Halloween party ideas 2015

Ils.Koran Kejora
Bangsa Papua..! tetaplah berjuang,
kalian punya hak untuk sebuah kehidupan yang layak,
kalian berhak atas harga diri kalian, kalian berhak untuk menjadi manusia yang bebas,
kalian berhak untuk di tanah kalian,
kalian berhak untuk hidup dari sungai, dari batu, dari alam, dari hutan dan kekayaan alam kalian.
Karena matahari tidak akan pernah terbit di barat,
Karena Papua adalah surga kecil yang jatuh ke Bumi
Hitam kulit keriting Rambut..AKU PAPUA.

Oleh: NN**

Pendahuluan

Beberapa hari belakangan ini, isu yang cukup menyita perhatian kita khususnya di Indonesia adalah masalah “rasisme” terhadap “bangsa Papua” dari orang Jawa. Seperti yang terjadi di semarang, Surabaya, malang dan juga di Makassar dan “mungkin” juga terjadi juga di tempat lain di Indonesia. Dan akibat dari masalah “rasisme” ini telah terjadi gejolak di beberapa wilayah di Indonesia, terutama di Papua. Ribuan orang Papua dari berbagai organisasi turun ke jalan “menuntut” agar masalah rasisme terhadap “bangsa Papua” di hentikan, para pelaku rasisme di adili, menuntut agar segera bebaskan mahasiswa Papua yang di tangkap bahkan ada yang meminta agar semua orang Papua pulang ke Papua. Dan dukungan juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia khususnya di bagian “Timur” seperti NTT dan Ambon serta ada juga dukungan dari Timor Leste. Hampir tidak ada “dukungan” terhadap bangsa Papua dari daerah lain”apalagi” dari Jawa. Bisa dikatakan “hampir tidak” ada dukungan untuk “Bangsa Papua”. Mungkin ada tapi sangat kecil” kecil bangat malah”.

    Disini penulis menyampaikan pendapatnya dari sudut pandang filosofis dengan  beberapa teori tesis dan antithesis untuk sebuah sintesis yang ilmiah. 

Kata “rasisme” sendiri memilik beberapa arti dengan pendapat yang berbeda-beda. Menurut wikipedia Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya. Beberapa penulis menggunakan istilah “rasisme”untuk “mengurangi” hak orang asing (xenofobia), bahkan mengakibatkan penolakan terhadap hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe).

Masalah Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Banyak sekali para pemimpin yang  menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. sejak 1940-an Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia rasisme diartikan sebagai paham atau golongan yang menerapkan penggolongan atau pembedaan ciri-ciri fisik ( seperti warna kulit ) dalam masyarakat. Rasisme juga bisa diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras ( SARA ), golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu (biologis).

Rasis, Mengapa harus ada?

Rasisme menjadi masalah besar yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini. Rasisme sudah eksis dalam kehidupan masyarakat sejak berabad-abad yang lalu. Menurut laman Komisi Hak Asasi Manusia Australia, ada beberapa alasan kenapa orang selalu berlaku rasis.

1. Lingkungan Sosial

Manusia adalah homo socius “manusia social” artinya manusia harus hidup dan bergantung kepada orang lain. Manusia hidup dalam suatu lingkungan social. Mengapa lingkungan sosial? Kebanyakan dari kita juga menghabiskan waktu dengan orang yang memiliki minat, latar belakang, budaya dan bahasa yang sama. Hal ini akan menciptakan rasa memiliki yang tinggi. Di sisi lain, rasa memiliki yang tinggi ini dapat menyebabkan kita untuk berpikir bahwa kelompok kita adalah yang paling baik dari pada yang lainnya. Yang menjadi permasalahan disini adalah “lingkungan sosial”. Apabila lingkungan sosial dimana kita tinggal memiliki minat, bahasa, budaya, latar belakang yang sama dan  ras yang sama maka akan memunculkan sebuah pemikiran dan konsep yang sama. Kesamaan konsep dan pemikiran tersebut akan memunculkan sebuah konsep dan pemikiran lain bahwa” orang’ diluar kita adalah bukan dari kita. Seorang filsuf modern bernama Jean-Jacques Rousseau (lahir 28 Juni 1712, wafat 2 Juli 1778) adalah seorang filsuf dan komposer Prancis Era Pencerahan di mana ide-ide politiknya dipengaruhi oleh Revolusi Prancis, perkembangan teori-teori liberal dan sosialis, dan tumbuh berkembangnya nasionalisme. Melalui pengakuan dirinya sendiri dan tulisan-tulisannya, ia praktis menciptakan otobiografi modern dan mendorong perhatian yang baru terhadap pembangunan subjektivitas. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Manusia itu menjadi jahat karena pengaruh dari kehidupan sosial (tempat dimana dia tinggal). Maka dari pemikiran J.J Rousseau bisa di simpulkan bahwa konsep dan pemikiran yang collective berasal dari lingkungan sosial. entah itu positive ataupun negative (rasis) sangat di pengaruhi oleh lingkungan sosial di sekitar kita.  Dan Kasus “Rasisme” terhadap bangsa Papua juga dalam konteks Pemikiran J.J Rouseau “bisa” berasal dari sebuah konsep dan pemikiran yang sama terhadap suatu kelompok atau suatu golongan. Sebuah konsep dan pemikiran yang mengatakan bahwa” Orang jawa adalah kita (Manusia), orang di luar jawa (kulit hitam) bukan kita (Monyet).

2. Faktor Keluarga. 

Semua orang akan setuju dengan saya bahwa keluarga adalah tempat awal dimana seseorang mengenal dunia, belajar mengenal dunia, belajar mencintai dunia sebelum “terjung” ke dunia sisial di sekitarnya. Artinya bahwa orang tua menjadi factor yang sangat menentukan  terhadap kehidupan “integral” seorang anak sebelum bersosialisasi. Seorang filsuf Empirisme di abad pertengaan yang bernama “John Locke”mengatakan bahwa ketika manusia dilahirkan itu seperti sebuah kertas putih kosong atau istilah filosofisnya adalah “Tabula Rasa”. Pertama kali manusia menghirup udara di dunia, manusia ibarat kertas kosong ataupun kanvas putih, yang siap dicoret dengan berbagai pengalaman hidup. Kau bisa melukiskan apapun dalam setiap perjalanan hidupmu. Tentunya, kau akan suka lukisan yang penuh warna. Filsuf empirisme lain adalah Thomas Hobbes (1588-1679) Hobbes mengatakan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan, pengalaman intelektual tidak lain adalah semacam perhitungan yaitu penggabungan dari data-data inderawi. Setiap yang melekat dalam diri kita, diperoleh dari setiap pengalaman hidup. Dikumpulkan melalui panca indera, sedikit demi sedikit, dan diinternalisasikan dalam diri, melekat dalam tubuh, tersimpan dalam memori otak dan bisa membentuk karakter. Dalam konsep ini karakter manusia ditentukan oleh pengalaman-pengalaman pribadi manusia. Rasisme dalam konsep Empirisme “bisa’ berasal dari pengalaman indrewi yang ditinggalkan oleh generasi ke generasi yang berhubungan langsung secara Biologis (Keluarga). Karena apa pun yang diajarkan oleh orangtua pada anaknya, pasti akan melekat dalam diri anaknya, apa itu baik atau buruk.

Ironisnya, orang tualah yang menjadi salah satu faktor penyebab rasisme muncul, sehingga hal ini akan terjadi rantai kebencian yang tidak putus karena terus didoktrin antar generasi. Masih merupakan “kelanjutan” dari lingkunga sosial segala pengalaman yang di tangkap oleh indra anak hanya merupakan suatu konsep yang “radikal” tentang seseorang sehingga mempengaruhi juga konsep dan pemikiran anak tentang seseorang. Dan disini “Rasisme” bisa dan akan muncul.

3.Keputusan Kebijakan Pemerintah

Dan masalah yang sudah menjadi sangat klasik adalah kebijakan Pemerintah dalam mengambil suatu keputusan. Keputusan kebijakan pemerintah sering menjadi penyebab rasisme dan inilah yang paling  terjadi di Indonesia. Kenyataan membuktikan bahwa beberapa kebijakan yang diambil pemerintah telah menjadi munculnya “akar” rasisme” di masyarakat. Contohnya setiap tahun daerah di jawa selalu ada perbaikan jalan, perbaikan sekolah, perbaikan infrastruktur dan lai-lainnya. Tetapi di daerah bagian Timur jarang sekali ada perbaikan jalan, perbaikan sekolah, perbaikan infrastrukur. Sekalipun ada “perbaikan” itu akan terjadi sepuluh tahun sekali. Menurut Alo Liliweri Pengertian rasisme adalah suatu ideologi yang mendasarkan diri pada diskriminasi terhadap seseorang atau sekelompok orang, karena ras mereka bahkan ini menjadi doktrin politis. Doktrin politis inilah yang menjadi salah satu penyebab adanya Rasisme di Indonesia. Dari pendapat Alo Liliweri tentang rasisme bisa di simpulkan bahwa rasisme muncul karena doktrin politis yang diskriminatif terhadap golongan atau kelompok lain. Dan kelompok atau golongan lain yang menjadi korban doktrin politik adalah “Bangsa Papua dan wilayah di bagian Timur Indonesia. Satu hal yang perlu diakui bahwa sekarang ini sedang ada pembangunan besar-besaran di daerah bagian Timur Indonesia seperti NTT, Papua dan Ambon. Bisa dikatakan bahwa itu juga menjadi “Doktrin Politis” yang diskriminatif. karena pokok masalahnya adalah” sudah 74 tahun merdeka, mengapa baru sekarang ada pembangunan besar-besaran di wilayah Timur? Selama ini wilayah Timur bukan Indonesia? Atau selama ini fokus di bagian barat? Sekali lagi Alo Liliweri mengatakan bahwa rasisme adalah diskriminasi karena doktrin Politis.

4. Budaya serta Adat Istiadat

Budaya serta adat istiadat setiap pelosok daerah atau bangsa tentu berbeda-beda yang otomatis mempengaruhi pikiran serta pemahaman juga perasaan yang tentu mempengaruhi kultur atau pandangan penanganan dalam suatu fenomena sosial di masyarakat. Berbicara mengenai budaya dan adat istiadat maka Indonesia adalah Negara yang sangat kaya akan budaya dan adat istiadat. Bahkan budaya Indonesia sangat dikenal di seluruh dunia. Saya yang pernah berkelana di jawa mengakui bahwa “sangat luar biasa” adat istiadat yang di tanamkan dari generasi ke generasi. Dan salah satu kebiasaan yang sangat luar biasa “keramahan” orang Indonesia (jawa). Luar biasa. Respect. Yang menjadi masalah adalah”mengapa Rasisme terhadap Bangsa Papua justru terjadi di Jawa yang sangat kental budaya dan adat istiadatnya? Mengapa? Ada yang salah dengan budaya dan adat istiadat orang jawa? Atau rasisme adalah “salah satu budaya dan adat istiadat orang jawa? Menurut Bapak Jalaludi Tunsam seorang penulis berkebangsaan Arab yang lama tinggal di Aceh mengatakan bahwa, adat istiadat adalah suatu cara atau kebiasaan yang mengandung nilai kebudayaan, norma, serta hukum yang sudah lazim dilakukan oleh suatu daerah. Dan menurut Soerjono Soekanto, seorang Lektor kepala Sosiologi dan hukum adat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Beliau pun seorang penulis yang menghasilkan buku berjudul Hukum Adat Indonesia. Menurutnya, adat istiadat ini memiliki pengaruh dan ikatan yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan tersebut begitu mengikat tergantung pada masyarakat yang mendukung adat istiadat tersebut. Dua pandangan tentang adat istiadat diatas “bisa”menjadi suatu referensi akan suatu kesimpulan  bahwa kasus Rasisme terhadap “Bangsa Papua” adalah kebiasaan yang sudah biasa dilakukan dan memiliki pengaruh dan ikatan yang kuat dalam masyarakat. Dari kasus Rasisme terhadap “bangsa Papua” yang menjadi “memanas” beberapa hari ini apakah Kasus Rasisme ini adalah bagian dari budaya serta adat istiadat yang telah di turunkan dari generasi ke generasi? Ataukah “Bangsa Papua” adalah korban “permanent” atas “adat-istiadat” yang telah mempengaruhi pikiran orang bukan dari Bangsa Papua”?

Kesimpulan

Apapun itu, bagaimanapun itu dan mau bagaimanapun “bangsa Papua” telah “sedikit hancur” karena Rasisme. Telah sedikit hancur karena menjadi tamu dirumah sendiri. Telah sedikit hancur karena dianak Tirikan. Bukan hanya “Bangsa Papua” tapi Indonesia wilayah Timur telah menjadi Korban Rasisme. Bertahun-tahun Wilayah Timur Indonesia hidup di bawah bayang-bayang “Kolonialisme Indonesia”. Bertahun-tahun Wilayah Timur Indonesia menjadi korban doktrin Politis. Tidak ada yang salah jika Sekarang ini “Bangsa Papua” menuntut haknya, menuntuk hak yang sama sebagai Manusia yang berbangsa dan bernegara. Tidak ada salahnya jika “Bangsa Papua” berontak demi sebuah harga diri, berontak demi sebuah kehidupan yang layak, berontak atas nama kemanusiaan.

Telah 74 tahun Indonesia merdeka, dan ditengah pembangunan besar-besaran di Papua sekarang ini, justru terjadi Rasisme terhadap Bangsa Papua. Ada apa? Dan justru Rasisme terjadi Di Jawa yang satu Negara, satu bahasa dan satu tanah air dengan Papua dibawah sayap Bhineka Tunggal Ika. Apa yang salah dengan Bhineka Tunggal Ika?

Boas Saloza salah seorang Pemain sepak bola asal Papua yang pernah mengharumkan nama Bangsa Indonesia mengatakan” lebih hina mana? Monyet mencari ilmu di tempat manusia dan menusia mencari makan di tempat monyet dan salah seorang pejabat Papua mengatakan” orang Papua tidak bisa membangun gereja di Aceh tapi orang Aceh bisa membangun masjid di Papua.

Penulis menuliskan sabagai Sebuah tinjauan Filosofis-sosial

Ilustrasi Referendum (Rino Abonita/ Liputan6)
Oleh : Ney Sobolim *

Keluarnya pernyataan referendum Aceh oleh Ketua Partai Aceh Muzakir Manaf cukup membuat publik Indonesia heboh. Terlebih para pengguna sosial media, video berdurasi 5 menit lebih itu viral, dibagikan ulang di berbagai sosial media dan mendapat tanggapan yang berbeda-beda dari berbagai kalangan mulai dari akademisi, politisi hingga pejabat negara. Walaupun akhirnya mantan Panglima GAM itu meminta maaf, ada beberapa reaksi dari para petinggi negara ini terhadap pernyataan itu yang menjadi perhatian saya dalam tulis ini. Salah satu diantaranya adalah Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengingatkan supaya Muzakir Manaf  tidak bicara referendum. “Ah tidak usah bicara referendum, nanti TNI kesana dibilang DOM (Daerah Operasi Militer) lagi. Tak akan membiarkan sejengkal pun daerah lepas dari Indonesia. Wilayah keadulatan Indonesia dari Sabang sampai Merauke”, katanya (Nasional.Tempo, 30/05/2019). Tak ketinggalan Menteri Koordinator Politik Hukum & Kemananan (Menkopolhukam) Wiranto bereaksi keras dengan sikap dingin. Seperti diberitakan di Tempo (31/06), Wiranto menegaskan aturan mengenai referendum sudah hapuskan, masalah referendum itu dalam khasanah hukum di Indonesia sudah selesai, gak ada. Beberapa aturan hukum sudah batalkan. Tap MPR nomor 8 tahun 1998, yang isinya mencabut Tap MPR nomor 4 tahun 1993 tentang Referendum. Selain itu, ada pula UU nomor 6 1999, yang mencabut UU nomor 5 1985 tentang Referendum.

Berdasarkan dua pernyataan oleh dua pejabat Negara ini mesti saya harus mendefinisikan kata Referendum terdahulu.

Menurut KBBI /re·fe·ren·dum/ /réferéndum/ n penyerahan suatu  masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen); penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum.

Kemudian, adanya berbagai negara di dunia yang telah menyelenggarakan referendum untuk memberikan kebebasan kepada suatu wilayah untuk meminta pendapat apakah mayoritas rakyat ingin berpisah atau tetap di bawah kekuasaan pemerintahan yang ada. Salah-satunya adalah baru-baru ini tepatnya pada November 2018 lalu,  Perancis memberikan kekebasan rakyat Kaledonia Baru untuk memberikan hak suara mereka. Hasil pemilihan menunjukan mayoritas rakyat Kaledonia Baru ingin tetap dibawah kekuasaan Perancis. Meski selisih beberapa persen referendum berjalan damai. Selain itu, referendum juga diselenggarakan suatu negara untuk Amanden hukum dan tata negara. Misalnya, Perubahan nama negara Makedonia menjadi Makedonia Utara pada 2018 lalu. Negara Inggris juga pernah menggelar referendum untuk keluar dari keanggotaanya di Uni Eropa. 

Lantas (bagi saya) pernyataan kedua petinggi negara (Menhan & Menkopolhukam) diatas menjadi pertanyaan, pelarangan hingga penghapusan itu dalam konteks apa? Apakah referendum bagi berbagai wilayah  yang ingin menentukan nasibnya sendiri, misalnya Papua? Atau misalnya dalam mengubah dasar negara tertentu tidak melibatan rakyat?

Papua dan Tuntutan Referendum

Untuk pertanyaan yang pertama diketahui semua pihak bahwa, wilayah yang paling loyal menyeruhkan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Papua. Di Papua salah satu organisasi yang memediasi rakyat dan menyerukan referendum dalam setiap aksi demo maupun kampanye di tingkat regional maupun internal adalah Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Selain KNPB, ada The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan berbagai organisasi lainnya mendesak agar rakyat Papua diberikan kebebasan untuk memilih, apakah masih ingin dibawah kekuasaan pemerintah Indonesia atau berdiri sendiri membentuk suatu pemerintahan. Sama halnya, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menuntut pemerintah Indonesia agar diberikan kebebasan hak untuk menentukan nasib sendiri kepada rakyat Papua sebagai solusi demokratis. Menurut AMP dan juga pejuang yang tergabung dalam berbagai organisasi, ada kesalahan dalam proses sejarah dimasukkannya wilayah Papua sebagai bagian dari NKRI diantaranya adalah:

1. Jauh sebelumnya tepatnya pada 1 Desember 1961 wilayah Papua sudah diklarasikan menjadi sebuah negara secara de facto lengkap dengan atribut kenegaraan seperti bendera “Bintang Kejora”, Lagu Kebangsaan “Hai Tanahku Papua.”, lambing “Burung Mambruk” dan  atribut kenegaraan lainnya.

2. Klaim Presiden RI pertama Soekarno terhadap wilayah Papua melalui perintah Trikora di Alun-Alun Utara, Kota Yogyakarta pada 19 Desember 1961 salah satu poinya menyebut bubarkan negara boneka buatan Belanda adalah  klaim sepihak dan tidak mendasar.

3. Realisasi perintah Soekarno di poin 2 dilancarkan operasi-Operasi Militer ke wilayah Papua, sehingga terjadi banyak kekerasan.

4. Rakyat Papua atau perwakilan tidak dilibatkan dalam perjanjian-perjanjian internasional diantaranya New York Agreement (Perjanjian New York) yang diprakarsai oleh Amerika Serikat pada 15 Agustus 1962 dan Roma Agreement 30 September 1962 .

5. Penyerahan Kedaulatan wilayah Papua ke tangan pemerintah melalui otoritas eksekutif sementara PBB The United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) kepada pemerintah Indonesia tanpa sepengetahuan orang asli Papua sebagai pemilik Tanah Air pada 1 Mei 1963.

6. Penyerahan wilayah Papua itu tidak sesuai dengan keputusan di New York dan Roma sebelumnya.

7. Ditandatanganinya Kontrak Karya I Freeport McMoran atau PT. Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia melalui para pejabat Orde Baru, Soeharto Cs pada 7 April 1967. Padahal pada saat itu wilayah Papua belum sah menjadi bagian dari Republik Indonesia atau 2 tahun sebelum diselenggarakan tindakan pemilihan bebas atau Pepera 1969

8. Pelaksanaan referendum tidak sesuai kesepakan yng diatur di New Yok dan Romayaitu melalui mekanisme Indonesia musyawara mufakat. Yang semestinya sekitar 800.000 jiwa rakyat Papua pada saat memberikan hak suara, hanya diwakilkan 1025 orang, itu pun sebagian dikarantinakan.

Dengan sejumlah alasan diatas, ditambah berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kontemporer, seraya eksploitasi sumber daya alam, perampasan tanah-tanah adat, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan terlebih depopulasi orang asli Papua terus terjadi, tuntutan hak untuk menentukan nasib sendiri semakin meluas.

Referendum atau Hak Penentuan Nasib Sendiri Nilai Demokrasi

Tuntutan rakyat Papua itu cukup mendasar. Sebab berkenaan nilai-nilai demokrasi. Jika ditilik dari Kovenan-Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak sipil politik dan tentang hak-hak masyarakat pribumi. Dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang ditetapkan Maajelis Umum PBB dalam siding pada 16 Desember 1966, salah satu poin dipasal Pasal I ayat 1 menyatakan bahwa Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka. Kemudian diratifikasi dalam berbagai pasal dalam UU Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005. Selanjutnya sebagaimana penegasan hak-hak sipil dan politik dideklarasikan di Viena dengan menegaskan betapa pentingnya hak menentukan nasib sendiri untuk semua kelompok masyarakat menentukan status politik untuk mengejar pembagunan ekonomi, sosial dan budaya.

Dengan adanya pernyataan Menkopolhukam Wiranto, bahwa hukum-hukum yang mengatur tentang referendum telah dihilangkan mungkin saja suatu  sikap tertentu agar sejarah lepasnya Timor Leste tidak terulang kembali. Mungkin juga referendum yang dimaksud adalah lebih pada tidak melibatkan warga negara Indonesia dalam amanden tertentu. Tidak untuk hak untuk menentukan nasib sendiri. Sebab, hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah kesepakatan negara-negara anggota PBB, Indonesia sebagai salah satu anggota wajib untuk menghormati demi mewujudkan perdamaian dunia.

Jika pemerintah Indonesia memberikan kebebasan hak penentuan nasib sendiri kepada  rakyat Papua sebagai solusi yang demokratis dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi internasional, akan menjadi salah satu kemajuan bagi demokrasi di Indonesia. 

*Penulis adalah Anggota (pengurus) Aliansi Mahasiswa Papua

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats