalam menanggung hidup.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Pokja perempuan Majelis Rakyat Papua dan International Center for Transitional Justice (ICTJ) Indonesia telah mendokumentasikan fakta kekerasan terhadap perempuan West Papua sepanjang tahun 1963 sampai 2009. Dari dokumen tersebut tercatat ada 138 kasus kekerasan negara dan 98 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan negara berarti tiap bentuk kekerasan terhadap perempuan, baik itu fisik, seksual dan psikologis, yang dilakukan atau didukung oleh aparat keamanan dan aparat pemerintahan. Penelitian terbaru dari Papuan Women’s Group (PWG) mencatat ada 60 perempuan dari 170 yang terlibat dalam penelitian pernah mengalami kekerasan, dan 48 di antaranya adalah korban kekerasan negara atau pelanggaran HAM.

Tentara menjadi aparat negara yang paling banyak menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan West Papua, hal yang masuk akal mengingat luar biasa banyaknya operasi militer yang digelar di Papua. Yang sulit diterima oleh akal manusia yang sehat adalah, bagaimana tentara dan/atau polisi Indonesia memperlakukan perempuan West Papua. Perempuan West Papua menderitakan kekerasan berupa pembunuhan (femicide), penghilangan, penembakan, percobaan pembunuhan, penahanan, penganiayaan, penyiksaan, penyiksaan seksual, pemerkosaan, percobaan perkosaan, perbudakan seksual, eksploitasi seksual, aborsi paksa, rasisme dan pengungsian paksa.

Belum lagi permasalahan seperti tidak adanya hak perempuan untuk terlibat dalam mekanisme pengambilan keputusan, tak bisa ambil bagian dari kompensasi, juga tak bisa mengakses kesempatan kerja baru karena industri lebih banyak memperkerjakan orang-orang pendatang. Juga tak boleh dilupa, perempuan West Papua terkena dampak atas kerusakan ekologis dan masalah-masalah sosial yang timbul akibat maraknya industri seperti perkebunan sawit, pertambangan, dan lain-lain.

Dalam ranah rumah tangga, perempuan West Papua juga kerap mengalami tindak kekerasan berupa poligami, menjadi korban perselingkuhan, penelantaran ekonomi, penganiayaan, kekerasan psikis, pemerkosaan dalam perkawinan, perkosaan anak, pembunuhan anak, kawin paksa, hingga tertular HIV/AIDS. Sepanjang 2016-2017, jumlah kekerasan rumah tangga bahkan mencapai angka 2000-an.

Juga yang masih cukup segar di ingatan kita orang-orang Indonesia, sebagai bagian dari bangsa yang pelupa, bagaimana puluhan balita meninggal di Papua karena masalah gizi buruk, meski penelitian masalah gizi buruk di Papua sudah terbit sejak tahun 2005. 

Pemujaan terhadap konsep kecantikan kulit putih di Indonesia telah meminggirkan perempuan-perempuan Papua yang berkulit hitam. Dalam produk budaya, terutama televisi dan film, menjadikan orang Papua sebagai bahan olok-olok. Perempuan Papua menjadi kelompok yang paling menderita karena dihegemoni untuk mengikuti standar kecantikan negeri jajahan yang patriarkis dan rasis. Standar kecantikan yang juga bahkan bisa diamini oleh laki-laki Papua. Dalam penjajahan budaya ini yang dihancurkan adalah kepercayaan diri perempuan Papua atas warna kulit dan ciri biologisnya untuk menciptakan ketidakberdayaan, menyerah dan kekalahan. 

Sekali lagi, di tengah bentangan panjang sejarah bangsa West Papua dalam menentukan nasibnya sendiri, perempuan-perempuan West Papua berdiri sambil menderitakan bermacam penindasan. Angka-angka tersebut bukanlah sekadar bilangan belaka. da manusia-manusia, perempuan-perempuan, yang tegak, tegar, berdiri, dipaksa menderita, berani, dan melawan. Angka-angka itu adalah perempuan-perempuan yang benar-benar hadir di dunia, di tanah West Papua, hadir dalam sejarah perjuangan bangsanya.

Kami menilai, realitas kekerasan yang dialami oleh perempuan West Papua tak dapat dipisahkan dari problem kolonialisme dan kepentingan modal internasional. Banyaknya aparat bersenjata Indonesia yang dikirim ke tanah Papua, baik dalam upaya operasi militer, pembangunan komando teritorial, pun untuk tenaga penjagaan industri—yang kesemuanya dilakukan demi kepentingan modal, tanpa berupaya memanusiakan perempuan West Papua, juga bangsa West Papua secara keseluruhan. 

Akar permasalahan di Papua adalah penjajahan, dan oleh karena itu pembebasan Perempuan Papua hanya bisa diraih dengan pemenuhan atas hak menentukan nasib sendiri (self-determination) bagi bangsa Papua. Sebab, perkembangan bangsa Papua tak bisa lebih maju lagi di bawah kolonialisasi, bahkan bangsa Papua terancam musnah karena kematian akibat pembunuhan dan penyakit, serta pengusiran.

Oleh sebab persoalan-persoalan tersebut, kami Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua, dalam momentum Hari Perempuan Internasional 2018, menuntut:

1. Jaminan pemenuhan pendidikan dan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi bagi Perempuan  Papua.
2. Tangkap dan penjarakan pelaku pelecehan seksual, perkosaan dan pembunuhan terhadap  Perempuan Papua. 
3. Bongkar berbagai tragedi di Papua yang mengakibatkan terjadinya kekerasan seksual dan non    seksual terhadap Perempuan Papua.
4. Tarik militer organik dan non organik dari tanah Papua.
5. Adili Jenderal pelaku pelanggaran HAM dan adili tentara dan polisi yang melakukan kekerasan  seksual dan non seksual kepada perempuan Papua melalui pengadilan publik.
6. Jaminan kebebasan berorganisasi seluas-luasanya bagi Perempuan Papua baik itu untuk bergabung  ke organisasi-organisasi gerakan rakyat maupun mendirikan organisasi perempuan itu sendiri. 
7. Hapuskan diskriminasi terhadap perempuan Papua di lapangan kebudayaan.
8. Tolak Poligami

Tuntutan darurat tersebut adalah bagian tak bisa dipisahkan dari proses penentuan nasib sendiri bagi rakyat dan bangsa West Papua.

Demikian pernyataan sikap ini dibuat, atas dukungan, pastisipasi dan kerjasama semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih.

Salam Solidaritas!

Medan Juang, 7 Maret 2018






sumber gambar: google

Penulis: Cinta Griapon*

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia panas membahas persoalan hak kepemilikan tanah, sehingga berdampak pada aktivitas sosial -ekonomi. Masyarakat Indonesia yang sebelum kemerdekaan (1945) hingga kini,  mayoritas bekerja  sebagai petani atau bekebun sekarang beralih pekerjaan karena kebanyakan lahan-lahan mereka digunakan untuk aktivitas Industri.

Aktivitas Industri ini berkaitan erat dengan Sistem kapitalisme global yang terus berproduksi program-program atau proyek-proyek untuk kepentingan kaum-kaum pemodal.

Indonesia merupakan salah satu wilayah yang luas dengan potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Tanah yang luas dan SDA yang melimpah merupakan salah satu alasan besar pemodal terus melirik bahkan menginjakan kakinya di negara ini.

Ironisnya, kehadiran negara memiliki peran penting dalam mengamankan kepentingan pemodal asing, pemodal lokal maupun benih-benih pemodal lainnya. 

Indonesia telah hamil sangat tua, seakan janin dalam kandungan adalah gambaran dari kapitalis itu sendiri yang sekian lama sekian besar, karena mendapat asupan bergizi dari yang mengandung (negara).

Dalam pertumbuhan dan perkembangan janin dibutuhkan suatu wadah yang dapat mencegah segala sesuatu yang dapat mengganggu pertumbuhan atau perkembangan janin tersebut maka, selaput pembukus janin, yaitu militer. Militer atau militerisme hadir sebagai pengaman kaum pemilik modal, bahkan dalam militer hampir semua jendral-jendral merupakan kapitalis-kapitalis lokal yang memanfaatkan kedudukannya.

Semakin parah adalah ketika Militer yang merupakan pengaman kaum pemodal merupakan pemodal itu sendiri juga menjadi pemimpin negara, maka yang terbentuk adalah sistem monopoli. Sehingga gerakan-gerakan rakyat untuk menolak bahkan melawan tanah-tanah dan hak-haknya akan dihadang oleh militer.

Hal ini terjadi di seluruh Indonesia. Kekuasaan militer di Indonesia dibenarkan oleh Greg poulgrain dalam buku bayang-bayang intervensi menjelaskan secara utuh bagaimana , pada tahun 1950-an ada perselingkuhan antara kubuh militer Indonesia dengan kapitalisme. perselingkuhan ini, juga bersemi pada saat politik global sedang bergejolak kencang, hal ini bedampak pada penjajahan atas wilayah Papua barat dan segala isinya. 

Konflik Agraria dan Papua

Ager berasal dari bahasa yunani yang ladang atau tanah[1]. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian , juga urusan pemilikian tanah.

Memandang kebelakang tentang situasi politik Indonesia akibat gejolak politik global yang dibelakangnya terjadi perselingkuhan antara militer Indonesia dan Kapitalis global telah terbentuk ‘aliansi gelap’ ditambah lagi potensi pegunungan ‘Nemangkawi’ Sekarang pegunungan Cartenz sebagai cadangan meneral terbesar di dunia telah didokumentasikan sebelum kemerdekaan politik Negara Indonesia (1945).

Sehingga papua menjadi perbincangan hangat oleh pemodal-pemodal. Hal ini berlanjut pada keadaan dimana Soekarno sebagai presinden Republik Indonesia (RI) mengumandangkan Tri Komando Rakyat untuk merebut wilayah Papua. 

katanya ‘atas dasar Nasionalisme, satu perjuangan maka perlu membebaskan Rakyat papua’ sedangkan saat itu rakyat papua pun secara utuh telah siap untuk kemerdekaannya sendiri, untuk menentukan Nasibnya sendiri. Dijadikanlah papua sebagai Daerah Operasi Militer, pembantaian manusia, pemerkosaan dimana-mana, hal itu terjadi sejak tahun 1961-1969. Seluruh rakyat Papua dibantai apalagi rakyat Papua yang menolak adanya integrasi, dibunuh hingga keluarganya.

Tercatat 500.000 ribu mati di tanahnya sendiri. Hal ini bukan rahasia lagi tapi inilah kenyataan bahwa ada kepentingan untuk mengusai lahan/tanah dari rakyat Papua. 

Setelah PEPERA atau Penentuan Pendapat rakyat 1969 yang mana rakyat papua yang dilibat, tidak secara keseluruhan juga rakyat papua yang tidak demokratis,bahkan dalam bayang-bayang intimidasi militer dipaksa untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam perjalan sejarah 1961 hingga 1969 Indonesia mengalami ancaman perpecahan akibat ancaman perang Ideologi sehingga lengsernya soekarno dan diganti oleh soeharto, yang mana soeharto merupakan salah satu selingkuhan dari kapitalis global yang hendak melancarkan kepentingan mereka. Soeharto justru memperkuat ‘aliansi gelap’ yang telah terbentuk antara kubuh militer indonesia dengan kapitalisme untuk mengisap dan mengekploitasi SDA dan SDM.

Hingga saat ini, masih banyak kematian terstruktur yang terjadi selama Bangsa papua masih berada dalam kekuasaan NKRI juga wilayah papua masih didominasi oleh sistem pemerintahan serta pola Indonesia.

Hal ini menyebabkan rakyat papua terpinggirkan, miskin dan terabaikan. Sistem pendidikan yang dilaksanakan dinilai rasial dan diskriminatif. Hal ini dikarenakan Penjajahan Indonesia di tanah Papua dibungkus dengan pemanis ‘Nasionalisme, satu bangsa atau satu bahasa’. Kenyataannya orang Papua memilki bangsa yang berbeda dan tidak memiliki satu nasionalisme dengan bangsa Indonesia, tinjauan sejarah. Bahkan Bangsa Indonesia tidak memperlakukan manusia papua sebagai manusia secara utuh.

Kekuatan pemodal semakin kuat disebabkan pola hidup atau aktivitas sosial masyarakat papua yang bergantung dengan alam maupun mamanfaatkan alam untuk kepentingan Ekonomi, sosial dan budaya.

Alam juga dimakna manusia papua sebagai bagian dari kehidupan yang tidak bisa terlepaskan, begitupula tanah. Semua orang papua menganggap tanah adalah mama, yang mana kepercayaan bahwa mama adalah sumber kehidupan.

Mama adalah Sumber segala sesuatu, namun bila tanah /mama direbut dan dieksploitasi maka, akan menganggu aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat papua.

Dan hal itulah yang menyebabkan adanya kesadaran politik dari masyarakat papua untuk menyelesaikan konflik agraria ini mengusir segala kepentingan-kepantingan pemodal dan negara sebagai agen kapitalis di Papua.

Hanya dengan ini, orang papua dapat hidup dengan aman tanpa adanya intimidasi, dan trauma yang mendalam dari militer maupun lainnya dengan kepentingan perebutan lahan.

Agraria dan Perempuan Papua

Orang papua mengakui bahwa Alam adalah kesatuan yang memberikan kehidupan , lalu tanah adalah mama, yang mana digambarkan sebagai sesuatu yang selalu mencukupi kebutuhan manusia papua.
Hal ini berkaitan dengan peran perempuan papua. Dalam tatanan masyarakat papua masih mengakui adat sebagai Indentitasnya. Masyarakat papua yang kental dengan adat memberikan ruang bagi kaum perempuan dan kaum laki-laki sesuai kapasitas dan kebutuhan.

Bahkan ada pendidikan khusus yang berbasis gender yang mana untuk melatih sebelum hidup ketahapan selanjutnya, biasanya pendidikan itu diikuti saat usia anak-remaja. Namun, ketika masyarakat adat papua, bersentuhan langsung dengan peradaban dunia, ada hal-hal yang dipaksakan masuk kedalam tatanan hidup manusia Papua.

Pola-pola pikir yang justru merusak tatanan yang sudah ada, membuat pola pikir yang berubah , pola pikir untuk saling kompetensi untuk monopoli bahkan saling membunuh.

Sehingga memanfaatkan kekuatan-kekuatan di adat untuk menindas yang lainnya.

Hal ini pun dirasakan oleh kaum perempuan papua, penindasan itu terasa berasal dari dalam, karena yang berinteraksi langsung adalah sesama orang papua padahal sebenarnya penidasan itu berasal dari luar, ketika ada sentuhan langsung dari peradaban luar.

Jika, dijabarkan aktivitas dulu bahwa kaum perempuan papua, bekerja keras di ladang, bekerja keras di tempat berlindung(rumah). Dalam sektor ekonomi, Perempuan papua yang bekerja di pasar, yang bekerja di kebun, yang bekerja di kantor dan berbagai tempat lainnya, meskipun dalam porsi pekerjaan dan honor dibedakan dengan kaum laki-laki.

Tanah digunakan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan ekonomi, sosial dan budaya, dan yang mengelola itu didominasi oleh kaum perempuan. Namun, ketika tanah tempat untuk produksi direbut oleh pemodal dan negara itulah saat dimana kaum perempuan lah yang akan dirugikan atas hal tersebut.

Kaum perempuan akan kesulitan dalam mendapatkan tempat untuk produski, apalagi kapitalisme global memberikan flatform baru melalui kriteria-kriteria jika ingin bekerja dengan pada tanah yang telah dialih fungsikan oleh mereka.

Kaum perempuan akan sangat dirugiakan karena tidak akan mendapatkan tempat tinggal dan tempat untuk produksi serta politik rasial yang direproduski kapitalisme menyebabkan akses untuk perempuan papua sangat susah.

Sehingga seharusnya PEMBERONTAKAN itu dilakukan oleh KAUM PEREMPUAN, karena KAUM PEREMPUAN yang sangat dirugikan, PEMBERONTAKAN itu seharusnya diinisiasi oleh banyak kaum PEREMPUAN PAPUA. PEMBERONTAKAN massa itu seharusnya dijalankan oleh kaum PEREMPUAN PAPUA. Perempuan Papua seharusnya mengambil bagian tanpa ragu dan malu.
Karena tanah melambangkan kesucian dan Perjuangan perempuan papua dalam memberi kehidupan bagi bangsa dan wilayah Papua.

Perjuangan pembebasan tanah papua seharusnya menjadi darah, daging, dan napas bagi kaum perempuan.
Hidup Perempuan Papua !
Hidup perempuan papua yang melawan !
Perjuangan sampai menang !

Penulis adalah anggota AMP, kuliah di kota Yogyakarta.


[1] H.Ali Achmad Chomzah ., Hukum Agraria ,Pertanahan Indonesia ,Jilid I., Jakarta : Prestasi Pustaka . 2004

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats