Halloween party ideas 2015

 

Doc. Koran kejora, Foto ilustrasi 59 Tajun Aneksasi west papua 01 mey 1963 - 2022  



PRESS RELEASE

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Dan 

Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRIWP)


Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!


59 Tahun Aneksasi Bangsa Papua Barat Ke Dalam Bingkai Kolonial Indonesia Dan Berikan Hak Menentukan Nasip Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi West Papua


Wilayah Papua telah lama menjadi sengketa  antara Indonesia, Belanda serta Amerika dan Indonesia. Negosiasi dalam menentukan status Papua Barat di mulai dari Perjanjian Linggardjati  pada 15 November 1946 dan dilanjutkan dengan Konfrensi Meja Bundar (KMB) antara Belanda-Indonesia tahun 1949. Namun dari kedua perjanjian tersebut status Papua Barat masih belum selesai hingga Belanda mengamandemenkan konstitusi bahwa Papua Barat adalah bagian dari Kerajaan Belanda pada tahun 1956.

Rakyat Papua yang melihat situasi objektif ini kemudian mulai mongkonsolidasikan diri agar terlepas dari Indonesia, Belanda maupun Amerika serikat. Tepat pada tanggal 1 Desember 1961 rakyat Papua mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai sebuah negara yang merdeka yang telah diakui dan sah secara de fakto maupun de jure. Namun Indonesia (Soekarno) menanggapi kebebasan berdaulat tersebut dengan mendeklarasikan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) pada 19 desember 1961 yang isinya ; Bubarkan negara boneka Papua buatan Belanda, Kibarkan sang saka merah putih di seluruh Irian barat dan bersiaplah melakukan mobilisasi umum.

Ir. Soekarno mengklaim Papua Barat bagian dari Indonesia dengan berbagai alasan. Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit, Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung Papua Barat di klaim oleh sultan Tidore dan Soekarno sebagai bagian dari Kesultanan Tidore yang berdasarkan teritori sebagai daerah “Indonesia Bagian Timur”. Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda. Soekarno juga yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme Barat di Asia Tenggara. Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda. Ia juga memiliki perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat  merupakan benteng Belanda yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede politionele aktie) pada 19 Desember 1948 untuk menghancurkan negara RI.

Dari ambisi Belanda maupun Indonesia untuk merebut Papua Barat ini kemudian melahirkan perjanjian New York (New York Agreement) dan Perjanjian Roma (Roma Agreement) di tahun 1962. Dari Perjanjian tersebut  dengan tekanan  Amerika serikat, tepat pada  01 Mei 1963 pemerintah Belanda menyerahkan Papua kepada  UNTEA (United Nation Temporary Executivee Authority) sebagai perwakilan badan ekseskutif sementara PBB yang akan menyerahkan Papua Barat ke Indonesia sesuai mekanisme hukum internasional. Namun  Setelah menganeksasi Papua Barat, UNTEA dan Indonesia telah melanggar Hukum Internasional, Melanggar Prinsip-Prinsip Demokrasi, dan Melanggar Hak-Hak Dasar Masyarakat Papua Barat sebagaimana perjanjian yang telah di tetapkan tanpa melihat hak kemerdekaan bangsa Papua Barat yang telah dicapai.

Dalam New York Agreement telah disepakati proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang akan dilaksanakan pada tahun 1969. Namun sebelum PEPERA dilakukan, berbagai macam Operasi khusus (Opsus) dibawah komando mandala Soeharto dan di ketuai oleh Ali Murtopo digencarkan oleh Indonesia. Melalui ABRI (kini TNI) telah menghancurkan bangsa dan rakyat Papua Barat dengan membakar semua buku-buku, symbol negara, memerkosa,menyiksa, membunuh hingga mencuri dan menjarah semua harta benda yang dimiliki rakyat Papua. Kemudian mekanisme one man one vote (New York Agreement) juga diubah menjadi musyawarah mufakat seperti budaya rakyat Indonesia. Dari 809.337 orang asli papua yang memiliki hak hanya diwakili oleh 1.025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan hanya 175 orang yang memberikan pendapat. Sebelum dilaksanakannya PEPERA juga tepatnya di tahun 1967, Indonesia dibawah pimpinan soeharto telah menandatangani kontrak dengan perusahaan tambang Freeport Mc Moran milik Amerika serikat melalui UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Maka dari itu Proses Aneksasi hingga mekanisme PEPERA dianggap cacat moral dan hukum oleh rakyat Papua.

Hingga saat ini, Paket kebijakan otonomi khusus yang dipaksakan terhadap rakyat papua dari tahun 2000 semakin memperparah penjajahan di Papua. Menurut data yang di rangkum oleh Sawitwatch (2021) 998, 094,2 ha (Papua) di tambah 576,090 ha (Papua Barat) adalah luas hutan yang dieksploitasi oleh kelapa sawit dengan ratusan perusahaan di dalamnya. Akses pertambangan legal maupun ilegal seperti tambang minyak, gas, emas, perak, uranium, biji besi dan lainnya yang dibuka lebar bagi investor lokal dan asing. Demi melancarkan eksploitasi sumber daya alam Papua, dilakukan operasi-operasi militer yang mengakibatkan 13.687 jiwa mengungsi dari Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, Puncak, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat dan daerah lainnya hingga 64 jiwa meninggal selama pengungsian (SORAKPATOK,2021). Tingkat pelanggaran HAM pun semakin marak terjadi. Mulai dari  penembakan terhadap masyarakat sipil, penangkapan aktivis, pembungkaman ruang demokrasi, pelecehan seksual,serta kriminalisasi gerakan  pro kemerdekaan papua dengan memberikan label teroris tanda adanya dasar hukum yang jelas.

Pemekaran Daerah Otonomi Baru dan pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, pelabuhan dll) merupakan akses yang dibangun untuk melancarkan perputaran modal /eksploitasi besar-besaran diatas tanah papua tanpa memperhatikan masa depan rakyat papua sebagai subjek maupun objek dari tanah papua itu sendiri.demi kepentingan pemilik modal dan elit-elit birokrat.

Dari sejarah dan situasi maupun kondisi yang terus berkembang sampai hari ini. Dapat di simpulkan bahwa tidak akan pernah ada masa depan selama bangsa papua masih berada di dalam ketiak kolonial Indonesia dan hanya dengan menentukan nasibnya sendiri bangsa papua akan terbebas dari segala bentuk system yang menindas; Militerisme,kolonialsimne, dan Imperialisme. 

Maka dari itu, kami Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)  Dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRIWP) menuntut serta  menyatakan sikap bahwa:

1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua 

2. Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II 

3. Cabut Omnibus Law 

4. Tolak pemekaran DOB di seluruh tanah papua

5. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua 

6. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua 

7. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia 

8. Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat 

9. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang 

10. Usut tuntas pelaku penembakan dua anak di Intan Jaya 

11. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM 

12. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri  terhadap mahasiwa dan rakyat west papua

13. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, puncak papua, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya 

14. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua

15. Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung 

16. Buka Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua


Demikian PRESS RELEASE  ini kami buat dan menyerukan kepada dunia internasional, PBB dan semua gerakan yang peduli akan kemanusia dan keadilan atas perhatian dan kerja  samanya kami ucapkan banyak terima kasih



Salam Demokrasi!

Medan juang

Minggu, Tanah kolonial , 01 Mei 2022



Doc.koran kejora, 38 tahun kematian Arnold Aap 1948 - 2022 


PERS RELEASE

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Dan 

Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRIWP)

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!


Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!


Melawan Lupa: 38 Tahun Kematian ARNOLD C. AP 


Arnold Clemens Ap merupakan seorang budayawan, antropolog dan musisi yang lahir di Pulau Numfor, Biak pada 1 Juli 1945. Semenjak Tahun 1967, Arnold Clemens Ap mulai aktivitas perkulian di Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Universitas Cenderawasih, di masa kuliah itu Arnold mulai tertarik dengan politik. Setelah lulus sarjana muda, dia bekerja sebagai kurator di museum kebudayaan kampusnya. Arnold Ap dikenal sebagai musisi dari kelompok musik “Mambesak” diambil dari bahasa Biak yang berarti burung suci yang artinya burung cenderawasih. Sebelum bernama Mambesak, namanya adalah Manyori yang berarti burung Nuri, yang eksis sejak 1970-an.


Ketika Mambesak memulai eksistensi pekerjaannya, banyak yang gagal memahami apa tujuan sejatinya. "Mungkin kamu berpikir saya ini sedang melakukan hal bodoh, tapi inilah yang saya pikir dapat saya lakukan untuk rakyat, sebelum saya mati,” demikian Arnold Ap menjelaskan sesuatu yang dapat menggambarkan semangat Papua yang mengilhami rakyatnya. 

Group Mambesak mampu membangkitkan kembali kesadaran masa akan jati dirinya sebagai Bangsa Papua yang dipelopori oleh Arnold C Ap, berusaha membangun budaya pembebasan bagi rakyatnya yang tertindas dalam bidang seni sekalipun karena dominasi musik gereja dan musik melayu yang sedang melanda Tanah Papua saat itu. Arnold Ap dengan Grup Mambesaknya yang terus menggeliat di Tanah Papua membangun begitu banyak kesadaran di tingkat massa rakyat mampu membangkitkan bukan cuma kesadaran dirinya tapi juga kesadaran politik. Sehingga tak heran kalau lagu-lagu mambesak pada era tahun 80-an hingga tahun 90-an menyebar sampai ke daerah paling jauh di pedalaman Papua bahkan sampai disiarkan oleh siaran radio Papua Nugini (refrensi: George Junus Aditjondro,2000).


Pada November 1983 dia ditangkap oleh militer Indonesia pasukan khusus (Kophasanda) yang sekarang berganti nama menjadi Kopassus dan dipenjarakan dan disiksa untuk tersangka simpati dengan Gerakan Papua Merdeka, meski tidak ada tuduhan telah dibebankan. Pada bulan April 1984 ia dibunuh oleh tembakan ke punggungnya. Pernyataan ‘gombal’ resmi dari Pemerintah kolonial Indonesia menyatakan bahwa ia sedang berusaha melarikan diri. Tetapi ternyata Arnold Clemens Ap dieksekusi oleh Kopassus. Musisi lain, Eddie MoFu, juga tewas. Adapun juga iya menciptakan lirik menyanyikan lagu ‘’Hidup Ini Suatu Misteri’’  sebelum iya harus mati ditangan para Kopasanda.


Karena saat itu, rezim yang anti demokrasi yang bernama Suharto melakukan pembunuhan terencana terhadap orang yang dituduh preman—dikenal sebagai ‘Operasi Penembakan Misterius’ alias petrus. Di Papua, dalam kondisi pertumbuhan gerakan politik, yang dimana belanda yang tidak bertanggung jawab dengan tegas nasib rakyat dan bangsa Papua yang sudah – telah secara tegas menyatakan nasibnya sendiri berdiri sebagai embrio bangsa yang berakar sejak 1950-an, generasi terpelajarnya membangun kesadaran atas identitas dan persamaan nasib rakyat Papua. Ada yang bergerak dalam kebudayaan seperti Mambesak, ada yang angkat senjata seperti Seth Rumkorem dan Eliezer Awom. Militer Indonesia di Papua, yang saat itu Panglima Kodam Trikora dipegang oleh Brigjen Sembiring Meliala, mencurigai apa yang dituding sebagai “simpatisan jaringan Organisasi Papua Merdeka” di perkotaan, mencakup lingkungan kampus dan instansi pemerintah.” Meski tanpa bukti dan tak pernah mendapatkan peradilan yang jujur dan adil, Arnold Ap dituduh ke dalamnya. 

Pada 30 November 1983, Arnold Ap ditahan oleh Kopassandha, elite tentara kolonial Indonesia yang kini bernama Kopassus. Pada saat yang sama, pemerintah Soeharto mengirim transmigran ke Papua, proyek pembangunan didanai oleh Uni Soviet, yang membuat orang asli Papua bertambah cemas sebagai pemilik tanah Mama mereka. Proyek ini bersamaan operasi militer bernama ‘Sate’ di perbatasan Papua Nugini–Indonesia. Dalam kesaksian para penyintas perempuan atas peristiwa di tahun-tahun itu, yang terdokumentasi secara baik oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, tentara Indonesia membakar kampung, memperkosa gadis, menyiksa dan sebagainya. Orang Papua semakin takut ketika mendengar Arnold Ap, sosok paling terkenal saat itu, ditahan. Imbasnya, pada 1984-1986, sekitar 9.435 orang Papua mengemasi nyawa dan menyeberangi  perbatasan Papua ke PNG [Papua New Gunea].

Dari semua itu, ditahun 1963 hingga tahun 2004 ada 15 Operasi Militer Indonesia yang dijalankan di Papua ( baca: suarapapua.com ). Sedangkan, bentuk-bentuk operasi militer yang dipergunakan di Papua adalah merupakan operasi teritorial, operasi intelijen, dan operasi tempur. Operasi militer bertujuan untuk secara persuasif membujuk masyarakat agar mensukseskan PEPERA [Penentuan Pendapat Rakyat] dengan memenangkan Indonesia. Operasi ini dilakukan diantaranya dengan pendampingan masyarakat, sosialisasi, maupun pembangunan daerah. Operasi teritorial ini adalah operasi militer yang paling soft karena lebih menekankan pada cara-cara yang persuasif untuk menarik simpati rakyat.


Bentuk operasi lain yang biasanya dilakukan bersamaan dengan operasi teritorial adalah operasi intelijen. Operasi intelijen bertujuan untuk melakukan pemetaan atas kondisi suatu wilayah atau kelompok masyarakat, maupun untuk melakukan kalkulasi sikap dan kecenderungan sosial politik suatu wilayah atau kelompok masyarakat. Hasil dari operasi intelijen ini untuk selanjutnya akan dipergunakan untuk mengambil sebuah keputusan atau kebijakan atas suatu wilayah atau kelompok masyarakat yang dijadikan target operasi intelijen. Jika operasi intelijen menunjukkan kecenderungan suatu wilayah atau kelompok masyarakat melakukan resistensi atas kehendak penguasa, maka pilihan yang diambil adalah melancarkan operasi tempur dengan kekuatan bersenjata, baik dari satuan organik maupun kombinasi dengan pasukan non-organik.


Dari berbagai bentuk operasi militer tersebut, operasi tempur adalah yang paling sering terjadi, terutama sejak dilancarkan di era pemerintahan Soekarno melalui Komando TRIKORA [Tri Komando Rakyat] 19 Desember 1961. Operasi tempur menjadi wajah yang mendominasi wajah pemerintah Indonesia bagi rakyat Papua dan menjadi sebuah sikap politik dan kebijakan Pemerintah kolonial Indonesia dalam memperlakukan rakyat Papua. Pemerintah Indonesia lebih memilih pengerahan kekuatan bersenjata daripada mempergunakan pendekatan dialog yang melibatkan Persatuan Bangsa - Bangsa dalam menghadapi rakyat Papua.


Hingga sampai hari ini, situasi kondisi di Papua masih terus melakukan penyisiran hingga rakyat di Maybrat, Pegunungan Bintang, Intan Jaya, Puncak Papua dan Nduga harus mengungsi dari tanahnya sendiri. Belum lagi setelah disahkan Omnibus – law masa Jokowi – Maruf Amin membuka kran investasi di Papua dengan mengesahkan kebijakan diatas kebijakan yang melahirkan Otonomi Khusus Jilid II di Papua agar mempermudah akumulasi capital modal ditanah Papua. Agar akumulasi itu tetap berjalan sesuai dengan kepentingan. Maka, pemetaan terus dilakukan dengan terus didorong oleh Kolonial Indonesia dan elit borjuis Papua untuk  membagi Papua menjadi 6 Wilayah Provinsi Baru. Walaupun hari ini atas nama  ‘’Petisi Rakyat Papua’’ yang terdiri dari 122 Organisasi terus menggalang dengan perolehan 2 Juta suara, yang itu representasinya dari rakyat Papua, namun elit Jakarta dan Elit Papua terus mencari kesempatan dalam kesempitan untuk meloloskan semua prodak kolonial di tanah Papua.


Maka dengan itu, kami Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Melihat bahwa; Semua produk Kolonial Indonesia yang melanggengkan penindasan yang berkepanjangan di tanah West Papua akan selesai. Jika, Kolonial Indonesia Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Kepada Rakyat Papua melalui mekanisme referendum dibawa hukum Internasional.Dengan demikian, sejarah bangsa Papua Barat setelah 1969 menunjukkan bahwa hasil Pepera itu justru menjadi salah satu akar konflik yang berkepenjangan; yang menghasilkan tragedi-tragedi pembunuhan, pemerkosaan, penganiyaiyaan, perampokan oleh militer Indonesia yang berkuasa di atas tanah rakyat West Papua dalam rezim soharto hingga pada saat kepemimpinan Jokowi saat ini masih berlangsung.  Bahkan, Lagu-lagu Nasionalisme  bangsa Papua Barat di bungkam  secara kekerasan militer, dan orde baru Indonesia yang berlaku atas bangsa Papua Barat terus melakukan ketidak pertanggung jawababan atas beragam kasus dari dikriminasi rasial, operasi militer, UU Pasal Makar, pendoropan militer, dan beragam eksploitasi lainnya yang tidak berhentinya.


Maka dari itu, kami Aliansi Mahasiswa Papua [AMP]  Dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRIWP) menuntut serta  menyatakan sikap bahwa:


1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua 

2. Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II 

3. Cabut Omnibus Law 

4. Tolak pemekaran DOB di seluruh tanah papua

5. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua 

6. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua 

7. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia 

8. Bebaskan tahanan politik West Papua tanpa syarat 

9. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang 

10. Usut tuntas pelaku penembakan dua anak di Intan Jaya 

11. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM 

12. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri  terhadap mahasiwa dan rakyat west papua

13. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, puncak papua, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya 

14. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua

15. Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung 

16. Buka Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua


Demikian statement ini dibuat, atas dukungan, pastisipasi dan kerja sama perjuangan oleh semua pihak, kami ucapkan banyak terima kasih. 



Salam Demokrasi!

 Medan juang, 


Tanah colonial, Sabtu, 26 April 2022



Doc.Korankejora


Korankejora.blogspot.com - Kronologis penembakan brutal Polisi kepada masa pendemo damai tolak Otsus & Pemekaran di Yahukimo, Selasa (15/03/22) berawal dari kamera drone anggota intel Polisi di tengah masa aksi demo yang sedang berorasi di Ruko Pangkalan Cenderawasih, kota Dekai. Aksi dikoordinir Himpunan Alumni Mahasiswa se Jawa Bali. 

Saat orasi perwakilan elemen sedang berlangsung, kamera drone diterbangkan di depan masa. Masa demo mendapati pemilik kamera yang ada di tengah masa dan menanyakan identitasnya. Massa meminta kartu wartawan.

Karena dia bukanlah wartawan dan menolak menunjukkan identitas, masa mengetahui bahwa dia bukanlah wartawan maka masa mengambil kamera dan merusakan kamera drone untuk menjaga keamanan dan privasi orator dan masa aksi.

Lalu kemudian dia melarikan diri ke sisi aparat kepolisian bersenjata lengkap yang jaraknya agak jauh dari masa. Lalu aparat bergerak maju menuju masa dan langsung menembakkan gas air mata, bersamaan dengan tembakan peluru ke arah masa. Lalu masa berhamburan dan membalas dengan lemparan batu.

Karena masa melihat ada warga masa pendemo yang tertembak jatuh, maka masa membakar beberapa fasilitas di Ruko B dan kantor Kominfo, sambil berlarian mencari perlindungan dari tembakan aparat kepolisian yang membabi buta. 

Dua orang tewas ditembak, 3 kritis di Rumah Sakit, dan 5 terluka. Setelah mulai redah, polisi melakukan penangkapan beberapa anggota aksi damai. Korlap aksi, Denias Helembo menghadap kepolisian namun ia ditahan sampai sekarang. 

Berikut adalah nama-nama korban penembakan Polisi dan Brimob:

* Korban Meninggal:

1. Yakob Meklok (39), laki-laki, kena peluruh di ketiak bawah kanan dan bersarang dalam tubuh. Meninggal di tempat.

2. Erson Weipsa (21), laki-laki, kena punggung belakang masuk dada. Meninggal setelah dibawa ke RS. 


* Korban Luka Tembak Kritis di RS:

3. Anton Itlay (23), laki-laki, kena peluru di Paha

4. Ripen Keroman (20), laki-laki, kena peluru

5. Omori Bahabol (22), laki-laki, kena peluru


* Korban Luka Tembak, Rawat Jalan:

6. Setti Kobak (23), laki-laki

7. Lukas Busup (37) laki-laki

8. Ance Kaningga (17) Perempuan

9. Luky Kobak (21) laki-laki)

10. Miren Omu (22) laki-laki.


Pernyataan Tuntutan:

1. Polisi (Brimob) dan Bupati Yahukimo segera bertanggung jawab atas korban penembakan brutal ini. Sebab Bupati dan Polisi telah melarang ruang demokrasi bagi rakyat Yahukimo dengan senjata.

2. Segera bebaskan Kordinator Aksi, Denias Helembo dan anggota masa lainnya yang ditahan.

3. Segera proses hukum pelaku penembakan, dan tarik keluar TNI/Polri dari Yahukimo demi keamanan rakyat sipil.

4. Tolak Otsus, Pemekaran, dan operasi militer di Yahukimo, dan dari Tanah Papua, Sorong sampai Merauke. 


Dekai, 16 Maret 2022


Erius Suhun

Ketua Pemuda Adat 12 Suku Yahukimo

+6281343258429



 

Photo setelah di ambil usai pemasangan
pada 01 July 2021

PERYATAAN SIKAP

ALIANSI MAHASISWA PAPUA KOMITE KOTA BALI

 

“Mengutuk keras Tindakan Teror dan Intimidasi serta upaya kriminalisasi Terhadap AMP KKB oleh orang tidak di kenal di Bali "

Pembungkaman  ruang demokrasi terus di lakukan kepada setiap gerakan, gerakan aktivitas terus di kontrol, Upaya  kriminalisi yang juga terus di lakukan oleh orang tidak di kenal mulai mengencang di Indonesia dan lebih khusnya di bali, hal tersebut tidak terlepas dari situasi politik otsus yang di mana colonial Indonesia sendiri berperan dan bermain untuk  melanjutkanya, 

Otsus merupakan gula gula manis yang di berikan dari Negara kepada  kepada orang papua, artinya otasus menjadi malapeta bagi papua, karena pada dasarnya kehadiran otsus membuat kesengsaaran, kehancuran pengusuran, pelagaran ham terus berlanjut di atas tanah papua barat 

Papua telah merdeka sejak 1 desember 1961secara de facto dan de jure namun kepetingan imperialisme yang membuat kolonialisme Indonesia boneka amerika terus  menjajah , menindas, memperkosa, menyiksa bangsa west papua, akibatnya 19 desember 1961 terjadilah trikora di komandangkan di alun alun  djogja hal tersebut yang membuat , kekuatan militer terus di  terjunkan ke papua sedangkan bangsa papua sudah merdeka di atas tahannya  sendiri, akhirnya operasi militer yang di gencarkan  di papua barat  demi menutupi semua kejahatan kemanusian dan sejara di memanipulasi 

Akibat kepanikan kolonialisme Indonesia yang di mana rakyat papua meminta merdeka, dan meminta untuk Indonesia mengakui kedaulatannya sebagai Negara yang merdeka. pada tahun 2001 indonesia memberikan Otonomi khusus sebagai bahan tawar untuk meredam semua kejahatan kemanusiaanya yang terus terjadi diatas tanah papaua barat. 

Tahun 2021 adalah di mana keberakhiran otsus, organisasi organisasi bahkan aktivis kemanusiaan yang menyuarahkan tentang  kemanausia di kriminalisasi, di tanggkap, di penjarakan bahkan organisasi yang menyuarahkan tentang 

kemanusia pun di kategorikan sebagai teroris, hal tersebut membuat gerak orang papua susah untuk mengukapkan sebenarnya apa yang terjadi, serta aktivis yang meyuarakan  aspirasi di muka umum pun di kriminalisasi dan di anggap makar 

Pada dasarnya kebebasan berekspresi dan menayampaikan pendapat di muka umum telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagai berikut, Pasal 28e ayat (2) dan 28f, UUD 1945,  Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM,  Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Sipil dan Politik.

Berdasarkan pada eksistensi dasar hukum diatas maka jelas bahwa kebebasan berekspresi] dijamin secara hukum. Dengan diaturnya dalam beberapa aturan diatas maka secara jelas kebebasan berekspresi  merupakan bagian langsung dari Demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Pada prakteknya tindakan yang di lakukan oleh otk maupun dantni porli yang terus membatasi pegerakan mahasiswa papua telah melanngar kode etik juga hak asasi manusia

Semejak pelabelan teroris kepada kkb atau TPNPB  juga orang papua yang meyuarahakan tentang kemerdekaaan, hal tersebut  di keluarkan melalui perss di Jakarta pusat oleh maruf md, akhirnya 

Beberpa aktivis aliansi mahasiswa papua   rolan levi dan kelvi molma di kriminalisi di polda metro jaya hingga sekarang masih di tahan sedangkan viktor yaeimo di tahan di jayapura ia masih di tahan di dalam ruang isolasi, aktivis mahsiswa bahkan prodem di intintimidasi dan di teror untuk membungkan ruang gerak dan ruang gerak  aktivis papua.

Di bali sendiri ruang gerak aktivitas mahsiswa papua terus di pantau, di intelin, beberpa bahkan di mitai mendata medata nama penghuni mahasiswa papua.

Sabtu (1/5/2021) hari aneksasi bagi bangsa papua, ruang gerak n di bungkam habis habis dan penempelan poter, teror terhadap aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) oleh orang tak dikenal (OTK) terjadi, penempelan poster bertulis “Tumpas Teroris KKB Papua dan AMP teroris dan di temple logo amp dan foto tpnpb”, Sebelumya juga penepelan poster berupa perpanjanggan otsus di lakukan di beberapa daerah, kapus juga di kontarakan namun 112 oragnisasi rakyat papua yang tergabung dalam petisi rakayat telah menolka otsus di perpanjangkan .

Hari ini jumat 02 juli 2021 pun terjadi hal yang sama demikian penepelan poster berupa tulisan AMP ANTEK TERORIS PAPUA, WASPADA AMP PROVOKATOR  PEMECAH BELAH BANGSA “teror dan intimidasi berupa pemasangan poster poster di beberapa titik  kepada aktivis terhadap aktivis amp  yang  menyuarakan tentang kekerasan dan persoalan di atas tanah papua tersebut di bungkam , dan asrama, kontrakan, terus di intelin dan terus di takut takuti 

Oleh karena  itu untuk melindunggi demokrasi, menghargai dan menhormati  hak dan kewajiban serta menegakan keadilan untuk semua manusia di muka bumi, Maka dengan melihat situasi tersebut kami Aliansi Mahasiswa Papua komite kota bali menentut : 

1. Mengutuk keras tindakan terror, intimidasi dan upaya kriminalisasi terhadap Anggota AMP

2. Menguntuk siapa pun baik Individu maupun lembaga yang dengan sengaja dan sangat tidak terpuji serta licik menempelkan Poster-Poster dengan Label Mahasiswa Papua Sebagai Teroris.

3. Hentikan tindakan-tindakan propokatif kepada pemilik/ Tuan kontarakan, tuan asrama serta kos kosan

4. STOP sebarkan berita HOAX terkait AMP-KK Bali.

5. AMP-KK Bali menolak Termakan adu-domba yang sedang dimainkan dan ingin diciptakan oleh Individu maupun Lembaga terhadap AMP-KKB dan Masyarakat Bali.

6. Bebaskan Viktor Yeimo, Roland Levy dan Kelvin Molama, dan seluruh Tahanan Politik

7. Mengutuk keras sjapan pun yang mengatas namakan mahasiswa papua di bali

8. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa Papua Barat


Demikian peryataan sikap pegutukan kepada otk ini kami buat atas perhatian dan kerja samanya kami ucpkan banyak terimakasih


                              Medang juang

   Denpasar, jumat 01 juli 202

 


Photo Pemukulan Oleh Militer Indonesia gabungan Ormas Reaksioner di Jakarta terhadap masa aksi AMP KK Bali, 01 July 2021

Kronologis Pembungkaman dan Represifitas Aparat kepolisian Indonesia Terhadap Massa Aksi Aliansi Mahasiwa Papua (AMP) kk Jakarta.

Kamis 01 Juli 2021.

Masa aksi tiba di titik aksi patung kuda jakarta pukul 11-00, setelah tiba di TKP Masa aksi mulai membuka spanduk dan poster. masa aksi yg tergabung sebanyak 28 orang, pada saat korlap mulai pimpin masa aksi untuk  menuju ke  titik aksi, pasukan kepolisian datang dan tanpa negosiasi langsung perintahkan untuk menangkap dan membubarkan masa aksi yg tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Namun, masa aksi masih tetap bertahan dan melakukan aksi dengan yel-yel Papua Merdeka.

Pihak kepolisian terus berupaya melakukan pembubaran serta melakukan tindakan represif terhadap Massa aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Sehingga Pada saat itu, korlap sempat negosiasi dengan pihak kepolisian agar beri waktu untuk massa aksi membaca peryataan sikap. Namun kepolisian secara paksa menarik dan menangkap sebagian masa dari dalam tali komando.  

15menit kemudian, kelompok reaksioner yang dibentuk untuk aksi tandingan datang dan melakukan provakasi dan serangan fisik terhadap massa aksi AMP. Namun polisi membiarkan itu terjadi dan polisi juga serta melakukan kekerasan. Masa aksi  ditarik dan yg lain ditendang bahkan di pukul secara membabibuta.

Selain itu, saat massa aksi dan kepolisian saling mendorong, pihak kepolisian melontarkan kalimat ‘’tembak mati’’ sambil memukul satu orang massa aksi dan menodong senjata laras panjang hingga mengenai kepalanya.

Refresifitas ini terjadi dari pukul 11-05 sampai pukul 12-00.  kemudian  masa aksi di angkut paksa dan dibawa pakai dua mobil dalmas polda metro jaya dan 14 motor kepolisian.

Pukul 12:47, masa aksi di bawa ke taman BKN jakarta timur oleh kepolisian, setelah di BKN masa aksi di ancam oleh kepolisian dengan kalimat yang sama  ‘’saya tembak’’ hanya karena masa aksi menolak salah satu anggota polisi yang mengambil gambar. 

Sekitar delapan orang massa aksi AMP mengalami luka-luka yang cukup berat. Dan juga perangkat aksi berupa poster, bener, dan microphone dirampas dan dirusak oleh Aparat kepolisian Republik Indonesia.

Medan Juang

Jakarta Pusat,  01 juli 2021.



 

Ils.Gambar FRI-WP

PERS REALESE & PERNYATAAN SIKAP 


Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) KK Yogyakarta & Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP)


" BEBASKAN TAHANAN POLITIK PAPUA & BERIKAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI SEBAGAI SOLUSI DEMOKRATIS BAGI BANGSA WEST PAPUA "


Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Amakanie, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak  Wawawawawawa...wa...wa...wa...wa!


Semakin lama Pelanggaran HAM yang ada diwilayah Papua semakin bertambah numpuk, intimidasi, represif dan rasisme terhadap rakyat papua tidak pernah ada henti-hentinya. Semenjak adanya penambahan Angkatan Militer TNI-POLRI yang diterjunkan ke wilayah Papua tahun 2019, dengan dalih untuk mengamankan rakyat papua dari aktivitas TPN-PB OPM yang telah di anggap sebagai KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) oleh Pemerintah Indonesia. Hal itu membawa efek yang sangat merugikan bagi rakyat papua. Bayangkan, tujuh SSK (Satuan Setingkat Kompi), lima SSK dari Marinir dan dua SSK Kostrad, yang tujuannya hanya untuk mengamankan objek-objek vital di wilayah Jayapura dan wilayah papua lainnya. Tentu keberadaan militer TNI-POLRI bukan untuk melindungi rakyat papua, melainkan meneror dan semakin membuat masyarakat adat terusir dari tanahnya sendiri. Sesuai dengan pesan tertulis Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/CEN Eko Daryanto. Dimana, sekitar 2.529 personel TNI-POLRI diterjunkan ke wilayah Papua pada 21-30 Agustus 2019. Pengiriman Militer tersebut sebagai reaksi dari gerakan yang dilakukan oleh rakyat papua atas masalah rasisme yang dilakukan oleh aparat dan ormas reaksioner indonesia terhadap mahasiswa papua yang ada di surabaya, yogyakarta dan wilayah indonesia lainnya. Dan penambahan (Pasukan Setan) sekita 400 personil terakhir pada 1 mei 2021, yang ditempatkan pada distrik ilaga, Kab. Puncak Papua, dengan dalih yang sama.


Perlindungan hak atas kebebasan berekspresi pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo masih mengkhawatirkan. Economist Intelligence Unit (EIU) merilis indeks demokrasi tahun 2019, Indonesia berada di angka 6.48 dan termasuk dalam demokrasi yang cacat. Salah satu penyebab rendahnya indeks tersebut adalah adanya pembatasan dan tindakan represif dalam bentuk pelarangan atas kebebasan berkumpul dan berekspresi. Pembatasan kebebasan sipil terhadap demonstrasi Mahasiswa, kriminalisasi aktivis, petani dan mahasiswa hingga pembatasan kebebasan berekspresi terhadap ekspresi politik Orang Asli Papua (OAP).


Pendekatan militerisme dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik dan masalah HAM yang ada di wilayah papua, hingga akhirnya mengakibatkan penangkapan dan penahan secara paksa terhadap aktivis dan rakyat papua secara paksa. Aparat keamanan semakin massif melakukan penangkapan terhadap aksi-aksi yang dilakukan OAP. Sebagian besar tindakan penangkapan tersebut berakhir dengan penangkapan dan penahanan. Data menunjukkan per tanggal 28 Januari 2020, ada sekita 109 Tapol Papua yang masih mendekam di penjara, kemudian Roland Levy dan Kelvin Molama ditahan pada 3 maret 2021 dengan tuduhan pengeroyokan dan perempasan barang yang tak mereka lakukan. Kemudian penangkapan JUBI KNPB Victor Yeimo pada 9 mei 2021 karena melanggar pasal makar. Yang sejak 2019 telah ditetapkan sebagai (DPO) atas aksi rasisme yang dilakukan oleh rakyat papua, pada hal aksi tersebut memuncak sebagai reaksi atas kasus rasisme. Lalu diikuti dengan penangkapan 20 aktivis KNPB oleh Satgas Nemangkawi pada 11 mei 2021, saat membagikan selebaran di Jayapura dengan tuduhan terlibat dengan Victor Yeimo. 


Pemerintah Negara Republik Indonesia gagal dalam memberikan kesejahteraan, keadilan sosial kedaulatan (demokrasi) untuk rakyat tidak hanya terjadi di wilayah papua, tetapi juga terjadi diwilayah indonesia sendiri. Seperti kondisi masyarakat jomboran dan wadas, yang saat ini sedang mengalami musibah. Dimana keberadaan tambang membuat mereka merasa tidak aman dan nyaman, karena tanah mereka dirampas untuk kepentingan tambang dan pemerintah daerah seolah-olah melegitimasi sikap aparat militer yang membungkam ruang gerak rakyat yang ada di jomboran dan wadas dalam melawan pihak tambang. Mereka di intimidasi, dipukul, ditahan dan dibatasi hak-hak untuk bersuara, berkumpul dan melawan sikap tambang yang mengabaikan lingkungan hidup. Ketika rakyat jomboran dan wadas melakukan aksi protes terhadap tambang, Aparat TNI-POLRI dan Ormas Reaksioner selalu saja menentang hak-hak politik sipil rakyat dengan menodongkan senjata, bersikap arogan dan tidak segan-segan melakukan penangkapan tanpa melewati prosedur dari hukum aacara pidana.


Berangkat daripada kondisi dan situasi diatas, maka kami dari Aliansi Mahasiswa Papua KK Yogyakarta & Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, menyatakan sikap dan menuntut :


 1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa West Papua.


2. Bebaskan kawan kami Victor Yeimo, Rolan dan Kelvin serta 19 Orang Rakyat Papua Yang ditahan.


3. Tolak Otonomi Khsus Jilid 2.


4. Tuntaskan Dan Adili Pelaku Pelanggaran Ham Di Papua.


5. Hentikan Operasi Militer Di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Puncak Papua Dan Seluruh Wilayah West Papua Dan  Indonesia Lainnya.


6. Hentikan Kriminalisasi Aktivis Pro-Demokratis.


7. Tarik Militer Organik Dan Non-Organik Dari Seluruh Tanah West Papua.


8. Tutup Freeport, Bp ,Lng Tangguh, Mncs, Mife, Blok Wabu Dan Lainnya, Yang Menjadi Dalang Kejahatan Kemanusiaan Di West Papua.


9. Berikan Ruang Demokrasi Dan Akses Bagi Jurnalis Dan Media Nasional Dan Internasional Di West Papua.


10. Hentikan Berbagai Diskriminasi Realis Dan Program Kolonial Indonesia Di West Papua.


11. Stop Pemekaran Kabupaten Dan Provinsi Di West Papua.


12. Bebaskan Seluruh Tahanan Politik West Papua.


13. Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan Papua.


14. Lawan Seksisme, Sahkan RUU Pk-S.


15. Hapus UKT Dan Seluruh Biaya Pendidikan Selama Masa Pandemi.


16. Hentikan Kriminalisasi Gerakan Rakyat.


17. Tolak PHK Sepihak, Bayar Upah Buruh 100% Ditengah Pandemi.


18. Cabut Izin PT. CMK Dan PT. ADP Di Jomboron Dan Kaliprogo, Yogyakarta.


19. Cabut Izin IPL batu endisin di desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.


20. Cabut Omnibus Law Cipta Kerja No 11 2020.


Medan Djuang, 14 Mei 2021.

***


Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) KK Yogyakarta & Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP)


#FreeWestPapua #PapuaLivesMatter

#BebaskanTAPOLpapua #LawanMiliterisme

#LawanKolonialisme #LawanKapitalisme #LawanImperialisme #Internaionale

Koran Kejora

Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI)

 

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua

 

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

 

Wawawawawawa...wa...wa...wa...wa!

 

TRIKORA: Awal Penjajahan Indonesia terhadap Bangsa West Papua

 

Pada tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno membakar massa lewat pidato, atau mungkin lebih tepat jika disebut komando, terkait deklarasi kemerdekaan West Papua yang terjadi di awal bulan yang sama. Komando itu dikenal sebagai Tri Komando Rakyat (TRIKORA). Massa yang terbakar itu sedang berkumpul di Alun-alun Utara Yogyakarta, yang pada tahun 1948 dipakai untuk memperingati Agresi Belanda II dengan pengeboman di Maguwo, Yogyakarta. Kota itu juga pernah dipilih untuk mengenang pengusiran Belanda dari Batavia oleh Sultan Agung. Tapi apalah arti sejarah pembebasan bangsa. Tempat itu juga yang dipakai untuk menyerukan penjajahan baru.

TRIKORA bertujuan untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat menjadi bagian dari Negara Indonesia. Itulah mula-mula malapetaka bagi rakyat dan bangsa West Papua. Militer Indonesia hadir di tanah West Papua untuk merampas hak politik bangsa West Papua.

Pasca Trikora, Belanda yang semestinya bertanggung jawab untuk melakukan dekolonisasi sebagaimana janji sebelumnya malah menandatangani Perjanjian New York (New York Agreement) terkait sengketa wilayah West Nieuw Guinea pada tanggal 15 Agustus 1962. Perjanjian tersebut hanya melibatkan 3 pihak: Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat sebagai penengah. Tak melibatkan rakyat West Papua, meski terang bahwa perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat West Papua.

59 tahun sudah berlalu sejak aneksasi yang dilakukan Indonesia pada West Papua. Setengah abad bukan waktu yang sebentar, tapi yang terjadi tetap tak berubah: kecurangan dan manipulasi sejarah, diskriminasi rasialis, genosida perlahan, penjarahan kekayaan alam, distorsi informasi, penangkapan, penculikan, penyiksaan, pemenjaraan.

Setengah abad barangkali bukanlah rentang waktu yang sebentar untuk bisa menaruh hormat terhadap kemanusiaan, tapi setengah abad adalah rentang waktu yang cukup bagi penindasan dan penjajahan yang melahirkan perlawanan bagi bangsa terjajah dan bangsa penjajah. Solidaritas dan perjuangan melawan penjajahan bersama bangsa West Papua merupakan bagian integral dari perjuangan demokratisasi di Indonesia dan perjuangan melawan Imperialisme di dunia.

Kami menyerukan kepada dunia internasional untuk membangun konsolidasi solidaritas perjuangan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua, mengajak rakyat Indonesia untuk mendukung perjuangan bangsa Papua dalam menentukan nasibnya sendiri, dan menyatakan sikap politik kami kepada pemerintah Republik Indonesia, Belanda dan PBB untuk segera:

  1. Berikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua
  2. Tolak Otonomi Khusus jilid II
  3. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua
  4. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua
  5. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia
  6. Bebaskan tapol West Papua tanpa syarat
  7. Tolak Daerah Otonomi Baru di West Papua
  8. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh dan tolak pengembangan Blok Wabu
  9. Usut tuntas pelaku penembakan pendeta Jeremiah Zanambani
  10. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal pelanggar HAM
  11. Hentikan rasialisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri
  12. Hentikan Operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, dan seluruh wilayah West Papua lainnya
  13. Cabut Omnibus Law (UU No. 11 Tahun 2020)
  14. Hentikan penangkapan sepihak terhadap aktivis West Papua
  15. Hentikan politik adu domba terhadap rakyat West Papua

Demikian pernyataan sikap ini dibuat, terima kasih atas dukungan, partisipasi dan kerja sama dari semua pihak.

Salam Pembebasan Nasional!

Medan Juang, 19 Desember 2020

 


 

Ils.Koran Kejora

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!


Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

Wawawawawawa..wa..wa..wa..wa!


Bangsa West Papua telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 1 Desember 1961. Akan tetapi, pemerintah Republik Indonesia tak mau mengakuinya dan menganggapnya tak lebih dari boneka bentukan Belanda. Pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno lantas melakukan aneksasi wilayah West Papua melalui program Trikora. Serangkaian operasi militer mengejawantah.

Saat pengakuan kedaulatan Negara Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949, West Papua merupakan koloni tak berpemerintahan sendiri dan diakui demikian oleh PBB dan Belanda yang pada waktu itu menjadi penguasa administratif kolonialnya. West Papua masih berada di bawah kuasa Belanda yang menjanjikan dekolonisasi setidaknya sampai Indonesia melakukan upaya-upaya penggabungan tanah Papua. 

Pasca Trikora, Belanda yang semestinya bertanggung jawab dan berjanjiuntuk melakukan dekolonisasi malah menandatangani Perjanjian New York (New York Agreement) terkait sengketa wilayah West New Guinea pada tanggal 15 Agustus 1962 dengan tanpa melibatkan rakyat West Papua. Perjanjian tersebut hanya melibatkan 3 pihak diantaranya, Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat sebagai penengah. Sekalipun terang sungguh bahwa perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat West Papua.

Perjanjian yang mengatur masa depan wilayah West New Guinea ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal; Pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara, Pasal 12 dan Pasal 13 mengatur proses transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia.

Di tahun 1963, ketika pemerintah Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif atas West Papua, teritori itu tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri di bawah hukum internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua. Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum internasional.

Kemudian, satu-satunya penentuan nasib sendiri yang dilakukan adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 dengan hanya melibatkan 0,2% dari populasi di West Papua dalam pengambilan suara, itu pun dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia. Kredo “musyawarah untuk mufakat” dipakai Indonesia untuk melegitimasi pelaksanaan Pepera yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta pelanggaran HAM berat. Hasil dari pelaksanaan Pepera tersebut dicatat di Sidang Umum PBB lewat Resolusi 2504 (XXIV). Tidak disebutkan bahwa Pepera telah dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement. Tidak disebutkan bahwa prosesnya memenuhi standar penentuan nasib sendiri seperti yang diamanatkan oleh Resolusi PBB 1514 dan 1541 (XV). Sehingga, penentuan nasib sendiri lewat Pepera itu tidak sah.

Dan oleh sebab tidak sahnya proses penentuan nasib sendiri itu, maka West Papua juga bukanlah bagian sah dari Indonesia. West Papua tetaplah teritori tak berpemerintahan sendiri dan kini sedang berada di bawah pendudukan.

Teror, intimidasi, diskriminasi rasialis, penangkapan, penculikan, penahanan, penembakan, pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi sampai sekarang. Berbagai operasi militer di West Papua telah menelan banyak korban. Penutupan akses jurnalis, pembatasan internet, dan penyebaran disinformasi dilakukan untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi di West Papua. Aparat menyiksa dan melakukan usaha pemerkosaan terhadap tahanan politik. Wilayah West Papua dibagi-bagi seperti kue. Otonomi khusus hanyalah gula-gula yang tak menjawab persoalan keadilan bagi bangsa West Papua. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia.

Di hari deklarasi kemerdekaan Bangsa West Papua ini, kami menyerukan kepada dunia internasional untuk membangun konsolidasi solidaritas perjuangan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua, mengajak rakyat Indonesia untuk mendukung perjuangan bangsa Papua dalam menentukan nasibnya sendiri, dan menyatakan sikap politik kami kepada pemerintah Republik Indonesia, Belanda dan PBB untuk segera:

1. Berikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua

2. Tolak Otonomi Khusus jilid II

3. Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua

4. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua

5. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia

6. Bebaskan tapol West Papua tanpa syarat

7. Tolak Daerah Otonomi Baru di West Papua

8. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh dan tolak pengembangan Blok Wabu

9. Usut tuntas pelaku penembakan pendeta Jeremiah Zanambani

10. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal pelanggar HAM

11. Hentikan rasialisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri

12. Hentikan Operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, dan seluruh wilayah West Papua lainnya

13. Cabut Omnibus Law!


Demikian pernyataan sikap ini dibuat, kami berterima kasih atas dukungan, partisipasi dan kerja sama dari semua pihak.

Salam Pembebasan Nasional!

Medan Juang, 1 Desember 2020



KK-Sesal - Pada hari jumat 7 April 2017, 60 orang masa aksi Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komite Kota Semarang-Salatiga melakukan aksi demo menolak semua kesepakatan  antara pemerintah Indonesia dan PT. Freeport baru-haru ini dan menuntut berikan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa West Papua sebagai solusi demokratis.


Aksi dimulai jam 09: 30 dan melakukan long march dari Patung kuda Universitas Diponegoro Peleburan-jalan pahlawan-keliling Bundaran Simpang Lima kemudian kembali ke titik awal aksi dengan yel-yel hancurkan imperialisme, hapuskan Konialisme dan lawan Militerisme.

Dalam orasi secara bergantian, menolak semua kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan PT. Freeport untuk terus melakukan eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam tanah Papua. Freeport adalah awal malapetaka bagi rakyat bangsa West Papua, karena perusahaan imperialis milik Amerika ini masuk secara ilegal lewat pemerintah Indonesia pada tahun 1967 tanpa melibatkan orang asli Papua sebagai pemilik hak ulayat.  Padahal status West Papua belum secara resmi menjadi bagian dari Indonesia. Sesuai kesepakatan New York Agreement (1962 yang juga tidak adil karena tidak melibatkan rakyat dan bangsa West Papua, Indonesia merupakan Negara perwalian hingga diselenggarakannya  act of free choices. Setelah sebelumnya melakukan penjajahan sejak dideklarasikannya Operasi Trikora 19 Desember 1969 paska proklamasi kemerdekaan Negara West Papua. Pembuatan kontrak karya yang disepakati pada 7 April 1967 tersebut sama sekali tidak melibatkan masyarakat adat dan bangsa West Papua secara umum. Pada tahun 1991, kembali kedua belah pihak tersebut memperbaharui kesepakatan kontrak karya, lagi-lagi tanpa melibatkan masyarakat ada dan bangsa West Papua pada umumnya. Dan pada tahun 2017 ini  pun demikian, Padahal adat sudah ada beratus-ratus tahun sebelum negara ada.

Tidak hanya keberadaan  Freeport dan NKRI yang sama-sama Ilegal di tanah West Papua. Keberadaan Freeport juga telah merampas lebih dari 1 Juta hektar tanah masyarakat adat. Sejak eksplorasi berjalan lebih dari 2 miliar ton limbah tailing telah dibuang ke Sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimone. Sejak tahun 70an hingga saat ini Freeport telah memberikan dana keamanan kepada TNI dan Polri sebanyak lebih dari US 50 Juta dollar. Akibatnya berbagai kasus pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan fisik terjadi rakyat dan bangsa West Papua. Sejak keberadaan NKRI dan Freeport di Tanah West Papua lebih dari 500.000 orang dibunuh. Dan 50 tahun mengeruk isi tanah Papua namun hingga saat ini Freeport tidak pernah dijelaskan terkait penggalian bawah tanah dan dampak dari bagi kesehatan masyarakat setempat.

Setelah kembali ke titik awal aksi sekitar pukul 11: 20 dilakukan teatrikan yang menceritakan perampasan tanah adat atas  nama perusahaan dan pembangunan yang mengakibatkan masyarakat adat termarjinaliasi dari tanah leluhurnya. Berikut pernyataan sikap yang dibacakan oleh Ketua AMP Semarang-Salatiga Jackson Gwijangge:

1.      Usir dan tutup Freeport.
2.      Audit kekayaan dan kembalikan Freeport dan serta berikan pesangon untuk buruh.
3.      Audit cadangan tambang dan kerusakan lingkungan.
4.      Tarik TNI/Polri organik dan non organik dari tanah Papua.
5.      Berikan hak menentukan nasib sendiri solusi demokratik bagi bangsa West Papua.
6.      Usut, tangkap, adili dan penjarakan pelanggaran HAM selama keberadaan Freeport di Papua
7.      Biarkan rakyat dan bangsa West Papua menentukan masa depan pertambangan Freeport di tanah West Papua.
8.      Freeport wajib merehabilitasi lingkungan akibat ekspotasi tambang.


Pukul 11 40 masa aksi bubar dengan aman

Pada aksi Fron Rakyat Indonesia untuk West Papua [FRI-West Papua] dan Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] di beberapa kota di Indonesia maupun di West Papua di Jayapura dalam tutup Freeport dan tuntut hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua Barat, AMP Komite Kota Semarang-Salatiga melakukan aksi demo di kota Semarang.

Aksi dimulai pukul 9:20 dari Patung Kuda Universitas Diponegoro Peleburan, dipimpin oleh Janu Adii masa aksi bergerak  menuju rute aksi sesuai dengan surat pemberitahuan di Polrestabes Semarang dari jalan Pahlawan, Bundaran Simpang Lima dan kembali ke Patung Kuda Undip namun di saat baru masa aksi bergerak dihadang oleh pihak kepolisian Polrestabes Semarang pada pukul 9 : 35 masa aksi AMP menanyakan alasan penghadangan namun pihak kepolisian bersikeras dan menyuruh masa aksi untuk kembali ke titik kumpul terjadi adu mulut dan sekitar 10 menit kemudiaan pihak belasan Aparat melakukan pemukulan kepada masa aksi, sehingga sempat terjadi keos dan pihak kepolisian mendorong beberapa masa masuk ke dalam mobil Sabhara memaksa masa aksi untuk naik ke dalam truk tetapi ditolak. Kepolisian melakukan pemukulan kepada salah satu kawan bernama Yuli Gobai di kepala sehingga kepalanya berdara. Dan masa aksi kembali ke titik kumpul aksi sambil menyampaikan orasi-orasi dan yel-yel Imperialisme hancurkan! Kolonialisme lawan! Militerisme hapuskan!.

Pemukulan dilakukan oleh kepolisian  Polretabes Semarang
Setelah kembali ke titik kumpul dilakukan orasi-orasi secara bergantian menuntut Freeport ditutup dan berikan hak penentuan nasib sendiri  sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua. Dalam setiap orasi masa aksi menyampaikan Freeport adalah awal penajajahan dan pemusnahan rakyat bangsa Papua. Dalam perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda yang menghasilkan New York Agreement ( 15 Agustus 1962), rakyat dan bangsa West Papua tidak dilibatkan. Padahal, bangsa West Papua sudah memproklamasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961. 

Rakyat dan Bangsa West Papua sudah terlalu lama dirampok. Mengangkat isu “Nasionalisasi Freeport” sama dengan membiarkan perampokan terjadi  terus menerus terhadap rakyat dan bangsa West Papua.

Sesampai di titik kumpul awal, Koorlap Iche You membacakan pernyataan sikap, jalan terbaik untuk mengatasi kisruh persoalan Freeport vs Pemerintah Indonesia menurut kami, antara lain:


1.       Usir dan Tutup Freeport
2.      Audit kekayaan dan kembalikan Freeport dan serta berikan pesagon untuk buruh
3.      Audit cadangan tambang dan kerusakan lingkungan
4.      Tarik TNI/Polri Organik dan Non organik dari tanah papua
5.      Berikan hak menentukan nasib sendiri solusi demokratik bagi bangsa west papua
6.      Usut, tangkap,adili dan penjarakan pelanggaran HAM selama keberadaan Freeport di Papua
7. Biarkan rakyat dan bangsa West Papua menentukan masa depan pertambangan Freeport di Tanah West papua

8.      Freeport wajib merehabilitasi lingkungan akibat ekspotasi tambang

Jam 11:10 bubar



(Ney Sobolim)

Aksi long march di Seputan Simpang Lima kota Semarang
Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komite Kota Semarang-Salatiga melakukan aksi di di kota Semarang mendukung 7 negara Pasifik yang membawah masalah Papua di dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Aksi dimulai pukul 09:30 WIB dari titik kumpul di Patung Kuda Undip Peleburan aksi dipimpin oleh Zan Magay sebagai Koordinator dan Janu Adii, dalam orasi yang disampaikan secara bergantian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1960-an.

Rakyat Papua secara sadar memproklamirkan negra West Papua pada 1 Desember 1961 namun digagalkan melalui TRIKORA yang dikeluarkan oleh presiden Soekarno melalui komando operasi Jendral Soeharto, untuk menghilangkan nasionalisme orang Papua ribuan rakyat Papua  dibunuh.
Saat ini pemerintah Indonesia sedang bersuara untuk memperpanjang PT. Freeport namun mahasiswa dan rakyat Papua menuntut agar ditutup. Karena PT. Freeport adalah pembawah malapetaka bagi rakyat Papua. Persoalan Freeport adalah Persoalan bangsa Papua. Karena PT. FI milik negara imprealis Amerika itu sebelumnya dilakukan kontrak karya secara sepihak antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat pada tahun 1967 padahal waktu itu Papua masih wilayah sengketa atau sebelum dilakukan PEPERA tahun 1969. Hal itu terbukti dalam pelaksanaan PEPERA yang tidak demokratis dari 8.800 orang Papua pada saat itu, dipilih hanya 1025 orang dan sebagian besar dikarantinakan dan hanya 125 orang yang memberikan hak suara.

Kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat bangsa Papua berlanjut sejak Papua dianeksasikan kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dibawa rezim Soeharto yang berwatak militeristik wilayah Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) terhitung 8 kali operasi dilancarkan akibatnya ribuan rakyat Papua Barat yang tidak berdosa dibunuh dan ribuan lainnya mengungsi ke Papua New Guinea.
Pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Arnold Clemens Ap, Dr. Thom Wainggai, Theys Hiyo Eluay, Kelly Kwalik, Musa Mako Tabuni dan lainnya masih belum dipertanggungjawabkan oleh negara.

Dan dalam momen pilkada kolonial, provokasi Aparat juga terjadi di kabupaten Intan Jaya mengakibatkan 4 orang meninggal dunia dan 600 orang lainnya mengalami luka berat. Maka menuntut agar usut tuntas kasus tersebut.

Dari kesalahatan sejarah dan tindakan Aparat TNI/Polri, Kopassus dan kejahatan kemanusiaan secara sistemais dan terustruktur itu saat ini terjadi genosida atau rakyat bangsa Papua menju pada kepunuhan etnis dibawa Kolonialisme dan Militerisme Indonesia dan cengkraman imprealisme global yang mengeksploitasi sumber kekayaan alam tanah Papua.
Tidak ada jalan lain untuk selamatkan manusia dan alam Papua,.

Maka,  Aliansi Mahasiswa Papua  menuntut semua perusahaan Multi National Coorporation’s (MNC’s) yang melakukan ekplorasi dan eksploitasi di Tanah Papua dan mendesak PBB beserta pemerintahan Jokowi-Jk. untuk segera pertama memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa West Papua. Kedua tutup Freeport dan berikan Hak penentuan nasib sendiri dan ketiga usut tuntas kasus pelanggaran HAM di Papua. Keempat menarik militer (TNI dan Polri) organik dan non organik dari Tanah Pa­pua (Papua Barat) dan kelima usut tuntas aktor konflik sengketa Pilkada di Intan Jaya.


Dan aksi berakhir ini pada pukul 10: 50.


Long march di putaran Simpang Lima Semarang


Pada hari ini Kamis, 26 Januari 2017, aksi serentak Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua [FRI-West Papua] serentak di 20 Kota. Di Semarang 65 Aliansi masa aksi Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komite Kota Semarang-Salatiga melakukan aksi demo. Aksi dimulai pukul 9:30 WIB dari Patung Kuda Undip Peleburan jalan Pahlawan-Seputaran Simpang Lima menuju Polda Jawa Tengah.

Dalam orasi disampaikan hentikan kekerasan di Dogiay dan protes tindakan Aparat gabungan [TNI/Polri] di Dogiay dan Papua pada umumnya. Di Dogiay Militer melakukan sweeping alat-alat kerja dan orang-orang yang berambut gimbal dan jenggot tebal. Dan protes tindakan berlebihan Aparat yang mengakibatkan dua orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka. 

Kronologis dua korban yang meninggal adalah , korban Melkias Dogomo meninggal setelah ditahan polisi. Saat korban ditahan di Mapolsek Maonemani pada tanggal 23 Desember, polisi melakukan kekerasan dengan memasukkan pangkal senjata kedalam mulut korban; sementara korban meninggal berikutnya, Otis Pekei, ditahan di Jembatan Kali Tuka. Dalam penahanan ini, korban disiksa dan keluar dari Mapolsek Maonemani dalam keadaan tak bernyawa. Terdapat pula beberapa korban luka akibat kekerasan aparat. Masa aksi juga protes sweeping sembarang terhadap masyarat Dogiay di tempat umum. Dan juga menyampaikan bahwa sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia [HAM] di Papua itu dampak dari sejarah yang salah saat pelaksanaan Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 yang penuh manipulasi dan tidak demokratis. Dan juga masa aksi mendesak hentikan pasal makar terhadap empat Aktivis West Papua di Manado dan 2 Aktivis di Jayapura.

Di depan Polda Jawa Tengah orasi secara bergantian disampaikan terkaitsweeping dan kekerasan kemanusian di Dogiay dan dan Papua pada umumnya dan menuntut hentikan pasal makar terhadap 6 Aktivis West Papua.


Aksi kekerasan kemanusiaan di Papua. Pelanggaran HAM masa lalu dan sekarang yang tidak diselesaikan dan semakin hari menjadi-jadi. Maka tidak ada jalan lain untuk selamatkan manusia Papua selain berikan hak untuk menentukan nasib sendiri kepada rakyat Papua sebagai solusi yang demokratis.
Pada aksi ini dengan thema “Stop Kekerasan Aparat di Dogiyai dan Hentikan Jeratan Pasal Makar terhadap 6 Aktivsi West Papua”, menyatakan sikap;

1. Copot Kapolsek Nabire dan Kapolsek Dogiyai;Hapuskan Pasal Makar;

2. Tarik pasukan gabungan dari Dogiyai;

3.Hentikan jeratan pasal makar terhadap 6 aktivis West Papua (Hiskia Meage, Emam Ukago, William Wim, Panus Hesegem, Hosea Yeimo, Ismail Alua);

3.Tarik pasukan organik dan non-organik dari seluruh tanah Papua;
4. Hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyta dan bangsa Papua;

5. Menuntut Komnas HAM melakukan investigasi untuk mengungkit kekerasan dan pembunuhan di Dogiyai Papua dan Korban Pasal Makar;

6. Buka kesempatan bagi jurnalis internasional untuk melakukan peliputan di Papua; 
dan

7.Stop kekerasan terhadap rakyat dan bangsa Papua.




 (Ney S)

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats