Halloween party ideas 2015

Logo Komitmen
Di tengah hiruk pikuk dan fanatisme sirkus Pilpres 2019, berbagai serangan terhadap golput telah dilancarkan oleh kaki tangan salah satu pasangan calon. Mereka berupaya untuk meletakkan beban moral dan tanggung jawab pada golput jika pilihan mereka gagal menang 17 April nanti. Garda depan status quo kian gencar memberi cap ‘tidak realistis’, ‘pengecut’,‘idealis’,‘utopis’ kepada golput. Kata-kata ini seharusnya disandangkan kepada mereka yang berpikir semuanya akan baik-baik saja di bawah sistem yang ada. Namun kami memahami bahwa kemiskinan imajinasi mereka tidak luput dari pengaruh ekonomi, sosial,dan politik yang mengungkung daya pikir masyarakat.
Pilihan golput bukanlah pernyataan bahwa tidak ada yang cocok dengan kami,melainkan bahwa sistem politik kita sudah sepenuhnya bobrok.

Sebaik apapun citra yang ditampilkan oleh calon-calon yang sudah diseleksi oligarki partai,sistem politik yang ada tidak memungkinkan terjadinya perubahan mendasar. Syarat-syarat pembentukan partai yang tidak masuk akal dan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen hanya membuka ruang bagi partai-partai yang ada dan para bohirnya untuk memonopoli serta memperkokoh penetrasi kapital atas proses politik dan sendi-sendi kehidupan rakyat di Indonesia.

Pada pilpres ini,di balik simbol agama yang dimainkan kedua paslon,ada kekuatan kapital dan militer yang mengendalikan permainan. Dari barisan konglomerat,di kubu Jokowi, ada Aburizal Bakrie,Chairul Tanjung,Erick Thohir,Hary Tanoesoedibjo, Oesman Sapta Odang,Surya Paloh,Riza Chalid,Rosan Roeslani. Sementara di kubu Prabowo, antara lain: Hashim Djojohadikusumo, Sandiaga Uno, Hutomo Mandala Putra. Dari barisan jenderal, kubu Jokowi memiliki Moeldoko, Wiranto, Luhut Binsar Pandjaitan,Ryamizard Ryacudu, Try Sutrisno, Marsetio, Cakra 19 (12 purnawirawan TNI),dan Bravo-5 (lebih dari 20 purnawirawan TNI). Di lingkaran Prabowo, ada Djoko Santoso, Susilo Bambang Yudhoyono, Tedjo Edhy Purdijatno, Widjojo Soejono, Yunus Yosfiah,serta 300 purnawirawan TNI.

Tentunya orang-orang ini tidak akan mengulurkan bantuan tanpa mendapatkan imbalan. Menguatkan cengkraman mereka atas kehidupan kita bukan sesuatu yang kita inginkan. Kami tidak berniat untuk menguranginya,kami ingin menghapusnya sama sekali.

Selanjutnya,bagi kelompok-kelompok yang ditindas dari rezim ke rezim,berikut adalah beberapa alasan kenapa ikut serta dalam pemilu adalah sia-sia:

Buruh & Petani: Rezim Jokowi telah terbukti menunjukkan keberpihakannya kepada kepentingan kapitalis. Lewat PP 78 dan kebijakan-kebijakan ekonominya, kesengsaraan buruh semakin bertambah. Pendengung politiknya berusaha untuk menutupi kondisi nyata ratusan juta orang yang hidup melarat sehari-hari dengan menggembar-gemborkan proyek infrastruktur pemerintah yang telah merugikan warga setempat. Di samping itu, industri sawit, semen, dan tambang diberi lampu hijau untuk menggusur dan merampas lahan, serta merusak lingkungan.

Bagi petani, Reforma Agraria palsu Jokowi dan program bagi-bagi sertifikatnya adalah tameng untuk menutupi penderitaan mereka. Dari tahun 2015 hingga 2017, telah terjadi 1.361 konflik agraria. Sepanjang 2017, ada 659 konflik agraria, meningkat 50 persen dibandingkan 2016. Konflik agraria dalam empat tahun pemerintahan Jokowi telah mengakibatkan 940 petani dikriminalisasi, 546 orang dianiaya, 51 orang tertembak, hingga 41 yang tewas. Kekerasan yang mereka alami melibatkan TNI, polisi, dan preman. Selain itu, Perpres No. 86/2018 yang dikeluarkan Jokowi membenarkan TNI, polisi, dan PNS sebagai penerima redistribusi tanah dengan skema kepemilikan lahan perorangan yang justru memperlancar proses akumulasi dan konsentrasi kapital yang ada. Sementara skema jaminan penguasaan lahan secara kolektif bagi masyarakat adat malah diabaikan. Pemerintah juga memiliki mekanisme konsinyasi yang memudahkan tanah warga diambil paksa atas nama pembangunan dan kepentingan negara.

Di sisi lain, pihak Prabowo juga tidak memiliki program konkret apa pun untuk menyejahterakan buruh dan petani. Cukup melihat siapa kekuatan pemodal dan tentara yang berada di balik mereka untuk mengetahui keberpihakan mereka.

Perempuan: Ucapan-ucapan “keberagaman gender”, “perempuan harus didengar”, “menteri saya banyak yang perempuan”, “pendukung kami emak-emak” tidak lain hanyalah retorika patriarkis dari kelas penguasa yang ingin mempertahankan posisi mereka di atas masyarakat. Lagi-lagi, tidak ada satu pun program yang jelas dari mereka selain memberi pengakuan simbolis untuk meraup suara. Pembebasan perempuan artinya membebaskan perempuan secara ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, fisik, dan psikologis. Melawan kapitalisme—yang menghasilkan penindasan kelas, ras, dan gender serta mengukuhkan patriarki—adalah langkah logis yang harus kita ambil, dan ini sudah pasti berlawanan dengan kepentingan kedua kubu.

LGBT: Tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, sampai sekarang kelompok LGBT masih diserang, didiskriminasi, dan dikriminalisasi. RKUHP anti-LGBT didukung oleh semua pihak pemerintah, baik pendukung maupun oposisi. Stigma ‘menyimpang’ tetap dirawat dan disebarluaskan oleh negara dan aparaturnya. Memilih dalam pemilu artinya mengesahkan penindasan sistematis terhadap LGBT, karena Jokowi atau Prabowo sudah dipastikan akan meneruskannya.

Papua: Sejak 1969, lebih dari 500.000 warga Papua telah dibunuh secara sistematis. Ribuan lain mengalami penyiksaan, pemerkosaan, penangkapan sewenang-wenang, pemenjaraan di luar proses hukum, dan rasisme. Posisi pemerintah mengenai Papua jelas: kekayaan tak terhitung yang telah dihisap dari alam Papua lewat kerja sama negara dengan korporasi asing akan terus berlanjut, kekuasaan aparat TNI-Polri di Papua akan tetap bertahan, hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua tidak mungkin diberikan, infrastruktur yang dibangun pemerintah dan kerap dipromosikan ke seluruh masyarakat menjadi validasi bagi integrasi Papua ke dalam NKRI. Bagi rakyat Papua, memilih tidak ada artinya.

HAM: Keputusan Jokowi untuk memilih Ma’ruf Amin yang giat mendiskriminasi dan mengkriminalisasi kelompok minoritas dan seksual sebagai pendampingnya menunjukkan oportunisme dan ketidakacuhannya terhadap hak asasi manusia. Fatwa MUI pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat berujung pada SKB anti-Ahmadiyah tahun 2008 berkat desakan dari suara konservatif dan Ma’ruf Amin yang ketika itu menjadi penasihat SBY. SKB ini kemudian menjadi landasan bagi peristiwa berdarah di Cikeusik dan ratusan kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah hingga sekarang. Selain itu, Ma’ruf Amin juga ikut serta mengeluarkan fatwa haram tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, fatwa sesat terhadap Gafatar, mendukung kriminalisasi terhadap LGBT, dan menyusun SKB pendirian rumah ibadah.

Pembubaran kegiatan diskusi, penyitaan buku, kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan, LGBT, jurnalis, aktivis lingkungan, buruh, dan petani tetap berjalan tanpa sedikit pun tindakan aparat negara untuk menghentikannya. Justru dalam banyak kasus, negara menjadi pelopornya, aparat negara tidak menghormati hak-hak dan kebebasan dasar. Sementara itu, suatu penyelesaian berkeadilan atas kejahatan genosida 1965-66 sampai saat ini selalu ditampik. Kami objektif: selama ini penuntasan kejahatan serius di masa lalu dan upaya untuk mengakhiri impunitas bukanlah trajektori yang menguntungkan bagi kekuasaan oligarki dan para elite politik. Bahkan sekadar niat politik dan langkah-langkah programatis untuk menyelesaikannya tidak hendak diwujudkan oleh mereka yang kini bersaing dan berseteru merebut kekuasaan negara.

Sudah jelas bahwa kedua paslon tidak memiliki perhatian sedikit pun terhadap persoalan mendasar yang menyangkut kemerdekaan sipil dan keadilan sosial. Visi-misi mereka penuh dengan slogan dan retorika nasionalis banal, tanpa satu pun program konkret untuk mewujudkan kesejahteraan bagi kelas pekerja, tanpa menghormati kebebasan dan melindungi kelompok minoritas pada saat hak-hak dan kemerdekaannya dirampas bahkan diserang, ataupun tanpa upaya untuk mengembalikan tentara ke barak—di mana mereka seharusnya berada. Semua visi-misi mereka bukan hanya menghina akal sehat, tetapi dari tahun ke tahun mengebiri kecerdasan masyarakat luas. Kami sepenuhnya sadar bahwa keadilan bukan sesuatu yang diberikan, tetapi harus direbut. Karena itu, meminta paslon mana pun untuk memberi perhatian tidaklah berguna. Kami tidak sedang mengidap penyakit kekanak-kanakan.

Sekarang, dalam demokrasi yang dikebiri dan semakin tidak menghormati hak-hak asasi manusia, apakah kami “tidak realistis”? Kami punya pijakan “realisme politik” sendiri. Demokrasi elektoral berbasis patronase politik hanya bisa diubah jika suara rakyat tidak dibungkam; jika kami yang memperjuangkan hak asasi kami untuk mempertahankan sumber daya alam dan lahan kehidupan, tidak dikriminalkan. Ketika ada yang berseru kami “tidak realistis”,sebenarnya mereka sedang berbicara di depan cermin.

Apakah kelompok golput punya strategi politik yang jelas? Tentu. Beberapa di antaranya dengan merebut ruang publik dari genggaman kelompok-kelompok reaksioner; melakukan intervensi politik ke dalam pabrik, kampus, kampung, dan jalanan;
membangun solidaritas antarwarga dengan melakukan pendampingan, advokasi, dan pendidikan politik serta belajar bersama rakyat yang tertindas.

Memilih dalam pemilu apapun—pileg, pilkada, pilpres—artinya memberi legitimasi terus-menerus kepada sesuatu yang terus membusuk. Menunggu pemilu dan berharap pergantian pemimpin beriringan dengan datangnya perubahan adalah mimpi siang bolong. Kami tidak naif. Kami tidak memiliki ilusi apa pun untuk menggelar karpet merah bagi kedatangan juru selamat lewat sistem politik dan ekonomi yang ada. Namun dalam masyarakat yang membutuhkan ilusi dan terus ditakut-takuti dengan ancaman kebohongan “khilafah dan komunisme”, meminta mereka menghapus ilusi memabukkan tersebut berarti meminta mereka untuk melepas belenggu ilusi.

Tujuan golput bukan untuk tidak memilih. Golput, abstain, ataupun boikot pemilu hanya langkah lanjutan yang harus diambil untuk beranjak keluar dari barbarisme. Menyuruh rakyat untuk berpartisipasi dalam sandiwara pemilu sama dengan melanggengkan pembodohan, dan bertolak belakang dengan cita-cita kami untuk membangun sebuah masyarakat di mana semua manusia dapat berkembang penuh dan merdeka—sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan dalam sistem politik dan ekonomi yang ada.

Jakarta, 13 April 2019

Federasi Serikat Buruh Demokratik (F-SEDAR)
Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN)
Partai Pembebasan Rakyat (PPR)
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
International People's Tribunal 1965 (IPT 65)
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia (SeBUMI)
Asep Komaruddin
Gading Yonggar Ditya
Qory Dellasera
Pdt. Suarbudaya Rahadian (pengasuh rubrik Kristen Progresif IndoProgress)
Rinto Pangaribuan (pemimpin redaksi PENALAIDE)
Jasman Simanjuntak
Kelana Khatulistiwa
Yohanes Bayu Christianto
Christian Yahya

Photo oleh Bantuan Hukum di Bali, saat di lokasi kejadian 15 April 2019
Represifitas, Rasisme dan Pembungkaman Ruang Demokrasi Terhadap Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali oleh Kepolisian, Intel dan ormas bayaran.

Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] mengencam atas ruang pembungkaman yang di lakukan oleh kepolisian saat melakukan aksi demo damai yang bersyarat izin tersebut dan pihak kepolisian telah melakukan atau mengiring berita hoax mengenai aksi yang di lakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali pada 15 April 2019. Dan dengan klarifikasi penyebaran berita hoaks mengenai mengajak golput bersama masyarakat Bali adalah kebohongan Publik; Namun, Aksi dari Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali adalah sesuai prinsip dan arahan dari keputusan Aliansi Mahasiswa Papua Pusat sesuai tuntutan yang telah di buat secara agenda Nasional. Sehingga, Aliansi Mahasiswa Papua mengencam kepada pihak kepolisian porlesta Denpasar dan Porles Dentim (denpasar Timur) atas kelakukan pemukulan, pengoroyokan, tendangan, penangkapan, pembubaran paksa, dan pihak kepolisian telah merobek poster-poster aksi, satu TOA di ambil, Satu Bendera AMP di ambil, tali komando di putus-putuskan, Noken di tarik, pakaian di tarik; bahkan 7 orang massa aksi mendapatkan pendaraan dan bercak pukulan di tubuh. Dengan melihat itu, kronologis aksi selengkapnya sebagai berikut:

Pada hari Senin, 15 April 2019 Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali melakukan aksi demo damai dengan tuntutan isu “Golput 2019 dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua sebagai Solusi Demokratis”. Aksi Massa yang hadir 29 orang. Sebelum tiga hari surat pemberitahuan aksi telah di masukan ke Porlesta Denpasar Bali dan Porles Dentim (Denpasar Timur) serta surat tanda terima dengan titik kumpul Perkiran Timur Renon Denpasar Bali dan titik aksi Jl. Bundaran Hayam Wuruk Denpasar dan durasi waktu aksi pukul 10:00 WITA s/d Selesai.

Massa aksi berkumpul di titik kumpul pada Pukul 10:00 WITA dan melakukan Long March ke Titik aksi Jl. Bundaran Hayam Wuruk sambil berorasi oleh korlap (koordinator lapangan aksi) hingga pada titik aksi. Mulai dari titik kumpul ke titik aksi durasi waktu 10:00-10:18 WITA dan di hadang oleh polisi, intel, ormas bayaran sebelum 15 meter dari tempat tujuan atau titik aksi di Jl. Bundaran Hayam Wuruk.

Massa aksi yang di hadang tidak di berikan waktu ruang untuk negosiasi sama pihak berwajib dari Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali sehingga represifitas langsung di lakukan oleh pihak  kepolisian, intel, ormas bayaran. Bahkan, ruang orasi sangat dibungkam, di tutupi secara paksa seketika aksi berlanjut.

Represif itu berlangsung salam 15 Menit dari pukul 10:20 WITA  hingga 10:37 WITA. Selama represif dari kepolisian dengan jumlah massa yang melebihi massa aksi demo damai. Ada pun massa aksi mendapatkan kekerasan fisik oleh kepolisian, intel, Ormas bayaran seperti melakukan tendangan, pemukulan, penarikan, pengoroyokan, di tahan kaki dan tangan diseret ke dalam mobil truk Dalmas, poster-poster di robek, spanduk poster di robek, dan bendera AMP di ambil, satu TOA  di Mabil sepatu, sendel dan tali komando di putus-putus dan 7 (tujuh) orang menjadi korban pemukulan hingga darah dan benjolan. Selama  represif berjalan massa aksi sudah di naikan ke mobil truk dalmas dan sebagian di seret di naikan secara paksa sambil melakukan kekerasan.

Sekitar pukul 10: 40 WITA hingga 11: 05 WITA Massa aksi di angkut oleh kepolisian dengan mobil Truk Dalmas menuju ke Porlesta Denpasar Bali dengan pengamanan ketak, ada pun dalam mobil truk Dalmas berisi empat orang polisi, dan mobil dua dalmas kecil di depan serta di belakangan saling mengikuti serta motor polisi, intel dan Ormas menuju ke Porlesta dengan jumlah yang banyak. Satu mobil truk dalmas juga mengikuti hingga ke Porlesta Denpasar Bali.

Pada saat di porlesta kepolisian menurunkan di depan kantor Porlesta dan saling menegosiasi bersama negesiator Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali dan penanggungjawab aksi Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali bersama kepala Kaporles Bali. Hasil dari negosiasi itu, menyepakati untuk introgasikan massa aksi yang hadir dengan dua orang di wakili dari massa aksi sebagai introgasi oleh Kasat Intelkam Porlesta Denpasar dan di bantu oleh Lembaga Bantuan Hukum Bali (LBH Bali) sebagai bantuan hukum untuk Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali. Hasil Introgasi dua orang tersebut mulai dari pukul 11:40 WITA hingga sampai 14:50 WITA sebagai memberikan data soal introgasi tersebut dan Lembaga Bantuan Hukum Juga memberikan introgasinya atau data sebagai bantuan hukum. Kasat Intelkam mengambil data tentang aksi yang di lakukan dan selama introgasi menawar makanan, minuman untuk membungkam hak aspirasi massa aksi serta seolah-olah kepolisian menjadi pihak baik tetapi sangat represif dari kemanusiaan yang seutuhnya dalam pembungkaman ruang demokratis bagi mahasiswa West Papua. Apa Lagi, membiarkan pelakunya yang memukul, menyeret, menendang, mendorong, membiarkan begitu tanpa melihat hukum dalam militernya dan hukum dari UUD negara itu sendiri.

Setelah selesai Introgasi dari Kasat Intelkam Porlesta Denpasar memberikan arahan terakhir atau pertanyaan untuk introgasi tersendiri atau di muka umum bersama massa aksi yang menunggu di depan kantor kaporlesta? dua pilihan ini di berikan terhadap dua introgasi tersebut untuk melihat itu, akhirnya memilih untuk arahan bersama massa aksi yang lagi menunggu. Lalu, Kepala Porlesta Denpasar  memberikan arahan dan di pulang dengan dua unit mobil truk Dalmas menuju pada titik kumpul aksi di Parkiran Timur Renon sesuai permintaan massa aksi. Satu mobil truk Dalmas mengangkut massa aksi 29 orang tersebut dan yang satunya mengunakan mengangkut polisi hingga pada tujuan di titik kumpul. Dari introgasi dan di turunkan ke titik kumpul tepat pada pukul 15: 39 WITA serta massa aksi membubarkan diri melakukan aktivitas masing-masing.

Melihat dari rangkain di atas bahwa Negara dan militernya Indonesia terus membungkan setiap ruang pengerakan Aliansi Mahasiswa Papua dan kalangan luas sehingga pembungakam, dekriminasi, rasisme, dan represif serta beragam kekerasan terus militer menjadi alat pembungkaman mengamankan aktivitas eksploitasi dan produksi kapitalis birokrat, serta menjalankan agendanya Imperialisme yang sangat membungkam setiap hak kebebasan berekspresi, berpendapat, dan kebebasan  hidup pun di batasi oleh para apratus yang terus mengisap kehidupan rakyat, terutama mahasiswa West Papua dan rakyat pada umumnya. Dengan itu, Aliansi Mahasiswa Papua menykapi dan menuntut kepada system Negara Indonesia dan Militernya TNI-PORLI segera:

1. Hentikan Kriminalisasi dan pembungkaman ruang demokrasi terhadap mahasiswa West Papua di Bali .
2. KAPOLDA BALI, Segera Mencopot para pemukulan, penendangan, pengoroyokan, dan yang membubarkan massa aksi. 
3. Kepolisian Bali terutama Polda, Porlesta, dan Porles hentikan penyebaran hoaks terhadap massa luas mengiring informasi yang tidak jelas
4. Negara dan Pemerintah Provinsi Bali Segera mencopot Kapolda Bali dan Jajarannya karena melakukan repersifitas
5. Berikan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum bagi mahasiswa Papua di Bali
6. Mengencam tindakan yang menutup ruang demokrasi sesuai UUD No 08 Tahun 1998
7. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus menjamin kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi dan menyampaikan pendapat secara umum khususnya Mahasiswa Papua di Bali.

Pernyataan ini kami buat untuk di advokasi oleh Para penegak Hukum dan membuka ruang publik dalam mengemukankan pendapat secara sebebas-bebasan-nya untuk hak setiap manusia di muka bumi.

Mengetahui
Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua
Medang Juang, 16 April 2019

Photo Mahasiswa Papua di Kupang, 13 April 2019
Pada hari Sabtu 13 April 2019 Mahasiswa Papua Kota Kupang melakukan diskusi bersama dan membacakan pernyataan sikap menyikapi tentang Pemilu Kolonial Indonesia yang akan dilakukan serentak seluruh Indonesia dan termasuk di seluruh West Papua pada 17 April 2019 mendatang. sehingga dengan itu, Mahasiswa Papua di kota Kupang menyeruh untuk Boikot dan Berikan Hak Penentuan Nasib sendiri bagi Bangsa West Papua sebagai solusi demokratis. Dan ini adalah pernyataan sikap menyikapi Pemilu 2019:

Pernyataan Sikap

“Pesta Demokrasi Sejati adalah Pelaksanaan Hak Menentukan Nasib Sendiri”
Salam Pembebasan Nasional West Papua !!!
Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa !!!

BOIKOT PEMILU 2019 DAN BERIKAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI SEBAGAI SOLUSI DEMOKRATIS BAGI BANGSA WEST PAPUA

West Papua telah mendeklarasikan diri sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat pada 01 Desember 1961. Namun, usia kemerdekaan ini sangatlah pendek.  Tepat 19 hari setelahnya, Indonesia menganeksasi West Papua melalui program Trikora. Trikora adalah pintu awal masuknya operasi militer yang berdarah-darah. Semenjak itu, dan dalam kurun waktu 1961-1991, ada sedikitnya 44 operasi militer dengan mobilisasi ribuan angkatan bersenjata ke Papua. Hasilnya lebih dari 500.000 orang Papua di bunuh.

Sebagian besar rakyat Indonesia percaya, atau dipaksa percaya, bahwa Papua merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini jelas bertentangan dengan fakta sejarah dan kehendak rakyat Papua itu sendiri. Proses integrasi Papua ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dilakukan dengan cara-cara represif dan bertentangan dengan hukum internasional. Dari 800an ribu jiwa penduduk Papua hanya 1025 orang (4 orang lainnya tidak ambil bagian) yang terlibat dalam pemungutan atau kurang dari 0,2% dari populasi Papua, yang dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia. Inilah alasan mengapa sekalipun proyek mengindonesiakan Orang Asli Papua berlangsung hingga 50-an tahun lamanya, rakyat West Papua tetap pada pendirian awal: lepas dari NKRI.

Sejarah memperlihatkan pada rakyat West Papua, juga rakyat Indonesia, bahwa Indonesia hampir selalu gagal menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di West Papua. Mulai dari soal pelanggaran kesepakatan New York Agreement 15 Agustus 1962, ketika Indonesia diwajibkan menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat secara one person one vote; genosida perlahan setelahnya selama kurun 50-an tahun; perusakan hutan yang begitu masif; gizi buruk; eksploitasi begitu masif terhadap bahan-bahan tambang (emas, tembaga, uranium, minyak, gas dsb)—yang berakibat peningkatan jumlah ton tailing yang merusak alam West Papua; ketimpangan sosial antara penduduk asal dan pendatang; extra judicial killing terhadap warga sipil termasuk aktivis; perlakuan rasis terhadap rakyat West Papua; hingga pengekangan kebebasan berkumpul dan berpendapat.

Kontestasi pemilu tahun ini sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Masing-masing partai, beserta calon-calon legislatifnya dan calon presiden serta wakil presiden, berebut suara dari rakyat West Papua. Tapi mari kita perhatikan, apakah mereka bersedia mendengarkan suara rakyat Papua yang paling mendasar, “hak menentukan nasib sendiri”? Atau bicara soal mengurangi mobilisasi militer dan mengadili para pelaku pelanggar HAM? Atau menjamin kebebasan berkumpul dan berpendapat bagi semua kelompok sipil?

Meski suara dukungan rakyat West Papua jadi rebutan, ironisnya dalam debat Pilpres pertama, soal West Papua sama sekali tidak diperbincangkan baik oleh Jokowi maupun Prabowo. Prabowo sendiri memiliki track record buruk di Papua dalam kasus Mapenduma. Namun, bukan berarti Jokowi lebih baik. Jokowi sebagai incumbent, telah membiarkan pelanggaran hak asasi manusia berulang kali terjadi. Misalnya, kasus Paniai Berdarah yang tak rampung, kasus Deiyai dan Dogiyai yang juga tak selesai, belum lagi kasus-kasus penangkapan massal terhadap para aktivis West Papua yang belakangan makin sering terjadi.

Jokowi memiliki kekuasaan. Namun, kekuasaannya tidak digunakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan membiarkan pelanggaran HAM terus terjadi. Pembiaran itu artinya, mengiyakan dan jadi bagian perbuatan pelanggaran HAM.

Ditambah lagi, sampai sekarang  masih dilakukan operasi militer di Nduga (Distrik Dal, Distrik Yigi, Distrik Mbua, Distrik Mikuri, Distrik Enikngal, Distrik Yal, Distrik Mam dan Distrik Mugi). Sebagaimana operasi-operasi militer sebelumnya di West Papua, operasi militer itu memakan banyak korban sipil. Puluhan rakyat termasuk anak-anak meninggal, terjadi penahanan dan pembakaran rumah. Ada setidaknya 20 ribu orang yang terpaksa mengungsi keluar dari daerah tersebut.
Akibatnya, pendidikan, kegiatan ekonomi, dan keagamaan, tak berjalan dengan normal. Akses pemerintahan sipil, wakil rakyat, jurnalis, pekerja kemanusiaan, sangat sulit. Kehadiran aparat TNI/Polri di sana justru menyebabkan rakyat trauma.

Kondisi hari ini, Pemilu 2019 kolonial Indonesia akan dilakukan di seluruh daerah secara serentak pada 17 April 2019 mendatang, yang mana adalah salah satu agenda kolonial di tanah West Papua untuk membungkam proses perjuangan gerakan rakyat West Papua dalam perjuangan kemerdekaan, serta meloloskan agenda kolonial dan kapitalis Internasional. Media-media Indonesia memberitakan pemerintah akan mengerahkan aparat sebanyak 3.000 – 15.000 untuk mengamankan Pemilu di West Papua. Proses pengamanan Pemilu 2019 Indonesia di tanah West Papua juga merupakan bagian dari operasi militer yang akan di lakukan di beberapa tempat terutama di Nduga. Melalui militernya, pemerintah Indonesia terus melakukan kolonisasi, juga dengan cara melakukan pembungkaman, penindasan, penembakan, pemboman, penyisiran, pemerkorsaan, penangkapan, pemenjarahan dan beragam penindasan terhadap rakyat West Papua. Pemerintah Indonesia juga berusaha membungkam pergerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat [TPNPB] dengan menyebut mereka dengan sebutan KKB, KKBS, separatis, dan tak mau mengakui sebagai tentara pembebasan. Perjuangan sipil untuk menuntut Hak Penentuan Nasib sendiri juga diangggap sebagai separatis hingga saat ini; termasuk pembungkaman ruang demokrasi mahasiswa, perempuan, buruh, tani, nelayan, mama-mama pasar Papua dan lain-lain.

Dalam kenyataan sejarah dan keadaan seperti itu, wajar jika rakyat West Papua tak berpusing soal Pemilu maupun Pilpres 2019. Gelaran tersebut hampir mustahil menjadi hal yang penting bagi rakyat West Papua. Sebab, 1) keberadaan Indonesia di wilayah West Papua ilegal, 2) tak ada partai politik yang menyuarakan permasalahan nasional West Papua, dan 3) pelaksanaan Pemilu itu sendiri tak lain hanya untuk melanggengkan praktek-praktek kolonialisme: menjadi alat bagi pemerintahan kolonial untuk menempatkan penguasa-penguasa lokal dalam mengamankan kepentingannya.
Kami dari Mahasiswa Papua Kupang, seperti halnya rakyat West Papua, mustahil membayangkan adanya demokrasi, kesejahteraan, bagi rakyat West Papua jika masih berada dalam cengkeraman kolonialisme Indonesia. Tak ada pesta demokrasi jika rakyat tak memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Untuk itu kami mengambil sikap dan menyatakan bahwa:

1. Tidak mengikuti Pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum 2019
2. Segera tangkap dan adili pelaku pemukulan terhadap massa aksi di malang
3. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua
4. Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, dan yang lainnya, yang Merupakan Dalang Kejahatan Kemanusiaan di atas Tanah Papua.
5. Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi rakyat West Papua
6. Berikan ruang demokrasi dan akses bagi Jurnalis Independent Internasional dan Nasional di West Papua.

Demikian pernyataan sikap ini dibuat, kami akan terus menyuarakan dan melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, pembungkaman,  penindasan dan penghisapan, terhadap Rakyat dan Bangsa West Papua.

Salam Solidaritas ! 
Kupang , 13 April 2019
Mahasiswa Papua Kupang

Photo saat pernyataan sikap di Baca FRI-WP dan AMP, 12 April 2019
Hentikan Tindakan Represif  Dan  Buka Ruang Demokrasi Seluas-Luasnya Di Kota Malang

Front Rakyat Indonesia untuk West Papua [FRI-West Papua] dan Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] melakukan konfrensi pers untuk mengencam tindakan represif terhadap massa aksi pada 07 April 2019 di Kota Malang. Konfrensi pers di lakukan pada Jumat 12 April 2019 di Lantai 3 Gedung YLBHI Jakarta tepat pada pukul 10:00 hingga Pukul 11:00 siang hari dan menyikapinya dalam pernyataan sikap.

Pernyataan Sikap

Kami dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Mengecam dengan tegas pembungkaman ruang demokrasi dan mendesak Polda Jawa Timur untuk menindak tegas oknum aparat Polresta kota Malang dan ormas yang melakukan tindakan represif dan kekerasan pada massa aksi demontrasi damai Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) di Malang dan segera menjamin kebebasan berkumpul, berekpresi dan menyempaikan pendapat di muka umum.

Pada 7 April 2019 di saat Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) melakukan aksi demonstrasi damai di depan Balai Kota Malang dengan menyatakan beberapa pernyataan yakni serukan soal tutup PT. Freeport Indonesia, Golput dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua.

Di saat aksi berlangsung, terjadi tindakan represif oleh aparat polresta Kota Malang dan orang lainnya yang di duga sebagai ormas berupa pembubaran aksi yang disertai dengan tindakan kekerasan berupa pemukulan, tendangan, dorongan, pelemparan dan penyiraman air kopi bercampur cabai rujak kepada massa aksi.

Pembubaran dan pemukulan ini terjadi setelah adanya provokasi dari salah satu anggota Intelkam Polresta Kota Malang bernama Adi Fajar yang mempermasalahkan poster golput yang dibawah oleh massa aksi yang dianggap dapat di proses secara hukum.

Pembubaran dan pemukulan aksi demonstrasi damai juga dilakukan oleh oknum ormas berpakaian sipil yang sebagian menutupi wajah mereka menggunakan penutup wajah, sementara aparat Polresta Malang yang di tempat aksi justru melakukan pembiaran terhadap tindak kekerasan tersebut. Setelah itu massa aksi di paksa untuk naik ke dalam mobil Dalmas dan di dalam mobil Dalmas tersebut dua massa aksi di pukul oleh aparat Polresta berpakaian dinas. Dan beberapa waktu kemudian massa aksi diturunkan di terminal Landung Sari.

Peristiwa pembungkaman ruang demokrasi dan tindakan represif bukan baru kali ini terjadi namun, sudah beberapa kali terjadi disaat massa aksi dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) di Malang melakukan aksi demonstrasi damai.
Aksi demontrasi damai merupakan implementasi dari hak menyampaikan pendapat, berkumpul dan berekspresi yang dimana telah diatur dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3 dan UU Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan berpendapat dimuka umum dan juga UU Nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan konvenan internasional tentang hak sipil dan hak politik.

Sekalipun demikian faktanya aparat Polresta Kota Malang dan ormas berpakaian sipil telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu aparat Polresta Kota Malang yang melakukan tindakan berlebihan juga, melanggar Peraturan Kepala Kepolisian RI (Perkap) No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisiaan.
Oleh karena itu berdasarkan uraian diatas termasuk sejumlah

pelanggaran hukum dan peraturan-peraturan yang ada maka, kami mendesak:

1). Polda Jawa Timur Segera diproses secara hukum dan mengusut tuntas tindak kekerasan dan represif yang dilakukan oleh aparat polresta kota Malang kepada massa aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua. 

2). Polresta kota Malang segera tangkap dan diproses secara hukum oknum ormas yang melakukan tindakan kekerasan

3). Polda Jawa timur segerah melakukan evaluasi kinerja aparat polresta Malang

4). Hentikan segalah bentuk upaya-upaya pembungkaman ruang demokrasi

5). Buka ruang demokrasi seluas-luasnya di kota Malang

6). Hentikan upaya kriminalisasi terhadap aktivis yang berekpresi dan menyampaikan pendapat dimuka umum.

Demikian penyataan sikap kami atas perhatiannya kami menyampaikan terima kasih

Jakarta, 12 April 2019

Photo Saat Aksi demo damai di Kota Ambon, 12 April 2019
Salam Pembebasan Nasional Papua Barat 

Pada hari Jumat, 12 April 2019 Aliansi Mahasiswa Papua [AMP]  Komite Kota Ambon dan PEMBEBASAN Serta Individu Pro Demokrasi melakukan aksi demo dami di Ambon melalui Komite Boikot Pemilu 2019 dan Membacakan Pernyataan Sikap bersama terkait Boikot untuk Pemilu 2019, Represifitas terhadap AMP Komite Kota Malang 07 April 2019, dan beberapa tuntutan Lainnya , yang termasuk Berikan Hak Penentuan Nasib Senidri Bagi Bangsa West Papua.

Pernyataan Sikap

Pemilu 2019 semakin dekat. Rakyat kembali dihadapkan pada pilihan yang tak ada bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya: tak ada yang memiliki program-program yang mampu menjawab tuntutan rakyat atas permasalahan demokrasi dan kesejahteraan, miskin rekam jejak dalam membela kepentingan rakyat. Sama sekali tak ada hal yang baru.

Sejak Pemilu tahun 1999, partisipasi rakyat pemilih terus menurun. Pada tahun 1999, partisipasi rakyat mencapai 92,6%, menurun menjadi 84,1% di Pileg 2004, turun lagi menjadi 78,2% di Pilpres 2004 Putaran I, turun lagi di 76,6% di Pilpres 2004 Putaran II, pada Pilpres 2009 turun lagi di 71,7%, dan mencapai angka 70,9% di Pilpres 2014. Penurunan-penurunan tersebut--meskipun sebagian merupakan andil dari kekacauan administratif penyelenggara--merupakan sinyal bahwa semakin banyak rakyat yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu (golput). Dari tahun ke tahun, ada lebih banyak rakyat yang tak percaya, kecewa, atau bahkan muak terhadap sistem politik di negara ini.

Golput adalah pilihan yang paling masuk akal. Dan itu menjadi sikap kami dalam Pemilu 2019 ini.
Kami menyarankan agar rakyat tidak memilih partai dan calon-calon legislatif yang korup, partai yang menipu rakyat, yang satu barisan dengan para pelanggar HAM, yang anti kebebasan berpikir, berkumpul, berkeyakinan dan berpendapat, yang tidak memecah-belah rakyat dengan memainkan sentimen agama, yang tidak rasis, yang tidak dikendalikan militer, dan yang tidak dekat dengan kepentingan kapital.

Apakah ada yang demikian? Jawabnya: tidak.

Pelibatan militer terus meningkat terutama selama masa pemerintahan Jokowi. Yang terakhir wacana pelibatan militer aktif dalam kementrian negara "sebagai implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI)".

Dalam konteks Pilpres 2019, ada borjuasi dengan kekuatan kapital yang besar serta militer dan sisa-sisa Orde Baru yang terlibat dalam tim pemenangan baik di kubu Jokowi maupun Prabowo. Aburizal Bakrie, Moeldoko, Wiranto, Luhut Binsar Pandjaitan, Ryamizard Ryacudu, Chairul Tanjung, Eric Thohir, Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Riza Chalid, Djoko Santso, Widjojo Seojono, dan lain-lain dan seterusnya. Belum lagi dukungan dari ormas-ormas reaksioner terhadap para calon. Pelibatan militer dan sisa Orde Baru di kedua kubu cukup menunjukkan bahwa siapa pun yang terpilih nanti tak akan ada yang serius mengadang militer dalam berpolitik. Keterlibatan konglomerat juga menjadi tanda akan keberpihakan kedua kubu pada kepentingan borjuasi, bukan pada kepentingan rakyat pekerja.

Deretan hal tersebut memperkuat alasan mengapa kami memilih untuk tidak memilih. Memilih salah satu berarti mendukung masuknya militer dalam kehidupan sipil dan mendukung penindasan sistematis terhadap rakyat pekerja.

Dalam permasalahan HAM, keduanya segendang sepenarian. Diskriminasi dan kriminalisasi kelompok minoritas dan aktivis, penyitaan buku, pembubaran kegiatan terus berjalan sepanjang pemerintahan Jokowi. Juga tak ada kemajuan dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Permasalahan yang terjadi di Papua juga tak bisa dihiraukan. Puluhan-bahkan ratusan ribu rakyat Papua dibunuh, disiksa, ditangkap, diperkosa, dipenjara tanpa ada proses hukum yang jelas.
Deretan hal tersebut memperkuat alasan mengapa kami memilih untuk tidak memilih. Memilih salah satu tak akan menghentikan pelanggaran HAM dan tak akan berdampak positif terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.

“Pesta demokrasi” ala borjuasi ini bukanlah pesta demokrasi untuk rakyat.

Terakhir, memilih untuk tidak memilih hanyalah awal. Selanjutnya adalah menciptakan panggung-panggung tempat rakyat dapat berkumpul, berdiskusi, dan bicara tentang tuntutan-tuntutan mereka sendiri. Persoalan rakyat hanya akan selesai bila rakyat sendiri yang berkumpul bergerak, membangun kekuatan politik alternatif (tanpa melibatkan unsur reaksioner) untuk menciptakan jalan keluar bagi permasalahan-permasalah rakyat.

Dengan ini, Kami Komite Boikot Pemilu 2019 yg di dalamnya tergabung organisasi: Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) kota Ambon dan Individu pro demokrasi menyatakan sikap dan menyerukan:

1. Golput dalam Pemilu 2019.

2. Lawan militerisme.

3. Mengecam Tindakan Aparat Terhadap aktivis FRI-WP dan AMP kota Malang.

4. Tutup PT. FreePort dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua.

5. Bebaskan kawan kami Hisbun Payu (Is).

6. Hentikan Pembungkaman Ruang Demokrasi dan Kriminalisasi Aktivis yang berekspresi yang menyampaikan pendapat di muka umum.

7. Bangun kekuatan politik alternatif.

Hidup Rakyat!

Medan Juang, 12  April    2019

Photo Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Malang
Represifitas: Pemukulan, Rasisisme dan Pembungkaman Ruang Demokrasi oleh Intel, Ormas dan Polisi di Malang Terhadap Massa Aksi AMP MALANG dan FRI_West Papua serta Solidaritas Untuk West Papua

Pembungkaman ruang demokrasi terus terjadi di Malang dari setiap aksi yang di lakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Malang dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua serta solidaritas lain-nya menglami kekerasan represif yang mengakibatkan pemukulan, rasisme, dan penghadangan, perampasan, penyisiran kontrakan asrama Papua maupun pengusiran sampai saat ini masih terjadi . Tepat pada 01 July 2018 pernah juga di represif saat nonton bersama tentang sejarah Papua dalam menyikapi proklamasi negara Papua Barat; itu pun, berakhir dengan intimidasi oleh Intel, Ormas dan Polisi yang hadir di tempat itu sehingga menghadirkan kondisi lingkungan semakin memburuk dan juga, represif seperti ini terjadi juga di setiap komite kota Aliansi Mahasiswa Papua yang ada di Indonesia.

Mengkondisikan bahwa esensinya pembungkaman oleh apratus negara dan Organisasi Masyarakat yang mempunyai  dalil pembungkaman ruang demokrasi, yang sebenarnya di buka luas sesuai UU RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 14 dan UU No.9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum; telah menjamin kode etik kebebasan berpendapat dan berekspresi di muka umum secara terbuka. Kasus pembungkaman yang terus menerus terjadi di tingkatan mahasiswa Papua merupakan system Indonesia yang terus menutupi setiap aspirasi, yang sebenarnya untuk memberikan pendapat tentang kondisi Papua saat ini. Namun, saat ini negara mengunakan aparatus militer sebagai alat system yang membungkam  setiap hak berpendapat di muka umum dan peraga-peraganya militer saling membekap untuk meredam tuntutan mahasiswa Papua hingga rakyat.  Aliansi Mahasiswa Papua melihat bahwa salah satu pembungkaman terbesar adalah militer dan system pemerintahan yang sewenang-wenangnya tidak mematuhi aturan UU dasar Negara sehingga ketidakberesan itulah terjadi seperti dekriminasi rasial, intimidasi di mana-mana serta negara dan militernya menimbulkan pembohongan publik yang meluas.

Melihat dari kasus tersebut  pada Minggu, 07 April 2019, Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Malang dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua serta solidaritas yang bersamaan, Melakukan aksi turun jalan dengan isu ‘Tutup Freeport, Golput Pemilu 2019 dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua Sebagai Solusi Demoktratis". Menyikapi isu tersebut setiap Komite Kota lainnya juga melakukan aksi.

Aksi Massa yang hadir sebanyak 28 orang dengan di titik kumpul Lampu Merah Bank BCA , kemudian di lanjutkan dengan Long March (Jalan Santai) hingga pada titik aksi di Kantor Balai Kota Malang.  Surat pemberitahuan sudah di masukan tiga hari sebelum aksi turun jalan di kepolisian malang.  Namun, terjadi represif yang berlebihan dari Intel, Ormas dan Pihak Kepolisian terhadap massa aksi. Selama Aksi tersebut pihak polisi mengunakan Dalmas dua unit mobil besar dan Dalmas 2 Unit mobil kecil serta beberapa intel kendraan roda dua. Maupun Jumlah anggota Intel, Polisi dan Ormas melebihi dari massa aksi sehingga repersifnya sangat masif.

Ini adalah kronologi saat aksi berlangsung hingga akhir:

Pukul 13. 40 Beberapa  massa aksi yangg menuju ke Titik kumpul di hadang oleh seorang Polisi
Pukul 14.00 Massa Aksi berkumpul di lampu merah Bank BCA dan melakukan long march ke Balaikota
Pukul 14. 20 Sepanjng jalan menuju Balaikota Massa sudah diikuti oleh beberapa mobil Polisi dan Dalmas
Pukul 14.30 Massa aksi sampai di Kantor Balaikota
Pukul 14.30 Massa aksi mulai melakukan orasi
Pukul 14.45 Massa Aksi mulai di profokator oleh intelkam yang namanya Adi Fajar
Pukul 14.45 Saat, saling profokator Intelkam mengungkapkan bahwa poster Golput bisa ditindak sebagai kriminalisasi sehingga mengancam kawan Fardhan
Pukul 14.46 Sejumlah intel berpakaian preman datang dengan wajah ditutup dan bersamaan Ormas
Pukul 14.48 Massa Aksi di keluarkan dari tali komando dan didorong ke pagar Kantor Balaikota oleh Ormas dan beberapa intel berpakaian Preman . Numun, Polisi hanya diam dan tidak mengambil keputusan dan Polisi juga Melakukan represif.
Pukul 14.50 Oknum intelkam yang bernama  Adi Fajar berusaha menarik kawan dari Indonesia yang tergabung dalam massa aksi
Pukul 14.50 Ormas bayaran dan intel berpakaian Preman mulai rasis dan Anarksi tindakn-nya yang di lakukan dengan cara memaki, memukul , tendang , dorong , melempar sendal dan helm serta melempar air kopi Campur cabai rujak dan air.  Dan karena repersif oleh Intel, Ormas dan Polisi sehingga terjadi kelukaan.
Pukul 15.05 Massa Aksi dipaksa naikan ke mobil Dalmas
Pukul 15.15 Massa Aksi mulai naik ke dalam mobil
Pukul  15.17 Massa Aksi mulai dibawah menggunakan Dalmas
Pukul 15.22 Dalmas yang mengangkut massa aksi berhenti di lampu merah Sengkaling
Pukul 15. 25 Dalmas tersebut putar balik arah dan mulai jalan
Pukul 15. 31 Massa Aksi  diturunkan di terminal Landungsari menuju ke rumah.

Represif yang di lakukan menimbulkan pemukulan terhadap massa aksi, korban pemukulan satu orang gigi patah, empat orang berdarah, depalapan  orang di pukul sekitar badan, satu orang luka memar dimuka ,  satu  orang berdarah dikepala . Dan ini adalah nama-nama yang terjadi korban kekersan represif:

1. Cimeng Umur :21. Luka bibir bawah picah,  samping dagu,  leher kepala,  didekat telingah, pergelangan tangan luka (Kawan SMART) 
2. Najib,  umur 22. Kepala darah kena. (SMART) 
3. Yesaya Umur 22. Luka hidung dalam picah,  bibir dalam picah,  testa samping alis darah. (AMP Malang)
4. Melky. umur,  22, gigi depan  patah,  pipi bengkak. (AMP malang) 
5. Ida, Umur 21. Leher tercekik dengan benderah. (AMP Malang) 
6. Anita,  Umur 19, luka kepala belakang memar pergelangan  tangan lecet. (AMP Malang) 
7. Lince, Umur 20. Kepala darah (AMP)
8. Sukur,  Umur 22. Ibu jari diinjak berdarah
9.  Sebagian dipukul dan ditendang namun tidak ada luka atau memar

Dengan Repersif oleh Intel, Preman yang di bayar oleh Polisi, Ormas dan Polisi yang sangat repersif masif terhadap Massa Aksi Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota malang dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua serta Solidaritas lainnya untuk West Papua pada 07 April 2019.
Dari tahun-ketahun negara selalu mempunyai kondisi buruk bagi mahasiswa Papua Maupun Rakyat Papua dalam melakukan demontrasi damai, apa lagi militer Indonesia yang masih belum mempunyai tahapan mengayomi rakyatnya ; Ada beragam kasus yang di langgar oleh Militer dan system Negara dalam pembungkaman ruang demokrasi seperti mahasiswa Papua yang melakuan aksi demo damai sebagai wadah kritisme positif dan mengemukakan pikiran yang idealisme untuk demokratis yang benar dan jujur ,tetapi  militer dan negara membungkam dan melakukan represifitas masif yang sangat tidak mengntungkan atau memajukan secara  kondisi yang absurb.  Sehingga Aliansi Mahasiswa Papua menyatakan sikap atas repersif, kriminlaisasi, pemukulan, tendangan dan pembungkaman ruang demokrasi  yang terjadi di Malang Bahwa:

1. Segera tangkap dan adili pelaku pemukulan terhadap massa aksi di malang
2. Polisi, Ormas, dan Intel seharusnya sebagai Pihak keamanan menjamin kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat sesuai UU. 
3. Segera Bertanggung jawab kepolisian Malang atas Kriminalisasi, repersifitas  terhadap Mahasiswa Papua yang  melakukan demonstrasi di Malang. 
4. Negara dan Presiden Jokowi/Jk Segara adili Pelaku pemukulan yang mengakibatkan korban.
5. Buka akses Seluas luas-nya untuk Mahasiswa Papua dan Rakyat dalam melakukan demonstrasi damai, berdiskusi,  mengemukakan pendapat, dialog dan lain-lain  di Malang serta sekitarnya. 

KP-Aliansi Mahasiswa Papua [KP-AMP]

Photo-Photo Korban












Photo-Photo saat dalam mobil Dalmas Polisi













Aksi Bersama 
Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua 
        [FRI-WP] _____________________________________________________________________________

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!

TUTUP FREEPORT, GOLPUT PEMILU 2019 DAN BERIKAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI SEBAGAI SOLUSI DEMOKRATIS BAGI BANGSA WEST PAPUA

Salam Solidaritas!

Freeport Indonesia telah lama menjadi malapetaka bagi bangsa West Papua. Kehadiran Freeport-McMoRan di tanah West Papua tak bisa dipisahkan dengan kehadiran pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan kerusakan lingkungan di tanah West Papua. Pemerintah kolonial Indonesia juga ikut andil dalam malapetaka yang diderita bangsa West Papua.

Freeport Indonesia yang beroperasi sejak 1967 (52 tahun) merupakan wujud nyata dari imperialisme, untuk melipatgandakan keuntungan kapitalis Internasional dengan mengeksploitasi sumber daya alam di West Papua. Dalam sejarahnya, demi pengamanan proses penanaman modal, operasi-operasi militer Indonesia digelar di tanah West Papua. Setelah Operasi Trikora pada 19 Desember 1961, ada beragam operasi militer seperti Operasi Banten Kedaton, OperasiPenyisiran, Operasi Koteka, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Jayawijaya, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu, Operasi Sadar. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Force, Operasi Cakra, Operasi Wisnumurti, Operasi Brathayudha, Operasi Wibawa, , Operasi Garuda dan Operasi Lumba-lumba, Operasi Mapiduma, Operasi Penangnan Pepera, Operasi Koteka, Operasi Senyum, Operasi Gagak, Operasi Kasuari,  dan Operasi Khusus. Nyaris semuanya dilakukan demi penguasaan wilayah West Papua. Demi kenyamanan dan keamanan proses penanaman modal belaka, serta kolonisasi West Papua.

Pada tahun 2000, ELSHAM Papua membuat laporan tentang kekerasan aparat keamanan yang terjadi di berbagai wilayah di West Papua. Di Paniai, tercatat 614 orang meninggal, 13 orang hilang, 94 orang diperkosa. Di Biak, 102 orang meninggal, 3 orang hilang, 37 orang dianiaya, 150 orang ditahan. Di Wamena, 475 orang meninggal. Di Sorong, 60 orang meninggal, 5 orang hilang, dan 7 orang korban pemerkosaan. Di Jayawijaya, 137 orang meninggal, 2 orang hilang, 10 orang menjadi korban pemerkosaan, 3 orang menjadi korban penganiayaan. Belum lagi pembakaran rumah ibadah, kampung, rumah, alat-alat adat istihadat. Itu pun belum termasuk wilayah-wilayah lainnya, yang belum terdata dengan baik mulai dari 01 Mei 1963 Rakyat West Papua di aneksasi hingga saat ini.

Selain terhadap kekerasan terhadap kemanusiaan, Freeport Indonesia juga berperan besar pada kerusakan alam West Papua. Puluhan ribu ha hutan telah diubah menjadi hutan mati. Peluapan sungai akibat endapan limbah yang masuk dalam kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya). Limbah tailing yang dibuang ke Sungai Ajkwa, salah satu sungai di antara lima sungai lain di Mimika. Masih ada sungai-sungai lain seperti Sungai Aghawagon, Sungai Otomona, Sungai Minjerwi, Sungai Aimoe, dan Sungai Tipuka. Freeport Indonesia telah mengkontaminasi perairan dengan cairan asam berbahaya bagi kehidupan akuatik dan terancam bagi rakyat setempat.

Freeport Indonesia, imperialisme Amerika Serikat dan kolonialisme serta militerisme Indonesia di West Papua merupakan kesatuan yang berperan besar terhadap rangkaian penindasan yang tersistematis di West Papua. Negara digunakan sebagai alat kelompok pemodal yang sedang berkuasa untuk melegalkan penindasan di bumi Papua. Kontrak karya pertama PT Freeport dan Indonesia dilakukan pada tahun 1967, sementara Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dilakukan pada tahun 1969, itu pun dengan praktik yang manipulatif serta tidak demokratis. Ini merupakan sebuah cerminan dari kolaborasi antara kapitalisme, kolonialisme dan militerisme yang diaplikasikan melalui praktik politik penggabungan paksa (aneksasi) West Papua ke dalam bingkai Republik Indonesia tanpa memberikan kebebasan bagi Rakyat West Papua untuk menentukan nasib sendiri.

Apa lagi Pemilu 2019 Indonesia, terus agenda kolonisasi untuk melakukan ekonomi politiknya ke kancah Internasional dalam menjual tanah West Papua tanpa melihat rakyat asli West Papua dan beberapa kali, Indonesia telah melakukan Pemilu sejak Orde baru hingga saat ini.

Kondisi hari ini, Pemilu 2019 kolonial Indonesia akan dilakukan di seluruh daerah secara serentak pada 17 April 2019 mendatang, yang mana adalah salah satu agenda kolonial di tanah West Papua untuk membungkam proses perjuangan gerakan rakyat West Papua dalam perjuangan kemerdekaan, serta meloloskan agenda kolonial dan kapitalis Internasional menyangkut Freeport. Media-media Indonesia memberitakan pemerintah akan mengerahkan aparat sebanyak 3.000 – 15.000 untuk mengamankan Pemilu di West Papua. Proses pengamanan Pemilu 2019 Indonesia di tanah West Papua juga merupakan bagian dari operasi militer yang akan di lakukan di beberapa tempat terutama di Nduga. Melalui militernya, pemerintah Indonesia terus melakukan kolonisasi, juga dengan cara melakukan pembungkaman, penindasan, penembakan, pemboman, penyisiran, pemerkorsaan, penangkapan, pemenjarahan dan beragam penindasan terhadap rakyat West Papua. Pemerintah Indonesia juga berusaha membungkam pergerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat [TPNPB] dengan menyebut mereka dengan sebutan KKB, KKBS, separatis, dan tak mau mengakui sebagai tentara pembebasan. Perjuangan sipil untuk menuntut Hak Penentuan Nasib sendiri juga diangggap sebagai separatis hingga saat ini; termasuk pembungkaman ruang demokrasi mahasiswa, perempuan, buruh, tani, nelayan, mama-mama pasar Papua dan lain-lain.

Keberadaan Freeport dan Pemilu 2019 kolonial Indonesia tidak membawa apa pun bagi rakyat West Papua kecuali petaka.

Maka dari itu, kami Front Rakyat Indonesia untuk West Papua [FRI-West Papua], bersama Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menuntut serta mengambil sikap dan menyatakan sikap:
1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Solusi Demokratik Bagi Bangsa West Papua
2. Tidak mengikuti Pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum 2019
3. Hentikan Pemilu 2019 seluruh Tanah West Papua
4. Usir dan Tutup Freeport
5. Audit kekayaan freeport serta berikan pesagon untuk buruh
6. Audit cadangan tambang dan kerusakan lingkungan
7. Tarik TNI-Polri organik dan non-organik dari tanah West Papua
8. Hentikan rekayasa konflik seluruh tanah West Papua
9. Buka Akses jurnalis dan Informasi untuk West Papua
10. Usut, tangkap, adili dan penjarakan pelanggaran HAM selama keberadaan Freeport  Mc Moran di West Papua

Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!
Medan Juang, 06 April  2019

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats