Halloween party ideas 2015

 

Doc.Edit. Koran Kejora

“Pergunakan hakmu untuk merebut demokrasi,

agar dapat menentukan arah Bangsa kedepan dengan lebih baik”


Penulis: Marco dari Pembebasan KK Yogyakarta

Hak Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self-Determination) merupakan hak setiap bangsa/orang untuk secara bebas menentukan kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal prinsip mengenai status politik dan kebebasan mengejar kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Kepentingan akan menentukan nasib sendiri, yaitu itu terletak pada adanya kebebasan dalam membuat pilihan. Prinsip hak menentukan nasib sendiri mulai terlihat sejak Deklarasi Kemerddekaan Amerika Serikat pada 1776, Revolusi Prancis pada 1789 dan Revolusi Rusia pada 1917. Inti dari hak menentukan nasib sendiri dalam Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat dan Revolusi Prancis adalah “Pemerintahan yang bertanggung jawab atas rakyatnya.”

Awalnya, Hak Menentukan Nasib Sendiri dilaksanakan melalui mekanisme Referendum ketika meletusnya Revolusi Prancis, sebagai sebuah prinsip legalitas dari masalah aneksasi sebuah wilayah kecil yang dikelilingi oleh wilayah-wilayah dari kekuasaan negara lain yang lebih besar (enclave). Pelaksanaan referendum pada saat itu dilakukan berdasarkan “no annexation without consultation” (tidak ada aneksasi tanpa konsultasi). Pada perkembangannya, praktek hak menentukan nasib sendiri digunakan sebagai dasar dekolonisasi (tercapainya kemerdekaan), seperti yang terlihat pada sikap Kaarl Marx tahun 1840-1860 dan Lenin (Partai Bolshevik) pada Oktober tahun 1917 yang mendukung hak menetukan nasib sendiri bagi Bangsa Polandia.

Semboyan “Hak Menentukan Nasib Sendiri” mencuat kembali pada abad 19, setelah adanya perjanjian Versailles yang bertujuan untuk mengakhiri perang Dunia I. Sebelumnya, Karl Marx juga pernah menyerukan hak menentukan nasib sendiri bagi Polandia pada 1840-1860, meskipun pada saat itu gerakan kemerdekaan polandia dipimpin oleh kaum reaksioner. Namun, tujuan Karl Marx adalah usaha untuk menyerang dan menghancurkan kekuasaan Tsarisme Russia (sebuah kekuatan reaksioner raksasa di Eropa, khususnya di Jerman) sebagai musuh utama kelas buruh dan demokrasi. Karena bagi Marx, kemenangan dari rakyat Polandia akan menjadi pukulan yang sangat besar bagi kekuasaan Tsarisme Russia. Begitu juga dalam masalah Irlandia pada 1867, Karl Marx mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Irlandia yang sedang dikuasai oleh Imperialis Inggris, agar kekuasaan para tuan tanah dan borjuis kapitalis Inggris Raya di Irlandia melemah lalu hancur. Maka, itu akan melemahkan juga posisi Tuan Tanah dan Borjuis Kapitalis di Inggris Raya, sebagai Sentral Kapitalisme Eropa. Adalah suatu keuntungan juga bagi Kelas Buruh Inggris mendukung gerakan Rakyat Irlandia dalam menentukan nasib sendiri, agar Buruh Inggris dapat merebut kekuasaan dari tangan tuan tanah dan borjuis kapitalis.

Pada mulanya prinsip menentukan nasib sendiri merupakan pedoman dalam pembangunan ulang Eropa Pasca-Perang Dunia I. Ketika sistem Eropa terdahulu mulai hancur setelah berakhirnya Perang Dunia I, prinsip menentukan nasib sendiri juga mendapat pembelaan dari tokoh Internasionale ke-II yakni Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) dari 1903 sampai 1917. Tuntutan pengakuan hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah sentral bagi posisi Lenin sendiri mengenai masalah kebangsaan (Polandia) pada masanya, walaupun mendapat kritikan dari Rosa Luxemburg (Kaum Sosial Demokrat Polandia) yang menganggap bahwa hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa polandia adalah gagasan dari kaum intelektual dan bukan lahir dari rakyat polandia. Bahkan Bukharin dan Pyatakov juga ikut menentang akan tuntutan hak menentukan nasib sendiri. Pada saat itu kaum Sosial Demokrat Polandia sedang bertentangan dengan kaum Nasionalis Polandia. Namun, Lenin sendiri sangat memahami betul bagaimana kondisi bangsa polandia yang pada saat itu dibawah kekuasaan Tsar (Kaisar Russia). Dia menegaskan kepada Kaum Sosial Demokrat Polandia: “...Tolong jangan minta kami, kamerad-kamerad Russia kalian, bahwa kami harus menghapus dari program kami tuntutan hak rakyat polandia untuk menentukan nasib sendiri. Karena sebagai kaum sosial demokrat russia, tugas pertama kami adalah melawan kaum borjuasi kami sendiri, yakni kaum borjuasi russia dan Tsarisme. Hanya dengan ini kami kaum sosial demokrat Russia dapat meyakinkan rakyat Polandia bahwa kami sama sekali tidak punya niatan untuk menindas mereka, dan dengan demikian membangun fondasi untuk persatuan antara rakyat Polandia dan Russia dalam Perjuangan Revolusioner.”

Dari sini kita bisa melihat dengan jelas bagaimana Karl Marx dan Vladimir Ilyich Lenin yang menempatkan tuntutan hak menentukan nasib sendiri, umumnya akan selalu menempati posisi yang subordinat dari perjuangan kelas dan perspektif Revolusi Proletariat. Karena bagi mereka, tindakan itu bukanlah suatu kewajiban yang absolut untuk mendukung setiap gerakan kemerdekaan untuk semua bangsa terjajah, kecuali hanya untuk kepentingan Perjunagan Kelas Buruh dan Revolusi Proletariat. Disisi lain, Karl Marx juga pernah menentang dengan keras kemerdekaan untuk Cekoslowakia dan Gerakan Pembebasan di Balkan pada paruh abad ke-19, karena ada keterlibatan dari kekuatan Negara Imperialis besar seperti; Tsarisme Russia, Jerman, dan Inggris, yang bertujuan untuk tujuan mempertahankan kepemilikan pribadi mereka atas alat produksi.

Setelah LBB (Liga Bangsa-Bangsa) dibubarkan dan digantikan dengan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang dibentuk pada akhir Perang Dunia ke II, selanjutnya konsep hak menentukan nasib sendiri diadopsi sebagai salah satu prinsip untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar negara, yang kemudian dibahas dalam Sidang Umum PBB tahun 1960 yang dikenal dengan “Deklarasi Dekolonisasi”. Sehingga memberikan dua efek penting, yaitu; prinsip yang diangkat menjadi hak masyarakat, dan semua orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, berdasarrkan hak itu mereka dengan bebas menentukan status politik mereka dan bebas mengejar perkembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka.”

Masalah Kebangsaan West Papua

Penindasan dan penjajahan nasion atas bangsa-bangsa minoritas yang sampai hari ini masih menjadi perdebatan yang sangat panjang dikalangan kaum intelektual muda revolusioner tingkat Nasional Indonesia hingga Internasional, tentu membutuhkan satu solusi kongkrit sebagai bentuk alternatif dari penerapan demokratisasi secara langsung. Agar perwujudan dari kemerdekaan yang sejati dapat dirasakan oleh semua manusia tanpa terkecuali, bukan hanya dimiliki oleh kaum bangsawan, borjuasi dan para kapitalis saja, namun juga bagi bangsa-bangsa minoritas seperti Bangsa West Papua. Yang menentukan dan mewujudkan itu semua adalah para bangsa minoritas yang teraniaya itu sendiri secara langsung, bukan diwakili oleh beberapa kaum-kaum borjuasi yang hanya mengerti penumpukan kekayaan (kapital) lewat dominasi politik elektoral dalam demokrasi liberal. Maka, Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi suatu bangsa yang terjajah dan teraniaya, merupakan satu solusi kongkrit yang sangat demokratis. Tentu mekanismenya juga harus melalui “Referendum”, yang sesuai dengan keinginan bangsa minoritas itu sendiri tanpa harus ada pemaksaan dari dominasi (Militerisme) negera luar.

Seperti yang dialami oleh Bangsa West Papua saat ini. Mengapa Bangsa West Papua meminta “Hak Penentuan Hak Nasib Sendiri” kepada Pemerintah Indonesia? Tentunya semua itu memiliki sebab dan masalah fundamental yang sangat krusial, bukan karena mereka membenci ataupun ingin memusuhi mayoritas Bangsa Indonesia. Melainkan, Pemerintah Indonesia sendiri sedari awal tidak menjalankan kekuasaannya secara “Demokratis” terhadap Bangsa West Papua. Pemerintah Indonesia selalu memperlakukan Bangsa West Papua dengan tidak manusiawi, dengan menganggap bahwa Bangsa West papua yang tidak tau terima kasih atas UP4B dan (Anggaran) Otsus (Otonomi Khusus) yang telah diberikan kepada mereka tahun 2001. Yang sebenarnya anggaran Otsus Jilid I sebesar 4,2 Trilyun tidak didapatkan oleh masyarakat adat papua dan west papua, melainkan hanya di nikmati oleh (minoritas) elit birokrasi di papua saja yang bersahabat dengan pengusaha-pengusaha pendatang, dan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) hanya akan menambah bercokolnya para Jenderal Purnawirawan TNI dan POLRI. Sedangkan sumber daya alam papua lebih dari 4,2 Trilyun per-tahun terkuras habis, intimidasi, pelecehan dan bentuk-bentuk kekerasan rasial hingga kekerasan fisik yang di dapatkan oleh bangsa West Papua tidak bisa dihitung dengan jari sejak tahun 1961, operasi militer indonesia di tanah papua tahun 1962 lewat “Realisasi Trikora” yang menjadi (agresi militer pertama) sumber peristiwa berdarah hingga sekarang tidak pernah dituntaskan. Belum lagi sebagian orang West Papua di kriminalisasi dan dipenjara secara paksa dengan tuduhan melanggar pasal makar, di adu domba dengan sesama Bangsa Papua oleh Militer Indonesia, bahkan media yang ingin meliput kondisi masyarakat Papua yang mengungsi dipegunungan dan hutan-hutan pedalaman diusir oleh Militer Indonesia, jaringan internet diblokir oleh Pemerintah Nasional (Jakarta) Pusat. Penempatan pasukan Militer Indonesia dalam jumlah (ribuan personil) besar di seluruh tanah Papua, mengakibatkan hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan. Apakah masih mengatakan bahwa orang-orang ditanah Papua dan West Papua itu tidak tau terima kasih?

Ambisi seorang pemimpian (Bangsa) Negara Indonesia untuk menyatukan dua bangsa yang berbeda antara Bangsa “Melayunesia” (penyatuan antara Ras Proto-Melayu dan Deutero-Melayu yang mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia)  dengan Bangsa  West Papua “Melanesia” (Ras Negroid yang mendiami di Pasifik selatan) menjadi satu, yaitu lewat Aneksasi (penundukan satu wilayah yang dimulai dengan menggunakan kekuatan militer dalam jumlah besar) pada 1 Mei tahun 1963 dalam bentuk penyerahan administrasi dari pemerintahan sementara oleh PBB (UNTEA) kepada Indonesia tanpa melibatkan Bangsa Papua dan West Papua, akhirnya membawa malapetaka bagi kemanusiaan diwilayah Papua dan Papua Barat. Padahal, pada 1 Desember 1961 Bangsa Papua mendeklarasikan Kemerdekaanya dengan mengibarkan bendera Bintang Gejora diseluruh wilayah Papua dan Papua Barat. Namun, Soekarno Presiden Pertama RI menentangnya, karena dia menganggap bahwa hal tersebut adalah rencana dari Kerajaan Belanda untuk mendirikan negera boneka dan menyerang Indonesia menggunakan Irian Barat (Papua Barat). Hingga membuat Soekarno marah besar dan mengeluarkan Kebijakan Trikora (Tri Komando Rakyat). Irian Barat pada saat itu yang statusnya masih dibawah kekuasaan (penjajahan) Pemerintah Kerajaan Belanda yang berkantor pusat di Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea saat itu).

Wakil Presiden pertama RI yaitu Mohammad Hatta pun pernah menegaskan bahwa “…Bangsa Papua adalah Ras Negroid, Bangsa Melanesia, maka biarlah Bangsa Papua Menentukan Nasibnya Sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa “Bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan Bangsa Indonesia”, dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945. Begitu juga dalam Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus - 2 November 1945, status Papua Barat (Nederland Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena Bangsa Papua berhak menjadi Bangsa yang Merdeka.” Namun, semua itu tidak membuat semangat Soekarno yang ingin merebut tanah Papua Barat.

Ketidak ikut sertaan bangsa papua dan papua barat dalam New York Agreement (Perjanjian New York) pada 15 Agustus 1962 yang sudah diagendakan oleh Majelis Umum PBB atas desakan dari Soekarno (Presiden Pertama Indonesia) dan John Kennedy (Presiden Amerika Serikat), membuat status New York Agreement tidak “SAH” baik secara yuridis maupun moral. Yang sebenarnya dalam Perjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib Bangsa West Papua, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi dari Bangsa West Papua. Belum lagi kegagalan dari penerapan “PAPERA” (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 yang dilaksanakan dengan cara demokrasi lokal Indonesia, yaitu musyawarah yang diwakili oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa (laki-laki dan perempuan). Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat West Papua yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri tersebut.

Teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat pelaksanaan PEPERA 1969, tujuannya untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh Pemerintah dan Militer Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota MUSPIDA Kabupaten Merauke, isi surat tersebut adalah: “Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (Dewan Musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara ‘tidak’ wajar”. Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar Kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain. Ditambah lagi dengan Penandatangan Kontrak Karya Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) untuk bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia agar dapat membuka Pertambangan Tembaga dan Emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991.

Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa. Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Pemerintah Indonesia lewat terror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi). Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.

Tidak hanya sampai di situ dalam sejarah Indonesia, pada saat kekuasaan Rezim Soeharto yang otoriter militeristik, Propinsi Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), sehingga beberapa kali terjadi Operasi Militer yang dilakukan oleh ABRI atau sekarang disebut TNI. Pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia menempatkan TNI dalam jumlah besar di seluruh Tanah Papua dan dilakukan operasi besar-besaran terjadi dan menewaskan rakyat Papua dalam jumlah besar. Operasi Militer yang dimaksudkan adalah Operasi Sadar (1965–1967), Operasi Bhratayuda (1967–1969), Operasi Wibawa (1967–1969), Operasi Pamungkas (1969–1971) Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983–1984) dan Operasi Sapu Bersih (1985), Operasi Militer di Mapenduma (1996). Kemudian masih terus melakukan kekerasan setelah pemberlakukan Otonomi Khusus adalah pelanggaran HAM di Wasior (2001).

Mendukung “Hak Menentukan Nasib Sendiri” bagi Bangsa (minoritas) West Papua yang sampai saat ini terjajah oleh pemerintah negara indonesia, bukanlan suatu tindakan makar/saparatis seperti yang sebarluaskan oleh berbagai kalangan elit birokrasi dan Aparat (Militer Indonesia). Semua pandangan itu hanyalah propaganda Pemerintah Indonesia bersama Militer TNI-POLRI untuk mencuci tangan, melempar tanggungjawab dan bersembunyi atas kegagalan mereka dalam menyelesaikan masalah kebangsaan di tanah papua. Mereka melakukan pembungkaman, intimidasi, dan membunuh masyarakat ada. Seperti saat ini, dimana militer Indonesia sedang melakukan operasi di Intan Jaya, Puncak Papua, Nduga dan Wilayah Papua lainnya. Terlebih lagi, mereka ingin memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia dan komunitas-komunitas Internasional bahwa kekerasan yang terjadi di tanah Papua itu dilakukan oleh penduduk asli papua itu sendiri, dan mereka hanya mencoba untuk menciptakan stabilitas nasional. Sehingga bagi masyarakat yang tidak pernah tahu akan sejarah Agresi Militer Pertama di Papua, Aneksasi, New York Agreement, Papera 1969 dan Operasi Militer lainnya, ikut membenci orang-orang papua dan para solidaritas yang mendukung gerakan Bangsa West Papua yang menuntuk “Hak Menentukan Nasib Sendiri”. Hal tersebut yang membuat ormas dan kelompok reaksioner lainnya, menjadikan isu makar/saparatis sebagai senjata yang ampuh untuk bersikap fasis, rasis dan premanisme terhadap Bangsa West Papua dan Solidaritas dari Indonesia. 

Pemerintah Indonesia dengan sukses melembagakan secara permanen mitos makar/saparatis, agar menjadi sebuah surat ijin dan instrumen pendukung untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap masyarakat asli Papua. Ruang ketakutan sengaja diciptakan dan dipelihara oleh aparat keamanan dengan menggunakan issue makar/saparatis agar; Orang Asli Papua dibungkam dan tidak berani untuk melakukan perlawanan dalam mempertahankan martabat, masa depan yang lebih demokratis, damai diatas tanah leluhur. Agar aparat keamanan mendapatkan dana pengamanan yang lebih besar dari Pemerintah dan semakin memperkuat kekuatan Militer Indonesia.

Secara konstitusional Hak Menentukan Nasib Sendiri muncul di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Politik, Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan secara pokok; bahwa “semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri”. Oleh karena itu, hak asasi manusia menjadi sangat relevan untuk dijadikan sebagai acuan dan dasar berpikir teoritis dalam menganalisis persoalan hak menentukan nasib sendiri tersebut. Jika merujuk pada Konstitusi Negara Indonesia yang memiliki kewajiban melindungi Hak Asasi Manusia, tertera dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pada prinsipnya, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sudah diperintahkan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Kemudian untuk mewujudkan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran lewat lisan dan tulisan sudah ditetapkan dalam Konstitusi Negara (Pasal 28 UUD 1945), sehingga terbentuklah UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum sebagai landasan untuk mengimplementasikan hak berdemokrasi secara konstitusional.

Secara singkat, Hak Menentukan Nasib Sendiri (right to self-determination)  merupakan hak setiap manusia untuk menentukan kehendaknya sendiri tanpa ada penekanan dan pengontrolan dari luar dirinya dalam menjalani kehidupan sebagai manusia yang merdeka, agar terwujudnya satu tatanan yang demokratis, berkeadilan sosial dan sejahtera. Misalnya; dalam prinsip memberikan hak politik, kemajuan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Agar lebih dimengerti, hak menentukan nasib sendiri harus diletakan dalam koridor hak asasi manusia, tentu yang bersumber dari teori hak kodrati yang melekat dalam diri manusia itu sendiri.

 Banyak yang berpendapat bahwa hak menentukan nasib sendiri bagi suatu bangsa adalah harus lewat  Kekuasaan Pemerintah (Negara) itu sendiri, tentunya lewat birokrasi parlementer yang menjadi perwakilan dari kepentingan mayoritas atas warga Negara yang dikuasainya. Yang pada dasarnya, setiap warga negara berasal dari suku, adat, ras dan budaya yang berbeda. Tentunya mereka juga memiliki kebutuhan yang berbeda, kepentingan, cara pikir dan tujuan hidup yang berbeda pula. Namun, oleh Kekuasaan Fasis Borjuis Nasional Indonesia yang ingin mendominasi seluruh kekuatan ekonomi dan politik, memaksakan untuk penerapan sebuah kebijakan yang desentralisasi (alih-alih) demokrasi secara yuridis, yang dimana kebutuhan kaum mayoritas (warga negara) harus diwakili dan hanya bisa ditentukan oleh kaum minoritas (Elit Birokrat) dalam parlemen. Artinya kebijakan tertinggi (Pemerintahan Pusat Nasional) untuk menentukan kesejahteraan dan keadilan seluruh rakyat ada ditangan kaum (minoritas) Borjuis Birokrat. Sehingga yang terjadi hari ini adalah kesenjangan sosial; kemiskinan yang semakin bertambah, pendidikan yang semakin terbelakang, anak-anak terlantar dan pengemis tidak terurus, kerusakan alam dan penghancuran lingkungan semakin meluas, hingga masalah pelanggaran HAM berat dan kejahatan kemanusiaan masa lalu tidak pernah tertuntaskan.

Dapat kita saksikan sendiri bagaimana kekerasan dan penindasan terhadap Rakyat West Papua dari segi ekonomi, kesehatan dan pendidikan terjadi di depan mata, bagaimana perilaku Aparat Militer Indonesia terhadap Rakyat West Papua, bagaimana tanah-tanah adat rakyat West Papua dijadikan sebagai lahan (Tambang dan Perkebunan) milik perusahaan dari negara-negara Imperialis. Ekonomi tradisonal rakyat seperti Pasar, kios, toko dan ruko-ruko semuanya dikuasai oleh orang yang bukan asli dari Papua sehingga Orang Asli Papua disingkirkan dari atas tanahnya sendiri. Semua itu adalah bentuk penjajahan di Tanah Papua dan West Papua yang dilakukan oleh Pemerintah Negara Indonesia, melalui pendekatan Militerisme. Sehingga membangun Pos-pos Militer, penambahan pasukan Militer Organik maupun Non-organik, pembukaan lahan bagi perusahan asing yang tidak sesuai dengan kebutuhan Orang Asli Papua. Berangkat dari kondisi-kondisi itulah, Orang Asli Papua menuntut “Hak Menentukan Nasib Sendiri.”

Referendum untuk Bangsa West Papua

Untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan di tanah Papua dan West Papua harus menggunakan Referendum, bukan dengan melakukan pendekatan lewat kekuatan Militerisme dan Barbarisme. Secara singkat, Referendum berasal dari bahasa latin yang berarti suatu proses pemungutan suara (rakyat) semesta untuk mengambil sebuah keputusan, terutama dalam keputusan secara politik. Pada sebuah praktek referendum, Orang Asli Papua yang memiliki hak pilih tentu dimintai pendapat mereka. Namun, hasil referendum tersebut bisa dianggap mengikat atau tidak mengikat. Pertama; sebuah referendum akan dianggap mengikat, apabila Pemerintah Indonesia mengikuti seluruh jawaban dari Rakyat West Papua yang ada dari hasil referendum tersebut. Kedua; sebuah referendum tidak mengikat, apabila referendum tersebut hanya fungsikan sebagai penasihat saja, dimana hasil yang ada tidak harus di ikuti, tetapi menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan selanjutnya oleh Pemerintah Negera Indonesia.

Pada umumnya, terdapat dua jenis referendum, yaitu referendum legislatif dan referendum semesta. Referendum legislatif dilakukan apabila ingin melakukan perubahan/pembaharuan konstitusi atau undang-undang yang mewajibkan adanya persetujuan dari rakyat seluruhnya. Sedangkan referendum semesta adalah sebuah aksi referendum yang diselenggarakan berdasarkan kemauan rakyat itu sendiri, tentu didahului oleh sebuah aksi demonstrasi atau petisi yang berhasil mengumpulkan dukungan mayoritas. Saat ini, Bangsa West Papua sedang melaksanakan referendum semesta secara terbuka, meskipun direpresif dan di intimidasi oleh Militer Indonesia, bahkan penangkapan secara paksa dengan tuduhan melanggar pasal makar. Seperti Viktor Yeimo (Juru Bicara Internasional PRP dan KNPB), 19 Aktivis KNPB, Roland, Kelvin dan beberapa aktivis Papua lainnya. Tujuan Militer dan Pemerintahan Indonesia melakukan penahanan serta pemenjaraan terhadap mereka, agar proses pelaksanaan referendum semesta oleh Bangsa West Papua saat ini tidak diteruskan.

Hanya dengan pelaksanaan Referendum, Orang Asli Papua bisa memperbaiki hidup mereka sendiri, mendapatkan kehidupan yang layak sebagai kemanusiaan, bebas berpikir, berserikat, berkumpul, mengejar pengembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri. Tentunya, selama pelaksanaan referendum tersebut berlangsung, pihak Militer dan Pemerintahan Indonesia tidak diperbolehkan untuk campur tangan. Begitu juga dengan pihak dari negara-negara Imperialis lainnya.

Tuntutan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua, merupakan suatu solusi yang demokratis bagi masalah kebangsaan ditanah West Papua. Itu juga merupakan salah satu praktek dari demokrasi dengan cara melibatkan Bangsa West Papua dalam menyelesaikan konflik yang berkepanjangan. Dimana seluruh masyarakat West Papua mengadakan suatu pemilihan dan memberikan pendapat mereka lewat pelaksanaan referendum, hingga menghasilkan sebuah kesepakatan langsung secara demokratis oleh semua rakyat West Papua. Mereka yang akan menentukan secara langsung lewat referendum, apakah mereka mau melepaskan diri atau masih ingin hidup dibawah Kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia.

"Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Slogan Revolusioner"

Bagi kami, tidak ada kata tidak untuk tidak mendukung setiap tindakan yang memperkuat persatuan nasional dalam skala besar. Namun, jika persatuan nasional dalam skala besar itu dilaksanakan dengan cara pemaksaan dengan kekuataan militerisme dan intimidasi, hingga merenggut hidup suatu bangsa minoritas atas dasar dengan tujuan untuk mempertahankan kepemilikan pribadi atas alat produksi dan sumber daya alam oleh kaum Borjuis Nasional yang berkuasa saat ini, tentu adalah sangat bertentangan dengan koridor Hak Asasi Manusia. Maka, cara itu harus kami tentang, untuk menghentikan segala bentuk penindasan. Apa lagi perjuangan pembebasan bangsa tertindas adalah bagian dari sebuah konsep perjuangan kelas, yang memang tersubordinasi dari perjungan kelas buruh.

Kemenangan dari Bangsa West Papua dalam menentukan nasib sendiri, adalah ketika mereka berhasil menentukan sikap politik, mengembangkan ekonomi, sosial dan budaya secara mandiri. Sehingga, dapat menguasai dan memanfaatkan kembali seluruh sumber daya alam di wilayah mereka yaitu mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai dengan Merauke demi kepentingan seluruh rakyatnya. Itu juga merupakan kekalahan dari kaum Borjuis Nasional Indonesia dalam mempertahankan kepemilikan pribadi mereka atas Pertambangan, Perkebunan dan Sumber Daya Alam yang ada diwilayah West Papua. Hal itu akan menjadi suatu keuntungan yang sangat besar bagi Kelas Buruh di Indonesia untuk menyerang kekuasaan Fasis Borjuis-Kapitalis Nasional yang menindas mereka saat ini. Maka, Kelas Buruh di Indonesia harus sepenuhnya mendukung Bangsa West Papua dalam menentukan nasib sendiri, agar terlepas dari penindasan (penjajahan) yang dilakukan oleh borjuis-kapitalis nasional. Karena, yang menidas kelas buruh di Indonesia saat ini adalah borjuis-kapitalis nasional (antek-antek kapitalis-imperialisme Internasional). Maka, buruh juga perlu melakukan hal itu. Agar bisa melawan kapitalis dalam skala Internasional nantinya. Karena, antara Bangsa West Papua, Kelas Buruh, Tani Hamba dan Kaum Miskin di Indonesia memiliki musuh yang sama dan harus menyerang musuh yang sama pula, yaitu kaum Borjuis-Kapitalis Nasional Indonesia. Hanya dengan cara itu, mereka dapat membangun kepemerintahan yang lebih Demokratis dan Mandiri.

#Against_Imperialism

#Self_Determination

#Demokrasi_Kerakyatan


 

Edit, Doc. Koran Kejora

Titik Tolak Otsus Pluss dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi demokratis Bagi Bangsa West Papua

Materi di buat Oleh Aliansi Mahasiswa Papua Biro Agitasi dan Propaganda Pusat.

Pendahuluan 

Sejarah gerakan rakyat Papua Barat tidak terlepas dengan Hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua yang telah deklarasikan sebagai suatu bangsa sejak 1 Dsember 1961 dan dalam sejarah itu secara sah bahwa kebangsaan West Papua telah menjadi bagian dari proses  pengesahan internasional secara de facto dan de jure. Proses kemerdekaan itu, di rebut paksa oleh Indonesia dan negara-negara Imperialisme menjadi bagian dari terlibat proses aneksasi paksaan West Papua dan proses aneksasi itu tanpa mempertanyakan bangsa West Papua secara demokratis melalui  kontekstual gerakan rakya West Papua. 

Kebijakan-kebijakan diambil kendali oleh Indonesia, Belanda dan Amerika serikat sebagai penenggah mengamankan terkait proses aneksasi tersebut dan tanpa mempertimbangkan apa yang harus diperjuangkan bagi rakyat West Papua terkait mengambil jalan revolusi demokratis sejak 1 Desember 1961 sebagai titik puncak rakyat West Papua Namun di kecualikan oleh pihak-pihak yang mempermainkan proses perjuangan bangsa West Papua. Proses mengagalkan Negara West Papua oleh kolonialisme Indonesia dan Amerika Serikat serta Belanda tak libatkan rakyat West Papua yang mempunyai hak daulat dan moral kebangsaan menjadi ambiguitas oleh para kepentingan dan proses aneksasi bangsa West Papua yang merujuk pada ekploitasi dan ekploitasi alam di West Papua

Perjanjian-perjanjian yang dibuat atas dasar gari merah oleh para kepentingan merupakan "Ilegalitas " bagi rakyat West Papua terutama kebijakan-kebihajakan yang dilakukan oleh kolonialisme Indonesia dan peran penting negara-negara Imperialisme diatas tanah West Papua. Dan "Illegalitas" tersebut termaksud dengan "Otonomisasi kolonial NKRI  di West Papua" yang berlaku dengan tegang waktu yang diterapkan oleh Negara Indonesia yang menjadi penjajah bagi bangsa West Papua. Apa yang menjadi dasar dari gerakan bangsa West Papua sampai hari ini merupakan gerakan menuntut kemerdekaan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri di kembalikan di tangan gerakan rakyat West Papua dan sadar dari perjuangan eksistensi yang revolusioner bahwa bangsa West Papua harus dipisahkan dari kepentingan kolonialisme Indonesia di tanah West Papua. 

Berikut ini, merupakan dasar dari proses Illegalisasi Otonomi khusus di tanah West Papua dan kondisi yang di manipulasi oleh negara kolonialisme Indonesia dan dasar dari itu adalah mengggugat segala bentuk dan aspek yang diterapkan oleh Negara kolonial Indonesia. Secara terpisah dari itu, Genarasi ini tak perlu melupakan sejarah dari perjuangan kebangsaan yang telah lama ada sejak dari generasi ke generasi yang ada pada abad ke-21. 

MEMBENTANGKAN POKOK-POKOK  SENGKETA

   West  Papua Menantang Kebijakan Otsus bagi Papua Barat dengan menyodorkan masalah  yang sebenarnya  pokok-pokok sengketa yang menjadi akar persoalan dalam bidang politik West Papua  juga  Menantang  Kebijakan  Otsus bagi  West Papua  dengan menyodorkan masalah HAM, Demokrasi dan Hukum yang justru dilanggar habis-habisan dalam retorika  dan praktek  Otsus bagi Papua Barat. Sebelum menantang dan membantah Politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat, perlu mengulas kembali pokok-pokok pikiran ini sebagai rangkuman untuk mendasari penulis menantang, membantah dan menggugat. Bagi rakyat Papua sudah jelas bahwa rakyaWest Papua minta merdeka BUKAN karena ketidakadilan, keterbelakangan dan kekerasan militer, perbedaan ras, dan sebagainya, TETAPI karena itu memang  hak asasi untuk kedaulatan bangsa West Papua merdeka dan berdaulat seperti bangsa lain yang ada di muka bumi ini.

Raktat Papua tidak melihat sebuah masalah dalam hal mau menerima Otsus atau menolak. Pokok sengketa ada pada sejarah Papua Barat, ada pada hal-hal yang jauh sebelum itu, jauh sebelum Orde Baru, jauh sebelum G-30/S-PKI, yaitu jauh sebelum semua yang mendasari kebijakan Jakarta, dan retorika politik oleh elit politik Papua, pemimpin dunia, dan penguasa di Jakarta serta Imperialisme di dunia.

1.1. POKOK--POKOK SENGKETA  POLIITIIK

Pokok-Pokok sengketa politik adalah akar atau cikal-bakalnya hubungan tidak  harmonis  hubungan kolonial NKRI-Papua  Barat.   Alasan pertama karena tidak pernah dikonsultasikan kepada Papua Barat,  tetapi hanyalah sebuah  pindah-tangan dari penjajahan (Belanda) kepada Neo-kolonialisme (NKRI).  Proses itu terjadi atas kepentingan kedua belah pihak, tanpa pemberitahuan, apalagi konsultasi dengan pihak yang hendak dipindahtangankan.

Dalam hal ini  Papua   Barat  merasa   diperlakukan seolah-olah sebuah wilayah saja, tanpa memperhitungkan manusia yang  mendiami wilayah itu. Ucapan Ali Moertopo   “kami tidak butuh manusia Papua, tetapi wilayah Papua yang sedang diperbutkan”tahun 1962 rupaya BENAR dan inilah yang terus mengusik hati nurani dan pikiran manusia yang  mendiami bagian barat dari Pulau Terbesar kedua di dunia ini.

1.1.1. KESATU: Fakta Kongres Papua I 1961 (1 Desember 1961)

Persoalannya mulai nampak sejak 1 Desember 1961,   dalam Kongres Nasional Papua  Barat I, Desember  1961,  peristiwa bersejarah dalam sejarah Papua sebagai sebuah bangsa, dan sebagai sebuah entitas negara yang terlepas dan berbeda dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dimana telah terjadi peristiwa penting yang memperkenalkan, mengumumkan dan mensahkan pada 19 Oktober 1961:

Pertama, Papua Barat sebagai nama negara,

Kedua, Papua sebagai nama bangsa

Ketiga, Bintang Kejora sebagai nama Bendera negara (bukan bendera kebudayaan)

Keempat, Burung Mambruk sebgai lambang negara (bukan lambang kebudayaan)

Dengan  batas  negara  wilayah laut,  darat  dan  udara,  (bukan sebagai sebuah provinsi NKRI)

Kelima, lagu Hai Tanahku Papua, sebagai Lagu Kebangsaan (bukan lagu kebudayaan)

sah  sebagai sebuah negara, (atas   nama   demokrasi, HAM, dan  hukum universal)

dan diakui oleh Belanda (yaitu pemerintah yang sudah merdeka dan yang

ada di Papua Barat waktu itu)

Pemerintah  Belanda  pada 1957 mulai bekerjasama dengan Australia untuk men-dekolonisasi wilayah koloni mereka masing-masing, namanya Wilayah Papua dan New  Guinea (Australia) dan Nederland Nieu Guinea (Belanda). Oleh karena  itu, Kongres Nasional Papua   (KNP) tahun 2000 dengan  nama  KNP II  2000.  Namanya sendiri sudah membuktikan dengan jelas,  bahwa bangsa  Papua  tidak  berfikir  sebatas kekerasan  militer  NKRI regime Orde Baru, dan karena  dalam era reformasi sehingga bikin kongres.

Fakta sejarah ini tidak dapat dihapus dengan apapun juga. Dengan darah Theys,  dengan  darah  Thom, dengan  darah  Arnold Ap, dengan  darah  Yusup Tanawani, dengan darah William Onde, dengan  darah  Obeth Tabuni, dengan darah  Hans Bomay, dengan  darah  Laurenz Dloga. Semuanya  bukan menghapus ingatan sejarah ini,  tetapi justru mengecat  kembali, menambah terang  tinta itu  dan  mendorong   bangsa   West Papua   untuk  terus  maju dengan tuntutan kebenaran.

1.1.2. KEDUA, Pengakuan Sukarno dalam Butir Trikora (19 Desember 1961)

Secara    terbuka    di   Alun-Alun   Utara  kota   Yogyakarta,   tanggal   19 Desember 1961,  setelah Indonesia mendengar  bahwa  Papua  Barat sudah mengumumkan  kemerdekaannya, Soekarno  yang ekspansionis-kolonialis itu  mengumumkan apa yang disebutnya Trikora (yaitu Tiga  Komando  Rakyat).   Tiga  buah  komando   itu berbunyi:

o    Bubarkan Negara Boneka Papua buatan Belanda

o    Kibarkan Bendera Merah Putih di seluruh Irian Barat, dan

o    Bersiaplah untuk mobilisasi umum

Jadi, Soekarno dengan jelas mengakui sudah ada negara saat maklumat Trikora tanggal 19 Desember  1961  itu. Ia dengan jelas mengatakan bahwa ada negara   yang   hendak   diinvasi  NKRI   secara    militer,  dengan   perintah pengibaran bendera  NKRI  dan  persiapan perang semesta  dan  negara  itu bernama Papua.

1.1.3. KETIGA:  The New York Agreement (15 Augustus 1962)

Setelah perdebatan  yang alot antara elit  politik  NKRI [kolonial], terutama antara pihak nasionalis-ekspansionis pimpinan Soekarno dengan pihak di bawah  pimpinan Moh. Hatta, akhirnya Bung Hatta mengundurkan diri karena   politik Soekarno   berbau  kolonialis,  tidak  sama dengan cita-cita kemerdekaan NKRI. Walaupun Moh. Hatta memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan awal menyangkut Papua Barat, Moh. Hatta mengundurkan diri karena  politik. Sukarno tidak sehat. Setelah itu, Soekarno  melanjutkan perundingan- perundingan dengan Belanda menyangkut status Papua Barat karena Indonesia mengkleim bahwa Papua Barat adalah bagian integral Indonesia. Begitulah sekilas riwayat perundingan menyangkut Papua Barat, tetapi akhirnya,  atas bantuan  dalang  AS  melalui  Elsworth  Bunker,  AS  berhasil melakukan pertemuan tersebut. membawa   Belanda  dan  NKRI   ke meja  perundingan.  Dan   perundingan- perundingan yang TIDAK  melibatkan satupun orang Papua atau  wakil resmi bangsa Papua, yaitu Nieuw Guinea Raad  itu menghasilkan Perjanjian New  York, 15 Agustus 1962.

Alasan yang  jelas,   waktu  itu Sukarno  pandai memanfaatkan konflik perang  dingin melawan komunisme. Sukarno  mendrop  pasukan  Trikora, yaitu masyarakat sipil dan anggota tentara Indonesia, termasuk kapal-kapal perang buatan   Uni Sovyet.  Seperti Sukarno tidak enak tidur gara-gara pengakuan  negara Papua  Barat  1  Desember 1961  dan  mengeluarkan dektrit  Trikora, sekarang J.  F. Keneddy mendapat giliran mimpi buruk. Poros Jakarta membuat J.F. Keneddy mengambil langkah hidup-mati.

Sukarno telah melanggar prinsip politik luar negeri Indonesia, yaitu politik yang bebas  dan aktif dengan  poros  ini, karena  ia jelas-jelas berpihak pada Blok Timur.  Tetapi hasilnya jelas, yaitu membuat  Kennedy (pemimpin Blok Barat)  turun tangan.  Dan ia berhasil, yaitu Elsworth Bunker  diutus secara khusus  menjadi sutradara  penyelesaian sengketa  dan  berhasil membawa NKRI dan Belanda ke New York dan akhirnya jadilah "The New York Agreement" tanggal 15 August 1962.

Persekongkolan ini telah melahirkan malapetaka bagi bangsa Papua dan Negara Papua Barat.Ditambah lagi,  rupanya   AS [Amerika Serikat]  tidak hanya  mau  meraih untung  secara politis, yaitu menang dalam perang  dingin. Ia punya ambisi mengeruk kekayaan  Bumi  Cenderawasih dengan  menendang  Belanda keluar. Surat Rahasia J.F. Keneddy yang memaksa  Belanda menyelesaikan konflik dengan Indonesia secara damai adalah bukti ada niat lain juga di balik campur tangan AS dalam masalah Papua Barat.   Tandatangan Kontrak Karya penambangan Freeport  – NKRI 7 April 1967 adalah buktinya.

AS  menjamin dukungan dana melalui Bank  Dunia dan  Bank Pembangunan Asia/UNDP untuk membangun Papua Barat, yaitu untuk menggenapi rencana Papua-nisasi Belanda dalam kaitan rencana Belanda mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Dengan demikian Belanda percaya bahwa sekutunya dalam perang melawan komunisme itu akan  melaksanakan janjinya. Dalam hal ini Sukarno-Keneddy berhasil.

Isi dari The New York Agreement 15 Agustus 1962

Pertama,Apabila badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nation (UN) telah membenarkan persetujuan atau perjanjian itu melalui Rapat Umum, maka Belanda segera menyerahkan kekuasaan atas Irian Jaya (Papua) kepada UNTEA, 

Kedua, Terhitung sejak tanggal 1 Mei 1963 UNTEA yang memikul tanggung jawab Administrasi Pemerintah di Irian Jaya (West Papua) selama 6-8 bulan dan menyerahkannya kepada Indonesia, 

Ketiga, Pada akhir tahun 1969, dibawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB dilakukan Act of Free Choice,  Rakyat West Papua dapat menentukan  bergabung dalam  Indonesia atau menentukan status kedudukan yang lain (Merdeka Sendiri),  Penentuan nasib sendiri. 

Ke empat Indonesia dalam tenggang waktu tersebut diharuskan mengembangkan dan membangun kebersamaan  Rakyat Papua Barat untuk hingga akhir 1969, Papua dapat menentukan pilihannya sendiri.

Rancangan ini kemudian menjadi sebuah Pernyataan Bersama, dengan nama   The Rome Joint Statement.  Menarik untuk  dilihat  bahwa  apa yang dirancang itu  akhirnya dimaklumkan kepada  dunia dan  dengan  demikian secara hakiki merobah prinsip-prinsip fundamental dari The New York Agreement.

1.1.4 The Rome Joint Statement

Pelanggaran hak sebuah bangsa dan negara tidak hanya sampai di New York, tetapi berlanjut ke Eropa dengan nama The "Secret"  Memmorandum of  Rome  (atau NKRI  dokumen  itu berjudul The  Rome  Joint Statement),  yang kembali dirancang oleh AS lewat E. Bunker, dibicarakan antara NKRI, Belanda dan   AS.  Sekali  lagi,   dari  permulaan  sampai  akhir  (penandatanganan) memorandum  rahasia ini  TIDAK  MELIBATKAN,   tidak dikonsultasikan dan tidak dilakukan bersama, di hadapan Rakyat asli bangsa  Papua  atau  wakil rakyat Papua- pun.Yang mengherankan, isi The Rome Joint Statement (Pernyataan Bersama)  ini secara mendasar dan secara sepihak merubah hal yang sangat prinsipil dalam New York Agreement, yaitu tata cara pelaksanaan Pepera.

Isi The Roma Agreement:

Pertama menunda atau membatalkan Pepera 1969 sesuai Perjanjian New York, 

Kedua Indonesia akan menduduki West Papua selama 25 tahun mulai dari 1 Mei 1963. 

Ketiga pelaksana Pepera 1969 akan di jalankan berdasarkan cara indonesia musyawarah,

Keempat laporan akhir PBB atas Impementasi Pepera ke SU PBB harus di terima tanpa perdebatan terbuka,

Kelima Amerika Serikat Membuat Investasi melalui BUMN Indonesia untuk eksplotasi sumber daya alam di West Papua,        

Keenam Amerika Serikat menjamin lewat Bank Pembangunan Asia dana sebesar US$20 Juta kepada UNDP untuk pembangunan di West Papua selama 25 Tahun mulai dari 1 Mei 1963,

Ketuju Amerika Serikat menjamain rencana Bank Dunia dan menerapkan Transmigrasi orang Indonesia ke West Papua.

Pernyataan ini  terjadi tanpa  PBB, secara  rahasia antara Belanda dan Indonesia. Walaupun dalam teks terdahulunya New  York  Agreement menyatakan cara Pepera dengan pola one-man, one-vote atau satu orang satu suara,  versi   Agreement dimaksud yang  sedang   beredar   di  seluruh dunia berbunyi musyawarah   sebagai cara  menjalankannya.  Perubahan  mendasar redaksional ini terjadi di The Rome Joint Statement.

1.1.5 KELIMA, Penyerahan Papua Barat dari UNTEA kepada NKRI (1 Mei 1963)

Salah satu  hasil The  Joint Rome  Agreement  itu  adalah penyerahan wilayah  Papua   Barat dari  Belanda  kepada NKRI   lewat  UNTEA,   dan dilaksanakan secepat-cepatnya. Peristiwa itu terjadi 1 Mei 1963. Peristiwa ini terjadi lima tahun  lebih dulu dari pada PEPERA 1969   yang akan  menentukan keputusan rakyat West  Papua apakah  mau bergabung dengan NKRI atau mau berdiri sendiri sesuai dengan deklarasi 1 Desember 1961. Dalam Perjanjian New  York dijelaskan dua tahapan pengalihan kekuasaan, seperti dilihat dalam Terjemahan Paper Indonesia di Pasal sebelumnya, yaitu bahwa tahapan pertama dimulai "dari  1 Oktober  1962 hingga  1 Mei  1963. Dalam tahap ini,

pegawai  Belanda  digantikan  oleh  non-Belanda  dan non-Indonesia. Pada tahap kedua, Administrasi UNTEA diimplementasikan dengan mempertimbangkan  perkembangan lokal  dan waktu pemberlakuan  tahap kedua ini tidak  dibatasi. PBB menemukan waktu yang tepat, UNTEA akan menjalankan transfer tanggungjawab administrasi kepada Indonesia.

1.1.6 KEENAM: Pepera (14 Juli – 2 August 1969)

Inilah jangka waktu pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat. Sengketa   pertama   di sini adalah bahwa  Pepera  1969  itu dilaksanakan atas dasar The New  York Agreement yang di dalamnya tidak ada konsultasi dalam  bentuk   apapun   dengan   orang   Papua   atau   wakil  bangsa    Papua. Ditambah lagi,  pelaksanaan Pepera   itu sendiri tidak sesuai dengan seluruh bunyi  dan   pasal dalam perjanjian yang  mereka  sendiri tandatangani itu. Contoh yang paling menonjol adalah prinsip satu orang satu suara (one-man one-vote) seperti tertera dalam The New  York Agreement (15 Agustus1962), kemudian dirubah menjadi musyawarah  (dalam diskusi awal 1962)  dan dalam penandatanganan The Rome Joint Statement (20-21 Mei 1969)

Kemudian orang yang dilibatkan dalam Pepera  (termasuk  Alm. Dortheys H. Eluay sebagai orang kunci Dewan Musyawarah Pepera - DMP)   bukanlah Wakil  Rakyat  Papua   yang  sudah   dipilih secara   demokratis, yaitu anggota Nieuw  Guinea Raad. NKRI  membentuk  Dewan sendiri yang bernama  DMP (Dewan Musyawarah Pepera) dan menunjuk hanya 1,025 orang untuk secara paksa setuju untuk bergabung dengan NKRI.

1.1.7. KETUJUH: Resolusi SU PBB No. 2504 (XXIV) (19 November 1969)

Pepera  1969 menjadi  dasar  bagi  NKRI untuk   mengkleim  keputusanbangsa Papua dan negara Papua Barat ke dalam NKRI, dan Resolusi SU No.2504  (XXIV)  tanggal  19 November  1969 sebagai  alasan  hukum  untuk menduduki, mengeksploitasi, membunuh, memperkosa, menyiksa, menangkap, menghukum dan apa saja atas bangsa dan Tanah Papua. Maka, Tuntutan rakyat West Papua Barat adalah mencabut hukum PEPERA yang manipulatif tersebut. 

Proses yang penuh dengan rekayasa dan sarat dengan skandal itu membuahkan skandal selanjutnya, yaitu secara sepihak SU PBB tidak membahas, tidak  menanyakan kepada  wakil  bangsa Papua ataupun kepada bangsa lain dan menerima hasil Pepera 1969 di Papua Barat. Malahan  amandemen 15 negara  Afrika  yang  dipimpin  Ghana atas resolusi ini ditolak mentah-mentah.

Operasi-Operasi MIliter Kolonial Indonesia Setelah kemerdekaan Bangsa West Papua

1. Operasi Jayawijaya (1961-1962)

2. Operasi Wisnumurti(1963-1965)

3. Operasi Sadar(1965)

4. Operasi Brathayudha(1966-1967)

5. Operasi Wibawa(1967)

6. Operasi Khusus Penenganan Pepera(1961-1969)

7. Operasi Tumpas (1967-1970)

8. OPERASI KOTEKA (1977-1978)

9. OPERASI SENYUM (1979-1980)

10. OPERASI GAGAK I (1985-1986)

11. OPERASI GAGAK II (1986)

12. OPERASI KASUARI I (1987-1989)

13. OPERASI KASUARI II (1988-1989)

14. OPERASI RAJAWALI I (1989-1990)

15. OPERASI RAJAWALI II (1990-1995) 

MEMBENTANGKAN POKOK-POKOK  SENGKETA Presidium Dewan Papua [PDP]

Sejak era-reformasi Indonesia, rakyat West Papua mulai bersatu dalam gerakan perjuangan Papua merdeka untuk mengembalikan kedaulatan bangsa Papua Barat dan rakyat mulai menyatukan pikiran dengan melakukan protes demonstrasi demo damai dan memulai menyatukan prekpektif bahwa West Papua harus keluar dari biang kolonialisme Indonesia dengan secara seutuhnya kedaulatan harus kembali ke tangan rakyat dan Indonesia merupakan pemusnahan bagi rakyat Papua Barat yang sedang beralangsung secara Ekonomi, Politik dan Budaya yang terus-menerus menindas rakyat West Papua karaena pada saat itu, kekuasaaan Indonesia di atas tanah Papua Barat 40-an Tahun berlanjut terus menerus hingga saat ini yang sedang mendekat 60-Tahun kolonialisme Indonesia di atas tanah air West Papua. Perjuangan Presidium Dewan Papua dengan latarbelakang bahwa seluruh elemen-menyatuhkan pikiran dan pandangan untuk mendesak kolonialiame Indonesia untuk menanggapi isu kemerdekaan bangsa West Papua dan kembalikan tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka secara sah dan dibawa hukum Internasional yang berlaku. dibawa ini merupakan catatan-catatan penting dalam poin yang telah tercantum terbentuknya PDP secara demokratis bagi rakyat bangsa West Papua: 

1. Demontrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat selama tahun 1998 yaitu, 25 Mei 1998, 5 Juni 1998, dan 11 Juni 1998, menuntut mempertanggungjawab oeh TNI/PORLI dan Pemrintah Indonesia atas segala pelanggaran HAM di Papua Barat.

2. Surat Kongres Amerika Serikat dan RFK Memorian, menyangkuat surat dialog terkait Timor Leste dan Papua Barat dengan dialog sesuai kemauan  rakyat, ini saat jabatan B.J. Habbie.

3. Aksi Pengibaran Bendera Papua Barat selama tahun 1998 beberap temapat di Papua Barat dan luar Negri untuk tuntut kemerdekaan.

4. Mendirikan FORERI [Forum Rekonsiliasi Masyarakat irian Jaya/Papua Barat] di dirikan pada 24 July 1998 di Kantor ELSHAM Kotaraja Jayapura.

5. Tim Pencari Fakta DPR RI, tanggal 27 July 1998 tiba di Papua Barat dan bertemu dengan para FORERI untuk menyelidiki fakta-fakta kekerasan HAM.

6. Deklarasi 1 Agustus 1999, menyatakan sikap untuk mengorganisir semua wadah yang ada di Papua Barat.

7. Tim Seratus [T-100] pertemuan dengan presiden B. J. Habbie pada 26 Feb 1999. menyampaikan untuk keluar dari NKRI.

8. Musyawarah Besar Papua 2000, musayawarah di lakukan mulai dari 23-26 February 2000 di Sentani, Jayapura; tujuannya untuk kematangan demokrasi rakyat Papua Barat.  

Konggres Rakyat Papua II [2000], konggers dilaksanakan pada tanggal 29 Mei-04 Jun 2000 di Gedung Olahraga Cendrawasih [GOR] Jayapura, di hadiri oleh 3000 peserta. Tutuntan untuk meluruskan sejarah bangsa Papua Barat.

Presium Dewan Papua (PDP) dipimpin oleh dua orang ketua, 22 Aggota penuh dan 240 wakil masyarakat kesukuan di West Papua.

Ketua : Thom Beanal dan Theys H. Eluway

Moderator: Pdt.Herman Awom, Pdt. Beny Giyai, Franz Alebrt Yoku

Aggota: Isac Ayomi, Don Flassy, Yorris Raweyai, Muhammad S Sabuku, Beatriks Koibor, Ketty Yabansabra, Wilhem Zonggonau, Eliaser Awom, Jhon S Mambor, Fred Suebu, Marthinus A, Werimon, Leonard Imbri, Andy D Manaby, Yakob Kasimat, Melkianus Mandosir, Jhon O. Ondowame dan di tambah dua oarng dari Swedia dan Belanda. 

Proses terbentuknya PDP yang berakhirnya merunjuk pada pemimpin presidium Dewan Papua di bunuh secara brutal sehingga terjadi pembubaran badan PDP sehingga secara sah kolonialisme Indonesia mengesahkan UU Otonomi Khsusu bagi Papua melalui para borjuasi Indonesia.

MEMBENTANGKAN POKOK-POKOK  SENGKETA Era-Reformasi,dan 20 Tahun Otonomi khusus (Illegalitas)

Otonomi khusus bukan permintaan atau desakan rakyat West Papua tetapi diberikan langsung oleh kolonilaisme Indonesia untuk membungkam seluruh ruang lingkup kehidupan rakyat asli West Papua dari manipulasi yang di lakukan oleh kolonialialisme itu sendiri. Otsus yang di sahkan adalah diberikan langsung oleh Jakarta mendesak rakyat West Papua untuk tidak membicarakan realitas perjuangan kemerdekaan bangsa West Papua. Secara simulasi dan sebenarnya tidak dipersoalkan mengenai otonomi khsusus yang berlaku di atas tanah Papua Barat karena mengenai otonomi khusus adalah manipulasi dari sejarah yang panjang di atas; tetapi akan menjadi pembahasan kegagalan-kegagalan kolonialisme Indonesia di atas tanah Papua Barat bahkan secara hukum kolonialisme Indonesia UU Otsus berlaku namun bagi rakyat West Papua itu adalah ilelagaliats yang di buat oleh negara penajajah dan penajajahan oleh Kapitalisme sampai Imperialisme di Papua Barat itu sendiri. 

PRO & KONTRA OTONOMI KHUSUS

Menganai UU No 21 Tahun 2001 bahwa pengkajian otonomi khsusu tersebut gagal di pandang secara kaca mata rakyat West Papua dan sedangkan bagi pemerinatah kolonial sudah suskes. inilah menjadi dasar dari manipulasi sejarah bangsa Papua barat dan mengkalim atas  dasar cara Indonesia di tanah air West Papua.

Jadi apa yang mendasari atau menjadi patokan paksaan Otsus di Papua Barat adalah limbah politik kotor tahun  1960-an dan  politik kotor 2000-2001 sebagai  hasil  konspirasi  internasional  yang  sarat  dengan  skandal moral kemanusiaan, demokrasi dan hukum. Proses otonomi khusus yang dibahas oleh kolonail Indonesia dengan para borjuasi nasional orang Papua Barat mengabil langkah inisiatif tersendiri. Perlu di ketahui bahwa para nasionalis Indonesia melakukan berabagai kontruksi perpanjangkan Otonomi Khusus dengan pendekatan yang sangat tidak demokratsi di depan mata rakyat Papua Barat. Terbukti bahwa hari ini berbagai kasus yang terjadi terutama, Genosida, Pembungkan sejarah Papua Merdeka, Eksplotasi alam, dan pendoropan militer Indonesia, sampai transmigrasi melebihi populasi manusia Papua Barat, serta pembunuhan liar di tanah Papua Barat.  Maka, jalan utama adalah Papua Barat "Merdeka"

Sumber:

1 Semua hal ini sudah dibahas mendalam dan tuntas dalam tiga seri buku WestPaC-AMP berjudul: (1) West Papua: Dari Kolonisasi ke Rekolonisasi, (1999), (2) West Papua: Yang Kami Tahu – Skandal dalam Sejarah Dekolonisasi PBB (2000), dan (3) West Papua: Kilas Balik Sejarah Politik Papua Barat (1999) serta buku Dr. John Saltford: UN Role in Indonesia’s West Irian’s Act of Free Choice. Semua buku ini dalam versi bahasa Inggris ada di: [http://www.westapua.net/docs/books/book0/un_wp.doc]

2 Baca sejarah singkat di: http://www.westpapua.net/about/wp/history.htm

3 West Papua: from COLONISATION to RECOLONISATION, WESTPAC - The West Papuan

Community, X 1414 - GF990/402, Jakarta, 1999. [http://www.westpapua.net/docs/books/book1/part03.htm]

4 Ibid.

5 Dinas Sejarah Militer TNI-AD: 'Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI-AD, 1972:462.

6 Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands Concerning West

New Guinea (West Irian) (Signed at the Headquarters of the United Nations, New York, on 15 August

1962)Isi New York Agreement ada di [ Versi revisi setelah Rome Joint Statement: http://www.westpapua.net/docs/nya.htm dan Versi aslinya sebelum revisi di Roma: [http://www.westpapua.net/docs\books/book1/part09.htm]

7 West Papua: from Colonisation to Decolonisation, op.cit.

8 Ibid.

9 http://www.westpapua.net/docs/books/book2/part04a.htm

10 http://www.westpapua.net/docs/books/book2/part06a.htm

11 The Rome Agreement between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands on West Irian, 30 September 1962, [http://www.westpapua.net/docs/books/book1/part03.htm]

12 West Papua: from Colonisation to Decolonisation, AMP-WestPaC, Jakarta, 1999 [http://www.westpapua.net/docs/books/book1/parto03.htm]

13 The Rome Joint Statement, Text of the Joint Statement Following the Discussions Held

Between the Netherlands Minister of Foreign Affairs Mr. Luns and the Netherlands Minister for Development Cooperation Mr. Udink with the Indonesian Minister for Foreign Affairs Mr. Malik in Rome on 20th and 21st May, 1969. [http://www.westpapua.net/docs/rome-agreement.htm]

14 Ibid.

15 UNITED NATIONS INVOLVEMENT WITH THE ACT OF SELF- DETERMINATION IN WEST IRIAN (INDONESIAN WEST NEW GUINEA) 1968 TO 1969, By John SaItford: 19. [http://www.westpapua.net/docs/books/book0/un_wp.doc]

16 The Rome Joint Statement, op.cit.: ponts 3 and 5.

17 Ini patokan tanggal Megawati untuk mengumumkan pembunuh Theys H. Eluay, tetapi beliau ingkar janji. Janji Mega 1 Mei 2002 itu mengingatkan kita pada 39 tahun silam, yaitu tanpa sebuah proses demokratis, tanpa masa persiapan yang memadai, tanpa konsultasi dengan orang Papua ataupun perwakilannya, dengan resmi PBB menyerahkan Papua Barat ke tangan NKRI.

18 Walaupun Pepera sarat dengan pelanggaran HAM, yang kami maksud adalah peristiwa seperti itu belum terjadi, tetapi Papua Barat sudah jatuh ke tangan NKRI karena hasil memorandum rahasia Roma itu.

19 Sejarah Kembalinya Irian Jaya (West Papua) kepada Indonesia, terjemahan dari The History of the

Return of Irian Jaya (West Papua) to Indonesia [http://www.westpapua.net/docs/history-indo.htm].

20 Ibid.



 


Photo Pemukulan Oleh Militer Indonesia gabungan Ormas Reaksioner di Jakarta terhadap masa aksi AMP KK Bali, 01 July 2021

Kronologis Pembungkaman dan Represifitas Aparat kepolisian Indonesia Terhadap Massa Aksi Aliansi Mahasiwa Papua (AMP) kk Jakarta.

Kamis 01 Juli 2021.

Masa aksi tiba di titik aksi patung kuda jakarta pukul 11-00, setelah tiba di TKP Masa aksi mulai membuka spanduk dan poster. masa aksi yg tergabung sebanyak 28 orang, pada saat korlap mulai pimpin masa aksi untuk  menuju ke  titik aksi, pasukan kepolisian datang dan tanpa negosiasi langsung perintahkan untuk menangkap dan membubarkan masa aksi yg tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Namun, masa aksi masih tetap bertahan dan melakukan aksi dengan yel-yel Papua Merdeka.

Pihak kepolisian terus berupaya melakukan pembubaran serta melakukan tindakan represif terhadap Massa aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Sehingga Pada saat itu, korlap sempat negosiasi dengan pihak kepolisian agar beri waktu untuk massa aksi membaca peryataan sikap. Namun kepolisian secara paksa menarik dan menangkap sebagian masa dari dalam tali komando.  

15menit kemudian, kelompok reaksioner yang dibentuk untuk aksi tandingan datang dan melakukan provakasi dan serangan fisik terhadap massa aksi AMP. Namun polisi membiarkan itu terjadi dan polisi juga serta melakukan kekerasan. Masa aksi  ditarik dan yg lain ditendang bahkan di pukul secara membabibuta.

Selain itu, saat massa aksi dan kepolisian saling mendorong, pihak kepolisian melontarkan kalimat ‘’tembak mati’’ sambil memukul satu orang massa aksi dan menodong senjata laras panjang hingga mengenai kepalanya.

Refresifitas ini terjadi dari pukul 11-05 sampai pukul 12-00.  kemudian  masa aksi di angkut paksa dan dibawa pakai dua mobil dalmas polda metro jaya dan 14 motor kepolisian.

Pukul 12:47, masa aksi di bawa ke taman BKN jakarta timur oleh kepolisian, setelah di BKN masa aksi di ancam oleh kepolisian dengan kalimat yang sama  ‘’saya tembak’’ hanya karena masa aksi menolak salah satu anggota polisi yang mengambil gambar. 

Sekitar delapan orang massa aksi AMP mengalami luka-luka yang cukup berat. Dan juga perangkat aksi berupa poster, bener, dan microphone dirampas dan dirusak oleh Aparat kepolisian Republik Indonesia.

Medan Juang

Jakarta Pusat,  01 juli 2021.



 

Photo Prib.Ismail Asso (Papua Moslem Assembly)


Penulis: Ismail Asso*

A. Pendahuluan

Judul begini agar permasalahan jelas. Namun tempat terbatas tidak mungkin dijelaskan secara konfrehenship tuntas tapi kecuali secara partial.

Pembahasan singkat ini penting, karena kebanyakan belum tahu bagaimana ajaran Islam sesungguhnya dalam konteks pembebasan Papua sehingga permasalahan menjadi jelas dalam menjawab judul.

Penulis merasa penting menjelaskan ini karena selama ini belum pernah dijelaskan oleh Muslim Papua sendiri. Karena ada kekeliruan masyarakat Papua, baik orang Islam sendiri, maupun utamanya orang diluar Islam, kaitan Islam -sebagai suatu nilai kebenaran universal dan Papua serta Muslim sebagai pribadi berpotensi multi interpretasi.  Tulisan singkat ini mencoba menjelaskan keterkaitan Islam dan Pembebasan Papua perspektif muslim Papua.

B. Muslim Antara "M" atau "O" 

Kesan banyak kalangan Muslim Papua dalam perjuangan dari pejajahan bersikap diam, tidak progressif malah tidak ada inisiatif ambil bagian dalam pembebasan rakyat Papua. Parahnya lagi, Muslim Papua (tanpa membedakan Pribumi-Pendatang) seakan menyetujui penjajahan dirinya. Tidak sebagaimana rakyat Papua penganut agama lain Islam. Lembaga Islam misalnya MUI, Muhammadiyyah dan PWNU Papua diam seakan tanpa peduli pelanggaran HAM di Papua sejak daerah ini dianeksasi melalui Pepera tahun 1969 yang konon tidak melalui mekanisme ‘one man one vote’

Berbeda dari lembaga milik Kristen, Keuskupan Papua dan Classis GKI Papua mengangkat pelanggarakan HAM terasa lebih dominan kepekaanya menegaskan nilai-nilai kebenaran ajaran agamanya itu.  Sebaliknya, Muslim Papua dan Ormas Islam dalam hal pelanggaran HAM oleh aparat TNI/POLRI diam seakan tidak terjadi sesuatu apa menunjukkan ketidak pekaannya.  Asumsi orang bukan penganut agama Islam bahwa Islam bukan agama pembebasan dan bukan ajaran kebenaran universal.  Padahala tidak demikian ajaran paling mendasar agama Islam sebagaimana dasar-dasar ajaran agama Islam itu akan ditegaskan dalilnya dalam bagian berikut ini. 

Nabi Muhammad SAW diutus oleh Asllah SWT, untuk membebaskan umat manusia sebagaimana Nabi Musa As untuk kaum Yahudi dari perbudakan Fir’aun di Mesir. Umumnya institusi Islam dan kaum muslimin Papua dalam sikap antara pilihan "M" dan" O", terkesan mendukung "O" alias menghalangi pembebasan Papua.  Muslim Papua tidak ingin bebas merdeka apalagi membantu berjuang membebaskan Papua dari penjajahan. Demikian mentalitas umum masyarakat sipil apalagi saudara-saudara muslim migran yang datang mengais rezeki di Tanah Papua.  Terlepas dari persoalan interpretasi teks-teks suci (Al-Quran dan Al-Hadits) sebagai guidance (pegangan hidup), memungkinkan multi interpretasi. 

Namun faktanya menunjukkan bahwa dan itu patut sangat disayangkan -Muslim Papua diam berpangku tangan.  Bersikap apatis sesungguhnya tidak mencerminkan nilai-nilai ajaran agama Islam yang inti dari tujuan kehadirannya sebagai kelanjutan agama Kristen dan Yahudi adalah sebagai agama pembebasan.  Sekali lagi Islam adalah agama-agama pembebasan (fathu). Hal itu terbukti dimana-mana pada masa awal kehadiran Islam untuk membebaskan dari penindasan dan sebagai rahmatn lil'alamin (kasih sayang bagi seluruh alam).  Untuk itu kedepan kaum muslimin Papua wajib ikut serta dalam membebaskan Papua dari penjajahan sebagai jaminan kebenaran ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits. 

Karena ajaran Islam menjamin hal itu. Tujuan kehadiran Islam melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir, menyempurnakan agama terdahulu dengan semangat pembebasan. Termasuk Pembebasan Papua dari penindasan dan penistaan martabat kemanusiaan dan pencuriaan Sumber Daya Alam sekalipun itu dilakukan oleh bangsa yang mayoritas beragama Islam.  Namun sangat disayangkan karena peran kaum muslimin Papua sangat miskin malah praktis tidak terlihat kontribusinya dalam penegakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (menyeru kebenaran dan mencegah keburukan). 

Betapapun pelaku kekerasan dan penjajahan orang beragama Islam kalau itu melanggar ajaran kebenaran dan keadilan maka wajib hukumnya menolak. Oleh sebab itu penindasan tidak menutup kemungkinan dilakukan orang seagama (Islam) dengan kita bukan berarti mewakili Islam. Tidak! Karena itu wajib hukumnya bagi muslim sebagai pelaksanaan penghayatan ajaran kebenaran Islam untuk menyeru ‘amar ma’ruf nahi munkar’. Muslim Papua wajib menagakkan kebenaran islam dengan menentangnya kalau itu bertentangan dengan ajaran dasar agama Islam. Ajaran dasar agama islam menyuruh kita menegakkan keadilan dan ‘amar ma’ruf nahi mungkar’ (menyuruh kebenaran mencegah kemungkaran). Karena keadilan adalah ajaran paling pokok dan dasar dalam Islam seperti Firman Allah SWT terjemahannya: 


“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 5:8)”.

Ayat ini memerintahkan kita sebagai orang beriman (mu’min, percaya) menegakkan keadilan kalau kita beriman kepada Allah sebagai Tuhan dan Muhammd sebagai Nabi dan utusan-NYA. Siapapun manusia memiliki hati nurani (hati bercahaya) secara natur (alamiah) ada panggilan jiwa akan terpanggil membela kebenaran melalui keluhuran budi (nurani atau bercahaya) kebenaran. Keharusan menegakkan keadilan dari kejahatan wajib bagi seorang beriman menurut ayat diatas. 

Banyak perintah Al-Qur’an dan Hadist Nabi menyuruh orang-orang muslim yang beriman untuk menyeru kebenaran-keadilan dan mencegah keburukan adalah wajib hukumnya. Seperti Firman Allah SWT sbb:

“Mengapa kamu tidak mau berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a; Ya Tuhan kami keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”. (QS. 4: 75).

Namun kebanyakan muslim karena faktor alasan sekunder (duniawi) yang melakukan penindasan itu mayoritas beragama Islam maka diam tanpa mengkritisi tindakan itu benar atau salah. Mendiamkan kedholiman sama artinya tidak melaksanakan perintah agama Islam sebagaimana hal itu diperintahkan oleh Allah SWT terbaca ayat diatas.

Pembebasan Papua dari penindasan sesungguhnya menegakkan kalimah tauhid (inti pokok dasar ajaran islam). Itu berarti mengkontektualisasi nilai-nilai Islam paling tinggi dan jauh ditarik turun kebawah sesuai konteks social politik dan budaya Papua.  Namun demikian sayangnya kebanyakan kaum muslimin Papua tidak menyadari nilai kebaikan dan keadilan Islam tanpa pandang bulu pada siapa.  Hal itu kurangnya pemahaman inti ajaran Al-Quran yang hadir membebaskan umat manusia dari penindasan, pembunuhan, perampasan hak-hak asasi manusia seperti yang terjadi pada Papua.

Perampasan atau perampokan harta kekayaan Papua oleh siapapun adalah kebathilan, kedholiman yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.  Penganiayaan bangsa Papua apapun alasannya, bertentangan dengan ajaran inti Islam yang terkandung didalam kitab suci, Al-Qur'an dan Al-Hadist. Sebab esensi kehadiran Islam dimuka bumi sebagai rahmatan lil’alamin, kasih sayang bagi seluruh alam dan missi utamanya kemerdekaan, kebenaran, keadilan sesuai nama agama Islam itu sendiri yaitu kedamaian. Muslim sikapnya dalam konteks Papua paradoxe dengan kenyataan penindasan. Tidak seperti Thoha Al-Hamid, Sekjen PDP.  Muslim Pribumi mudah percaya omong-kosong yang umum diketahui bersama seperti integrasi untuk membangun dan memajukan Rakyat Papua. 

Padahal kenyataan terjadi pembunuhan, pencurian dan pengangkutan kekayaan alam dengan membiarkan pemilinya dalam keterbelakangan dan kebodohan.  Kebebasan merupakan sunnatullah (natural law) dalam artian bahwa kemerdekaan atau kebebasan itu hak paling asasi bagi manusia. Muslim Papua wajib menjaga hak-hak dasar yang diberikan oleh Alloh SWT, berupa jiwa, harta sebagai amanah (titipan). Muslim Papua bersama seluruh rakyat Papua wajib ikut menjaga dari perampokan oleh Amerika (emas orang Papua di Timika), Gas dan Minyak oleh Inggris di Bintuni, Gas alam di Mamberamo Raya oleh Cina, ikan dan udang oleh Jepang, kayu besi (Merbau) oleh berbagai negara asing.  Muslim tidak boleh diam hanya menonton atas pembunuhan manusia tanpa alasan yang benar dengan atas nama apapun sebagai pembenaran (bedakan dengan kata Kebenaran). Menjaga dan mempertahankan hak hidup, melindungi nyawa diri dan keluarga serta menjaga harta benda adalah perintah agama yang hukumnya wajib fardhu ‘ain.Islam memerintah agar kita menjaga diri dan kekayaan alam tidak boleh dirampok bangsa lain. 

Karena kekayaan alam melimpah yang diberikan oleh Allah SWT, sebagai amanah untuk dipelihara dari kerusakan, perampasan dan pencurian negara wajib dilindungi sebagai kholifah fil ardhi. Untuk itu tulisan ini harapannya Muslim Papua harus menjadi sadar kembali atas kekeliruan atau lebih tepat ketidaktahuan perintah agama Islam selama ini.  Kedepan kaum muslimin tanpa membedakan harus menbangun kesadaran untuk berdiri dalam barisan menyuarakan kebenaran atas penindasan hak-hak hidup manusiawi yang dirampok dan ditindas. Perbuatan fasik oleh siapaun bertentangan dengan nilai-nilai pokok ajaran agama Islam. Oleh sebab itu harus dilawan sebagai wajib ‘fardhu ‘ain’ oleh seluruh Muslim Papua. Muslim Papua senantiasa harus menyerukan amar ma’ruf nahi munkar bagi pembebasan dan Papua Bangkit. 

Setidaknya tulisan ini sebagai ghozwulfikri, bahwa dengan opini demikian akan menjadi khiroh (semangat) kaum muslimin dari kekeliruan dua pilihan atas intrepretasi ajaran Islam. Muslim Papua wajib menegakkan keadilan sebagai perintah Allah SWT, yang mulia diwujudkan dengan menyatakan kebenaran sebagai yang benar dan salah sebagai salah (‘amar ma’ruf nahi mungkar).

C. Islam Dan Muslim Berbeda

Mendukung Papua Bangkit adalah wajib hukumnya bagi Muslim kedepan ini, kalau memang mereka benar Muslim dan ingin menegakkan nilai-nilai Islam yang benar sesuai ajaran yang ada dalam Qur'an-Hadist. Muslim Papua, dari manapun asal-usul keturunannya wajib menegakkan kebenaran dan keadilan melawan penindasan. Sebab pendindasan tidak sejalan dengan semangat agama Islam yang mengajarkan nilai persamaan dan menjunjung martabati manusia. Sikap demikian sejalan dengan Islam. Karena esensi Islam hadir kedunia melalui Nabi Muhammad SAW untuk membebaskan umat manusia serta menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Islam sekali lagi hadir untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Muslim harus menyatakan kebenaran bahwa pencurian, perampokan atau exploitasi kekayaan alam harus dilawan. Muslim Papua harus ikut serta melawan sebagai jihad fisabilillah. 

D. Islam Agama Tuhan

Rakyat Papua anggap Islam identik dengan Jawa, Bugis, Makasar atau singkatnya agama “pendatang” Indonesia lagi.  Maka persepsi orang lalu Islam melegalisasikan ajarannya sebagimana Muslim adalah keliru. Muslim penjajah dan menganggap Islam sama dengan Indonesia. Padahal ajaran agama Islam lain dan harus dibedakan dari suku bangsa.  Indonesia 85% pemeluk agama Islam. Sehingga mereka yang beragama Islam datang. Tapi harus dibedakan dan ingat bahwa Islam agama Tuhan. Agama Islam diperuntukkan bagi umat manusia, tidak hanya yang mendholimi bangsa Papua. Lalu dimana kaitan Islam dalam mendukung pembebasan Papua oleh Muslim?  Islam dimanapun hadir membebaskan penindasan, perampasan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Lalu apakah Islam Mendukung Papua Merdeka? Jawabannya 100% mendukung sebagaimana pengertian Islam dari "sana"-nya karena kemerdekaan adalah hak kodrati yang dijamin oleh Allah SWT, kepada setiap individu dan bangsa. 

Tapi kalau pertanyaan ini di tanyakan adakah Muslim Mendukung Papua Merdeka?  Jawabannya ada dan tidak. Karena jumlah penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam dunia maka penting dijelaskan disini, tentang perbedaan arti kata Islam dan Muslim.  Penjajahan Papua sama sekali tidak ada kaitan dengan Islam. Karena Islam dan Muslim berbeda walaupun berasal dari satu akar kata. Muslim sebagai kata benda yang berarti manusianya, sedangkan Islam sebagai kata sifat yang abstrak, berarti nilai.  Sesuatu yang berdimensi nilai berarti juga sesuatu yang dianggap suci, sakral (keramat),yang berintikan ajaran doktrin pokoknya bersifat transendetal. 

Wallahu'alam Bish-showaaf.

*** ***

Ismail Asso*

Ketua Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua.


DAFTAR BACAAN

1. Koenjaraningrat dkk, Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Gramedia, Jakarta 1993

2.Astrid Susanto-Sunario (Penyuting), Kebudayaan Jayawi Jaya, Gramedia, Jakarta, 1994

3.KH. Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999

4. Taswirul Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Islam Pribumi Menolak Arabisme Mencari Islam Indonesia, Edisi No. 14, Jakarta, 2003

5. Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Aabd ke 20, Kanisius, Jakarta, 2000

6.13 Tokoh Etika dari Yunani Sampai abad 20, Kanisius, Jakarta 1996

7.Etika Dasar, Kanisius, Jogjakarta, 1987

8. Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003

9.Menalar Tuhan, Kanisius, Jakarta, 2006

10. Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, Paramadina, Jakarta, 2000

11. Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta 2002

12. Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta, 2000

13. Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khasanah Islam, Bunga Rampai, Paramadina, Jakarta, 2000


Photo Bersama AMP KK Lombok, NTB usai di Bentuk Pada, 01 Febluary 2021 


 Salam Pembebasan Nasional Papua Barat


Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak


Wawawawawawa...wa...wa...wa...wa!


Komite Pusat- mengucapkan selamat atas terbentuknya Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Lombok telah Terbentuk dan melaksanakan Pendidikan Politik (Dikpol), sekaligus struktur Baru,. Pendidikan Politik telah di Mulai dari tanggal 29-30 January 2021 sampai dengan pembentukan struktur 31 Januray 2021 dan di sahkan pada 01 Febluary 2021 di Mataram Lombok. 


Proses pemilihan Ketua Komite Kota Lombok, dilakukan secara demokratis oleh peserta dikpol.  Terpilih Ketua AMP KK Lombok : Yordan. Nyamuk Karunggu. 

Sekretaris I : Arya Kiwo dan Bertha Kilungga dan Bendahara: Nifrans Kiwo

Dan terpilih Biro-Biro Lainnya. 

Secara resmi, pengurus Komite Pusat - Aliansi Mahasiswa Papua (KP-AMP), Natalis Bukega, Ikut serta mengesahkan.

Selamat Bergabung kawan-kawan dan salam Persatuan untuk membebaskan Bangsa Papua Barat dari Kolonialme Indonesia, Imperialisme serta Militerisme.


Salam Perjuangan Bangsa Papua Barat. 


Lombok, 01 Febluary 2021

# SalamRevolusi

#SalamPembebasanNasionalPapua 

 *Persatuan Tanpa Batas*

*Perjuangan Sampai Menang*







  • Gambar dok arb (16/7)

Tolak Otsus Jilid 2 dan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Rakyat West Papua diangkat dalam tuntutan Aliansi Rakyat Bergerak (ARB). 

Aliansi yang tergabung oleh 22 organisasi yang terdiri dari: Pelajar, Mahasiswa, Buruh, Tani, LGBT Q, kaum miskin Kota, melancarkan aksi protes di kota Yogyakarta pada hari ini, Kamis (16/07/2020). 

Demonstrasi dengan thema Pandemik Dibajak Oligarki: Lawan Rezim Rakus, Gagalkan Omnibus menduduki jalan Gejayan massa menduduki sepanjang Jalan Gejayan pada pukul 13:30 WIB--selesai sebelum Magrib. Sebelumnya massa aksi melakukan Long March dari Bundaran Univ. Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.

Pantauan Korankejora di lapangan, isue tentang Papua terus diangkat dalam orasi-orasi politik dari berbagai organisasi secara demokratis menyampaikan gagasan tentang Papua yang berkaitan langsung dengan Onibus, penindasan yang berkepanjangan yang diakibatkan langsung oleh penguasa yang berpihak kepada korporasi nasional juga internasional, seperti yang dituliskan di dalam liris ARB. 

Berikut tuntutan Aliansi Rakyat Bergerak:

1. Gagalkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja

2. Berikan Jaminan Kesehatan, ketersediaan Pangan, Pekerjaan dan Upah Layak untuk Rakyat terutama di saat Pandemi.

3. Gratiskan UKT/SPP Dua Semester selama Pandemi.

4. Cabut UU Minerba, Batalkan RUU Pertahanan, dan tinjau ulang RUU KUHP

5. Segera sahkan RUU PKS

6. Hentikan Dwi Fungsi POLRI yang saat ini banyak menempati jabatan publik dan akan dilegalkan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja

7. Menolak Otonomi Khusus Papua dan berikan hak penentuan nasib sendiri dengan menarik seluruh komponen militer, mengusut tuntas pelanggaran HAM, dan Buka ruang demokrasi seluas-luasnya. 

Reporter: JG

Poster "referendum" di aksi Mahasiswa Papua, Jakarta, Agustus 2019

Oleh: Jhon Gobai)*
“Kami tidak membenci rakyat Indonesia, jadi [mereka] harus mengambil sikap karena kemerdekaan Papua itu menguntungkan mereka juga. Papua tidak akan pernah usir yang sudah hidup di tanah ini,” ungkap Edison Waromi, ketua I Komite Legislatif ULMWP itu justru berharap rakyat Indonesia di Papua membentuk front tersendiri untuk mendukung kemerdekaan Papua (Jubi, 9/9/2019).
Hal itu diungkapkan dalam peluncuran laporan pelanggaran HAM selama bulan Agustus hingga September 2019 oleh Komite Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Edison Waromi dan Markus Haluk di Jayapura, 9 September 2019.
Sementara pengertian siapa saja orang Papua, orang Papua yang ingin merdeka menjadi wacana diskursus gerakan pembebasan nasional West Papua sejak akhir 2015. Diskursus itu datang dari pandangan perlawanan terhadap penindasan dan pembebasan bangsa tertindas.
Jargon “tak semua orang kulit putih adalah musuh kami, juga tak semua kulit hitam adalah kawan” merupakan semangat merajut kekuatan berdasarkan rasa senasib, rasa ketertindasan, dan bersama berjuang untuk menentukan nasibnya sendiri.
Kolonisasi West Papua merupakan dalang dari imperialisme. Rezim Indonesia menjadi alat untuk menjajah rakyat di negeri ini, termasuk aneksasi West Papua kedalam NKRI.
Sehingga, aneksasi West Papua itu sejalan dengan program transmigrasi rakyat Indonesia ke West Papua, setelah UU Penanaman Modal Asing ditandatangani oleh Soeharto (1966), lalu kontrak Karya Freeport Indonesia di West Papua pada 1967.
Rencana pembangunan Pulau Jawa menjadi pusat kota industri dan perkotaan, sementara wilayah luar Jawa, terutama ke arah Timur Indonesia menjadi wilayah eksploitasi kekayaan alam untuk kemajuan industri tersebut. Itu juga yang dibicarakan dalam pertemuan G20 di Bali, kemarin.
Sehingga transmigrasi non Papua di Papua itu orientasinya mengusir penduduk pribumi dengan dibungkus semangat NKRI harga mati, Papua Indonesia, untuk kemudian lahan-lahannya dikuasai oleh pemodal. Program transmigrasi itu tentu program penjajahan terhadap suku-suku yang mendiami di setiap pulau di nusantara ini. Pendeknya, merelokasi rakyat Indonesia ke Papua.
***
Pendudukan Non Papua di Papua terjadi bersamaan dengan berlangsungnya operasi-operasi militeristik. Sehingga kesan Indonesia Papua, selain ABRI, juga non Papua, dan orang Papua adalah berkulit hitam dan orang berketurunan gen asal Papua, itu sangat kental dalam kehidupan orang Papua pasca pendudukan Indonesia.
Skat Papua dan Indonesia itu tumbuh subur dengan berbagai stigma yang dialamatkan kepada orang Papua: Aibon, Separatis, pemecah-Bela NKRI, KKB, dan lain-lain. Stigmatisasi semacam itu dilabeli kepada orang Papua, yang mencoloknya berdasarkan ras. Kemudian, design kebencian pendatang dan orang Papua yang sangat masif propagandanya diorganisir oleh rezim di Papua. Terlihat dengan tindakan pembelaan terhadap non Papua oleh TNI dan Polri di Papua. Seakan perjuangan rakyat Papua melawan penjajahan mencederai atau merugikan warga non Papua di Papua. Sebenarnya tidak. Bahwa rakyat Papua melawan sistem yang menjajah.
Bentukan organisasi pro NKRI atas-nama bela negara, yang didorong oleh Wiranto, lalu muncullah kelompok Bela Nusantara yang wataknya tak jauh berbeda dengan fasisnya militer orde baru –dua tahun periode Jokowi– dan juga kelompok Barisan Merah Putih peninggalan Badan Musyawarah Pepera (1969) bentukan ABRI, juga kelompok LMR-RI yang dilatih oleh TNI untuk tentara relawan di Tanah West Papua.
Atau kelompok “nasi bungkus” yang mengaku diri Tokoh Papua, Dewan Adat, Kepala suku Papua dan melakukan dialog, pendekatan moralis atas nama NKRI Harga Mati, Papua Damai, dan sebagainya, mereka adalah kelompok yang mewakili kepentingan pribadi. Siapapun yang bersikap politik bagian dari NKRI Harga Mati, lalu mencoba masuk dalam politik Tempe yang dibangun oleh NKRI untuk mempertahankan West Papua dalam NKRI, tentu mereka adalah bukan orang Papua yang berjuang untuk Merdeka. Apalagi segelintir orang nasi bungkus itu klaim mewakili suara rakyat West Papua, lalu mengumbarkan narasi Papua Damai, kondusif, dan sebagainya, itu tentu propaganda yang menguatkan produk rasis dan penjajahan. Bahwa rakyat West Papua melawan hal itu.
***
Rasisme dan penjajahan tak akan pernah dihapuskan sepanjang non Papua di Papua merasa bagian terpisah dari rakyat tertindas West Papua.
Anda bagian dari Rakyat West Papua; turut merasakan penindasan, dan berjuang bersama untuk bebas dari penjajahan Republik Indonesia, merupakan amanah dari sejarah perjuangan rakyat untuk membebaskan diri dari penindasan.
Keberanian Anda akan membawa kemajuan perjuangan rakyat melawan rasisme dan penjajahan. Sebab pengertian siapa rakyat Papua yang ingin merdeka adalah mereka yang turut merasakan penindasan dan berjuang bersama untuk membebaskan diri dari penindasan, tidak semata merdeka, jauh lebih bermartabat sebagai bangsa manusia yang beradab.
Medan Juang, awal September 2019
)* Penulis adalah ketua umum Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
Tulisan ini sebelumnya dimuat di suarapapua.com, diposting ulang di korankejora untuk kepentingan pendidikan dan propaganda, serta bahan diskusi kawan-kawan pejuang Papua.

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats