Halloween party ideas 2015


Setelah DPR melakukan rapat paripurna dengan Menteri dalam negri dan menkopulhukam pada 12 July 2021 melakukan pemaksaan paksa untuk pengesahan UU Otsus. Sebelum itu, Mafud MD telah komentar banyak terkait West Papua, Silahkan nonton kebohongan negara dalam narasi Mafud MD. Baca juga di : https://korankejora.blogspot.com  @Koran Kejora   @YouTube Creators   @WhitePapuans   @Black Lives Matter   @Free West Papua Campaign  #PapuaMerdeka #FreeWestPapua #MafudMD #KolonialIndonesia

Design Ilst.Koran Kejora
Oleh: Musell Safkaur*

Niccolo Machiavelli menuliskan dalam bukunya yang termasyur “The Prince” bahwa pemindahan penduduk adalah salah satu cara untuk mengontrol sebuah wilayah. Cara ini dinilai lebih efektif ketimbang mengirimkan pasukan untuk menjaga wilayah koloni.

Teori Machiavelli sangat tepat menggambarkan kesulitan orang-orang Belanda menjamah tanah Papua Barat sejak paruh kedua abad ke-19. Pemerintah Kolonial tidak memiliki cukup dana untuk melakukan ekspansi ke ujung Timur Nusantara, kendati mendapat tekanan agar segera menperluas daerah jajahan. Guna mengatasi hal tersebut maka dimulailah program kolonialisasi dengan memindahkan penduduk dari Jawa pusat kolonial,ke Papua Barat (Tirto.id “Sejarah Transmigrasi Orang Jawa Ke Papua’ 22/08/2019).

Setelah Indonesia berhasil mengambil paksa (anekisasi) Papua Barat ke dalam  pangkuannya, warisan yang sama mulai dipraktekkan. Berselimut “memeratakan pembangunan,meningkatkan kesejahteraan dan mengukuhkan persatuan”. Penduduk dari luar dikirim secara gila-gilaan ke tanah Papua Barat.
Semenjak 1962 hingga hari ini belum ada data yang akurat tentang jumlah penduduk asli Papua Barat,yang disebutkan dari dulu hanya 1,5 juta jiwa. Tidak pernah ada sensus yang sungguh-sunguh oleh pemerintah Indonesia untuk mendata penduduk asli Papua Barat. Sementara lembaga-lembaga asing mempunyai data penelitian  yang sangat memprihatinkan masa depan penduduk asli Papua Barat diatas negeri mereka.

Data terbaru  Jim Elmslie dalam tulisan berjudul; West Papuan Demographic Transition and the Indonesian cencus:”Slow Motion Genocide” or not? For Comprehending West Papua Conferense,Sydney Universty,Februarary 23-24 2011 mengemukakan hasil penelitiannya sebagai berikut:

Tahun 1971, penduduk asli Papua Barat 887.000 orang. Pendatang 36.000 orang. Total penduduk  923.000;dalam presentase Papua Barat 96% dan pendatang 4%.

Tahun 1990, penduduk asli Papua Barat 1.215.897 dan pendatang 414.210. Total penduduk 1.630.107. presentase 75% penduduk asli Papua Barat dan 25% pendatang.

Tahun 2005,penduduk asli Papua Barat 1.558.795 dan pendatang 1.087.694. Total 2.646.489. presntase 59% penduduk asli Papua Barat dan 41% pendatang.

Tahun 2011,penduduk asli Papua Barat 1.700.000 dan pendatang 1.980.000. Total 3.680.000. Presentase 47% penduduk asli Papua Barat dan pendatang 55%.

Tahun 2020,penduduk asli Papua Barat 1.956.400 dan pendatang 4.743.600. Total 6.700.000. presentase 29,2% penduduk asli PapuaBarat  dan 70,8% pendatang.

2030,penduduk asli Papua Barat 2.371.200 dan pendatang 13.228.800. Total 15.600.000. presentase 15,2% penduduk asli Papua Barat dan pendatang mencapai 84.80%.

Cypri J.P Dale & Jhon Jonga melaporkan “berdasarkan data BPS,Penduduk kabupaten Keerom tahun 2010 berjumlah 48.536 jiwa,terdiri dari 26.532 laki-laki dan 22.004 perempuan. Dari jumlah tersebut,penduduk asli Papua sebanyak 19.628 jiwa atau 40,44% dan non Papua sebanyak 28.908 jiwa atau 59,56%. Dari jumlah tersebut, jumlah rumah tangga dikabupaten ini adalah 11.280 rumah tangga yang terdiri dari 4.180 RT Papua dan 7.100 RT non Papua”.

Lebih jauh, Didimus Warere ketua dewan adat Skamto,Arso mengemukakan bahwa 5 suku dikabupaten tersebut telah punah yakni suku Yaper,suku Bagi,suku Tu, suku Totar dan suku Tagusom (Republika.co.id  28/08/2019)

Kembali menguntip catatan Cypri J.P Dale, Akibat dari proses transmigrasi resmi dan migrasi spontan, kompisisi penduduk Papua Barat  dan non Papua Barat berubah dari 96:4 menjadi 49:51 pada tahun 2010. Sementara tingkat pertumbuhan penduduk asli Papua Barat  hanya 1,84%, tingkat pertumbuhan 10,82%, yang menyebabkan orang Papua Barat dalam 3 dekade saja menjadi minoritas diatas tanah sendiri. Dari 3.612.854 total penduduk Papua Barat pada 2010,orang asli Papua Barat terdiri dari 1.760.557 atau 48.73%

Berdasarkan angka pertumbuhan seperti itu, diproyeksikan bahwa pada tahun 2020,orang asli Papua Barat akan menjadi hanya 29,2% dari penduduk Papua Barat dan dari tahun ke tahun presentasi ini akan menjadi kecil. (Socrates Sofyan Yoman “apakah Indonesia Menduduki & Menjajah Papua?” Hal:83-84).


Dari beberapa catatan atau laporan diatas, program transmigrasi orang Jawa,Madura,Sulawesi dll ke Papua Barat bisa kita simpulkan bahwa hanya untuk melanggengkan kejahatan kemanusiaan  karena sedang menghilangkan salah satu bangsa dimuka bumi ini.

Ilustrasi gambar sistim piramida

Oleh: Clara Matuan

Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, di mana lebih banyak orang berada ditingkat bawah daripada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya sipil maupun militer. Sistem birokrasi itu sendiri adalah sistem pemerintahan negara yang sedang kita alami saat ini. Sistem birokrasi yang dipakai oleh Indonesia saat ini adalah sistem birokrasi yang diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada saat zaman penjajahan dulu. Sistem birokrasi ini diambil dari sistem negara modern yang dicetuskan oleh Napoleon (Revolusi Prancis) lalu diambil oleh Gubernur Jendral H.W.Daendels (1808-1811) untuk menyusun pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sistem birokrasi (saat ini) atau sistem negara modern Napoleon (saat itu) adalah  negara modern yang pertama didunia dimana para pejabat disusun menurut hierarki dan digaji sehingga atas dasar prinsip-prinsip pemisahan kepentingan pribadi atau jabatan. 

Indonesia pada waktu itu belum mengenal sistem birokrasi ini, Indonesia hanya memiliki Pangreh Praja atau Penguasa Tradisional/Pejabat Daerah, yaitu para raja-raja kerajaan, patih, beserta jajrannya sampai pada saat VOC (Kolonial Belanda) masuk ke Indonesia, menjajah Indonesia dan akhirnya membentuk sistem birokrasi ini. Prangeh Praja Indonesia pada saat itu bekerja untuk kepentingan masyarakat yang berada dibawah pimpinannya. Para Prangeh Praja ini mengutamakan kesamaan hingga masuknya sistem birokrasi atau sistem negara modern inilah yang mengubah tatanan politik dan sistem kerja Pangreh Praja. 

Sistem birokrasi ini dibentuk oleh Belanda untuk menjalankan kepenguasaannya atau penjajahan di Indonesia. Jarak Belanda dan Indonesia yang cukup jauh tidak memungkinkan terjadinya pemeritahan secara langsung, untuk itu Pemerintah Belanda membentuk sistem birokrasi ini agar memiliki ‘kaki tangan’ untuk membantu menjalankan kepenguasaannya. Pemerintah sipil pribumi merupakan penghubung yang efektif antara rakyat pada umumnya dengan Pemerintah Belanda. Maka dari itu, Belanda mulai membangun kerjasama dengan Pangreh Praja Indonesia. Belanda yang menganggap dirinya penakluk pada saat itu menganggap dirinya memiliki kekuasaan feodal atas daerah yang ditaklukkannya. Dengan membangun stigma-stigms tersebut, para Pangreh Praja mulai dipengaruhi untuk bekerja sama dengan mereka melalui perjanjian-perjanjian yang nantinya akan menguntungkan Pangreh Praja. Dan inilah awal mula munculnya elite-elite birokrasi.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada masyarakat Papua. Sebelum proses aneksasi Papua pada 1 Mei 1963 menjadi bagian dari NKRI, Pemerintah Indonesia yang berkuasa pada saat itu sudah mempengaruhi para Pangreh Praja atau Pejabat Dareha Papua saat itu yang tidak lain adalah kepala suka dan tokoh-tokoh adat Papua. Mereka mempengaruhi dengan janji-janji manis maupun menggunakan tekanan, teror dan intimidasi. Hal ini bertujuan agar para kepala suka atau tokoh-tokoh adat ini mau bekerja sama dan mengajak masyarakatnya untuk bergabung dengan NKRI. Yang berbeda disini Pemerintah Indonesia juga menggunakan kekerasan agar rakyat Papua mau bergabung dengan Indonesia. Ini merupakan suatu pemaksaan karena rakyat Papua merasa bukan bagian dari Indonesia, rakyat Papua telah deklarasikan kemerdekaan pada 1 Desember 1961 dan telah menjadi bangsa yang berdaulat. Setelah proses integrasi secara paksa inilah, baru Pemerintah Indonesia mulai membentuk ‘kaki tangan’nya di Papua guna menjalankan kekuasaannnya. 

Hingga saat ini dapat dikatakan bahwa sistem birokrasi yang digunakan di Papua adalah warisan Kolonial Belanda pada Indonesia dan diwariskan lagi pada Pemerintahan Papua. 

Karena kesadaran rakyat Papua akan sejarah bangsanya yang menyatakan bahwa Papua bukan bagian dari Indonesia membuat rakyat Papua menuntut hak politiknya, yaitu meminta kemerdekaan. Rakyat Papua sadar bahwa PEPERA tahun 1969 adalah tidak sah dan cacat dimata hukum, atas dasar hal inilah yang membuat rakyat Papua gencar menuntut hak kemerdekaannya. 

Untuk mendiamkan suara rakyat Papua, maka Pemerintah Indonesia memberikan Otonomi Khusus kepada Papua dan dijalankan oleh Pemerintah Daerah Papua yang tidak lain adalah Pangreh Praja. Para Pangreh Praja telah terjebak dan terpaku pada sistem birokrasi buatan Belanda yang sedang dijalankan Indonesia saat ini. Pangreh Praja Papua tidak mampu melawan kebijakan Pemerintah Indonesia karena mereka sendiri merupakan ‘kaki tangan’ Pemerintah yang harus tunduk dan taat pada Pemerintah. Jika mereka melawan jabatan, kekuasaan bahkan nyawa mereka sendiri terancam. Disisi lain, ada juga Pangreh Praja Papua yang sudah terbuai dengan janji manis Pemerintah Indonesia sehingga mau menjadi kaki tangan yang setia tanpa melihat penderitaan rakyatnya sendiri. 
Otonomi Khusus merupakan perjanjian manis yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia agar rakyat Papua tetap setia pada NKRI. Otsus merupakan permen manis agar membungkam suara rakyat Papua. Setelah Otsus diberikan atas nama rakyat Papua, dampak dari Otsus tersebut tidak pernah nyata bagi masyarakat Papua. Kesenjangan sosial terjadi disetiap aspeknya, politik, ekonomi, sosial-budaya, kesehatan dan pendidikan. Hal ini telah menunjukan bahwa yang diinginkan rakyat Papua bukanlah bualan janji manis Pemerintah tetapi rakyat meminta hak politiknya dikembalikan. Namun disisi lain ada beberapa para Pangreh Praja yang tetap ngotot mempertahankan Otsus ini, dengan kata lain tetap menjalankan sistem birokrasi yang menyengsarakan rakyat Papua. 

Sistem birokrasi ini juga sangat melemahkan rakyat kecil, tidak hanya di Papua tetapi juga Indonesia karena sistem birokrasi ini menjalankan sistem kapitalisme. Dengan bentuk sistem birokrasi seperti ini, setiap masyarakat harus bekerja untuk para pemimpinnya. Masyarakat harus bekerja kepada para penguasa atau Pangreh Praja yang memiliki sumber-sumber produksi untuk dapat hidup. 

Oleh karena itu, sistem birokrasi seperti ini harus dihapuskan dari dalam tatanan kehidupan masyarakat agar tidak menyengsarakan rakyat. Pemerintah Indonesia harus berani mengambil langkah dan keluar dari zona nyaman demi rakyat. Sistem Pemerintahan Indonesia hendaknya kembali pada sistem semula, dimana para Pangreh Praja atau Penguasa bekerja demi rakyat yang hidup dibawah pimpinannya agar hidup adil dan sejahtera. Lalu untuk Papua, Pemerintah Indonesia harus memberikan hak politik yaitu hak menentukan hasib sendiri bagi bangsa West Papua. 

Bumi Arema, 11 April 2020

Penulis adalah pelajar SMA di Jawa.

Logo. Bendera AMP

Negara Bertanggung Jawab Atas Tentara Indonesia Menembak Mati 2 Warga Sipil di Intan Jaya 
Aliansi Mahasiswa Papua

Pernyataan Sikap

Aparat Indonesia telah menembak mati dua warga sipil di Kab. Intan Jaya, Papua pada 18 Februari 2020. Selain dua warga ditembak mati di dalam rumah, Dua orang perempuan lainnya mengalami luka tembak.

Suarapapua.com memberitakan peristiwa penembakan tersebut awalnya aparat Tentara Indonesia melakukan pemeriksaan di setiap rumah warga sambil melepaskan bunyi-bunyi tembakan sepanjang Kampung Galunggama, Distrik Sugapa, di mulai sejak pukul 03:00 subuh hingga pukul 09:00 waktu Papua.

Dua warga yang meninggal adalah Kayus Sani (51) dan Melkias Tipagau (11), siswa kelas VI SD YPPK Bilogai dan dua orang korban luka tembak adalah Elpina Sani, ibu kandung dari Melkias Tipagau dan Martina Sani (12), juga siswa kelas VI SD YPPK Bilogai. Martina Sani telah diterbang ke Timika untuk keluarkan proyektil yang masih bersarang di dalam tubuhnya. Sedangkan Ibu Elpina dirawat di Intan Jaya. Kepada suarapapua.com, Kepala Sekolah SD YPPK Bilogai, Stefanus Sondegau menjelaskan Melkias Tipagai dan Martina Sani tercatat sebagai siswa SD YPPK Bilogai.

Peristiwa di atas merupakan lanjutan Operasi Militer di Intan Jaya yang telah berlangsung sejak Bulan Desember 2019, sejak terjadi baku tembak antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dan Aparat Militer Indonesia di sejumlah Kampung: Kampung Kulapa (Distrik Hitadipa), Kampung Ndugusiga (Distrik Sugapa), Kampung Bulapa (DisSugapa), Kampung Ugimba (Distrik Ugimba).

Pasca itu rezim Indonesia juga melancarkan pengiriman dan pembangunan pos-pos militer di Intan Jaya. Ketua I Anggota DPR Kab. Intan Jaya membenarkan adanya pendropan militer di tanggal 18 dan 20 Januari 2020 di Bandara Pogapa, Homeo. Akibatnya, terhitung sejak tanggal 25 Desember 2019, masyarakat dari Kampung Ndugusiga (distrik Sugapa) mulai mengungsi ke Kampung Mamba, Yokatapa, Bilogai, dan Nabire karena kehadiran TNI dan akibat patroli yang dilakukan membuat masyarakat takut, terterror, dan terintimidasi bahkan silit/sangat hati-hati keluar rumah pada siang juga malam hari.

Kontak senjata kembali terjadi pada 26 Januari 2020 di Kampung Mamba (Distrik Sugapa), berdekatan dengan Kampung Galunggama, menewaskan satu orang pria yang sampai saat ini belum teridentifikasi identitasnya akibat peluru mengenai wajahnya. Korban luka tembak lainnya adalah  satu anak usia delapan tahun tertembak peluru nyasar di rusuk bagian kanan, dan Kayus Sani (51) tertembak di Kaki saat berada di depan Halaman Gereja, kini Kayus Sani telah ditembak mati di rumahnya pada 18 Februari, kemarin.

Berdasarkan rentetan operasi militer di Intan Jaya, Aliansi Mahasiswa Papua melihat:

Pertama, bahwa dua warga sipil yang ditembak mati merupakan kejahatan HAM. Peristiwa ini merupakan pelanggaran HAM atas menyalahgunakan senjata api oleh aparat Negara secara tidak professional hingga menewaskan warga sipil, bukan anggota TPN PB.

Kedua, Aparat Negara masih melakukan operasi-operasi militer, melakukan penembakan dan pemeriksaan (entah apa yang diperiksa di rumah warga (?)) di wilayah/kampong yang sesungguhnya bukan markas/daerah yang dihuni pasukan TPN PB. Bahkan telah dikatakan pihak TPN PB bahwa anggota TPN PB tidak berada di kampung Galunggama, daerah terjadi peristiwa penembakan tersebut di tanggal itu, bahkan tidak melakukan penyerangan/kontak senjata dengan TNI.

Ketiga, Negara melalui Kepala Penerangan Kodam XVII/Cendrawasih, Kolonel Cpl Eko Daryanto sedang melakukan pembohongan publik terkait identitas Korban siswa SD kelas VI dan satu pria (51) tersebut. Pembohongan itu diliris melalui siaran pers tertanggal 19 Februari 2020, pihak Kodam Cendrawasih mengatakan Melkianus Tipagau adalah anggota TPN PB yang ditembak mati. Sementara hasil verifikasi jurnalis suarapapua.com menjelaskan bahwa Kepala Sekolah SD YPPK Bilogai, Stefanus Sondegau membenarkan Melkianus Tipagau (11) tercatat siswa kelas VI SD YPPK Bilogai.

Ke empat, Operasi militer di Intan Jaya merupakan bagian dari operasi-operasi militeristik sebelumnya. 45 ribu warga Nduga belum pulih dan masih tersebar di titik-titik pengungsian. Mereka mengungsi akibat operasi militer di Nduga yang dimulai sejak 2 Desember 2018. Begitu juga di Puncak Jaya pada pertengahan 2019; pengiriman militer besar-besaran pasca rasisme di Surabaya pada 17 Agustus 2019; pembungkaman ruang demokrasi dengan moncong senjata; dan penangkapan aktivis anti rasisme yang tersebar di penjara-penjara di Papua, Kalimantan dan Jakarta.

Berdasarkan fakta sejarah operasi militeristik telah menjadi satu pola keberadaan NKRI di Papua. Militeristik adalah wajah NKRI di Papua. Tercatat 500 ribu juta jiwa telah meninggal di tangan moncong senjata dalam Operasi-operasi militeristik yang dilancarkan sejak 1963 hingga 2014. Diatas jumlah populasi Papua yang semakin minoritas di tanah Papua, sampai saat ini operasi militer terus dilakukan. Bahwa salah satu keran Genosida etnis Papua adalah operasi militeristik.

Maka, berdasarkan fakta-fakta diatas, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menyatakan:

1. Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas tindakan Tentara Indonesia telah menembak mati satu Siswa SD Kelas VI atas nama Melkianus Tipagai (11) dan Kayus Sani (51) dan dua perempuan Papua korban luka tertembak. 

2. Mendesak Komnas HAM membentuk tim Independen guna menyelidiki penembakan di Intan Jaya.

3.  Buka seluas-luasnya akses jurnalis Internasional dan Nasional serta pemantau HAM Internasional ke tanah Papua.

4. Kodam XVII/Cendrawasih hentikan membuat opini pembohongan terkait warga sipil yang ditembak mati di Intan Jaya.

5. Segera hentikan seluruh rangkaian operasi militer di Intan Jaya.

6. Segera tarik semua militer organic dan non organic dari seluruh tanah Papua.

7. Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri untuk rakyat bangsa Papua sebagai solusi paling demokratis.

Demikian pernyataan ini dibuat, atas pantauan dan solidaritas dari setiap kalangan, AMP ucapkan hormat diberi.

Salam kemanusiaan!

 Medan Juang, 20 Febluari 2020

Komite Pusat
Aliansi Mahasiswa Papua

KJ. Prjock Picture
Penulis, Oskar Gie**

 "REFLEKSI 1 TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN DI NDUGA - PAPUA"
 Persoalan Ndugama dan Ruang Hidup (2 Desember 2018 - 2 Desember 2019)

Awal mulanya pada tanggal 02 Desember 2018, telah terjadi Kontak senjata antara TNI-POLRI dan TPN-PB di Nduga Papua yang mengakibatkan terbunuhnya para pekerja Istaka Karya 19 orang, dengan status jelas adalah aparat TNI-POLRI. Kejadian ini pula mengakibatkan operasi Militer Indonesia besar-besaran di Nduga, baik itu terror, intimidasi, penembakan brutal, pengeboman lewat udara, pembakaran Honai (rumah warga) dimana-mana, pembakaran fasilitas umum, penghancuran rumah dan kantor-kantor (bangunan kantor distrik, puskesmas, gereja, sekolah dan rumah-rumah guru).

 Operasi sadar yang dilakukan oleh Aparat TNI-POLRI ini menimbulkan Tragedi  Kemanusiaan di Nduga, yang terus terjadi sampai saat ini tepat 1 tahun (2 Desember 2018 - 02 Desember 2019) masyarakat Nduga mengungsi lebih dari 12 distrik yang sudah tak berpenghuni lagi. Jumlah pengungsian-nya pun sudah melebihi 45 ribu orang. Mereka mengungsi ke gunung-gunung yang dikelilingi oleh hutan belantara, ada juga yang mengungsi ke Kabupaten Wamena, Puncak Papua, dan Timika.

Dari pengungsian tersebut, telah mengakibatkan nasib 700-An lebih Pelajar SD – SMU Nduga terbengkalai dan tidak dapat menerima pendidikan dengan baik sampai hari ini. Belum lagi seluruh mahasiswa Nduga yang terlantar nasib pendidikannya akibat exodus besar-besaran di seluruh kota study yang ada di Negara Indonesia, yang dikarenakan kejadian rasisme Surabaya oleh perlakuan beberapa aparat TNI-POLRI dan Ormas Reaksioner pada tanggal 16-17 Agustus 2019 lalu, dan juga kejadian terror dan intimidasi dimana-mana akhir dari rasisme itu.

Sampai saat ini (Desember 2019) telah tercatat 238 lebih Rakyat Nduga yang meninggal, yang diakibatkan oleh kurangnya Makanan, Sakit, Dan Lelah Saat Mengungsi. Bahkan adapula yang dibunuh oleh Militer Indonesia, yang secara membabi buta menyerang rakyat sipil di Nduga, dengan kejadian pengeboman pada tanggal 04 Desember 2018, dan penyerangan-penyerangan lainnya. Tanpa disadari, ini adalah penindasan manusa Nduga yang sangat tidak manusiawi oleh system pendekatan hukum degara lewat aparat Militer Indonesia yang bisa dibilang telah melakukan pelanggaran HAM Berat (Pembunuhan Manusia), terror dan intimidasi secara langsung kepada masyarakat Nduga, Papua.

Melihat masyarakat yang dipaksa keluar dari tempatnya untuk bertahan hidup dikarenakan konflik bersenjata yang terjadi sejak 2 Desember 2018 hingga saat ini masih terus berlangsung, terjadi pengiriman pasukan besar-besaran di Nduga Papua. Menurut data investigasi berita online (jubi.co.id; tirto.id; bbc.com; merdeka.com), tercatat bahwa pada tanggal 04 Desember 2018, terjadi pengiriman 153 pasukan gabungan TNI dan POLRI dikirim sebagai pasukan khusus untuk memburu TPN-PB di Nduga; 

Pada tanggal 05 Desember 2018, terjadi penambahan pasukan RAIDER dengan keahlian tempur dikirim oleh KODAM XVII Yonif 751/Vira Jaya Sakti yang bermarkas di Sentani, Jayapura; Pada tanggal 09 Maret 2019, penambahan 600 pasukan TNI dikirim oleh Batalyon 432 KOSTRAD Makassar dan Batalyon Zipur 8 Makassar; Pada tanggal 04 Juli 2019, Seorang anak perempuan berusia 1 tahun diduga disandera aparat setelah ibunya dibunuh; Pada tanggal 12 Agustus 2019, 200 personil BRIMOB didatangkan ke Timika dan selanjutnya ditempatkan (tugas) di Nduga, Puncak dan Puncak Jaya; dan pada tanggal 10 Oktober 2019, tercatat juga 5 orang Jenaza pengungsian ditemukan di Mbua, ditemukan dalam satu lubang yang ditutupi oleh daun-daunan sebelum ditimbun tanah. Hal ini, perlakuan pembunuhan dilakukan oleh aparat TNI-POLRI yang lagi bertugas disana.

Dalam situasi krisis kemanusiaan yang sangat serius ini, pemerintah Papua dan Pemerintah Pusat hanya sibuk dengan membahas DOB (Pemekaran Provinsi dan Kabupaten Baru di Papua). Bahkan yang menjadi trending topik adalah rekrutmen relawan untuk mensukseskan PON 2020 di Papua, yang dikerjakan oleh KNPI dengan dana yang sangat besar sampai setiap orang relawan digaji jutaan Per- bulan. Bagi saya ini adalah pengalian isu oleh Negara Indonesia untuk melupahkan, menghilangkan dan membiarkan isu tragedi Nduga-Papua tetap dalam kekejaman (Pembunuhan Manusia) Pelanggaran HAM berat tanpa ada solusi kemanusiaan bagi keselamatan masyarakat Nduga.

Sebagai sesama Orang Papua, ketika melihat saudara kita (Masyarakat Nduga) yang dibunuh, mengungsi, dan mengalami krisis kemanusiaan yang belum berakhir. Pertanyaan-nya, apakah Nduga Bukan Papua ? Apakah Pengungsi Nduga bukan manusia sebagai sesama rakyat Papua ? Apakah Pemekaran Provinsi (DOB) lebih penting dari pengungsi dan pelajar-mahasiswa exodus yang terlantar di Nduga ? Apakah PON 2020 lebih penting dari 238 lebih korban meninggal di Nduga ? Kita semua sama-sama manusia yang terlahir sebagai orang asli Papua (OAP) dan seharunya hidup bebas tanpa Intimidasi, Teror dan Pembunuhan dalam bentuk penindasan apa pun di atas negeri kita sendiri.

Sebelum memasuki perayaan Natal 2019, mari kita refleksikan sejenak Tragedi Kemanusiaan yang terjadi di Nduga semenjak tanggal 02 Desember 2018 hingga kini. Kiranya pemerintah Papua dan seluruh masyarakat Papua harus sadar bahwa rakyat Papua, khususnya masyarakat Nduga telah menjadi pengungsi diatas tanah-nya sendiri dan telah menjadi korban pembunuhan dari kebiadaban (klonialisme) pendekatan militer Indonesia, yang telah mengakibatkan 238 jiwa rakyat Nduga meninggal dunia dan ribuan rakyat Nduga mengungsi selama setahun.

Perlunya kita sebagai Rakyat Papua baik itu Pemerintah, LSM, Agama, Akar Rumput, Pelajar dan Mahasiswa, maupun juga lembaga hukum Indonesia dan Internasional harus menekan kepada Pemerintah Indonesia (Pusat) agar segerah membuka akses jurnalistik nasional dan internasional di Nduga, dan melakukan suatu tindakan hukum yang kongkrit untuk menyelesaikan kasus tragedi kemanusiaan ini. Sebab kalau tidak maka masyarakat Nduga akan punah dengan sendirinya. Saran kongkrit saya kepada pemerintah Papua dan seluruh elemen-sosial masyarakat yang peduli kepada Tragedi Kemanusiaan Nduga agar segera meminta Presiden Jokowi Dodo untuk menarik seluruh operasi aparat TNI-POLRI yang ada di Nduga, baik itu pasukan organik maupun non organik sebagai solusi kongkrit penyelesaian masalah ini. 

Penulis adalah aktivist Self-Determination

Sumber:

- Media Online (jubi.co.id; tirto.id; bbc.com; merdeka.com)
- Kajian data diskusi ilmiah Mahasiswa Nduga, 03 Desember 2019

Design koran Kejora
Oleh: Ardhy Murib***

Berapa banyak produk kolonial Indonesia di West Papua? Nah salah satunya pemekaran. Sebetulnya pemekaran itu produk. Kemudian perihal tersebut diunsurkan dalam peta politik kolonial Indonesia. Politik kolonialisme digerakan oleh nafsu eksploitasi sumber ekonomi di wilayah jajahan. Watak ekspansionis, warisan sejarah kerajaan Majapahit dan imperium barat itulah yang ada dalam watak rezim Jokowi dan kabinetnya. Sehingga kalau bukan karena cadangan 20 miliar ton tambang Freeport di GB, GBC, BC, DBCv dan itu, seperti kucing liar yang akan merampok hingga tahun 2059 di tanah air West Papua.

Selama itu pasti saja kami manusia Papua akan dianggap monyet yang harus dibasmikan dengan strategi pemekaran semacam ini di wilayah West Papua yang di jajah Indonesia.

Pemekaran daerah dan provinsi (DOB) Baru tentu menguntungkan kapitalisme. Praktek kapitalisme berarti tidak ada namanya ras, nasionalisme, suku, bangsa, dan agama. Kapitalisme tidak mengenal yang namanya NKRI harga mati atau Papua merdeka. Tapi kapitalisme bisa berwujud dalam agama, juga yang saat ini dikemas dalam NKRI harga mati.

Ini bertujuan untuk daerah-daerah berpotensi sumber daya alam akan dicuri dan dikuasai oleh segelintir orang. Dan sebetulnya dari sinilah alit-elit politik lokal kolonial Indonesia di Papua ditipu habis-habisan oleh kapitalis. Ditipu atas nama pembangunan: infrastruktur,kemajuan, SDM, dan lain-lain. Mereka tidak menyadari bahwa semua perbuatan dan kebijakan ini sungguh membunuh kami rakyat Papua itu sendiri.

Tito Karnavian punya anak perusahan di Freeport. Budi Sunandi,  Bos PT. Inalum yang bikin divestasi  hingga 51% saham  Freeport ini menjadi Wamen BUMN. Luhut Panjaitan, hingga Mahfud MD, akan menjamin investasi aman di Papua. Rasa kemanusiaan TNI dan Polri  jadi martir melawan dan membunuh-dibunuh demi elit penguasa kolonial dan kapitalis. Maka juga, pemekaran dipercepat agar para pemburu SDA ini makin memuluskan transaksi ekonomi politiknya.

Pancasila, NKRI, UUD, dan segala macam instrumen nilai dan sistem hanya dipakai sebagai tameng pencitraan untuk sekedar mendulang legitimasi rakyat Papua, Indonesia dan internasional. Padahal tujuan utamanya adalah perburuan harta kekayaan dari sumber daya alam (SDA) di tanah Papua. Adalah watak lazim dari kolonialisme yang adalah anak kandung imperialisme.

Kemiskinan struktural ditambah hegemoni kolonial dan kapitalis membuat sebagian orang Papua rela jual harga dirinya untuk menjadi boneka dan budak kolonial. Memanfaatkan penderitaan perjuangan bangsa Papua demi mengejar ambisi kekuasaan dalam NKRI. Mereka adalah pasien di ruang gawat darurat yang sedang mencari obat penenang sebentar sebelum mati.

Lantas, apakah pemekaran, eksploitasi SDA, migrasi pendatang, dan represi militer akan membunuh perjuangan kemerdekaan bangsa Papua? Akankah strategi AS di California berhasil diterapkan kolonial Indonesia  di Papua?

Ini persoalan rumit. Maka, secara bersama kita menyadari dan yakin bahwa semua paket politik ekonomi kolonial dan kapitalis akan menghasilkan penindasan yang berkepanjangan hingga akan membuat rakyat Papua percaya pada jalannya negara, kaum kapitalis, dan korporat imprelialisme.

Jika benar, maka katakan itu benar. Sekalipun jika itu salah, maka katakan salah!” Pepatah, pahlawan musisi Papua, Arnold C. Ap.

Dan ini curang! Salah!


Maka, seluruh rakyat tertindas di mana pun dan rakyat West Papua harus bersatu. Bangun persatuan nasional, di bawah kepemimpinan yang kolektif dan revolusioner. Bersama berjuang untuk revolusi nasional demokratik dan perjuangan kelas.

Penulis adalah Aktivist Self-determination

 Peserta Aksi Kamisan ke-598 saat berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (22/8/2019)/Liputan.6: 

Oleh, Jhon Gobai )*

74 usia negara Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan. Tepat 17 Agustus 2019, peringatan momentum tahun ini tentu memberikan kesan tersendiri dalam situasi hening tersebut. Surabaya, ujaran rasis hingga penangkapan sewenang-wenang terhadap 42 mahasiswa Papua. Hening 74 tahun kemerdekan, dalam diam Ia menyakiti hati dan martabat rakyat West Papua dengan hinaan “Papua Monyet”. Peristiwa itu mengundang serpihan gelombang protes di seluruh West Papua, Indonesia juga Internasional.

Tentu kemarahan itu bukan kebetulan, bukan juga karena toh peristiwa Surabaya. Rakyat West Papua mengungkapkan kebenaran realita sosial bahwa rasisme adalah bagian dari penjajahan RI. Tapi disini saya tidak ingin membahas perlakukan rasis yang dialami oleh rakyat West Papua. Jauh lebih penting adalah mengenali ikhtisar dari akar historisnya.

Anak muda zaman milenial sangat jarang punya gagasan tentang alam pikiran Indonesia. Sehingga sangat gampang dimanipulasi kesadarannya oleh perkembangan arus informasi yang tak bersadar pada esensinya.  Saya tidak membahas tentang dimanika dari fenomena zaman milenial dan kaitannya dengan arus informasi yang sangat kebablasan itu.

Sebagai mahasiswa jurusan Teknik Mesin, yang berusaha mempelajari sejarah, saya rumuskan pertanyaan dasar untuk memandu menulis. Pertanyaan, darimana Rasisme dan penjajahan terhadap rakyat West Papua itu berasal?

Untuk menjawab itu, saya akan memulai dari pertanyaan: Apa landasan/semangat kemerdekaan Indonesia/revolusi 1945?

***
Pada abad ke 20, rasisme menjadi satu masalah yang membuat rakyat, terutama akan muda berontak, berjuang untuk menghapuskan diskriminasi rasial dengan masing gagasan sesuai pandangan politik yang berkemang, saat itu.

Apartheid di Afrika Selatan, golongan yang tak boleh diraba di India, segregasi di Amerika Serikat, kecurigaan terhadap kulit berwarna di Australia dan sebagainya.

Dalam pamflet USNSA berjudul “A Call to Student Action” menggambarkan betapa polisi melakukan tindakan sadis, sehingga 72 orang Afrika terbunuh di Sharpeville, Afrika Selatan pada 21 Maret 1960. Ribuan lainnya ditahan dan dijatuhkan Hukum.

Membaca catatan sejarah Afrika Selatan pada masa itu sama sekali tidak mengenal keadilan. Hukum ada di luar kemanusiaan. Para tahanan kurang  mendapatkan makanan dan jaminan kesehatan. Pengusiran dan pembuangan kerap kali terjadi. Seluruh warga hidup dalam suasana teror. Orang bersembunyi siang dan malam, agar terhindar dari ekspedisi militer atau batalyon kerja paksa di tempat terpencil.

Pada 17 Mei 1954 pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan keputusan yang menentang adanya segregasi dalam sekolah umum. Ternyata hampir setiap tahun terjadi kericuhan dan demonstrasi. Pemerintah AS mengirim serdadu ke kota Little Rokc pada 1957, tahun 1962 ke Mississippi. Rasa kepiluan ini lah membuat anak muda negro marah dan mengamuk. Terjadi demonstrasi besar-besaran dan mendapatkan perhatian besar-besaran dari masyarakat Internasional.

Gambaran buruk ini memuat bulu roma manusia berdiri. Perbuatan ini pantas di cela dan dikutuk. Perbuatan itu membangkitkan kemarahan rakyat, terutama anak-anak muda dan memprotesinya.
***

Beberapa peristiwa singkat di atas menjelaskan wajah Asia, Afrika, Eropa, termasuk 350an tahun penjajahan Indonesia oleh imperialisme yang mengkolonia. Diskriminasi rasial, kemiskinan dan kesengsaraan, perbudakan merupakan potret manusia dan alam ketika hukum superior menjadi sakral dibawa kekuasaan.

Rasisme bukan fenomena sosial di abad ke 20—hingga abad ke 21 ini. Banyak teori yang mengemukakan tentang definisi rasisme hingga darimana rasisme itu berkembang. Teori post kolonial yang berkembang mengemukakan bahwa rasisme adalah wacana kolonialisme. Kolonialisme dalam arti menduduki, menguasai wilayah lain oleh negara-bangsa lain tentu menunjukan sikap superior untuk menaklukan bangsa wilayah tersebut. Sehingga, pandangan rasisme adalah penilaian, perlakukan, perbedaan adil berdasarkan ras, etnik, atau pun golongan.

Entah! Gagasan rasisme sendiri diproduksi oleh intelektual borjuis ataupun dalam ilmu pengetahuan sosial dan saintifik, tentu rasisme hanya wacana dari kolonialisme atau imperialisme yang mengkoloni.

Imperialism dan kolonialisme menyebabkan bentuk penjajahan di negeri Asia dan Afrika pada Abad ke 20; dan mendatangkan segala macam bencana bagi rakyat setempat. Rasisme, diskriminasi ras: perbudakan, pembantaian, ujaran kebencian, menjadi kelas inferior, merupakan wajah dari masyarakat, termasuk Indonesia sebelum merdeka di bawah penjajahan.

Karena itu negara-negara tersebut memproklamasikan kemerdekaan, dengan tujuan utama adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat seraya memberikan kesempatan mendapatkan pendidikan. 

Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan titik perlawanan terhadap segala macam bencana tadi. Sejarah perjuangan yang dipelopori oleh gerakan pemuda-mahasiswa, Boedi Utomo, hingga kemunculan pejuang-pejuang  karismatik, berwawasan revolusioner, seperti, Soekarno, Tan Malaka, Hatta, Syaril, dan seterusnya.

Akibat kesudahan perang Rusia-Jepang di selat Tsushima (27 Mei 1905) menimbulkan kebangkitan bangsa yang terjajah di Asia. Pengaruh lain adalah pergerakan Turki muda untuk mencapai perbaikan nasib, yang  pada akhirnya revolusi pada 1908, yakni suatu gerakan anti kaum-kolot. Peristiwa ini memberikan gesekan bangkitnya pergerakan Mahasiswa STOVIA, yang kemudian menjadi gerakan Budi Utomo pada kongres di Yogyakarta (3-5 Oktober).

Revolusi Cina (1911); Revolusi Rusia (1971); Liga Bangsa-bangsa; perjuangan soal Negara Irlandia; perjuangan di India; dan gejolak gerakan rakyat tertindas di belahan dunia tentunya, memberikan pengaruh yang besar terhadap pergerakan pemuda-mahasiswa Indonesia saat itu. Kesadaran politik, pandangan Indonesia sebagai bangsa terjajah, mulai bermunculan dalam dinamika perlawanan mahasiswa Indonesia di Indonesia, juga Negeri kolonial Belanda.

Pengaruh sangat mendasar yang memanifestasi bangkitnya pergerakan perlawanan rakyat, termasuk di Indonesia pada waktu itu, adalah realita penindasan atau penjajahan kolonialisme dan imperialisme.

Perjuangan Indonesia merdeka dimulai sejak benci terhadap penindasan, termasuk diskriminasi ras. Perjuangan berlandaskan anti terhadap segala penindasan. Perjuangan menuju Indonesia yang merdeka. Bebas dari segala bentuk penjajahan manusia oleh manusia lain.

Landasan itu lah membentuk alam pikiran Indonesia dalam merajut persatuan, membangun Indonesia merdeka dalam arti merdeka secara sosial, ekonomi, politik, dan mentalitas. Sejumlah pokok pikiran ini yang dikemukakan alam pikiran Indonesia oleh Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan Sjahrir, dan rakyat pejuang Indonesia, saat itu.

Indonesia merdeka diproklamasikan atas dasar:

Pertama, menurut Bung Hatta dalam Kumpulan Karangan Hatta bagian II ( yang berjudul, ke arah Indonesia merdeka, arti kedaulatan rakyat Indonesia, dll) menulis kan karangan yang bertitik pada dua inti kata: Kerakyatan, artinya kedaulatan sepenuhnya ada pada rakyat dan kebangsaan, artinya rakyat lah menjadi ukuran bangsa Indonesia Merdeka. Keindonesia merdeka mesti menjadi rakyat berdasar kemahuan rakyat.

Kedua, Syahril dalam bukunya berjudul Renungan Indonesia yang ditulis semasa tahanan, paling banyak menjelaskan: kemerdekaan Indonesia yang bermartabat dan manusiawi;

Dan ketiga, Bung Karno, dalam karyanya Mencapai Indonesia Merdeka (Maret 1933), menyatakan kemerdekaan Indonesia merupakan jembatan emas mencapai kesejahteraan. Dalam arti demokrasi politik dan ekonomi yang memberikan 100% kekuasaan kepada rakyat jelata (sebagai lawan balik sistem ekonomi dan politik kapitalistik yang menjadikan dirinya pada monopoli).

Keempat, dalam buku Materialisme Dialektika dan logika (Madilog),  Tan Malaka mengatakan kemerdekaan Indonesia tidak hanya pada kemerdekaan ekonomi, sosial, politik, dan demokrasi. Tetapi, Tan mengkritik mental feodalistis, dan kolonialisme yang tertanam dalam mentalitas bangsa, yakni: mentalitas takut berfikir, pasif dan menyerah pada nasib. Mentalitas semacam ini mudah percaya pada takhayul dan mitos sehingga gampang dimanipulasi. Sehingga kemerdekaan Indonesia mesti merdeka 100%; revolusi total, tidak hanya merdeka secara fisik.
***

Menurut saya jelas! Bahwa kemerdekaan Indonesia didasari oleh semangat anti terhadap “penindasan” termasuk rasisme. Pertanyaannya darimana rasisme itu datang? Bila rasisme adalah wacanah kolonialisme, apa kah perlakuan Rasisme terhadap Rakyat Papua adalah cerminan dari penjajahan Republik Indonesia? Jika Benar Penjajahannya, apa saja bentuk-bentuk penjajahan atau penindasannya? Bagimana menjelaskan Penjajahan Republik Indonesia terhadap Papua? Sejak kapan kolonialisme itu ada di Republik Indonesia?

Bersambung!

Penulis adalah kontributor korankejora

ilustrasi gambar

Tatanan Kapitalisme hingga hari ini terus tidak mampu keluar dari penyakit krisis yang terus berulang. Ia terus bergerak dari krisis yang satu ke krisis-krisis lainnya. Dunia telah kembali ke abad 19, dengan peran Negara  dalam  urusan  pasar  yang  semakin  dipangkas,  meskipun  di  sisi  lain  peran  negara  masih difungsikan untuk melindungi aktivitas eksploitasi (stabilitas politik dan keamanan). Negara hanya menjadi satpam pemilik modal.

Sementara kondisi kehidupan rakyat semakin parah, timbul berbagai reaksi kemarahan rakyat. Perang dagang, rasisme, konflik batas wilayah, konflik-konfik horizontal berdasarkan ras, agama, etnis berkecamuk di mana-mana. Sebut saja perang dan krisis kemanusiaan di Yaman, Perang Afganistan, konflik dagang antara Amerika dan China yang mengalami kebuntuan.

Di Indonesia akibat program neoliberalisme ala Jokowi, timbul berbagai aksi perampasan, penghisapan dan  PHK yang  masif  terhadap buruh, konflik-konflik agraria, pembungkaman ruang demokrasi, dan permainan isu sara (untuk mengalihkan perhatian rakyat) untuk kepentingan kelompok politik tertentu.

Rasisme  bukanlah  isu  baru  di  Indonesia.  Politik  rasial  adalah  cara-cara  lama  yang  terus  dirawat, terutama oleh kelompok militer, untuk kepentingan politik, misalnya rasis terhadap kaum Tionghoa, kelompok minoritas LGBTIQ, hingga Orang Papua.

Tindakan persekusi dan diskriminasi rasial serta upaya penyudutan terhadap Orang Papua di Surabaya, pembungkaman  aspirasi  Mahasiswa  Papua  di  Malang  dan  pengepungan  Asrama  West  Papua  di Semarang yang terjadi beberapa waktu lalu kemudian melahirkan reaksi dari berbagai pihak.

Rakyat Indonesia secara umum, mengutuk aksi tentara dan negara, walaupun hanya sebatas HAM; kaum cendekiawan (Universitas-Universitas, LSM, akademisi) mempertanyakan kembali perkembangan pemikiran dan kebudayaan Indonesia yang belum tuntas; kaum gerakan rakyat Indonesia yang mempertanyakan persoalan kebangsaan dan kolonialisme di Papua dan tatanan Kapitalisme, dan rakyat Papua secara umum yang menolak kata rasis “Monyet”.

Pihak pemerintah kolonial, walikota Malang mengeluarkan opsi pemulangan terhadap mahasiswa Papua. Gubernur Papua menyatakan siap memulangkan mahasiswa Papua. Pernyataan tersebut didukung oleh Dewan Perwakilan Rakyat maupun Majelis Rakyat Papua dan berbagai kepala adat Papua dari berbagai wilayah. Walaupun dalam perkembangan terakhir, elit-elit Papua agak ingkar janji.

Sementara,  pernyataan  pejabat  pemerintahan  tersebut  menimbulkan  situasi  di  internal  mahasiswa Papua di berbagai daerah perbincangan hangat yang menjurus ke dalam dua opsi, yakni: Harus pulang atau tidak Mahasiswa Papua?

Tentu situasi tersebut memiliki alasan logis untuk terjadi.

Internasional

Melalui dua perang Imperialisme (Perang Dunia I dan Perang Dunia II) dunia telah habis terbagi di antara beberapa  kekuatan  monopoli  (Amerika  Serikat,  negara-negara  Uni  Eropa,  dan  Jepang).  Sementara perkembangan teknologi yang pesat menimbulkan produksi komoditi terus meningkat.

Di lain sisi, tenaga kerja manusia menjadi tidak berguna (buruh menghadapi aturan perburuhan baru di berbagai yang rawan). Barang Dagangan (komoditi) yang terus meningkat, tidak mampu membeli, mendesak para pemilik modal membutuhkan pasar-pasar baru yang lebih luas.

Hal tersebut memaksa negeri-negeri imperialis memikirkan kembali batas-batas baru bagi wilayah perdagangannya. Hal yang kemudian menimbulkan konflik-konfik batas wilayah, batas laut, dan perang dagang yang kian memanas antara Amerika Serikat dan China.

Pada awalnya, perdagangan bebas globalisasi-neoliberalisme merupakan jalan keluar untuk bebas dari bahaya krisis over produksi (kelebihan komoditi/barang jualan tanpa daya beli masyarakat). Namun akhirnya membuka jalan bagi krisis yang lebih luas dan lebih rusak serta mencakup seluruh dunia.

Negeri-negeri kapitalis pusat memikirkan kembali untuk menyelamatkan diri mereka dari krisis yang saling mempengaruhi.

Tahun 2017 lalu, Trump mengeluarkan kebijakan ‘American First’ atau ‘Mengutamakan Amerika’ yang merupakan refleksi dari menguatnya tendensi proteksionisme (kecenderungan untuk melindungi pasar domestic/dalam negeri dari barang-barang luar); mengembalikan lapangan pekerjaan, pemangkasan tarif  pajak,  dan  menata  kembali  perjanjian-perjanjian  perdagangan,  terutama  dengan  China  dan Meksiko; merobek perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP) dan Transatlantic Trade and Investment Partnership  (TTIP);  dan  mengancam  membatalkan  perjanjian  perdagangan  bebas  NAFTA  dengan Meksiko dan Canada.

Sementara Inggris,  yang  beberapa tahun belakangan hangat dengan isu Brexit. Inggris menyatakan keluar dari lingkungan dagang Uni Eropa, untuk menyelamatkan pasar domestic (dalam negeri) dari ancaman krisis yang menjangkit Yunani, Spanyol, dan Italia. Walaupun di sisi lain inggris masih ingin mengakses pasar-pasar Uni Eropa. Sementara di Prancis, dunia dikejutkan dengan aksi Yellow Vest akibat kenaikan pajak bahan bakar dan program neoliberalisme.

Sementara  perang  dagang  antara  Amerika  versus  China  menguat,  yang  tentunya  mempengaruhi stabilitas ekonomi dunia, termasuk India yang menjadi motor penggerak ekonomi asia. Di samping timbulnya resesi ekonomi (melemahnya pertumbuhan ekonomi) global, termasuk Amerika Serikat.

Krisis pun melanda beberapa negeri Amerika Latin, seperti Argentina. Juga Mexico dan Barzil. Tanggal 21 Agustus 2019, Sri Mulyani memberi lampu kuning sebagai tanda hati-hati untuk ekonomi Indonesia akibat pelemahan ekonomi global tersebut.

Sementara dunia bergerak ke arah yang tidak pasti, akibat kelimpahan produksi dan perang, fokus kerja komunitas-Komunitas Internasional, termasuk PBB, diarahkan untuk membersihkan puing-puing yang tersisah dari pertempuran antara kelas penindas dan kelas yang ditindas. Diarahkan untuk merapikan isu-isu  kontemporer,  seperti  isu  obat-obatan  (drugs),  migrasi  penduduk,  lingkungan  hidup,  populasi, tantangan ekonomi global, krisis demokrasi liberal, fusi dan pembelahan, dan produksi senjata ringan, serta perubahan iklim (di kawasan pacific). Dan menghilangkan persoalan kebangsaan, yang sedang berkembang di mana-mana dan persoalan pertentangan kelas di dalam tatanan kapitalisme. Dan persoalan obat neoliberalisme yang tidak manjur.

Kondisi Kolonial

Persoalan neoliberalisme di Indonesia sudah dimulai ketika Soeharto menandatangani Letter of Intent (LOI), yang lanjutkan dengan mejalankan Program Penyesuaian Struktural (Structural Ajustment Program). Mengurangi peran negara dalam urusan pasar (walaupun di Indonesia justru borjuisnya menghamba pada negara), Membuka pasar yang lebih luas, mengurangi subsidi dan anggaran belanja negara di bidang pendidikan, kesehatan, dan memangkas kebijakan yang menjadi penghalang investasi modal internasional.

Perubahan lingkungan ekonomi yang terjadi tahun 2008 paska krisis ekonomi yang mengguncang Tiongkok, turut mengubah lingkungan investasi. Indonesia kemudian dikelompokkan ke dalam kelompok MIST (Meksiko, Indonesia, South Africa, dan Turky) sebagai negara yang nyaman untuk melakukan investasi.

Tahun 2010, Indonesia mengagendakan program bersama yang bertumpuk di bawah naungan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) memetakkan Indonesia menjadi beberapa koridor. Dan meletakkan 8 Program Utama, yaitu pertanian, pertambangan, energy, industri, kelautan, pariwisata, dan telematikal serta pengembangan kawasan strategis. Yang biaya pembangunannya sebagian ditanggung oleh modal swasta internasional dan pemangkasan anggaran belanja negara dan subsidi. Papua dan Maluku menjadi Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional.

Guna mengejar kelancaran tersebut, beberapa program umum colonial Indonesia diluncurkan. Di bawah rejim Jokowi, untuk mengejar pekerjaan yang belum diselesaikan SBY, terutama infrastruktur, sebagai factor penunjang paling penting untuk menunjang percepatan eksploitasi dan akumulasi modal. Jokowi menekankan pentingnya pekerjaan pembangunan dengan jargon “kerja, kerja, kerja”. Proyek pembangunan pembangkit listrik, pelabuhan, jalan/jalan tol, dan proyek infrastruktur lainnya yang dikemas dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 58 Tahun 2017.

Di atas situasi ekonomi global yang semakin tidak menentu, Jokowi jilid II kembali meneriakkan jargon yang sama. Memprioritaskan pembangunan Infrastruktur, liberalisasi pasar, perampingan lembaga pemerintahan, dan perluasan serta kemudahan bagi penanaman modal asing di Indonesia.

Dampak dari kebijakan pemerintah colonial yang pro terhadap modal internasional tersebut terjadi penindasan yang masif terhadap rakyat. Utang menjadi kekuatan bagi badan-badan keuangan internasional untuk mendesak Indonesia menjalankan programnya. Dalam masa pemerintahan Jokowi, terhitung 2 Mei 2018, telah terjadi 334 kasus konflik agrarian di Indonesia; pemangkasan terhadap subsidi listrik, BBM, dll; dan program fleksibilitas ketenagakerjaan yang kemudian memperbesar keleluasan bagi  majikan  untuk menghisap dan membuang buruh dalam kemiskinan dan membawa rakyat dalam kesengsaraan.

***

Sementara pertarungan politik di Jakarta antara kubu Jokowi-Mega dan Prabowo untuk menjadi kaki tangan modal internasional semakin akur. Jokowi, sekalipun berlatar belakang sipil, tidak menguasai partai atau mesin politik manapun. Akhirnya berkompromi dengan sisa-sisa Orde Baru, yakni: tentara, golkar, dan Keluarga Cendana. Kemudian menjalankan kebijakan-kebijakan yang berwatak Orde Baru, seperti control terhadap media massa (dengan wacana hoax), pembatasan internet di Papua, dan anti- demokrasi.

Meskipun Orde Baru telah runtuh bersama tumbangnya Soeharto, namun sisa-sisanya masih berkeliaran dan berusaha memperlebar kekuatan dan kekuasaannya dengan berusaha berada dalam lingkaran pemerintahan. Sebab, secara aturan maupun modal Borjuis Nasional tidak dapat berkembang tanpa menguasai negara.

Penciptaan konflik horizontal berdasarkan SARA, juga rasisme merupakan pola tradisional yang terus dipertahankan dan digunakan, terutama dari kelompok tentara dan sisa-sisa Orba untuk kepentingan- kepentingan politik. Misalnya rasisme terhadap kaum Tionghoa di tahun 1998 yang digunakan Soeharto sebagai ajang tawar-menawar dengan modal Internasional. Atau dalam isu penistaan agama yang dituduhkan pada Ahok, dan komplotan sisa Orde Baru di balik pemenangan Anis dalam pilkada Jakarta. Atau yang lebih dengan dengan kasus gerakan Papua adalah kasus pukul mundur gerakan Republik Maluku Selatan. Pukul mundur gerakan dengan dalil SARA.

Kini kelompok tersebut tengah membagi-bagi kue kekuasaan, setelah   bertarung mati-matian dalam Pilpres bulan lalu. Dalam tawar-menawar kekuasaan terjadi kemelud yang menimbulkan saling serang di antara mereka. Prabowo dan Megawati bersatu melalui politik 'Nasi Goreng' membentuk kubu Teuku Umar sementara 4 pimpinan partai politik (PKB, PPP, Golkar, dan Nasdem) membentuk kelompok Gondangdia.

Walaupun mereka berdiri di atas latar belakang kelas yang sama, kelas borjuis nasional dan bagian dari sisa-sisa Orde Baru, turut terlibat dalam penciptaan panasnya situasi politik terakhir demi kepentingan politik masing-masing. Kepentingan bagi-bagi jatah kekuasaan.

Papua  menjadi  salah  satu  wilayah  prioritas  pembangunan  infrastruktur:  pembangunan  jalan  Trans Papua, Bandar Udara, Pelabuhan, guna mempercepat proses eksploitasi sumber daya alam. Hal tersebut diikuti dengan pembangunan pangkalan-pangkalan baru militer dan pengiriman militer yang massif.

Aksi pembungkaman ruang demokrasi di Malang, pengepungan asrama Papua di Surabaya, dan Semarang   merupakan   turunan   dari   pidato   Jokowi   yang   mengatakan   bahwa   “Siapapun   yang menghambat investasi harus ditumpas” bukan hanya terhadap gerakan Pembebasan Nasional Papua namun kepada gerakan rakyat secara menyeluruh di Indonesia.

Di bawah rezim Jokowi yang membuka lebih lebar jalan Neoliberalisme, HAM dan Demokrasi Indonesia berada di titik terendah di jaman reformasi. Untuk menggambarkan secara singkat dampak dari rejim neolib Jokowi, singkat bisa kita mengambil cuitan Dandhy Laksono "Sistem jaminan kesehatan terancam ambruk, masalah Papua memburuk, KPK makin rentan dihabisi, kerusakan lingkungan berbuah bencana, ibadah dibubarkan paksa, buku disita, internet dibatasi, konflik agraria bertaut kekerasan". Bahwa kebijakan yang dipaksakan kemudian melahirkan kesengsaraan bagi rakyat, baik rakyat Papua maupun Rakyat Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri bahwa, Aliansi Mahasiswa Papua merupakan barometer untuk mengukur ada atau tidaknya demokrasi di Indonesia. Maka bukan sesuatu yang mustahil bahwa AMP merupakan hitungan dalam pemerintahan colonial untuk kenyamanan dalam menjalankan program penghisapan.

Surabaya merupakan wilayah strategis yang menjadi pusat distribusi logistic baik ekonomi maupun keamanan, akibat letak geografisnya yang masuk dalam garis jalur laut nasional maupun internasional dan orientasi pembangunan yang semakin ke arah timur. Maka upaya pembungkaman berkali-kali terhadap aksi-aksi AMP Surabaya dan Malang merupakan aktivitas kaum penindas untuk membungkam perjuangan rakyat secara umum.

Kondisi Papua

Secara umum peta ekonomi (pusat perputaran modal) ditempatkan dalam beberapa wilayah, yakni: Sofifi,  Ambon,  Sorong  (sebagai  pintu  gerbang),  Manokwari,  Timika,  Jayapura,  dan  Merauke.  Peta tersebut kemudian diikuti dengan peta transportasi (laut, udara, dan darat), pemekaran provinsi, dan bangunan politik serta keamanan (pembangunan kekuatan militer).

Proyek besar yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak main-main. Biaya yang besar tersebut yang kemudian mendorong beberapa pimpinan daerah (kabupaten) membentuk asosiasi (seperti di Meepago atau Lapago, atau di daerah Provinsi Papua Barat dengan agenda Provinsi Papua Barat Daya) agar dapat mengambil keuntungan dari program tersebut.

Tema umum pembangunan Papua, adalah Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, berbagai kebijakan diturunkan untuk menciptakan ruang investasi yang nyaman.

Minimnya infrastruktur sebagai faktor pokok perkembangan ekonomi menjadi latar belakang Jokowi menjadikan Pembangunan Infrastruktur sebagai program prioritas di Papua. Dan penguatan basis-basis militer (TNI & POLRI).

Dalam menjalankan program-program kolonial di Papua, terjadi berbagai penindasan terhadap rakyat Papua. Perampasan tanah untuk investasi, penemuan sumberdaya alam dan relokasi masyarakat dari tempat tinggalnya, Stigma terhadap masyarakat hingga Operasi Militer.

***

Di atas proyek besar Imperialisme dan kolonialisme tersebut, konsekuensi yang harus dibayar guna kelancarannya adalah dengan memaksa mundur gerakan Pembebasan Nasional Papua.

Dalam situasi yang normal, massa rakyat merupakan korban pasif dari sistem Imperialisme, kolonialisme, dan militerisme. Rakyat dipaksakan menggantungkan hidup pada sistem yang menindasnya secara menyeluruh. Sementara gerakan Pembebasan Nasional Papua dipecah-pecah oleh kebudayaan anti demokrasi milik kolonial.

Kondisi tersebut menciptakan peluang yang besar bagi siapapun mampu memainkan kepentingannya (asal punya uang). Namun, secara menyeluruh aksi spontan yang terjadi di Papua merupakan akumulasi dari tumpukan kemarahan yang sejak lama terbendung oleh senjata dan kekerasan.

Aksi spontan rakyat yang timbul tanpa kepemimpinan 'gerakan'--Kini kita sedikit mendapatkan pencerahan ketika pimpinan aksi jilid I di Jayapura (BEM Uncen dan USTJ) ternyata membawa kepentingan  Gubernur.  Jilid  berikutnya.  Kawan-kawan  bisa  baca  tulisannya  Nesta  Suhuniap  yang dibagikan oleh Akun Facebook Sonamapa Tambuna.

Sebab telah menjadi barang mainan oleh elit-elit politik kolonial, Papua maupun Jakarta. Misalnya Pemerintah provinsi, telah menjadikannya  sebagai tekanan untuk Jakarta agar menyepakati draf Otsus Plus. Majelis Rakyat Papua (dan lembaga" adat di bawahnya) pun turut berada di samping pemerintah Papua, sebab Otsus adalah jantung bagi MRP, dan tanpa Otsus MRP mati. Sementara itu, militer memanfaatkannya untuk menggiring isu Pembebasan Nasional menjadi perang antar ras. Serta dengan menggunakan manajemen konflik dan provokasi aksi tolak rasisme, militer menggunakannya sebagai momen untuk menambah jumlah militer (TNI/Polri) di Papua.


Medan Juang, 13 September 2019

Aliansi Mahasiswa Papua


ilustrasi gambar

Penulis: Aworo Tutu

“Jangan pernah melupakan sejarah”—Ir.Soekarno

Penting mengetahui sejarah agar mudah memetakan alasan apa Indonesia menjajajah West Papua? Dan apa alasan rakyat West Papua ingin bebas merdeka sebagai Negara-bangsanya sendiri dari Indonesia? Penindasan dan penghisapan yang terjadi hari ini tidak terlepas dari sejarah panjang pendudukan Kolonial Indonesia yang telah mengorbankan harta benda dan  jutaan nyawa rakyat West Papua; dan terbunuh hingga sekarang.

Sejarah Perebutan Kolonial Indonesia atas  Papua Barat 

Batas teritori wilayah Indonesia dari Sabang-Ambonia di jajah oleh Belanda 350 tahun lamanya. Sedangakan teritori West Papua dari Sorong-Merauke dijajah Belanda selama 64 tahun dan Indonesia sama-sama dijajah oleh Belanda Namun system Administrasinya di atur secara terpisah. Indonesia sebagai jajahan Belanda kekuasaannya di kendalikan dari Batavia (Jakarta) sedangkan West Papua Sistem administrasinya di kendalikan dari Holandia (Port Numbay Jayapura .

Meskipun sama-sama di jajah oleh Belanda, rakyat West Papua tidak pernah mengklaim atau berasumsi memiliki musuh yang sama dengan Indonesia karena Belanda adalah musuh masing-masing. Antara West Papua dan Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Secara Ras, Bangsa West Papua merupakan Ras Negroid sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras Mongoloid. Secara fisik maupun mental kedua bangsa ini sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan apaun dalam sejarah kehidupan di masa silam.

Muhamad Hatta pernah menegaskan Bahwa “ Bangsa Papua adalah ras negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa papua menentukan nasibnya sendiri” dari Saigon Vietnam 12 agustus 1945.

Ketika Indonesia memasuki babak perjuangan kemmerdekaannya melawan colonial Belanda tidak ada satupun orang Papua Barat yang terlibat dalam perjuangan Bangsa Indonesia hinggah kemerdekaannya, apa lagi terlibat dalam persta 17 agustus 1945.

Pertanyaannya apa motivasinya membuat Indonesia keras kepala untuk merebut dan terus menduduki West Papua?

Sistem kapitalisme lah motivasi Indonesia merebut West Papua.

Apa itu Kapitalisme?

Menurut Karl Marx  kapitalisme itu suatu system dimana harga barang dan kebijakan pasar ditentukan oleh para pemilik modal untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Untuk tetap bertahan menguasai pasar Kaum Kapitalis (kelas penguasa ) harus melakukan invasi atau penaklukan wilayah baru melalui kebijakan dan praktek perluasan suatu negaera kepada Negara atau bangsa  lain yang dilakukan dengan mencaplok dengan cara paksa (mengkolonialisasi).

Sejarah telah  mencatat bahwa kehadiran Kolonial Indonesia  di bumi West Papua hanya untuk kepentingan ekonomi politik semata demi kepentingan tuannya Kapitalisme Amerika Serikat dan antek-anteknya.

Sebelum Papua Barat di paksa masuk dalam Negara Kesatuan Replublik Indonesia melalui Pepera yang di menangkan sepihak oleh Indonesia, sebelum dua tahun (pada tahun 1967) PT.Freeport sudah menduduki Nunung Nemangkawi-Timika.

Kapitalisme Itu Jahat & Rakus

Kapitalisme itu system jahat dan rakus. Segala sesuatu  di perdangangkan tidak perlu itu milik  rakyat atau bukan. Kapitalisme itu setan segala perkara di dunia ini: pembunuhan, perampokan, peperangan, busung lapar, gizi buruk, pembungkaman ruang demokrasi, perampasan tanah-tanah adat milik masyarakat adat, pelanggaran HAM di mana-mana.

Segala malapeta di dunia adalah ulah system kapitalisme yang sangat tidak manusiawi.

Kapitalisme bukan saja merampok dan menguasai kekayaan alam tapi juga menciptakan manusia-manusia yang berjiwa capital yaitu menciptakan manusia yang selalu berpikir untuk saling menguasai satu sama lain. Menciptakan manusia-manusia untuk mengabdi guna memperkuat dan mempertahan eksploitasi kelas penguasa.

Untuk tetap bertahan menguasai pasar dan mencari keuntungan yang lebih besar Kaum capitalis membutuhkan bahan baku.maka mereka melakukan invasi, merluas ke wilayah yang memiliki banyak bahan baku.

Di West Papua yang merupakan wilayah masih utuh dan masih berlimpah sumber daya alamnya. Baik kekayaan di laut, di darat di mana hutan-hutan luas yang menyimpan jutaan pohon, dan berbagai jenis hewan. Apalagi yang terkandung dalam tanah: Minyak, Gas, Emas, Batu Bara. Uranium, dll.

Maka pencaplokan wilayah-wilayah baru dalam bentuk pemekaran-pemekaran provinsi, pemekaran kabupaten/kota adalah sangat penting bagi kelas penguasa kaum penjajah.wilayah yang di caplok atau mekarkan menjadi sebuah provinsi atau kabupaten karena wilayah tersebut masih mengandung sumber daya alam yang sangat berlimpah dan sangat berguna dan memberi keuntungan bagi mereka kelas penjajah Indonesia untuk melakukan ekspor kapitalnya.

Sedangkan kita rakyat Papua sebagai tuan di negri nya sendiri keuntungan apa yang dikasih oleh klas penjajah colonial Indonesia? Kita sebagai rakyat yang di jajah tidak dapat satupun keuntungan dari mereka.bahkan kita rakyat West Papua dalam hal ini elit-elit birokrat papua (Bupati, Gubernur, anggota DPR) dan pengusaha-pengusaha lokal adalah kaki tangan atau bonekanya kelas penguasa kaum kapitalis.

Kapitalisme bergentanyangan dimana-mana bahkan menyebar dan mempengaruhi kehidupan  umat manusia. Kapitalisme dan kolonialisme Indonesia sebagai kaum penjajah mempertahankan kekuasaannya di West Papua tidak hanya dengan senjata dan kekerasaan.

Kutip kata Ted Sprague dalam bukunya Reason in Revolt menjelaskan bahwa:

kelas yang berkuasa mempertahankan kekuasannya tidak hanya dengan senjata tetapi terutama  dengan nilai-nilai moralitas, gagasan, dan filsafat. Mereka berkuasa tidak hanya dengan Polisi dan Tentara saja, tetapi juga dengan nabi-nabi bayaran mereka, yang mereka tempatkan di sekolah-sekolah, kantor-kantor media,tempat-tempat ibadah dan di setiap sudut dimana rakyat ingin mencari pengetahuan.

Kaum penjajah Kolonial Indonesia tidak tinggal diam untuk tetap mempertahankan wilayah West Papua. Berbagai macam cara akan di gunakan untuk mempertahankan dan menguasainya.

Dipandang secara politik, otonomi khusus merupakan salah satu strategi kelas penjajah untuk mempertahankan wilayah West Papua. Undang-Undang Otsus di lahirkan ketika rakyat West Papua bersatu untuk minta hak-hak politiknya sebagai sebuah Negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat sendiri. Demi membendung aspirasi tersebut maka pemerintah colonial melahirkan Otsus. Bahkan kalau mau di bilang sejak undang-undang otsus berlaku, rakyat West Papua tidak merasakan efek positif itu. Otsus itu pemecah belah, memicu landang konflik di West Papua. Mengapa ? otsus itu bagi rakyat tertindas memandang bahwa itu produk uang. Maka maraknya pemekaran Propinsi, kabupaten atau kota yang dilakukan oleh elit-elit Papua hasil didikan colonial Indonesia hanya untuk membagi-bagikan uang demi membahagiakan kepentingan pribadinya bukan untuk kepentingan rakyat West Papua. Berarti yang menikmati efek posistif dari otsus itu hanya elit-elit papua: Bupati, Gubernur, DPR, kelas pengusaha lokal Papua dan Jakarta, intelektual-intelektual dan sebagainya. Sementara rakyat tertindas hanya lah korban ganda dari otsus.

Segala Sesuatu Uang yang berbicara

Uang yang merupakan malapetaka di dunia ini,bukan serta merta hadir begitu saja, merupakan hasil dari proses sejarah yang panjang. Sebelum adanya uang, masyarakat yang pada waktu itu melakukan interaksi jual beli barang dengan cara tukar menukar atau bahasa kerennya Barter.

Menurut Karl Marx, ada dua jenis pertukaran  dalam sejarah ekonomi masyarakat. Pertama, pertukaran yang terjadi dalam masyarakat pra-kapitalis (masyarakat komunal primitif) dan kedua pertukaran dalam masyarakat kapitalis.

Pertukaran jenis pertama terdiri atas dua bentuk, yakni pertukaran langsung komoditi dengan komoditi (C-C) atau lazim dikenal sebagai pertukaran barter. Si A punya komoditi sagu yang kemudian ditukar dengan komoditi Keladi milik Si B. Bentuk kedua dari pertukaran pra-kapitalis dimana masyarakatnya telah lebih berkembang, dirumuskan Marx sebagai C-M-C (Comodity Money-Comodity).

Bagaimana dengan proses transaksi masyarakat kapitalis?

Paitua Marx mengajukan  formula  yang berbentuk M-C-M (Money-Comodity-Money). Menurut formulai ini, Si kapitalis memulai operasinya dengan uang (M) dan dengan uang tersebut Ia kemudian membeli komoditi (C), dimana selanjutnya komoditi tersebut dijualnya guna memperoleh uang lagi (M2). Marx menamakan tahap pertama ini (M-C) sebagai kapital pendahuluan dan tahap kedua (C-M) sebagai kapital kerja. Secara keseluruhan, formulai M-C-M’ ini disebut Marx sebagai sirkuit uang. Jika pada formula C-M-C uang berfungsi sekadar sebagai medium perantara, maka dalam formula M-C-M uang merupakan medium perantara sekaligus lem perekat kelangsungan hidup sistem kapitalisme. Pada C-M-C, uang hanyalah sebuah benda (things), sementara dalam formula M-C-M uang telah bertransformasi  menjadi kapital (social relations). Pada tahap M-C-M’, Si kapitalis memproduksi komoditi bukan pertama-tama untuk dikonsumsi, tapi untuk dijual  di pasar dengan tujuan semata-mata akumulasi nilai uang.

Terkait perjelasan Marx diatas bisa di ambil kesimpulan bahwa Uang lah yang menentukan kehidupan umant manusia.

Dulu di tatanan masyarakat komunal primitive system transaksi dilakukan dengan cara  tukar menukar  barang (Barter ), kalau sekarang di jaman masyarakat kapitalisme ada uang ada barang (money-comodity). Kalau tak punya uang kau tidak memiliki barang.

Mantra yang ditebarkan oleh Si setan kapitalis yaitu "orang bisa menjadi kaya jika mereka bekerja keras dan Memiliki Banyak Uang"

Nah! Dari doktrin ini semua orang berlombah-lombah untuk menjadi kaya.sehingga timbu lah persaingan di antara masyarakat yang kaya tetap kaya yang miskin tetap miskin.

Semua permasalahan yang marak terjadi di West Papua, mulai dari perampasan tanah-tanah adat, pembungkaman ruang demokrasi, pemekaran propinsi dan kabupaten, diskriminasi ras, pelanggaran HAM, penindasan terhadap perempuan dan lain sebagainya merupakan ulah dari  system kapitalisme, system yang sangat tidak manusiawi.

Tulisan ini hanyalah sebuah pengenalan tentang Sistem kapitalisme yang saat ini mengendalikan dunia  terlebih khusus West Papua. Bagi aktivis Pembebasan Nasional  Papua Barat harus mampu memetakan siapa saja Musuh kita dan siapa  kawan Kita. Dua Pertayaan ini sangat penting untuk kesuksesan sebuah Revolusi.

Akhir kata penulis ingin sampaikan bahwa ;Kapitalisme bukan lah system yang abadi dan tidak selamanya kapitalisme akan selalu ada. Untuk menumbangkan Kapitalisme, Imperealisme dan kolonialisme Indonesia di West Papua di butuhkan penyatuan semua gerakan yang anti terhadap kolonialisme Indonesia,Anti Kapitalisme Imperealisme dan Militerisme Indonesia, agar revolusi kita berhasil dan rakyat West Papua tidak tersesat.

kita harus bersatu dengan kawan-kawan sejati kita untuk menyerang musuh yang sebenarnya.

Tidak ada cara lain selain bangun Persatuan Nasional yang di pelopori oleh kader-kader yang Revolusioner.

“Memang sulit untuk mencapai kesatuan penuh. Namun, mari mencari kesatuan dalam pandangan. Kita mencari kesatuan dalam tujuan, kesatuan dalam isu yang spesifik. Jika tidak mungkin untuk mencapai persatuan yang ideal, mari kita bersama dalam sejumlah tujuan” kata Fidel Castro.

*Penulis adalah aktivis Papua, petani. 
_____
Referensi:

https://www.militanindonesia.org/teori-4/ekonomi/8630-studi-singkat-das-kapital-studi-1.html
https://suarapapua.com/2019/07/27/perusahaan-asing-ilegal-bikin-kapal-di-tengah-hutan-nabire/
https://indoprogress.com/2018/08/ekonomi-politik-monopoli-penguasaan-tanah-kelas-kelas-petani-dan-reforma-agraria-bagian-1/
https://www.marxists.org/indonesia/archive/mandel/002.htm


Penulis: Cinta Griapon*


“Menerima ketertindasan bukan untuk diam, tapi dilawan. Karena mengembalikan hak dasar perempuan Papua tidak semata makan minum, tapi soal Identitas!”—Diary Pribadi.

Perempuan diartikan dengan berbagai keterangan sesuai realita dimana Ia berada. Terkadang perempuan diartikan berdasarkan kondisi fisik, ekonomi bahkan kondisi lingkungan. Ini dapat terbentuk akibat adanya realita dari situasi dan dikonstruksi oleh kekuasaan yang mendominasi. Mengapa realita perempuan di Palestina, tidak sama dengan di Inggris, begitu pula di Venezuela. Dan tentu akan berbeda dengan perempuan di Papua.

Basis material: sejarah perkembangan masyarakat dan kondisi ekonomi-politik dunia penting menjadi landasan analisa untuk memahami dan menemukan akar masalah penindasan terhadap perempuan. Secara umum mayoritas Perempuan  mengalami ketertindasan yang sama di ruang publik maupun domestik. 

Ketertindasan ini kemudian perlu diulas lebih jauh akar permasalahannya. 

Salah satu komunitas dunia yang mengalami ketertindasan atas nama moderenisasi adalah masyarakat adat, diantaranya masyarakat Papua. Keberadaan masyarakat adat terancam akibat adanya interaksi perdagangan untuk menghasilkan profit atau keuntungan bagi kelompok tertentu.

Untuk itu mari kita lihat persoalan perempuan Papua.

Kolonialisme Belanda

Terbentuknya kolonialisme akibat praktek (meluasnya) perdagangan yang besar dan menguasai sehingga adanya akumulasi modal atau penukaran barang bernilai. Itu dilakukan oleh Negara-negara di Eropa untuk mendapatkan barang-barang yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari atau untuk asesoris. Maka kolonialisme merupakan salah satu cara untuk membenarkan keberadaan kelompok perdagangan di suatu wilayah. 

Wilayah yang dijajah (dikuasai) tentu memiliki sumber daya alam melimpah. Kemudian kondisi masyarakat tak berkelas atau masyarakat yang kehidupannya bergantung pada alam, dan kehidupan saling bekerja sama, kerapkali menjadi tempat yang baik untuk dilakukan penjajahan. 

Mayoritas kondisi masyarakat seperti ini adalah masyarakat adat. Masyarakat adat biasanya hidup berdampingan dengan batasan suku, sebagai komunitasnya. Suku memiliki wilayah untuk hidup kemudian memiliki hukum-hukum adat. Hal inilah yang menjadi peluang penjajah (kepentingan eksploitasi) untuk menduduki wilayah tersebut. Hal ini bisa menjelaskan bagaimana Belanda melakukan penjajahan (ekspansi) di Indonesia, Inggris untuk Malaysia, Papua Nugini, dan India dan penjajahan Spanyol di sebagian besar wilayah Amerika latin untuk kepentingan eksploitasi lahan, juga keberadaan negara-negara Eropa Barat di Afrika. 

Penjajahan pada dasarnya untuk kepentingan akumulasi modal melalui perdagangan. Ini akan disesuaikan dengan komoditi yang dibutuhkan dalam selang waktu tertentu sesuai keinginan pasar saat itu. Maka, pada < 400 tahun yang lalu bahkan hingga sekarang masih ada perdagangan manusia atau perbudakan. 

Hal ini juga menjelaskan bagaimana konidsi yang dapat menjelaskan penjajahan di Papua barat. 

Juli 1828 dengan dua kapal Triton dan Iris berlabu di sebuah kaki gunung Lamenciri, kapal Triton yang membawa A. J. Van Delden seorang komisaris utusan Belanda di Maluku bersama kapten Let. J.J Stanboom untuk persiapan eksplorasi dan mendirikan benteng sebagai bukti kekuasaan Belanda di teluk Triton. 

24 Agustus 1828 diresmikan benteng Foor de bush di teluk Triton, kaki gunung Lamencari, Kaimana. Saat ini merupakan saat dimana Belanda mulai datang dan menengok wilayah Papua Barat. Pada abad 18 kebutuhan pasar akan rempah-rempah dan minyak. Hal itu yang menyebabkan keinginan negara-negara-negara yang memilki pedagang-pedagang handal untuk melakukan ekspansi. Akses Belanda ke Papua dikarenakan keberadaannya di wilayah Maluku. 

Masyarakat Papua yang mendiami di persisir pertama kali melakukan interaksi. Mayoritas wilayah pesisir menjadikan laut sebagai tempat mendapatkan makanan, maka transportasi laut sangat berkembang saat itu, salah satunya adalah suku Byak  yang berlayar dan interaksi keluar wilayah adatnya. 

Pelayaran suku Byak ke luar kampungnya untuk mendapatkan makan atau karena konflik di wilayahnya, hal ini yang menjawab keberadaan suku Byak di wilayah Manukwar, wilayah Jayapura, kepulauan Rajampat, dan berbagai wilayah lainnya. 

Pulau Byak juga merupakan wilayah strategis untuk pelabuhan transportasi laut di wilayah pasifik. Sehingga, interaksi ini membuat pulau Byak dijadikan sebuah tempat berlabuh, juga pada tahun 1940-an pulau Byak dijadikan tempat pertahanan fasis Jepang untuk melawan Amerika serikat. Pecahnya perang Dunia II, menjadikan fasis Jepang saat itu menduduki paksa kepulauan-kepulauan di Byak, akibatnya adanya perlawanan dari Angganita Manufandu yaitu perlawanan bersenjata, sebagai bentuk pengusiran terhadap penjajahan di wilayahnya.


Jayapura menjadi tempat berlabuh untuk kepentingan ekonomi, pengangkutan barang mentah dan administrasi Belanda. Kondisi masyarakat khususnya perempuan di Port Numbay (Jayapura) berbeda dengan wilayah lainnya, Belanda banyak melakukan pelatihan-pelatihan di bidang khusus dan pelayanan-pelayanan kesehatan, pendidikan dsb. 

Kebanyakan pelayanan ini juga melibatkan perempuan yang diperkerjakan di perkantoran, dan perawat. Hal ini berbeda jauh dengan Java (pulau Jawa) atau Maluku karena pendekatan di Papua, Belanda melakukannya dengan pendekatan keagamaan. Di balik itu pemerintahan Belanda pula melakukan eksplorasi-eksplorasi di wilayah Papua untuk kepentingan pembagian wilayah dan sumber daya alam.

Tercatat sejak 1900-an hingga 1930 telah dilakukan lebih dari 140 eksplorasi. Salah satu penemuan berharga yang dilakukan Belanda pada tahun 1920-an adalah gunung Nemangkawi, yang kini dihuni tambang PT. Freeport dan tambang-tambang kecil lainnnya. 

Pada tahun 1900-an eksplorasi dilakukan karena kebutuhan minyak menjadi kebutuhan pasar dunia saat itu. Eksplorasi dilakukan melalui udara dan air, pada saat eksplorasi dilakukan kebanyakan wilayah-wilayah yang ditempati beberapa suku seperti suku Mee masih memiliki kehidupan perdagangan berupa barter untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, begitu pula masyarakat yang hidup di kaki gunung Nemangkawi, kehidupan berdampingan. Pada saat itu gunung Nemangkawi dilihat sebagai salah satu keindahan alam sebab memiliki alam yang asri dan di puncak gunung diselimuti salju abadi, hingga dibuktikan oleh geolog yang datang dan menemukan keberadaan material tambang. 

Pada tahun 1920-an keperluan tambang tidak diminati sebab tambang tidak bisa menjalankan mesin-mesin, setelah revolusi Industri di wilayah Eropa barat. Setelah perang dunia II kebutuhkan pasar dunia akan bahan-bahan mentah seperti bahan tambang untuk keperluan pembuatan senjata dan alat-alat teknologi semakin tinggi, maka arsip yang dimiliki Belanda pada tahun 1920-an tentu menjadi berguna di tahun 1940-an. 1935 Pemodal-pemodal asal Belanda, Inggris dan Jerman sempat melakukan penyatuan modal untuk mendirikan perusaahan minyak yang bernama ‘Netherland Nieuw Guinea Petroleum Maatshappij (NNGPM) di wilayah Domberai, Papua, untuk menjawab kebutuhan pasar dunia akan minyak bumi. Inilah kerja-kerja kolonial, melakukan penjajahan atas kepentingan eksploitasi untuk kepentingan perdagangan kemudian memperoleh keuntungan. 

Kejahatan kolonial Belanda ditutupi dengan program-program keagaamaan untuk pelayanan-pelayanan, maka saat itu rakyat Papua kemudian susah melihat Belanda sebagai penjajah, apalagi saat Belanda menduduki Papua, belanda hanya melakukan eksplorasi. Hingga perang dunia II usai 1945 kemudian adanya organisasi-organisasi dunia yang melihat pentingan pembangunan Hak Asasi Manusia, pentingnya melepaskan wilayah-wilayah jajahan, hal ini tetap tidak terlepas dari kebutuhan pasar untuk mendapatkan bahan-bahan mentah. 

Setelah perang dunia II perempuanlah yang diandalkan menjadi tenaga produktif untuk mengembalikan situasi setelah Perang, karena kaum laki-laki dijadikan gerilya-gerilya untuk perang. Perempuan mengalami penindasan akibat adanya eksploitasi yang mengharuskan perempuan bekerja lebih banyak (beban ganda). Bayangkan saja situasi di Papua, menjadi tempat penjajahan Belanda kemudian menjadi tempat sementara Jepang dalam melaksanakan perang, situasi trauma juga situasi kelaparan. Setelah perang perempuan mencoba kembali melakukan aktivitas seperti biasa, kemudian Belanda didesak meninggalkan Papua, kemudian dilanjutkan dengan penjajahan Indonesia.

Kolonialisme Indonesia

Sang Proklamator Ir. Soekarno mengumandangkan komando pendudukan di Papua pada 19 Desember 1961. Alun-alun Yokyakarta menyaksikan bunyi Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) merupakan awal malapeta bagi rakyat Papua. TRIKORA, bagi rakyat Papua, adalah manifesto penjajahan.

Sejak itu Papua menjadi daerah operasi militer (DOM). Terhitung mulai 1961-1998 tercatat 15 rangkaian operasi militer, dan berlanjut hingga tahun 2004.Tak berhenti disitu, hingga kini dibeberapa wilayah masih dijadikan DOM seperti Sinak, Nduga, Illaga, Mulia,Tembagapura, daerah lainnya di tanah Papua.

Pertunjukan kekejaman kolonial Indonesia di Papua di mulai rangkaian operasi militer (1961-2004) telah memakan lebih dari 500.000 juta jiwa orang Papua mati dibantai secara brutal oleh Militer Indonesia. Belum dan tak pernah terhitung jumlah korban yang hilang, yang teridentifikasi. 

Kemudian secara paksa, melalui mekanisme yang tidak demokratis, tanpa melibatkan orang Papua, Indonesia melakukan pendekatan diplomatif kepada Amerka, yang menyepakati perjanjian New York/ New York Agreement  pada 15 Agustus 1962, dan menghasilkan tindakan aneksasi (penggabungan paksa) pada 1 Mei 196, teritori Papua menjadi bagian dari Indonesia. 

Pelaksaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 14 Juli – 2 Agustus 1969 menjadi alasan legal di muka Internasional. Akademisi Internasional, lembaga-lembaga akvokasi temukan banyak pelanggaran Hukum dan Hak Asasi. Pepera dilakukan dalam situasi operasi militer berlangsung, dengan mekanisme Musyawara—yang harusnya mengikuti keputusan Internasional bahwa One Man One Vote (Satu orang satu suara)—ala Indonesia, serta memperoleh manipulative. 

Betapa susahnya, saat itu, kondisi psikologis dan fisik rakyat Papua saat itu yang berduka akibat dihujani peluru, kemudian dipaksakan untuk memilih bergabung dengan Indonesia. Tentu saja pemerintah menggunakan cara yang jahat untuk memenangkaan suaranya.

Rakyat Papua di di intimidasi, tentu ada pemaksaan dalam memilih, juga keterlibatan yang tidak mewakili populasi rakyat papua.Kemenangan ABRI dalam pepera diwakili oleh 1024 suara dari 800 ribu juta jiwa jumlah populasinya.

Manipulasi ini disebabkan adanya dorongan kepentingan eksploitasi sumber daya alam Papua yang berlimpah. Selain wilayah yang strategis untuk jalur perdagangan  dan keamanan, SDA Papua menjadi perhatian rezim Indonesia, saat itu, tergiur. Bagaimana tidak laut berisi minyak, gunung mengandung material, tanah subur untuk penanaman kelapa sawit, sedangkan 1960-an setelah perang dunia II kebutuhan pasar adalah material-material tambang untuk pembuatan produk-produk semakin meningkat. 

Papua dikorbankan untuk kepentingan eksploitasi. 7 April 1967 merupakan kontrak karya PT. Freport Mc. Moran antara Indonesia dan Amerika serikat. Kontrak karya dilakukan dua tahun sebelum PEPERA (1969); dan tentu tak melibatkan masyarakat adat, satu pun orang papua sebagai pemilik ha katas gunung nemangkawi yang dikeruk. 

Hal ini membuktikan keterlibatan negara-negara imperialis (negara-negara yang memiliki modal untuk kepentingan perdagangan yang menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya) dalam menggabungkan paksa Papua menjadi bagian dari Indonesia. Pada rentang waktu 1960-an juga terjadi gejolak politik di Indonesia yakni kekalahan gerakan rakyat terhadap rezim fasis Soeharto (kapital-militer) terjadi sekitar 1965-1966, sehingga selain DOM di Papua, Indonesia terjadi pembataian manusia yang berasal dari gerakan rakyat. Bahkan kejahatan ini terus belanjut hingga kini, yakni militer menguasai sistem pemerintahan dan sektor-sektor lainnya.

Pada situasi 1960-an hingga 1998 perempuan Papua yang menjadi korban: budak seksual, dijadikan korban kekerasan untuk memukul mundur kaum laki-laki dalam perjuangan, dan perempuan dibunuh secara brutal. Perempuan dijadikan objek kekerasan karena perempuan adalah tenaga produktif untuk menghasilkan makanan (kehidupan trandisional rakyat papua (1961-1998), kemudian perempuanlah yang akan melahirkan. 

Kondisi tersebut membuat banyak perempuan Papua terjebak dalam trauma yang mendalam. Trauma itu yang menjadi salah satu alasan, banyak perempuan yang memilih diam, memilih untuk perlindungan yang berlebihan (over protektif) kepada anggota keluarganya. Kondisi ini pula yang dapat menjawab semakin sedikit rakyat Papua membicarakan tentang hak demokrasinya. Perempuan dijadikan budak seksual kemudian terus berlanjut setelah 1998, dimana perempuan-perempuan Papua akan dikencani oleh militer untuk kepentingan memuaskan nafsunya (Nonton Video: Papua Voice ‘Surat Cinta kepada sang prada), ada pula diperkosa. 

Hal ini terus terjadi seperti lingkaran setan. Perempuan dituntut untuk bersekolah namun, tidak ada perlindungan terhadap perempuan, tidak ada upaya nyata dalam mengurangi stigma buruk terhadap perempuan, sehingga perempuan Papua terus menjadi korban. Lingkaran setan ini tidak berhenti di kekerasan militerisme. Kekerasan terhadap diskriminasi dalam sistem kesehatan, pelayanan yang buruk menyebabkan banyak kerugian yang dialami perempuan Papua. Sistem budaya yang dicengkoki budaya kolonial Belanda dan Indonesia melebur menjadi satu, budaya patriarki (dominasi laki-laki), budaya patron (yang lebih tua lebih mengerti segalanya, mentokohkan seseorang) dan budaya-budaya lain yang menjadikan perempuan semakin disingkirkan. 

Kondisi ini yang menjawab mengapa wilayah adat/ tanah adat di Papua, hampir tidak ada keterlibatan perempuan dalam pelepasan tanah adat kepada investor atau pemerintah. Budaya patron yang menyebabkan banyak perempuan yang menjadi sempit dalam berpikir, kesulitan kaum perempuan dalam berserikat apalagi menentukan nasibnya sendiri, kesulitan dalam mengakses banyak hal yang dapat meningkatkan tenaga produktifnya. Hal ini dikarenakan daerah domestik dan lingkungan menekan keberadaan perempuan, kemudian perempuan diikat dengan budaya-budaya yang menindas. Tahun 2001 – 2019 merupakan tahun dimana otonomi khusus (Otsus) diberlakukan di Papua, Otsus adalah anak kandung kolonial Indonesia di Papua, kebutuhan pasar dunia terhadap produk-produk pertanian, bahan mentah minyak sawit, bahan mentah minyak bumi, bahan mentah material tambang, jasa dsb, membuat kolonial Indonesia akan terus menawarkan program-program ‘pembangunan’ untuk menipu rakyat Papua. Selain perampasan tanah adat, negara juga menjadikan perempuan menjadi komoditi atau jasa seksual. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak pekerja seks komersial (PSK), hal ini disebabkan kebutuhan pasar adalah jasa seks sehingga mayoritas perempuan maupun laki-laki dan transgender harus dikorbankan untuk memenuhi pasar. 

Kondisi ini dialami perempuan Papua, kebiasaan mendapatkan makanan di alam/hutan/wilayah adatnya, kemudian dihentikan akibat aktivitas pertambangan, perkebunan, peternakan yang bukan untuk kepentingan perempuan tersebut. Bahkan tanah yang dikelolanya sekian tahun dirampas tanpa keterlibatnya dalam mengambil keputusn, ketika perempuan ingin bersuara akan dibenturkan dengan mocong senjata, kemudian muncul stigma-stigma lainnya, sehingga perempuan Papua di masa kolonial Indonesia benar-benar hidup dalam lingkaran setan. Fenomena-fenomena ini terus terjadi, dan akan terus terjadi bila tidak ada kesadaran yang baik dari perempuan –perempuan Papua. 

Kesadaran itu tidak dibentuk dari perempuan yang mendapat gelar Ph.D atau perempuan tidak perlu menjadi orang lain untuk melawan penindasan. Perempuan perlu menyadari dirinya sebagai manusia yang merdeka, manusia yang memerdekakan orang lain. Perempuan papua juga perlu sadar terhadap kebebasan yang membebaskan bangsanya dan bangsa tertindas lainnya. Alternative perjuangan harus ditawarkan oleh kaum perempuan dan kaum tertindas lainnya sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi penjajahan. 

*Penulis adalah aktivis AMP, Perempuan Papua, Mahasiswa Yogyakarta.
___________
Sumber :
Alua, A., Papua dari pangkuan ke pangkuan.,
Pigai N.D., Evolusi Nasionalisme dan sejarah konflik politik di Papua, 2000., 
Anonim., Papua Voice Film ‘ Surat cinta kepada sang prada’

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats