Halloween party ideas 2015

Design Koran Kejora
Oleh: Jeeno. A. Dogomo**

Koran Kejora (KJ)- Dalam beberapa bulan terakhir. Tahun 2019. Kita dikagetkan dengan eksodus mahasiswa Papua dari kota study di luar Papua. Seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Malang, Jogja, Makasar, Manado, Aceh, Kupang dan kota-kota kecil lain yang belum disebut. Mereka meninggalkan proses penyelesaian pendidikan. Dan memilih pulang. Pulang pun secara bersamaan dalam jumlah yang sangat besar untuk kembali ke Papua.

Di mana tentang ini warga publik sudah mengetahui secara mengeluruh.

Mulanya pemulangan ini dilatarbelakangi oleh peristiwa diskriminasi. Juga pembungkaman ruang demokrasi terhadap aksi demonstrasi damai yang dilakukan mahasiswa Papua di Malang. Pada kamis, (15/08/2019). Pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, “ujaran rasisme” bertepatan pada Jumat, (16-17/08/2019) yang berlangsung selama lebih dari 24 jam. Dan kemudian berlanjut pada hari berikutnya. Di tanggal 18 dan 19 Agustus 2019 terjadi di kota Semarang dan Makasar dengan peristiwa yang sama.

Tindakan represif dan pembungkaman ruang demokrasi ini dilakukan oleh ormas-ormas reaksioner yang dibekingi oleh tentara, polisi, dan intel polisi. Di Surabaya, ujaran rasis dilakukan oleh ormas-ormas reaksioner dan tentara. Di Semarang, diskriminasi dan pembungkaman ruang gerak mahasiswa Papua dilakukan RT setempat yang dibekingin oleh polisi. Makasar juga sama. Polisi pakai masyarakat sekalian militer berpakaian rakyat sipil. Begitu juga di daerah lain di seluruh Indonesia dengan berbagai bentuk.

Hal ini kemudian memicu aksi demostrasi besar-besaran rakyat di sebagian besar kota di Papua. Di lain sisi, demostrasi rakyat ini tidak hanya dijuluki dengan persoalan “diskriminasi dan ujaran rasial” yang dialami oleh mahasiswa Papua saja. Namun juga adalah bentuk ekpresi protes terhadap penindasan yang dilakukan oleh kolonialisme Indonesia yang diboncengi Imperialisme Amerika yang menganeksasi bangsa Papua secara paksa sejak, 1 Mei 1963. Di mana  kemudian menjadi titik awal penderitaan bangsa Papua.

Artinya ada memoria pasionis orang Papua yang dibungkam. Kemudian menjadi bentuk kemarahan dan diekspresikan dengan isu rasisme tapi pembungkaman ruang demokrasi mahasiswa di Jawa pun terus terjadi. Bahkan sampai tidak bisa dibendung pula aksi protes rakyat Papua terhadap kolonialisme Indonesia. Menimbulkan banyak korban jiwa dan harta benda.

Tidak hanya itu. Aksi lain pula dibarengi memunculkan teror dan represif di seluruh kota terhadap mahasiswa Papua. Seperti di depan asrama mahasiswa Papua di Semarang dan Surabaya, dipasang kamera pengintai untuk mengawasi seluruh aktivitas mahasiswa Papua. Di Bali, Jember, Malang, Bogor, Jakarta, Sragen dan di pelosok kota lainnnya mahasiswa dan pelajar Papua dipaksakan. Entah dari guru sekolah. RT/RW setempat maupun militer. Untuk mengikuti kegiatan. Ini banyak terjadi pembuatan video singkat yang isinya ‘NKRI harga mati’ melulu.

Jadinya pulau Jawa tidak nyaman di mana-mana. Ketidaknyamanan mahasiswa inilah yang kemudian memicu gelombang besar eksodus mahasiswa Papua dari seluruh kota study di luar Papua untuk pulang ke Papua.

Dan sedikit mengenali juga bahwa dalam sejarah eksodus sudah pernah terjadi di negara-negara Eropa, Timur tengah, dan lain-lain sebagainya. Misalnya bangsa Israel keluar dari Mesir (eksodus) yang artinya “pergi-keluar” adalah suatu kejadian bangsa Israel menjadi bebas dari perbudakan selama lebih dari 400 tahun di tanah Mesir. Jadi, bangsa Israel memilih untuk eksodus dari Mesir karena pemerintah kerajaan Mesir (Firaun) yang takut kepada orang Israel yang dengan pesat bertambah banyak  jumlahnya. Akhirnya untuk menekan mereka, Firaun menjadikan orang-orang itu budak untuk mendirikan kota-kota perbekalan.

Sama hal pun bahwa eksodus mahasiswa Papua juga sudah terjadi beberapa kali. Sejak 2007 dan 2016. Juga tambah di tahun 2019 ini. Persoalan dan tuntutan Mahasiswa yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.

Data kasaran yang dikumpulkan dari identifikasi singkat oleh beberpa posko kabupaten yang ada di Papua kira-kira ada 10 ribuan lebih mahasiswa Papua yang sudah pulang. Tidak termasuk mahasiswa yang ada di rumah masing-masing dan beberapa posko lainnya yang belum terdata.

Jumlah yang sangat besar ini tidak bisa kita dianggap sepele oleh organisasi gerakan perjuangan Papua yang ada, terlebih khusus United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai payung persatuan, karena dengan isu eksodus ini banyak elemen  yang memanfaatkan demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Kalau tidak maka para elit-elit politik akan memanfaatkan isu eksodus mahasiswa Papua ini, untuk memenuhi kepentingan lain seperti; penambahan dana Otsus, perpanjangan kontrak karya Freeport yang akan berakhir pada 2021 dan Daerah Otonomi Baru (DOB) yang sudah ada yang akan dijalankan serta dibarengi investai besar-besaran di tanah Papua.

Maka yang menjadi kebutuhan mendesak gerakan hari ini adalah membangun komunikasi dan melakukan konsolidasi serta penyatuan persepsi gerakan-gerakan untuk mendorong isu politik eksodus mahasiswa Papua secara menyeluruh dan bersama. Demi merebut ruang-ruang demokrasi yang sudah dan sedang dibungkam oleh pemerintah Indonesia melalui militer yang masih aktif melakukan penembakan, penangkapan, serta penculikan terhadap aktivis dan gerakan perjuangan Papua yang ada.

Parahnya di akhir-akhir ini situasi gerakan rakyat maupun mahasiswa Papua masih dibungkam, penangkapan dan penculikan, teror hingga penembakan yang dibuat oleh aparat dan militer Indonesia yang makin hari jumlahnya semakin bertambah di seluruh tanah Papua. Dalam situasi ini, gerakan mahasiswa eksodus menjadi peluang besar bagi gerakan elit-elit Borjuasi mendatangkan efek jerat terhadap rakyat Papua, maka perlu membutuhkan perjuangan untuk merebut poin-poin kemenangan menuju pembebasan bangsa Papua Barat.

Untuk itu organisasi gerakan perjuangan Papua yang ada dan khususnya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), sebagai payung persatuan dalam prekpektif masyarakat Papua saat ini. Apa yang harus di buat dan merespon untuk Organ-Organ kiri menyikapinya?

Penulis adalah aktivsit Self determination

Aksi demo damai di Jakarta, 28 Agustus 2019
Kepada Rakyat dan Mahasiswa Papua, BEM Se-tanah Papua, Gereja-Gereja, KNPB, Sepaham, Garda-P, PNWP, NRFPB, WPNCL, di West Papua:

Sejak perlakukan diskriminasi rasial dan represif di Malang dan Surabaya pada 15,16-17 Agustus 2019 oleh TNI, Ormas Reaksioner, Pol PP dan Polisi Indonesia, tentu dirangkai dengan gelombang intimidasi kepada mahasiswa Papua yang berada di luar Papua. Pelaku intimidasi adalah TNI/Polisi, Ormas Reaksioner, dan Intelijen.

Tindikan intimidatif oleh aparat yang disertai dengan pengiriman militer dalam jumlah yang banyak, lebih dari 8 ribu prajurit ke Papua, pasca pemblokiran internet di Papua, tentu membuat semakin tak aman bagi aktivitas mahasiswa Papua, tak hanya perkuliahan, tapi juga terbentang ketakutan dalam aktivitas sosial. Semakin memperburuk ketakutan dengan sikap dan tindakan petinggi negara yang sangat rasis dan diskriminatif soal menanggapi gejolak di West Papua.

Oleh karena situasi itu, sejak akhir Agustus 2019 hingga saat ini banyak mahasiswa yang pulang ke Papua. Meninggalkan kuliah dan memilih ke Papua merupakan keputusan yang datang sejak Negara melalui aparatur reaksionernya memperlakukan diskriminasi secara rasial.

Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (KP AMP) menerima kondisi terakhir keberadaan mahasiswa Papua di luar Papua. Berdasarkan data kasar yang kami himpun, banyak mahasiswa yang pulang dalam dua bentuk koordinasi. Pertama, pulang setelah didiskusikan di organisasi kedaerahannya masing-masing dan mendata bagi yang tinggal dan pulang; dan kedua adalah pulang tanpa koordinasi karena takut dengan situasi tersebut.

Jumlah keseluruhan, terhitung sejak akhir Agustus hingga tanggal 5 September 2019, sudah mencapai lebih dari 1.000 mahasiswa. Itu data kasarnya. Hingga hari ini dan besok masih banyak yang akan pulang ke Papua.

Oleh karena itu, tentu tercipta kondisi tidak aman bagi mahasiswa Papua di luar Papua tentu karena adanya kolonialisme di Papua. Bentuk-bentuk wacana rasisme tentu berakar dari kolonialisme. Dalam pendiskusian panjang di sejumlah kota, kami telah menarik kesimpulan bahwa pulang dan tinggal, sama-sama berjuang. Penindasan dan penjajahan harus dihapuskan.

Oleh karena itu, dari kami yang sisah-sisah di luar Papua, yang terus berjuang melawan penindasan di sini, menyerukan kepada seluruh organisasi pergerakan yang berada di West Papua, mohon pantauan dari sana. Tanpa mengurangi pertahanan Anda sekalian dalam situasi darurat, kami sampaikan permohonan membuka “Posko Darurat kepulangan Mahasiswa Papua” di kota-kota Besar: Sorong, Manokwari, Jayapura dan tempat lainnya.

Prinsipnya kami pulang karena penjajahan, dan kami pulang untuk berjuang.
Bagi kawan-kawan Mahasiswa yang masih tinggal di Jawa, dan sedang bersiap-siap untuk pulang, segera saling koordinasi kepada organisasi kedaerahan, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua, serta Aliansi Mahasiswa Papua. Koordinasi untuk saling menjaga keamanan, persatuan, dan tentu kita sedang melawan. Tinggal di Jawa bukan untuk menyerah! Polda Metro Jaya sudah buka jalan penampungan, terali bagi pejuang, untuk kita!

Demikian Seruan ini dibuat! Bertemu karena perjuangan, berpisah karena perlawanan! Sayang, kawan!

A Luta Continua
Jhon Gobai

Pimpinan Pusat
Aliansi Mahasiswa Papua.

CP: 081280466254 (Jhon Gobai)

Massa aksi GempaR Papua saat sedang aksi didepan gedung Museum Uncen, Jayapura, 9 Agustus 2019

Dalam rangka memperingati hari Masyarakat Adat International pada 09 Agustus 2019, Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR Papua) melakukan aksi demonstarasi damai dengan Tema “Papua Bukan Tanah Kososng : Tutup Mata Lawan” di tiga Kota Studi Jayapura, Manokwari dan Sorong (Solidaritas).

Berikut Kronologinya:

KOTA JAYAPURA: Halaman UPT. Loka Budaya Museum Uncen Abepura.

Di Kota Jayapura GempaR Papua bergerak dan melakukan Aksi Demonstrasi damai dalam bentuk Orasi ilmiah, panggung budaya dan pemutaran film bersama Solidaritas Mahasiswa Uncen Peduli Budaya. Persiapan dimulai sejak pagi pukul 08.40 dihalaman Unit Pelaksana Teknis (UPT) Museum Loka Budaya Universitas Cendrawasih Padang Bulan Abepura.

Kegiatan di Pimpin oleh Kordinator Lapangan Selpianus Asso Pahabol dan Penanggung Jawab Aksi Samuel Womsiwor.

Memasuki pukul 09:00 Panggung orasi dan kelengkapan lainnya telah siap, 09:02 menit tepat diluar pagar UPT. Museum Uncen nampak seorang pria diluar masa aksi yang berperawakan Intel mengambil gambar-gambar Persiapan Aksi.

Pukul 09.20 orasi-orasi lepas oleh mahasiswa dan anggota GempaR Papua yang beruapa ajakan dan himbauan berlangsung selama kurang lebih 20 menit.

Memasuki pukul 09:40 hingga 09:45 Persiapan dan kegiatanpun mulai dengan dibuka oleh Pembawa Acara. Kesempatan pertama diberikan kepada Kordiantor Aksi Lapangan, selanjutnya pembawa acara memberikan kesempatan kepada GempaR Papua perwakilan Mahasiswa asal Kabupaten Fak-fak lalu diselingi dengan lagu-lagu daerah oleh GempaR Papua.

Mulai Pukul 10:00 – 11:20 Acara berjalan dengan lancar Orasi-orasi Ilmiah terkait Situasi Masyarakat Adat Papua hari ini terus disampaikan oleh GempaR Papua, Solidaritas Mahasiswa Peduli Budaya, Perwakilan Gerakan Perempuan Revolusioner West Papua, Perwakilan Forum Independen Mahasiswa (FIM) dengan diselengi Musik lagu-lagu daerah dan Puisi.

Tepat pukul 11:24 Pembantu Rektor III (PR III) Universitas Cendrawasih (Uncen) tiba dilokasi dan langsung bertemu dengan Kodinator Aksi Lapangan (Selpianus Asso Pahabol). Negosiasi terjadi dianatar Pihak Universitas dan Korlap sebagai negosiator. Orasi-orasi tetap berjalan. Negosiasi ini berjalan selama kurang lebih 10 menit dan hasilnya aksi tetap dilanjutkan meski Pembantu Rektor Tiga telah menyampaikan bahwa kegiatan ini tidak diberikan ijin oleh pihak kampus dan ini menurut PR III ini adalah perintah Rektor UNCEN untuk aksiini dibubarka, sehingga menurut PR II beliaupun tidak bisa melakukan pembelaan. Kordinator lapangan sendiri menjelaskan bahwa kegiatan ini tidak akan menganggu civitas akademika karena hanya akan berada disatu titik dengan orasi-orasi ilmiah dan panggung budaya setelah itu akan bubar. setelah pembicaraan usai PR III Uncen meninggalkan lokasi aksi dan kembali ke Auditorium Uncen mengikuti Debat Kandidat Calom Ketua Badan Eksekutiv Mahasiswa (BEM) UNCEN.

Pada saat negosiasi tersebut berlangsung mulai tampak beberapa kendaraan operasional kepolisian diluar pagar halaman UPT. Museum UNCEN. Nampak 1 Trek Dalmas, 1 Mobil Hilux, 1 mobil kaca gelap (Avanza/Inova), dan beberapa kendaraan bermotor roda dua. Meski demikian Kegiatan tetap dilanjutkan, waktu menunjukan pukul 11:37 saat pembacaan puisi dilakukan dan bersamaan dengan itu nampak pihak kepolisian telah memasuki halaman Musuem Uncen. Polisi-polisi tersebut ada yang dari kesatuan Brimob yang nampak jelas dari seragam mereka, Kesatuan Intel yang mana semuanya menggunakan pakian biasa (baju preman) dan Polisi berseragam cokelat.

11:40-11:48 Aksi Pembacaan Puisi tetap dilakukan dan dilanjutkan dengan Orasi dari GempaR Papua membawakan isu Sejarah Perjuangan Masyarakat Adat di PBB dan Mengapa 09 Agustus dijadikan Momentum Peringatan hari Masyarakat Adat Sedunia. Pada kesempatan ini Kepolisian yakni Kesatuan Intelejen dan Polisi Bersergam yang telah berada disekitaran halaman Museum telah melewati dan memasuki Tali Komando Brimob dan Polisi yang berjaga-jaga diluar pagar halaman Museum Uncen mulai masuk.

Mereka meminta kepada massa massa aksi untuk membubarkan diri. Jumlah Personil diperkirakan 50an yang terdiri dari Polisi, Brimob dan Intelejen, orasi tetap berjalan dan negosiasi dilakukan, namun polisi tetap mendekati massa aksi yang berjumlah 20-an orang dan hendak menghentikan orasi yang sedang dilakukan dengan paksa.

Sekjen GempaR Papua Yason Ngelia lalu menghentikan Orasi yang sedang dilakukan dan dan hendak mengumpulkan massa aksi untuk membubar diri dengan damai. Pada saat itu massa aksi telah terkepung oleh puluhan anggota kepolisian tersebut. Pada saat hendak membubarkan diri tersebut telepon Genggam Milik Saudara Yason Ngelia yang dipakai untuk mengambil gambar oleh salah satu Anggota GempaR Papua dirampas oleh salah satu Polisi. Ketegangan terjadi saat perebutan Telepon Genggam (Hand Phone/HP). Bersamaan dengan kejadian tarik menarik tersebut Mic Kabel yang digunakan ditempat aksi dirusak oleh kepolisian hingga kapel Mic Putus, HP-HP yang digunakan untuk mengambil gambar disita, termasuk Kamera Jenis .....

Ditengah Ketegangan tersebut Samuel Womsiwor sebagai Penangung Jawab Aksi menenangkan Massa dengan menyuruh berkumpul dan diharapakan satu komnado. Semua kembali tenang dan mengikut arahan pihak kepolisisan. Aski dibubarkan dan massa diarahkan untuk ikut Kepolisian Sektor Abepura (POLSEK ABE).

Tepatnya Pukul 11:50 massa aksi berjumlah 18 orang telah berada didalam Trek Dalmas dan diangkut menuju POLSEK ABE. Setibanya di POLSEK ABE, massa disuruh menunggu dihalaman depan POLSEK ABE (Semnetara) di Kantor Pos Abepura.

Dari sejumlah 18 Orang tersebut 4 orang diantaranya yakni :

1. Yason Ngelia (Sekjen GempaR Papua),
2. Samuel Womsiwor (Penanggung jawab Aksi),
3. Melkior Asso (Kordinator Aksi Lapangan) dan
4. Oria Kiwak (Pembawa Acara/ Master of Ceremony).
Keempat orang ini, diminta masuk keruangan terpisah untuk dimintai Keterangan.
Dari 18 orang ini 1 diantaranya dibebaskan atas Nama Harun Rumbarar dengan syarat menghapus foto-foto dari Memori Camera Miliknya. Sedangkan 13 Orang lainnya, diminta untuk mencatat nama, ketiga belas orang teresebut adalah :
1. Majus W Sool
2. Naman Kogoya
3. Lani He Lani
4. Alfianus Sool
5. Jeferson Saiba
6. Efrin Tabuni
7. Kinaonak Putri
8. Nare Kobak
9. Fernando Rumpaisum
10. Melpianus Asso
11. Elias Hindom
12. Yonas Tekege
13. Miseriko Ohoiwutun

Ketiga belas orang pada daftar diatas dibebaskan, namun 4 orang lainnya masih ditahan di POLSEK ABEPURA, Yaitu : Yason, Samuel, Melkior dan Ori (nama lengkap ada diatas).

Pukul 14:20 Pengacara Hukum (PH) dari LBH tiba di POLSEK Abepura, saat itu berdasarkan hasil kordinasi para PH sampaikan bahwa mereka diminta untuk kordinasi dengan Kapolsek (menurut mereka itu adalh perintah mereka hanya mengikuti) sedangkan Kapolsek sendiri tidak berada ditempat. PH kemudian kembali bernegosiasi untuk dapat bertemu dan mendampingi korban, tetapi sekalu lagi dipersulit dengan dimintai surat kuasa. Karena kendala teknis Surat Kuasa belum dipegang oleh PH dilapangan, maka proses advokasi sedikit terhambat karena pihak kepolisian yang tidak memberikan keringanan untuk para Pengacara melakukan tugas pendampingan.

Sekitar pukul 18:45 Pengcara dari LBH Papua, bapak Imanuel Gobay tiba di POLSEK dan melakukan Advokasi. 15 menit kemudian keempat orang lainnya dibebaskan.
Tepat Pukul 19:00 Semua massa aksi berjumlah 18 orang yang ditahan telah bebas.

Catatan kejadian pada saat proses pemeriksaans: 
1. Ada pengerusakan oleh Pihak Kepolisian pada saat penangkapan dihalaman Museum Uncen yakni 1 buah Mic Kabel.
2. Baliho dan perangkat aksi lainnya (speaker dan megapon)
3. juga disita bersamaan saat seluruh massa aksi dibubarkan.
4. Ada kekerasan fisik terhadap Samuel Womsiwor oleh polisi pada saat diruangan pemeriksaan.
5. Ada pelecehan oleh polisi dengan menarik lepas cawat (pakain tradisional)
6. Telepon Genggam (HP) milik Yason Ngelia dan Fernando Rumpaisum diminta untuk dihapus seluruh video dan foto-foto aksi di ruangan pemeriksaan.
7. Oria Kiwak Pembawa Acar (MC) pada saat di ruangan pemeriksaan diminta untuk membuka baju “eh ko nanti buka ko pu baju itu”.

Sumber: Gempar Papua

Photo oleh Bantuan Hukum di Bali, saat di lokasi kejadian 15 April 2019
Represifitas, Rasisme dan Pembungkaman Ruang Demokrasi Terhadap Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali oleh Kepolisian, Intel dan ormas bayaran.

Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] mengencam atas ruang pembungkaman yang di lakukan oleh kepolisian saat melakukan aksi demo damai yang bersyarat izin tersebut dan pihak kepolisian telah melakukan atau mengiring berita hoax mengenai aksi yang di lakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali pada 15 April 2019. Dan dengan klarifikasi penyebaran berita hoaks mengenai mengajak golput bersama masyarakat Bali adalah kebohongan Publik; Namun, Aksi dari Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali adalah sesuai prinsip dan arahan dari keputusan Aliansi Mahasiswa Papua Pusat sesuai tuntutan yang telah di buat secara agenda Nasional. Sehingga, Aliansi Mahasiswa Papua mengencam kepada pihak kepolisian porlesta Denpasar dan Porles Dentim (denpasar Timur) atas kelakukan pemukulan, pengoroyokan, tendangan, penangkapan, pembubaran paksa, dan pihak kepolisian telah merobek poster-poster aksi, satu TOA di ambil, Satu Bendera AMP di ambil, tali komando di putus-putuskan, Noken di tarik, pakaian di tarik; bahkan 7 orang massa aksi mendapatkan pendaraan dan bercak pukulan di tubuh. Dengan melihat itu, kronologis aksi selengkapnya sebagai berikut:

Pada hari Senin, 15 April 2019 Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali melakukan aksi demo damai dengan tuntutan isu “Golput 2019 dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua sebagai Solusi Demokratis”. Aksi Massa yang hadir 29 orang. Sebelum tiga hari surat pemberitahuan aksi telah di masukan ke Porlesta Denpasar Bali dan Porles Dentim (Denpasar Timur) serta surat tanda terima dengan titik kumpul Perkiran Timur Renon Denpasar Bali dan titik aksi Jl. Bundaran Hayam Wuruk Denpasar dan durasi waktu aksi pukul 10:00 WITA s/d Selesai.

Massa aksi berkumpul di titik kumpul pada Pukul 10:00 WITA dan melakukan Long March ke Titik aksi Jl. Bundaran Hayam Wuruk sambil berorasi oleh korlap (koordinator lapangan aksi) hingga pada titik aksi. Mulai dari titik kumpul ke titik aksi durasi waktu 10:00-10:18 WITA dan di hadang oleh polisi, intel, ormas bayaran sebelum 15 meter dari tempat tujuan atau titik aksi di Jl. Bundaran Hayam Wuruk.

Massa aksi yang di hadang tidak di berikan waktu ruang untuk negosiasi sama pihak berwajib dari Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali sehingga represifitas langsung di lakukan oleh pihak  kepolisian, intel, ormas bayaran. Bahkan, ruang orasi sangat dibungkam, di tutupi secara paksa seketika aksi berlanjut.

Represif itu berlangsung salam 15 Menit dari pukul 10:20 WITA  hingga 10:37 WITA. Selama represif dari kepolisian dengan jumlah massa yang melebihi massa aksi demo damai. Ada pun massa aksi mendapatkan kekerasan fisik oleh kepolisian, intel, Ormas bayaran seperti melakukan tendangan, pemukulan, penarikan, pengoroyokan, di tahan kaki dan tangan diseret ke dalam mobil truk Dalmas, poster-poster di robek, spanduk poster di robek, dan bendera AMP di ambil, satu TOA  di Mabil sepatu, sendel dan tali komando di putus-putus dan 7 (tujuh) orang menjadi korban pemukulan hingga darah dan benjolan. Selama  represif berjalan massa aksi sudah di naikan ke mobil truk dalmas dan sebagian di seret di naikan secara paksa sambil melakukan kekerasan.

Sekitar pukul 10: 40 WITA hingga 11: 05 WITA Massa aksi di angkut oleh kepolisian dengan mobil Truk Dalmas menuju ke Porlesta Denpasar Bali dengan pengamanan ketak, ada pun dalam mobil truk Dalmas berisi empat orang polisi, dan mobil dua dalmas kecil di depan serta di belakangan saling mengikuti serta motor polisi, intel dan Ormas menuju ke Porlesta dengan jumlah yang banyak. Satu mobil truk dalmas juga mengikuti hingga ke Porlesta Denpasar Bali.

Pada saat di porlesta kepolisian menurunkan di depan kantor Porlesta dan saling menegosiasi bersama negesiator Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali dan penanggungjawab aksi Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali bersama kepala Kaporles Bali. Hasil dari negosiasi itu, menyepakati untuk introgasikan massa aksi yang hadir dengan dua orang di wakili dari massa aksi sebagai introgasi oleh Kasat Intelkam Porlesta Denpasar dan di bantu oleh Lembaga Bantuan Hukum Bali (LBH Bali) sebagai bantuan hukum untuk Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali. Hasil Introgasi dua orang tersebut mulai dari pukul 11:40 WITA hingga sampai 14:50 WITA sebagai memberikan data soal introgasi tersebut dan Lembaga Bantuan Hukum Juga memberikan introgasinya atau data sebagai bantuan hukum. Kasat Intelkam mengambil data tentang aksi yang di lakukan dan selama introgasi menawar makanan, minuman untuk membungkam hak aspirasi massa aksi serta seolah-olah kepolisian menjadi pihak baik tetapi sangat represif dari kemanusiaan yang seutuhnya dalam pembungkaman ruang demokratis bagi mahasiswa West Papua. Apa Lagi, membiarkan pelakunya yang memukul, menyeret, menendang, mendorong, membiarkan begitu tanpa melihat hukum dalam militernya dan hukum dari UUD negara itu sendiri.

Setelah selesai Introgasi dari Kasat Intelkam Porlesta Denpasar memberikan arahan terakhir atau pertanyaan untuk introgasi tersendiri atau di muka umum bersama massa aksi yang menunggu di depan kantor kaporlesta? dua pilihan ini di berikan terhadap dua introgasi tersebut untuk melihat itu, akhirnya memilih untuk arahan bersama massa aksi yang lagi menunggu. Lalu, Kepala Porlesta Denpasar  memberikan arahan dan di pulang dengan dua unit mobil truk Dalmas menuju pada titik kumpul aksi di Parkiran Timur Renon sesuai permintaan massa aksi. Satu mobil truk Dalmas mengangkut massa aksi 29 orang tersebut dan yang satunya mengunakan mengangkut polisi hingga pada tujuan di titik kumpul. Dari introgasi dan di turunkan ke titik kumpul tepat pada pukul 15: 39 WITA serta massa aksi membubarkan diri melakukan aktivitas masing-masing.

Melihat dari rangkain di atas bahwa Negara dan militernya Indonesia terus membungkan setiap ruang pengerakan Aliansi Mahasiswa Papua dan kalangan luas sehingga pembungakam, dekriminasi, rasisme, dan represif serta beragam kekerasan terus militer menjadi alat pembungkaman mengamankan aktivitas eksploitasi dan produksi kapitalis birokrat, serta menjalankan agendanya Imperialisme yang sangat membungkam setiap hak kebebasan berekspresi, berpendapat, dan kebebasan  hidup pun di batasi oleh para apratus yang terus mengisap kehidupan rakyat, terutama mahasiswa West Papua dan rakyat pada umumnya. Dengan itu, Aliansi Mahasiswa Papua menykapi dan menuntut kepada system Negara Indonesia dan Militernya TNI-PORLI segera:

1. Hentikan Kriminalisasi dan pembungkaman ruang demokrasi terhadap mahasiswa West Papua di Bali .
2. KAPOLDA BALI, Segera Mencopot para pemukulan, penendangan, pengoroyokan, dan yang membubarkan massa aksi. 
3. Kepolisian Bali terutama Polda, Porlesta, dan Porles hentikan penyebaran hoaks terhadap massa luas mengiring informasi yang tidak jelas
4. Negara dan Pemerintah Provinsi Bali Segera mencopot Kapolda Bali dan Jajarannya karena melakukan repersifitas
5. Berikan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum bagi mahasiswa Papua di Bali
6. Mengencam tindakan yang menutup ruang demokrasi sesuai UUD No 08 Tahun 1998
7. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus menjamin kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi dan menyampaikan pendapat secara umum khususnya Mahasiswa Papua di Bali.

Pernyataan ini kami buat untuk di advokasi oleh Para penegak Hukum dan membuka ruang publik dalam mengemukankan pendapat secara sebebas-bebasan-nya untuk hak setiap manusia di muka bumi.

Mengetahui
Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua
Medang Juang, 16 April 2019

Ilst.Gambar Koran Kejora Aliansi mahasiswa Papua
Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua)
dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
_______________________________________________________

PERNYATAAN SIKAP

“Pesta Demokrasi Sejati adalah Pelaksanaan Hak Menentukan Nasib Sendiri”

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!

Wilayah yang terbentang dari Numbai sampai Merauke, Raja Ampat hingga Baliem, Pulau Biak sampai Pulau Adi, adalah wilayah West Papua. Dan West Papua bukanlah Indonesia. Indonesia adalah negara yang melakukan kegiatan politik secara ilegal di atas wilayah itu, sejak pasca deklarasi operasi Trikora 19 Desember 1961. Saat itu juga, demokrasi ala kolonial Indonesia hadir di sana. Demokrasi yang tak pernah benar-benar mencoba, apalagi menjamin, kebebasan rakyat West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.

Negara Indonesia tidak pernah peduli pada hak berdemokrasi rakyat West Papua. Cara-cara represif dan manipulatif sudah pernah dilakukan Indonesia sejak pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 di West Papua. Praktik seperti itu yang juga masih bertahan sampai saat ini di West Papua.

Sejarah memperlihatkan pada rakyat West Papua, juga rakyat Indonesia, bahwa Indonesia hampir selalu gagal menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di West Papua. Mulai dari soal pelanggaran kesepakatan New York Agreement 15 Agustus 1962, ketika Indonesia diwajibkan menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat secara one person one vote; genosida perlahan setelahnya selama kurun 50-an tahun; perusakan hutan yang begitu masif; gizi buruk; eksploitasi begitu masif terhadap bahan-bahan tambang (emas, tembaga, uranium, minyak, gas dsb)—yang berakibat peningkatan jumlah ton tailing yang merusak alam West Papua; ketimpangan sosial antara penduduk asal dan pendatang; extra judicial killing terhadap warga sipil termasuk aktivis; perlakuan rasis terhadap rakyat West Papua; hingga pengekangan kebebasan berkumpul dan berpendapat.

Kontestasi pemilu tahun ini sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Masing-masing partai, beserta calon-calon legislatifnya dan calon presiden serta wakil presiden, berebut suara dari rakyat West Papua. Tapi mari kita perhatikan, apakah mereka bersedia mendengarkan suara rakyat Papua yang paling mendasar, “hak menentukan nasib sendiri”? Atau bicara soal mengurangi mobilisasi militer dan mengadili para pelaku pelanggar HAM? Atau menjamin kebebasan berkumpul dan berpendapat bagi semua kelompok sipil?

Meski suara dukungan rakyat West Papua jadi rebutan, ironisnya dalam debat Pilpres pertama, soal West Papua sama sekali tidak diperbincangkan baik oleh Jokowi maupun Prabowo. Prabowo sendiri memiliki track record buruk di Papua dalam kasus Mapenduma. Namun, bukan berarti Jokowi lebih baik. Jokowi sebagai incumbent, telah membiarkan pelanggaran hak asasi manusia berulang kali terjadi. Misalnya, kasus Paniai Berdarah yang tak rampung, kasus Deiyai dan Dogiyai yang juga tak selesai, belum lagi kasus-kasus penangkapan massal terhadap para aktivis West Papua yang belakangan makin sering terjadi.

Jokowi memiliki kekuasaan. Namun, kekuasaannya tidak digunakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan membiarkan pelanggaran terus terjadi. Pembiaran itu artinya, mengiyakan dan jadi bagian perbuatan pelanggaran HAM.

Ditambah lagi, sampai sekarang masih dilakukan operasi militer di Nduga (Distrik Dal, Distrik Yigi, Distrik Mbua, Distrik Mikuri, Distrik Enikngal, Distrik Yal, Distrik Mam dan Distrik Mugi). Sebagaimana operasi-operasi militer sebelumnya di West Papua, operasi militer itu memakan banyak korban sipil. Puluhan rakyat termasuk anak-anak meninggal, terjadi penahanan dan pembakaran rumah. Ada setidaknya 20 ribu orang yang terpaksa mengungsi keluar dari daerah tersebut.
Akibatnya, pendidikan, kegiatan ekonomi, dan keagamaan, tak berjalan dengan normal. Akses pemerintahan sipil, wakil rakyat, jurnalis, pekerja kemanusiaan, sangat sulit. Kehadiran aparat TNI/Polri di sana justru menyebabkan rakyat trauma.

Dalam kenyataan sejarah dan keadaan seperti itu, wajar jika rakyat West Papua tak berpusing soal Pemilu maupun Pilpres 2019. Gelaran tersebut hampir mustahil menjadi hal yang penting bagi rakyat West Papua. Sebab, 1) keberadaan Indonesia di wilayah West Papua ilegal, 2) tak ada partai politik yang menyuarakan permasalahan nasional West Papua, dan 3) pelaksanaan Pemilu itu sendiri tak lain hanya untuk melanggengkan praktek-praktek kolonialisme: menjadi alat bagi pemerintahan kolonial untuk menempatkan penguasa-penguasa lokal dalam mengamankan kepentingannya.

Kami dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua, seperti halnya rakyat West Papua, mustahil membayangkan adanya demokrasi, kesejahteraan, bagi rakyat West Papua jika masih berada dalam cengkeraman kolonialisme Indonesia. Tak ada pesta demokrasi jika rakyat tak memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Untuk itu kami mengambil sikap dan menyatakan bahwa:

1. Tidak mengikuti Pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum 2019
2. Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi rakyat West Papua
3. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua
4. Buka akses jurnalis dan informasi untuk West Papua

Salam solidaritas!

Medan Juang, 12 Februari 2019

Gambar Ilust. Koran Kejora
"Menolak dan Hentikan Eksploitasi Alam Di Intan Jaya, West Papua"
Oleh: Bisem Abugau***

Perusahan yang sedang proses untuk di ekplorasi di Intan Jaya tersebut berasal dari perusahan PT. MONI SEJAHTERA LANGOWAN yang akan melakukan Satu Juta Hektar Tanah adat moni untuk eksploitasi emas, tembaga, uranium, perak dan lainnya. Dari batas wilayah seluruh tanah di Intan Jaya akan di ekplorasi secara menta dari garis batas antara  Distrik Biandoga, Wandai, Homeyo dan menyusul pada distrik lainnya. Sebelum berdirinya perusahan ini, mempunyai sejarah tersendiri ketika ekspedisi Geologs dari Belanda tahun 1936 menemukan 5 titik tempat bahwa daerah moni terdapat unsur hara tanah yang bermanfaat bagi dunia, seperti  dimuat di Majalah Geological Scientist of America tahun 2005.  Sehingga, kondisi ini mendiamkan secara dunia World Hidden Weald. Dan Pada tahun 2007 PT MONI SEJAHTERA LANGOWAN didirikan. Perusahan ini, telah tentukan garis kordinat atau batas eksploitasi Kordinat : N.3.40.60 and E.136.40.59. Sejak berdirinya, perusahan ini mempunyai dasar hukum yang di keluarkan yaitu akte notaris no.32 yang di notariskan oleh Sri Widodo, SH dengan beralamat Jl. Yos Sudarso No.35 Timika, Papua. Sedangkan SK MENKUM HAM RI PT.Moni Sejahtera Langowan sebagai Pertambangan Khusus AHU-0080722 A.H.01.09 Tahun 2011, yang di sahkan pada 06 Oktober 2011. Sehingga melalui UU MINERBA NO.4 THN 2009. PASAL.135 akan di eksplorasikan.

Dalam berita yang beredar di media sosial bahwa pendiri PT. Moni Sejahter Langowan tersebut dengan melibatkan masyarakat adat tetapi belum tetentu sebagai keterlibatan itu, seperti Welly Maningkas sebagai Direktur Utama dan pensehat lemasmo,Salmon Nagapa sebagai Direktur dan Tokoh Pemuda Moni, Moses Selegani sebagai Komisaris Utama dan kepala suku besar Moni, Bernadus Bagau sebagai Komisaris dan Sekjen Lemasmo, Anggimbau.SH sebagai Direktur Kepala Suku, Matius Somau sebagai Komsaris Kepala Suku, Marten Mayani Komisaris Kepala Suku. Inilah yang mendirikan PT. Moni Sejahtera Langowan untuk mengeksploitasi Alam Kekayaan suku moni, Intan Jaya West Papua. PT. Moni Sejahtera Langowan yang dikendalikan oleh TOBA GROUP yang pemiliknya Jend.Tni Luhut Binsar Panjaitan dan pemilik PT. Moni Sejathera Langowan adalah Welly Maningkas. Perusahan ini telah melakukan hubungan konsorsium bersama perusahan-perusahan raksasa Eropa dengan dana investasi perkiraan 25 Miliar di Hote Grand  Tropic Jakarta Barat Tahun 2016 yang di hadiri oleh Grace Lumangkun, Laksdya TNI [Purn] Fred Lonan (mantan Wakasal), Boike Wurarah, Bernad Saisab, Welly Maningkas, Brigjen TNI [Purn] Paulus Prananto (Toba Group), Salmon Nagapa, Vence Nayoan, Heinz Rauball  dan para pelaku perusahan-perusahan Eropa.
Dari Melihat kondisi seperti dan Terkait dengan Perusahan Pt.Moni Sejahtera Langowan  yang sedang masuk di Intan Jaya wilayah suku Moni maka secara tegas dari Pelajar, Mahasiswa, Masyarakat, Intelektual Intan Jaya dan seluruh lapisan masyarakat PAPUA menolak PT.Moni Sejahtera Langowan. Realitas penolakan ini di pandang dari Sejarah gerakan rakyat West Papua, dan mencatat Papua Barat dipandang oleh dunia Papua adalah sebuah pulau di ujung timur yang begitu berlimpah dengan kekayaan Alam-nya (surga kecil yang jatuh ke Bumi) sehinggga telah sekian Tahun lama-nya Indonesia dijadikan alat untuk eksploitasi besar-besaran di tanah West Papua dan negara-negara yang punya kepentingan atas West Papua menjadi aktor utama terjadilah perebutan West Papua  ke dalam bingkai NKRI secara Paksa, secara tidak demokratis.

Oleh sebab itu sementara kita masih dalam penjajahan bingkai NKRI, Rakyat West Papua tidak akan merasa sejahterah, aman, damai, dan tentram kerena sejak 19 Desember 1961 adalah awal mula pemusnaan bangsa West Papua, yang telah merdeka dan telah berdiri sebagai negara sama seperti bangsa lain di dunia sejak 1 Desember 1961.

Dan sekarang, tahun 2019 bangsa West Papua telah 57 tahun bersama kolonialisme Indonesia dan kolonilaime Indonesi masih melakukan  eksploitasi dan perampasan ilegal, Pembunuhan, Pemenjaraan, Penangkapan, Intimidasi,teror, tabrak lari dan lain sejenis-nya di atas tanah West Papua hanya karena kepentingan Ekonomi, Poliik, dan Kekuasaan dari kolonalisme Indonesia sertakan negara-negara imprealis yang rakus akan eksploitasi kehidupan rakyat.

Sehingga, Perusahan apa pun yang masuk di tanah West Papua yang ada hanya membawa malapetaka bahaya bagi generasi penerus bangsa West Papua  dan lebih khususnya masyarakat di kabupaten Intan Jaya dengan karna persuahan yang akan hadir di tengah wilayah Meepago dan Wilayah Moni. Maka dengan tegas kepada genarsi mudah ini, harsu memiliki Tugas kita bangsa West Papua  adalah Persatuan dalam satu komando satu tujuan melawan militerisme, hapuskan kapitalisme, hancurkan imperialisme dan sejenis-nya dan fokus pada perjuangan kemerdekaan West Papua sertakan menolak maupun meminta semua perusahan-perusahan asing yang ada di seluruh tanah West Papua harus tutup dan kekuatan TNI/POLRI organik dan non-organik yang sedang kuasai seluruh tanah Papua harus ditarik kembali ke pangkuan kolonialisme Indonesia itu sendiri.

Sampaikan dan memberikan kesadaran, dan pemahaman kepada keluarga, dan sesama kita di seluruh tanah West Papua dan lebih khusunya Intan jaya , keluarga di dugindoga, kemandoga, mbiandoga dan weandoga. Perusahan tambang Emas terbesar di dunia yang lebih besar dari PT.Freeport seluas 1 juta Haktar yang sedang mau masuk daerah Intan jaya ini harus tolak. Perusahan besar ini akan membawa dampak buruk bagi generasi bangsa West Papua yaitu kekuasaan imprealisme, kapitalisme, militerisme dan lain sejenisnya besar-ran di tanah West Papua terutama di Intan jaya, kalau perusahan ini masuk di Kemandoga, Dugindoga dan Mbiandoga  suku moni/migani dan suku wolani mau bawa kemana kalau daerah ini sudah dikuasai militer dengan kekuasaan lahan, dan  sewenangan-wenangnya hanya atas kepentingan kolonialisme indonesia atas West Papua.

Suku Moni/Migani dan Wolani mau pindakan lokasi kemana? Intan Jaya adalah daerah yang cukup sempit daerah ini hanya terdapat gunung-gunung yang besar menjulang tinggi sehingga tidak terdapat daratan rendah dan daerah ini hanya dialiri sungai-sungai besar yaitu sungai Mbiabu, Kemabu dan Dogabu Wabu, dismpiang-samping  itu masyarakat telah sekin lama hidup mengikuti setiap aliran sungai-sungai besar tersebut sehingga apa bila perusahan tersebut masuk maka untuk pembuangan limbah tambang Emas akan terjadi pencemaran lingkungan hidup masyarakat melalu sungai besar Kemabu sampai di Napan Nabire, West Papua.

Dengan itu, ingatlah bahwa kami mempunyai sebuah bahasa yang musti kita jaga bersama adalah ""Aga maine dune data aumba menene dogee nae dogoo, agati jinggiga menego dudigi magamigi dapoga mimbuame"" Orang tua-tua kami yang sudah tanda-tangan maka secara tegas juga kami Pelajar, Mahasiswa, Intelektual dan masyarakat Intan Jaya dengan tegas menolak serta tidak mengizinkan Perusahan apapun masuk di Intan Jaya  karena setiap perusahan yang hadir di Papua ini membawa dampak buruk bagi generasi penerus bagi bangsa West Papua. Karena alam West Papua dan segalah isi-nya adalah titipan maha pencipta (TUHAN) bagi leluhur kami khususnya rakyat West Papua di Intan jaya dan seluruh tanah West Papua menjaga kekayaan yang ada bukan untuk bangsa dan negara-negara lain. Sebab, tanah leluhur ini yang punya adalah bangsa West Papua itu sendiri.

Pada Dasarnya, bahwa eksploitasi tersu sedang di lakukan oleh kolonialisme Indoensia dengan caranya mereka, yang secara licik serta merta pembohongan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh kolonialisme Indonesia untuk menjalankan aset mereka di West Papua dengan mencuri ataupun mengeksploitasi sumber daya alam West Papua tanpa melihat sumber daya yang lainnya sekita eksploitasi yang di lakukan oleh kolonialisme Indonesia seprti kasus Freeport yang memakan korban nyawa manusia West Papua yang kini berjuamlahan ribuan orang serta hukum adat Amugme dan kamoro di rusaki oleh kolonialisme Indonesia dan negara-negara imprealisme yang melakukan eksplotasi  tanpa memperhatian wilayah adat pemilik serta limbah Freeport menjalar ke seluruh tanah West Papua.

Dengan, demikian kita harus waspada terhadap perusahan dan eksploitasi yang akan masuk ini di Intan jaya untuk melakukan tambang terbesar lebih besar Freepot dari pada di Intan Jaya yang akan di bangun tersebut. Sehingga kebutuhan kita bersama adalah menolak segala bentuk eksploitasi yang akan di lakukan di Intan jaya dan seluruh pelosok-pelosok West Papua untuk genersai massa depan rakyat melanesia West Papua.

Penulis adalah Pemerhati Intan Jaya

Sumber:
http://wwwmaleakitipagauj.blogspot.com/2016/06/ptmoni-sejahtera-langowan.html

Ikuti Kami di gambar di bawa ini, Gambar-gambar tersebut di mana perusahan itu di Proses:
Kontrak karya yang dilakukan




Surat-surat Perjanjian 








Lembaga Moni






Photo ilustrasi gambar oleh Aliansi Mahasiswa Papua
"Kronologis Represif BIN.Ormas, TNI, dan Polisi dalam Kegiatan Nobar dan Diskusi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Malang"
1 juli 1971 adalah hari bersejarah bagi bangsa Papua Barat, di mana hari itu ialah hari proklamsi bangsa West Papua yang di kumandangkan oleh brigidir Zet rumkorem  bertempat di Victoria yang di hadiri 61 satu orang Rakyat Papua Barat . Dan pada  tanggal dan bulan yang sama Kami Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Malang  memperingati hari besar kami . Dan tetapi Dengan melihat tindakan agresif dari pihak TNI/Polri dan Ormas reaksioner pada hari minggu,01 juli 2018  sekitar pukul  18.30 Wib, bertempat di kontrakan Ipmapapara  jl.Mt Haryono gang 8C No. 291. Dengan alasan yang dapat di lihat bahwa Kejadian kekerasan oleh Militer dan represif karena di propokasi secara sistematis oleh beberapa Aktor-aktor yang menginginkan situasi tidak kondusif dan membuat situasi  diskusi ilmiah mahasiswa Papua yang sedang berlangsung menjadi ricuh. Adanya beberapa hal represif yang dilakukan secara brutal dengan beberapa tindakan  rasisme , diskriminasi,menutup ruang demokrasi dan pembungkaman yang di lakukan oleh oknum-oknum tersebut maka itu, kronologis kejadian dan  tuntutan AMP Komite Kota Malang di uraikan di bawa ini:

Kronologis Kejadian massa

Hari Jumat, 30 Juni 2018
15:00 : Untuk memeringati 47 Tahun Proklamasi Negara Papua Barat, 01 Juli 1971 hingga 2018 yang ke 47 tahun, Aliansi Mahasiwa Papua Mengeluarkan Seruan Nonto Bareng dan Diskusi FILM Sejarah Papua (PDP) dan Mempertegas Proklamasi West Papua 01 Juli 1971 di Victoria. Kegiatan ini dilaksanakan di Kontrakan Sekret IPMAPAPARA (Jl.MT.Haryono Gang 8C, No.986B Dinoyo Malang), Peserta diskusi, Mahasiswa Papua dan Organisasi Prodemokrasi di Malang, Jadwal diskusi 18:00 – Selesai.

Hari Minggu, 01 Juli 2018 AMP KK Malang memperingati HUT Proklamasi Negara West papua yang  KE- 47 Di sekertariat IPMAPAPARA Malang.

Jam : 16:00 : Penghuni Kontrakan IPMAPAPARA di datangi oleh pihak RT dan Intel berpakaian premen, mereka membawa himbauan (terlampir) yang intinya melarang dilaksanakannya kegiatan Nobar dan Diskusi sesuai seruan yang dipublis di Media Sosial Facabook dan What's up, Penghuni menerima himauan tersebut dan selanjutnya diserahkan kepada kawan-Kawan AMP, atas nama Musa Pekei dan Ferry Takimai.

Jam 18:00 : Peserta diskusi sudah banyak dan semakin banyak, dan pada 18:30 diskusi AMP dimulai dengan menonton bersam FILM Sejarah Papua sebagai pengatar menuju diskusi, yang dipandu oleh Musa Pekei dan Yustus Yekusamon.

19:30 : Rombongan Ormas reaksioner (bukan warga setempat) hanya Ketua RT saja yang dilibatkan, mereka mencob memasuki pintu pagar kontrakan dan dihadang oleh panitia keamanan (Yohanes dan Felle), terjadi adu mulut, dan proses negosiasi namun ormas dan intel berpakaian preman,TNI dan Polisi mendobrak masuk secara brutal dan meminta untuk semua peserta diskusi segera keluar dan pulang ke kontrakan masing-masing, kami masih tersus melakukan negosiasi.

19:35 : Sementara kami bernegosiasi dengan ormas dan intel berpakaian preman dengan 2 TNI masuk kedalam kontrakan di susul preman serta intel  dan memaksa kawan-kawan untuk keluar dan tinggalkan tempat diskusi, namun massa diskusi  masih bertahan. Sementara negosiasi Kamrad Yohanes dan Felle di pukul dan Yohanes diludahi dimuka, dicaci maki namun.  Bahkan kelaukan itu terjadi, kami  tidak membalas-nya, sementara itu aparat kemanan hanya menonton dan malakukan proses pembiaran.

19:40 : Ormas reaksioner, preman, TNI, dan Polisi, mulai membanting pintu dan jendela kontrakan, secara brutal, dan memaksa membubarkan, serta memulangkan peserta diskusi.

19:50 : Mereka mulai menggiring kami keluar kontrakan, kamar-kamar kami digrebek dan barang kami disita, beberapa barang kami yang disita, Laptop 8 unit, 2 Hp Opo, 2 Hp Samsung, 1 Proyektor, dan Barang-barang lainnya yang masih di kontrakan yang dikunci dan diamankan oleh warga. Beberapa barang didalam kontrakan di rusaki oleh ormas : pintu didobrak, alat-alat masak,makan dan minum pun di tendang dan dihancurkan. Dan kunjungi video ini, yang menjelaskan tentang kejadian yang terjadi tentang diskusi dan nonton film pada 1 July 2018, ini Videonya

20:00 : kawan Yustus dan Yohanes di ijinkan masuk kedalam kontrakan dan melakukan negosiasi ulang dengan Intel, preman, ketua RT dan TNI. Kami disuruh tinggalkan kontrakan, dan pindah secara paksa dengan alasan karena mengadakan diskusi Sejarah Perjuangan Papua. Kami menolak dan akan tetap menetap di Kontrakan ini. Tampak Jelas ormas dan preman yang terlibat bukan warga di kompleks tetapi  didatangkan dari tempat lain. Kami terus di paksa mengikuti permintaan mereka dan meminta agar kami pindah namun kami terus menolak, kami katakan bahwa kami akan tetap menempati tempat ini dan akan tidur disini karena ini kontrakan kami, namun saya dan yustus di seret dan dipukuli keluar dari kontrakan, sembarang didorong mereka serta  memerikasa HP dan Laptop dan akhirnya kami bergabung dengan kawan-kawan yang berada diluar.

21:00 : Kami bergabung dengan kawan-kawan dan melakukan konsolidasi baik namun kami terus didorong keluar dari kompleks gang 8c dan 10 meter sebelum tiba di jalan raya Mt.Haryono. beberapa dari kami kena pukul, dan salah satu anggota kami Kepalanya Pecah berdarah akibat pukulan benda tumpul (besi) oleh Intel, TNI, Polisi dan Ormas, hal ini memancing kemarahan kawan-kawan yang lainnya, akhirnya terjadi saling dorong dan setelah tiba dijalan raya Mt.Haryono Ricuh antara Aparat Kemanan dan Masa AMP

21:15 : Letak Kantor Polisi Sektor Lowokwaru  dari tempat kegiatan Kontrakan IPMAPAPARA berjarak sekitar 100 m dan jarak dari tempat kericuhan adalah 30 meter. Selama kejadian ada beberapa polisi dan TNI  berpakaian dinas namun mereka biarkan, seakan ada proses pembiaraan dan penciptaan konflik horisontal.

21,20 : Akibat dari jebakan yang dimain oleh TNI dan POLISI , beberapa cacian verbal yang lontarkan sangat rasis dan ruang demokrasi kami dibungkaam, serta mendapat perlakuan sangat intimidatif dan rasis oleh karena itu kami memutuskan untuk melakukan longmarch dari Dinoyo Lowokwaru ke Mapolresta Malang Klojen  sejauh 5 km

22,15: ; Kami tiba di Mpolresta Malang, kami melanjutkan aksi spontan kami didepan Mapolresta dan menuntuk agar pihak kepolisian, berhenti melakukan aksi-aksi intervensi dan intimidasi di kontrakan mahasiswa Papua dan menuntut dikembalika-nya barang-barang kami yang disitas, serta segerah lakukan pemulihan nama mahasiswa Papua di daerah Lowokwaru dan kami juga menuntut tidak boleh ada berita2 yang dipublis untuk mendiskreditkan mahasiswa Papua di Malang, jika ada berita bias dan tidak berimbang yang dimuat oleh media maka kami akam meminta pertanggung jawaban narasumber dan pembuat berita dan juga perusahaan media tersebut.

22:30 kami meminta agar kami dapat menemui  Kepala Polresta Kota Malang, untuk kemudian bisa ada hearing antara DPRD Malang, Kapolresta Malang, untuk tidak boleh lagi memata-matai dan mengganggu aktivitas Mahasiswa Papua di Malang.

23:15: kami melakukan hearing dan Polresta Malang bersedia memfasilitasi untuk ada ruang demokratis antara mahasiswa, DPRD, Polresta dan Ormas Rekasioner (bukan warga asi kompleks itu) dan tidak boleh lagi ada intervensi ruang-ruang demokrasi mahasiswa Papua di Malang, apalagi sampai masuk ke kamar-kamar  mahasiswa papua seperti yang terjadi malam itu.

00:00 kami meminta kepastian kepada polresta agar besok bisa pasti untuk kegiatan hearing (kami sudah merekam audio pengkuan Kapolresta) bahwa semua barang besok jam 14:00 akan diberikan sekaligus diadakan heraing antara DPRD, Polresta, Mahasiswa Papua dan harus ada keputusan agar kedepan tidak boleh ada lagi intervensi militer ke ranah sosial mahasiswa Papua dan Pembungkaman Ruang demokrasi.

00:30 : Kami kembali ke masing-masing kontrakan dengan catatan Bahwa jam 14:00 kami akan kembali menduduki Kantor POLRESTA Malang dan meminta untuk segerah Copot Kapolsek Lowokwaru; Kembalikan semua barang-barang kami yang disita; buka ruang demokrasi untuk mahasiswa Papua di Kota Malang dan Kami Mahasiswa Papua akan Bersama mengklarifikasi kejadian yang direkayasa oleh BIN kepada warga sekitar yang selama 8 tahun telah bersama hidup rukun.

01:00 kami semua tiba di tempat tinggal dengan selamat

Dengan represif yang sangat kuat dari aparatus negara dengan sengkongkolannya, sehingga Kami dari Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Malang menyataan sikap secara spontanitas bahwa:

1.Akomodasi kehadiran DPRD ,Pemda,tokoh-tokoh masyarakat di kel.lowokwaru malang . Tujuannya untuk    kenyamanan mahasiswa Papua dan hak mahasiswa Papua untuk berkumpul , berpendapat, membuka ruang demokrasi seluas- luasnya kepada mahasiswa Papua dan tidak melakukan tindakan pembungkaman. 

2. Melakukan silahturahmi dan penyelesaian masalah secara baik  dan mengembalikan nama baik mahasiswa Papua yang sudah tercoreng di mata warga Dinoyo. 

3.Segera tangkap dan adili pelaku pemukulan dan pengusiran secara paksa terhadap mahasiswa Papua. 

4.Segera bertanggung jawab segala perlakuan penyitaan barang,diskriminasi,terror,  rasisme yang di lakukan oleh Ormas reaksioner  dan TNI/Polri. 
Salam Pembebasan Nasional Papua Barat.

Lampiran-Lampiran

A. Data Mahasiswa Yang terlibat dalam Nobar dan Diskus

1. Yustus yekusamon
2. Errio gwijangge
3. Robert nua
4. Fery takimai
5. Maikel takimai
6. Timus gwijangge
7. Yilonggen gwijangge
8. Landi k
9. Yohanis giay
10. Yusni iyowau
11. Musa pekey
12. Rudi wonda
13. Neson elabi
14. Tengki k
15. Memi krb
16. Awi
17. Tanggenus gwijangge
18. Dus gwijangge
19. Sena gwijangge
20. Melky huby
21. Yarson gombo
22. Korry hubby
23. Piter marian
24. Merani
25. Yance mabel
26. Ronald huby
27. Anita wanimbo
28. Ida hubby
29. Robert  mariam alua
30. Agus daby
31. Marius mariam
32. Otis kosay
33. Mira tebay
34. Yuke huby
35. Ima pelle
36. Musa siep
37. Erdi kenelak
38. Benny kilungga
39. Gerry
40. Emilson tabuni
41. Matius sobolim
42. Arminus
43. Teniron gire
44. Yibinggeu suhugum
45. Yanison telenggen
46. Wemi karoba
47. Nikson wonda
48. Teki karoba
49. Freddy gobay
50. Rikard takimai
51. Andi waine
52. Musa pekey
53. Niko
54. Melly daby
55. Rully simbiak
56. Arfeli kafiar

B. Data Korban Kekerasan Oleh Intel,Preman, TNI,Polisi dan Ormas Reaksioner

1. Yohanes Giyai : diludahi dan dipukul menggunakan galon dikepala, ditarik, dan dipukul dimuka beberapa kali.
2. Timenius Gwijangge : Sembari di usir keluar dari kontrakan, kena pukul beberapa kali dan akhirnya kepalanya pecah dan berdarah akibat di pukul dari belakang dengan benda tumpul (besi).
3. Maikel Takimai : dipukul dimata kiri.
4. Yustus Yekusamon : dipukuli beberapa kali dan kaki luka kena batu,bengkak dan keram.
5. Ferry Takimai : sempat diseret dan dipukul 2 kali dengan besi dikepala, kepalanya aman karena dia menggunakan helem.
6. Musa Pekei : Di pukul dikepala 2 kali menggunakan benda tumpul.
7. Felle Ima : Sempat diseret dan dipukul dikepala dan dibadan.

C. Data Barang-Barang yang disita

1. Yustus : Hp. Oppo A37 dan motor supra satu buah dan memdapatkan tindakan kekerasan (pemukulan) dari pihak TNI/polri du bagian kaki kiri (Tulang Kering )
2. Timinus : Mendapatkan tindakan kekerasan (pemukulan di kepala menggunakan batu ) oleh TNI/Polri,Intel dan ormas . merampas hp oppo A37 dan satu buah tas berisi alkitab.
3. Tenion : motor onda satu buah.
4. Lendi K : laptop asus satu buah.
5. Isos : satu buah motor mio biet.
6. Beni : satu buah tas berisi buku,KTM,KTP,ATM,Dompet.
7. Musa : satu buah motor happy
8. Maikel : satu buah motor bladex.
9. Yohanes : 1 Buah laptop dan diludahi dimuka dan kena pukul oleh intel dan ormas reaksioner
10. Yelle : satu buah motor beat merah,cas HP.
11. Maria : satu bauh laptop acer,cas hp aser dan satu buah tas.
12. Barang- barang milik penghuni kontrakan dan mahasiswa papua . seperti (barang-barang elektronik,buku-buku,alat dapur, alat tidur ,  dll ) masih disita di kontrakan dan sebagian dirumahnya RT.
13. Beberapa data barang-barang : ( laptop 8 buah , motor 17 buah,tv 1 buah,speaker 1 pasang, hp 4 buah, dll)masih disita di kontrakan dan sebagian dirumahnya RT.

D. Photo-Photo



Gambar dari wknofm.org
Oleh: Jhon Gobai***

Saat ini di Papua, kapitalisme semakin menampakan dirinya dan semakin subur melakukan proses eksploitasi komoditi dan akumulasi kapital dengan kolonisasi Indonesia yang terus-menerus membentuk nalar dan watak manusia yang mengontrol pikiran manusia Papua.

Di tengah situasi itu, mahasiswa dan para akademisi Papua semakin apatis di tengah-tengah proses kapitalisasi dan kolonisasi yang terus melahirkan proses dehumanisasi dan depopulasi secara tersistemis.

Indonesia, sebagai basis infrastruktur dan suprastruktur yang menindas rakyat di seantero nusantara memiliki produk-produk dan perangkat Negara yang sama sekali tidak menguntungkan rakyat. Misal, sistem Negara yang terpusat di Jakarta dengan produk-produk hukum yang dibuat sesuai kebutuhan kaum penguasa dan pemodal, alat propaganda: siaran tv, cetak dan online milik para kapital birokrat, sistem pendidikan yang menguras ekonomi masyarakat dan membuat rakyat teralineasi dan tersingkir dari nalar pemberontak hingga menghegemoni pikiran masyarakat melalui ilmu pengetahuan yang berasal dari filsafat idealisme (ilmu pengetahuan borjuis), dan militer yang semua dikendalikan oleh kapital-kapital nasional dan internasional. Mereka menjadikan Negara sebagai alat kekuasaan yang menindas rakyat—menciptakan keserakahan umat manusia di Indonesia.

Dalam situasi ini, kader-kader dan pelopor revolusi nasional demokratik atau pembebasan nasional Papua Barat juga terus terhegemoni. Krisis pengetahuan tentang ideologi dan turunnya semangat perjuangan sedang melanda. Kita semakin kehilangan nalar untuk memberontak.

Hari ini kita tidak bisa mengharapkan pembebasan nasional Papua Barat itu turun dari langit. Pembebasan nasional itu harus direbut dengan atmosfir perlawanan yang harus besar.
Secara historis, basis-basis material perjuangan pembebasan nasional Papua yang sudah berumur 55 tahun atau setengah abad, berjalan dengan lompatan-lompatan yang kuantitatif – mencapai perdebatan proses ideologisasi perjuangan sebagai bangsa-merdeka dari penindasan kapitalisme dan kolonialisme.

Sebuah bangsa yang adil dan sejahtera secara secara ekonomi dan politik, membangun kebudayaan persatuan nasional, adalah cita-cita perjuangan kita. Dan perjuangan ini diperjuangkan dengan proses yang harus terus berkontradiksi hingga berdialektika maju.

Maka, tugas-tugas kita sebagai kader-kader dan pelopor-pelopor gerakan saat ini adalah: pertama, mengedepankan kritik dan otokritik internal dan eksternal, kedua: semestinya harus mempunyai alat propaganda, baik media cetak maupun online, dan ketiga: khusus untuk kawan-kawan mahasiswa harus budayakan membaca, menulis, berdiskusi, dan aksi masa
Basis-basis material ini penting untuk dipahami. Teori dan praktek yang terus melahirkan sintesa (teori baru) adalah tugas dan tanggung jawab kita saat ini.


Salam Pembebasan

Penulis Adalah Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Papua


Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats