Halloween party ideas 2015

its.koran kejora


Oleh: 

Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua Dan 

Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Jember



Pengantar.


Rukun Tani Sumberejo, Desa pakel terletak di kecamatan licin, kabupaten Bayuanggi, provinsi Jawa timur. Dusun rukun tani ini dikenal sejak lama dengan perjuangan panjang mereka. Setan tanah menjadi satu faktor membuat warga tani pakel tidak tidur nyenyak dan nyaman namun terus berjuang untuk memperjuangkan tanah mereka.

Merujuk pada data sensus yang dikemas dalam laporan Kecamatan Licin Dalam Angka, mayoritas penduduk Pakel bekerja sebagai petani. Data terakhir di tahun 2015 menyebutkan jika sekitar 626 warga berprofesi sebagai petani, 51 di bidang industri, 181 di bidang perdagangan dan 19 di bidang angkutan, secara kumulatif warga Pakel yang bekerja sekitar 877 orang. Sementara sisanya tidak tercatat atau tidak terekam oleh sensus.

peta pakel

Sementara itu hasil dari observasi dan assessment Walhi Jawa Timur mendapatkan data yang berbeda, bahwa mayoritas penduduk Desa Pakel bekerja sebagai petani, buruh tani, buruh kebun dan pekerja sektor informal. Data yang tidak pernah diungkap oleh BPS Banyuwangi adalah banyaknya jumlah buruh tani, buruh kebun serta penduduk yang bekerja di luar desa, jika dikalkulasi hampir 1000 warga lebih yang menggeluti profesi tersebut.

Kami melihat bahwa hampir separuh lebih penduduk Desa Pakel bekerja sebagai buruh tani, buruh kebun dan sektor lain di luar pertanian dan perkebunan rakyat. Walaupun begitu sudah sekitar satu abad, dari tahun 1925, perjuangan warga pakel terus berlanjut untuk mempertahkan tanah leluhur mereka.

Beberapa bulan lalu,  tiga (3), warga tani pakel di kriminalisasi oleh Pt bumi sari dengan alasan menyebarkan informasi hoakx tentang pakel. Mereka ditangkap hingga sampai saat ini. Mereka di tahan karena  memperjuangakan tanah mereka. Namun gerakan warga dan solidaritas protes kriminalisasi dan teror terhadap warga pakel terus di lakukan oleh warga pakel dan solidaritas di masa luas demi menuntut keadilan bagi semua orang. Walaupun begitu, Pt Perusahaan perkebunan swasta, Perseroan Terbatas (PT) Bumisari Maju Sukses.  dengan antek anteknya masih saja melakukan ulah/penebangan dan penghancuran kebun terhadap warga petani pakel di daerah mereka, hingga menyebabkan saling benci dan dendam antara warga pakel mereka.


Dusun ini, yang di kenal dengan rukun tani  Pakel, menjadi incaran setan tanah, semenjak 1925 tahun silam hingga sekarang. Pt Bumi Sarimaju sukses, dengan keras kepala mengingginkan untuk mengguasai lahan tanah garapan petani pakel. Banyak warga yang protes di kriminalisasi oleh Pt Bumi Sari. Perlawanan yang menjadi cerita panjang yang masih di kenal hanggat di Pemuda, Pemudi, Anak Anak Pakel.

Bahkan saat mendekati ibu (Ri) katanya ,“Perjuangan ini tahkan pernah mati karena perjuagan ini sudah terjadi dari generasi ke generasi hingga sudah memasuki abad, untuk itu perjuangan ini takakan pernah mati dan akan selalu hidup walaupun kami di incar mati matian”.

Sehingga dalam ringkasan ini dapat ditarik sebuah pertanyaan kunci; Apa yang melatar belakangi minimnya luas lahan pertanian dan rendahnya serapan pekerjaan di sektor pertanian atau pangan? Lalu siapa yang menguasai di Desa Pakel? Siapa yang mengerjakan di Desa Pakel? Dan Siapa yang mendapatkan apa di Desa Pakel ?, bagaimana proses dan perjuangan warga pakel?, serta kenapa rakyat tertidas harus bersatu dan bersolidaritas?


Sejarah Panjang perjuangan di Desa Pakel.


Membahas tanah Desa Pakel, maka harus melihat dari sejarah panjang munculnya “commodity frontier” di Kabupaten Banyuwangi yang sudah menumbuh dengan konflik yang ada sekarang.

Terutama saat ekspansi kapital berbarengan dengan upaya penguasaan satu wilayah berjubah perang, terutama pasca perang Puputan Bayu, saat kolonial Belanda merangsek mencoba menjamah ujung timur Pulau Jawa tersebut. Runtuhnya Blambangan membuka gerbang eksploitasi terutama mulai terbukanya kawasan hutan menjadi perkebunan skala luas. Proses tersebut telah menyebabkan peminggiran atau eksklusi melalui serangkaian perampasan.

Merujuk pada Jason. W. Moore (2015), commodity frontiers mengacu pada perluasan pasar kapitalis dan penggabungan wilayah dan sumber daya baru ke dalam jaringan produksi global. Proses ini terjadi juga di Banyuwangi melalui penguasaan kolonial yang telah menyebabkan peminggiran dan merubah kondisi sosial, ekonomi dan kultural. 

Proses tersebut dapat dibaca sebagai transformasi agraria yang mengacu pada proses dimana daerah pedesaan dan populasi diintegrasikan ke dalam ekonomi kapitalis, seringkali melibatkan perubahan kepemilikan lahan, hubungan kerja, dan praktik pertanian. Lebih lanjut Moore berpendapat bahwa commodity frontiers telah menjadi pusat perkembangan kapitalisme, karena mereka menyediakan sumber bahan baku baru, tenaga kerja murah, dan investasi yang menguntungkan.


doc. Amp Jember. tanah dan tanaman di pakel


Mulai berkembangnya perkebunan kolonial di wilayah sekitar lereng Ijen untuk komoditas rempah seperti cengkeh dan juga komoditas lain seperti kopi, membawa pola pengaturan baru terutama dalam pengelolaan ruang, di mana masyarakat awal yang mendiami wilayah tersebut harus mengikuti pola yang diterapkan. Sekaligus awal perkebunan juga menandai serangkaian kedatangan penduduk yang kebanyakan berasal dari wilayah miskin seperti Madura. Penduduk tersebut menjadi buruh perkebunan kolonial, bermukim dan beranak pinak hingga sekarang menjadi desa. Tetapi pola yang dilakukan adalah menciptakan mereka menjadi buruh inferior yang terus menerus dieksploitasi. Pola ini dilanggengkan untuk tetap merawat “power” agar tetap bisa mengekploitasi, sehingga menubuh menjadi sebuah kultur.

Melanjutkan hal tersebut, proses peminggiran itu sejalan dengan pemikian Tania Li (2014), bahwa perluasan pertanian industri dan industri ekstraktif telah menyebabkan perampasan tanah dan sumber daya adat, serta marginalisasi masyarakat adat dalam tatanan ekonomi baru. Lalu, dalam konteks tersebut menceritakan bagaimana ekspansi kapitalis dan produksi minyak sawit telah mengubah kehidupan dan mata pencaharian masyarakat, seperti pengembangan produksi minyak sawit telah menghasilkan ketimpangan agraria yang signifikan, karena elit kaya dan perusahaan mampu mengontrol akses ke tanah dan sumber daya, sementara petani skala kecil dan masyarakat adat terpinggirkan dan dirampas.

Melihat penjelasan Tania Li, dapat ditarik sebuah garis besar bagaimana proses ketimpangan, melihat dari sejarah sampai saat ini, bagaimana proses peminggiran berawal darimana ekspansi kapital itu muncul. Sementara untuk di Pakel, hal tersebut berasal dari bagaimana kuasa perkebunan turun-temurun menjadi akar penting dalam perampasan hak bagi warga Pakel. Seperti keberadaan perkebunan Pakoeda, sampai perkebunan Sri Wedari (sejarah perkebunan versi Bumisari), sejak kolonial menguasai lahan. 


its. amp jember. tanah pakel

Meskipun ada catatan bahwa warga Desa Soemberedjaa ‘Alas Pakel’ mengajukan pembukaan lahan hutan pada Bupati Banyuwangi kala itu, lalu mendapatkan izin membuka kawasan atau yang dikenal sebagai akta 29. Tetapi, belum sempat ada pengakuan, terutama sejak lahirnya UUPA 60, tragedi berdarah 65 meletus, sehingga menyebabkan warga tak kunjungan diakui secara sah penguasannya, di mana hal tersebut menyebabkan warga, terutama Pakel secara turun temurun adalah tunakisma serta terpaksa menjadi buruh.

Mengenai hal tersebut, semakin menegaskan bahwa apa yang terjadi di Pakel mungkin juga terjadi pada wilayah lainnya, seperti dalam catatan Mochamad Tauchid (2009:276-278) di mana ada warga Rawa Lakbok, Ciamis yang mendapatkan hak membuka lahan dalam hal ini sebuah surat cap singa tahun 1927, yang dalam prosesnya tak kunjung mendapatkan pengakuan, dari tanah yang dibuka kemudian menjadi tanah yang berpajak landrente, sampai pada satu waktu tiba-tiba muncul onderneming, sehingga membuat warga tersisih. Baik surat cap singa 1927 ataupun akta 29 adalah bentuk pemberian hak membuka lahan, tetapi kala sudah dibuka bukan warga yang mengelola tetapi perkebunan swasta. Sehingga menggenapi bagaimana proses eksploitasi serta peminggiran hadir dan bagaimana sampai sekarang bertahan.


Perjuangan Warga Pakel Merebut Kembali Tanah Pakel .


Perjuangan warga Pakel untuk mendapatkan kembali haknya bukan dibangun sehari atau dua hari, tetapi sudah dilakukan sejak lama. Merujuk pada kronologi yang penulis susun. Bahwa perjuangan warga Pakel dimulai pada tahun 1925, di mana sekitar 2956 orang warga yang diwakili oleh tujuh orang, salah satunya yang tekun berjuang bernama Doelgani, mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi, kepada pemerintah kolonial Belanda. Berselang empat tahun, pada tanggal 11 Januari 1929, permohonan tujuh orang tersebut dikabulkan. Tujuh orang tersebut diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4000 bahu (3000 hektar) oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo.

Dalam perjalanannya, meski memiliki “Akta 1929” sebagai izin untuk kegiatan pembukaan hutan dan bercocok tanam yang dilakukan oleh Doelgani dkk, saat itu kerap menghadapi berbagai intimidasi dan tindakan kekerasan dari pihak pemerintah kolonial Belanda, yang berlanjut hingga era Jepang. Meski begitu, Doelgani dkk, terus mempertahankan lahan dan bercocok tanam di lahan “Akta 1929” tersebut.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, Doelgani dkk, mencoba memperjuangkan hak mereka atas pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam “Akta 1929” pada pemerintah Republik Indonesia, melalui Bupati Banyuwangi. Hingga diterbitkannya Undang-undang Pokok Agraria 1960, upaya landreform belum mencapai wilayah Banyuwangi, namun petani tetap menunggu dan melakukan aktivitas pertanian. Pada bulan September 1965 meletus peristiwa naas tragedi berdarah, dan masyarakat Sumberejo Pakel terkena imbasnya. Mereka dituduh PKI, beberapa orang seperti Doelgani tiba-tiba menghilang. Beberapa orang tidak bisa bersuara, karena ada ancaman bahwa setiap orang yang memperjuangkan haknya adalah PKI.




Pada tahun 1970-an, kawasan “Akta 1929” di desa Pakel yang secara historis diusahakan petani, telah diklaim menjadi milik perkebunan PT Bumi Sari. Lebih jauh jika melihat SK Kementerian Dalam Negeri, tertanggal 13 Desember 1985, nomor SK.35/HGU/DA/85, PT Bumi Sari disebutkan hanya mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dengan luas 11.898.100 meter persegi atau 1189, 81 hektar, yang terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni: Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing, seluas 1.902.600 meter persegi dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon, seluas 9.995.500 meter persegi. Secara jelas, dua SK tersebut memperjelas bahwa Desa Pakel, bukanlah termasuk dalam kawasan HGU PT Bumi Sari. Di tengah iklim politik rezim otoritarian Orde Baru yang represif, warga Pakel hanya memilih diam dan tidak melakukan perlawanan secara gamblang. Sementara PT Bumi Sari terus mengklaim HGU hingga Desa Pakel.

Pada tahun 1999, pasca lengsernya Soeharto, warga Pakel menduduki lahan di kawasan “Akta 1929”. Akibatnya, pada tanggal 17 Agustus 1999, warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami berbagai tindakan kekerasan fisik dari aparat keamanan. Tak patah arang, pada tahun 2001 warga Pakel kembali menduduki kawasan “Akta 1929”. Dampaknya, seluruh pondok dan tanaman di atas lahan tersebut dibumihanguskan oleh aparat keamanan negara. Peristiwa ini menyebabkan sebagian besar pemuda Pakel putus sekolah. Beberapa kaum laki-laki dewasa juga terpaksa meninggalkan Desa Pakel untuk menghindari penangkapan dan kejaran aparat keamanan.

Terakhir, pada 24 September 2020, warga yang sebelumnya telah membangun organisasi bernama “Rukun Tani Sumberejo Pakel”, melakukan aksi pendudukan lahan yang diklaim oleh PT Bumi Sari. Aksi ini merupakan penegasan bahwa mereka berhak atas lahan tersebut. Hampir sepuluh tahun mereka berjuang dengan memohon “kebaikan” pemerintah, namun tidak membuahkan hasil. Mereka diabaikan, tidak dianggap sebagai warga negara yang benar-benar punya hak kelola atas lahan dan hak untuk hidup. Hingga mereka sadar bahwa reclaiming merupakan jalan satu-satunya untuk mendapatkan kembali hak yang terampas, sambil memperjuangkan pengakuan.

Merebut kembali tanah pakel merupakan pilihan sadar bahwa selama ini jalur yang dipilih warga Pakel tidak kunjung mendapatkan tanggapan dan respons. Kebijakan agraria hari ini masih belum bisa menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terus berlanjut hingga sekarang, tidak hanya di Pakel tetapi juga di wilayah lainnya termasuk Kampung Bongkoran, Wongsorejo, Banyuwangi. Komitmen penyelesaian konflik agaria benar-benar dipertanyakan, karena selama ini masih belum menghasilkan hasil yang signifikan.

Padahal apa yang dipilih oleh warga Pakel adalah usaha atau upaya untuk mendapatkan hak-haknya kembali. Sebab jalan reclaiming adalah bentuk dari landreform by leverage yang menurut Wiradi (dalam Sutaryono, Nugroho & Afifi, 2014) sebagai sebuah usaha dan upaya untuk mendorong perubahan struktur penguasaan lahan tertentu yang diprakarsai langsung oleh petani secara terorganisir. Warga yang mengajukan agar tanah yang mereka kuasai diakui oleh negara, sebagai bagian dari bahwa negara akan memprioritaskannya untuk menjadi prioritas landreform serta segera diselesaikan konflik yang terjadi.

Idealnya persoalan konflik agraria di Pakel dapat diselesaikan dengan memberikan hak penuh pada warga Pakel. Merujuk pada Shohibuddin (2018)[13] dalam Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan dan Kajian Empiris pada sub bab “Prinsip Kesejahteraan” halaman 179, secara garis besar mengungkapkan jika UUPA 60 mengupayakan kemakmuran rakyat melalui usaha yang berkaitan dengan agraria. Karena itu, maka dalam UUPA 60, negara harus menjamin pemberian akses dan aset pada petani gurem dan buruh tani, sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, agar mencapai kesejahteraan bersama.

Sayangnya yang terjadi malah sebaliknya, warga Pakel tidak pernah diakui haknya dengan diusir dari lahan yang seharusnya menjadi hak. Sampai saat ini warga Pakel malahan banyak memperoleh teror, intimidasi, represi dan terakhir kriminalisasi pada dua petani yang dituduh memasuki, menguasai dan merusak perkebunan yang sudah mendapatkan izin kelola kawasan. Bayang-bayang kekerasan dan jeruji besi kini mulai menghantui perjuangan warga Pakel.


Bagaimana perjuangan Warga Pakel Merebut Hak  Tanah Leluhurnya?


Bagi warga pakel tanah adalah ibu, Tanah Pakel adalah tanah perjuangan yang tak akan ada habis habisnya. Melihat dari storis perjuangan untuk menjaga tanah ini sudah memasuki satu (1) satu abad.

Semenjak tahun 1925, tanah ini milik warga pakel.di mana para pendahulu penahulu mereka mengarap tanah, untuk tanah, dan hidup di tanah ini,namun pemeritah jepang mengambil ahli tanah ini.protes dan pejuangan masa masa inimemang sangat sadis.

Pada 1963, tanah ini mengoforkan tangan kepada Pt Bumi Sari,walaupun di samping itu perjuangan petani untuk mempertahankan tanah mereka sangat masif di banyuwanggi,jawa timur. berikut ini adalah rentetan fase sejarah perjuagan tanah pakel sebagai berikut:.




Era Kolonial Belanda dan Jepang

Pada tahun 1925, 2956 orang warga yang diwakili oleh tujuh orang, yakni: Doelgani, Karso, Senen (Desa Sumber Rejo Pakel), Ngalimun (Desa Gombolirang), Martosengari, Radjie Samsi, dan Etek (Desa Jajag) mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Desa Pakel, ke pemerintah kolonial Belanda.

Empat tahun kemudian, tanggal 11 Januari 1929, permohonan mereka dikabulkan. Doelgani cs diberikan hak membuka lahan hutan seluas 4000 Bahu oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo. Setelahnya, Doelgani cs mulai membabat hutan tersebut, kurang lebih 300 Bahu selama 3 bulan pasca terbitnya ijin.

Dalam perjalanannya, akta ijin pembukaan lahan tersebut ternyata tidak pernah sampai ke tangan Doelgani cs, karena dirampas oleh Asisten Wedono Kabat.

Atas perampasan tersebut, Doelgani cs melapor dan menghadap Wedono di Rogojampi. Dalam keterangannya, Wedono mengatakan bahwa untuk mendapatkan surat tersebut harus seijin kantor kehutanan.

Menghadapi situasi itu, Doelgani cs menghadap Asisten Wedono, dan kemudian Doelgani cs mendapatkan kembali surat tersebut. Pasca pemberian surat tersebut, Doelgani cs disuruh Asisten Wedono untuk membabat kembali lahan yang dimaksud.

Saat pembabatan, Doelgani cs didatangi oleh Asisten Wedono Kabat yang baru dan petinggi Desa Sumberejo Pakel. Kedatangan mereka untuk menghalang-halangi pembabatan. Peristiwa tersebut sempat berujung pada kasus pengikatan tangan warga.

Tak lama setelahnya, Doelgani cs ditangkap dengan tuduhan telah melakukan aksi berbau komunis. Jumlah warga yang mendapatkan tuduhan tersebut kira-kira 170 orang. Mereka selanjutnya dikirim ke Banyuwangi untuk diperiksa.

Dalam pemeriksaannya pihak penyidik menganggap Doelgani cs tidak bersalah dan berhak membuka hutan. Mereka selanjutnya dibebaskan. Namun, tiga hari pasca pembebasan tersebut, Doelgani cs ditangkap kembali oleh Asisten Wedono Kabat dan petinggi Sumber Rejo Pakel. Surat ijin pembukaan hutan milik warga juga dirampas.

Tanggal 3 Januari 1930, berkas perkara Doelgani cs diperiksa oleh pihak Kontrolir dan Wakil Asisten Residen. Dalam pemeriksaan tersebut, Wedono dan Asisten Wedono telah dipersalahkan. Dalam pemeriksaan tersebut juga ditegaskan oleh Kontrolir dan Asisten Residen, bahwa hutan Sengkan Kandang dan Keseran adalah memang benar merupakan hak Doelgani cs, sesuai surat ijin 1929. Kontrolir memerintahkan Wedono untuk memberikan surat ijin pembukaan hutan (yang bercap singa) kepada Doelgani cs, namun dalam praktiknya surat tersebut tidak juga diberikan.

Empat belas hari kemudian, Wakil Wedono (mentri hutan), datang menemui warga tanpa membawa surat, dan hanya mengatakan bahwa warga (Doelgani cs), boleh menggarap hutan.

Karena tidak menerima surat ijin pembukaan hutan, Doelgani cs menghadap kembali ke Wedono untuk meminta surat tersebut. Dalam pertemuan itu, Wedono justru menyatakan bahwa Doelgani cs dilarang menggarap dan membabat hutan.

Karena merasa keberatan dengan tindakan Wedono, Doelgani cs mengajukan permohonan kepada Asisten Residen. Namun, hasilnya juga nihil.

Karena jenuh dengan tindakan para pejabat diatas, Doelgani cs memutuskan untuk terus membabat hutan. Namun, Doelgani cs harus menghadapi hukuman kembali dalam beberapa waktu (misalnya, denda 2.5 Gulden dan hukuman 14 hari penjara atau 7 hari penjara, hingga 3.5 hari penjara, dst).

Tahun 1933, Doelgani cs menyampaikan kasus mereka ke Gubernur Jenderal di Jakarta. Selanjutnya, Gubernur Jenderal, memutuskan bahwa Doelgani cs berhak untuk membuka hutan. Namun surat dari Gubernur Jenderal ditahan oleh Asisten Wedono, dan tidak pernah diberikan kepada Doelgani cs.

Tahun 1936, Doelgani cs menghadap Residen Bondowoso untuk menyampaikan kasus mereka, sembari memohon pemberian surat ijin pembabatan hutan.

Tahun 1941, Doelgani cs menghadap mantan Bupati Banyuwangi (RAAM Notohadi Suryo) di Kalibaru. Selanjutnya, eks Bupati itu membuat surat pernyataan yang menerangkan bahwa benar dirinya telah menerbitkan surat ijin pembukaan hutan 1929. Surat itu ditujukan kepada Gubernur di Surabaya.

Tahun 1941, Doelgani cs kembali membabat hutan, namun berujung pada penangkapan 40 orang rekannya. Sementara Dulgani dan Senen sendiri, dihukum 2 bulan penjara. Di tahun 1942, Doelgani dan Senen dihukum penjara lagi selama 3 bulan karena pendudukan lahan yang terus mereka lakukan.


Era Periode1965 – ORDE BARU

Keturunan dan penerus Doelgani cs, pada tahun 1965, mengajukan permohonan untuk bercocok tanam di hutan Sengkan Kandang dan Keseran kepada Bupati Banyuwangi. Surat tersebut tidak mendapatkan jawaban dari pemerintah.

Untuk sekedar menyambung hidup, sebagian kecil warga Pakel bercocok tanam di wilayah yang dikenal dengan nama Taman Glugoh (bekas perkebunan Belanda yang tidak aktif).

Tak lama kemudian, meletus tragedi kemanusiaan ‘30 September 1965”,. Pasca peristiwa tersebut warga tidak berani menduduki kawasan hutan, karena akan dituduh sebagai anggota PKI.

Di pihak lain, lahan yang mereka kelola tiba-tiba diklaim milik perusahaan perkebunan Bumi Sari. Di awal klaimnya, Bumi Sari tidak menunjukkan tindakan pengusiran, namun mendorong warga untuk menanam tanaman kopi, kelapa, dll. Akan tetapi, tahun 1970an, saat tanaman warga tersebut tumbuh besar, Bumi Sari melakukan pengusiran terhadap warga.

Pada tanggal 13 Desember 1985, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan HGU PT Bumi Sari di atas tanah tersebut. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri, Nomor SK.35/HGU/DA/85, dengan penjelasan bahwa PT Bumi Sari berhak memiliki luas 11.898.100 meter persegi atau 1189,81 hektar. SK tersebut terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU Nomor 1 Kluncing, seluas 1.902.600 meter persegi dan Sertifikat HGU Nomor 8 Songgon, seluas 9.995.500 meter persegi. Kedua HGU tersebut berakhir pada 31 Desember 2009.

Di luar dugaan, dalam praktiknya, PT Bumi Sari juga mengklaim mengantongi ijin pengelolaan kawasan hingga Desa Pakel. Dari sinilah konflik agraria di Pakel terus semakin kompleks.

Dalam penelusuran WALHI Jatim, ditemukan bahwa HGU PT Bumi Sari hanya terletak di desa Bayu, Kecamatan Songgon, dengan luas 1189, 81 Ha.

Tahun 1993, segelintir warga Pakel berusaha untuk menduduki lahan kembali. Namun otoritarianisme Orde Baru membuat mereka tidak berjuang dalam nafas panjang.


Era Pasca Tumbangnya Rejim Suharto

Tahun 1999, pasca 1 tahun Soeharto lengser, warga Pakel kembali menduduki lahan. Namun pada tanggal 17 Agustus 1999, buntut dari tindakan tersebut warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami tindak kekerasan fisik.

Fakta lainnya adalah, lahan hutan yang semula hanya diklaim milik Bumi Sari, kini juga diklaim milik Perhutani. Di tengah situasi tersebut, warga mengaku Perhutani melakukan pecah belah kekuatan warga, dengan membentuk LMDH.

Tahun 2001, seluruh rumah dan tanaman warga di atas lahan tersebut dibakar dan dibabat oleh Perhutani. Peristiwa ini selain mengakibatkan kerugian material, juga telah menyebabkan sebagian besar pemuda baik laki-laki maupun perempuan putus sekolah.

Situasi tersebut semakin diperparah dengan hadirnya sekelompok orang yang mengaku akan membantu kasus warga, atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang selanjutnya disebut sebagai Tim 10. Dalam faktanya, menurut pengakuan warga Pakel, Tim 10 tersebut malah meminta uang yang tak sedikit (menurut warga: jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah), sebagai amunisi untuk menyelesaikan kasus yang dihadapi warga.


Pasca Reformasi  Dan Era Jokowi

Kini dalam perjalanannya, masa reformasih yang seharusnya menjamin setiap hak hak masyarakat asli/masyarakat adat namun kriminalisasi, intimidasi, teror, perampasan tanah terus terjadi di  pakel.

Walaupun sesuai surat dari BPN Banyuwangi, Nomor 280/600.1.35.10/II/2018, tanggal 14 Februari 2018, ditegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk dalam HGU PT Bumi Sari.

Mendapatkan pernyataan tersebut, warga menganggap peluang kemenangan untuk mendapatkan tanah mereka kembali telah di depan mata. Akhirnya Di akhir 2018, warga melakukan penanaman kembali di lahan tersebut dengan ribuan batang pohon pisang.

Namun Januari 2019, warga Pakel dilaporkan oleh Djohan Sugondo, pemilik PT Bumi Sari, dengan tuduhan telah menduduki lahan PT Bumi Sari. Akibatnya warga Pakel dianggap melanggar Pasal 107 huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. 26 Warga Pakel dipanggil oleh pihak kepolisian.

Atas tuduhan tersebut, sedikitnya 11 orang warga Pakel dipanggil oleh pihak kepolisian Resort Banyuwangi pada Oktober 2019 untuk dimintai keterangan.

Pada november 2023 warga pakel di tahan oleh polda jawa timur. Suwarno, Untung, dan Mulyadi; di Kriminalisasi melalui penangkapan paksa tanpa surat penahanan diDesa Pakel, Kec. Licin, Kab. Banyuwangi dihadang dan diangkut paksa oleh polisi menuju Polda Jatim pada Jumat 3 Februari 2023 pukul19.30 WIB. ketiga petani masih di dikenakan tuduhan menyiarkab kabar bohong Pasal 14 dan atau 15 Undang-undang nomor 1 Tahun 1946. Penangkapan ini diduga kuat buntut konflik lahan dengan korporasi antara warga Pakel dengan PT Bumisari Maju Sukses.

Bukan hanya itu, sebelumnya Pada November 2021, ada 11 warga Pakel yang mendapatkan surat panggilan dari pihak kepolisian, 2 diantaranya ditetapkan menjadi tersangka. Desember 2021, 2 warga Pakel juga kembali mendapatkan surat panggilan dari pihak kepolisian dengan tuduhan telah melakukan dugaan pelanggaran pasal 47 (1) UU 18 nomor 2004 serta pasal 406 (1) KUHP. Tragisnya, pada Jumat dini hari, 14 Januari 2022, warga Pakel mengalami tindak kekerasan oleh aparat kepolisian yang mengakibatkan 4 orang (warga dan tim solidaritas perjuangan) menjadi korban. Hingga kini berbagai upaya tersebut belum menunjukkan titik terang hingga terjadilah insiden pengangkutan paksa ini.


Situasi Dan Kondisi Yang Di Alami Warga Pakel


Dalam investigasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melihat bahwa adanya Permasalahan/Konflik Agraria, Dan “perjuangan tanah air leluhur yang tidak akan perna mati, dari generasi ke generasi”, begitu ucap mas (R)salah satu warga tani pakel.  Walaupun Perjuangan panjang tanah pakel membuat mereka di kriminalisasi dan di teror namun warga terus bertahan, sebab tidak ada lagi jalan lain, selain bertahan dan terus melawan setan tanah di atas tanah leluhur desa pakel ini. Petani petani di desa ini,mengalami situasi yang sangat menyayangkan di tenggah banyaknya hiruk pikuk desa ini.

Dalam investigasi yang di lakukan Aliansi Mahasiswa Papua Kk Jember memperlihatkan bagaimana warga pakel yang mengalami ancaman dan kriminalisasi yang dilakukan terhadap warga pakel. Mereka di perhadapakan langsung dengan Tni Porli  Dan  Security serta preman preman bayaran yang ditugaskan untuk melawan warga pakel di perkebunan mereka. Di situasi demikian pula beberapa Tanaman Buah, Jagung, Pohon, Pisang Pisang di babat oleh security dan preman dan warga informen yang di bayar oleh pihak perusahan .

Tahun 2021, 11 orang warga pakel di panggil oleh pihak kepolisian banyuanggi sedangkan pada november 2023, tiga (3) warga pakel di tahan dan vonis penjara. Hingga sampai saat ini, warga dan solidaritas terus mendesak Pt bumi sari,tni porli dan semua pihak yang berwenang untuk segera di bebaskan  tiga petani pakel.

Dalam informasi yang kamidapat Warga tani pakel, yang warga yang berinisial (x) menyatakan “di sini,preman dan beberapa warga yang melawan kita,mereka di bayar 200, hanya 200 saja mereka berdosa terhadap tanah mereka”.


doc.amp kk jember.
foto saat amp jemper tiba di pos petani pakel


 Setiap  preman, satpam dan warga yang di bayar untuk melawan tani pakel dan merusak tanaman tanaman wargapakel, mereka di bayar 200 ribu setiap kali mereka lakukan perlawanan dan perusakan kebun kebun di pakel. Tani pakel juga, Mereka terus di pantau oleh Pt Bumi Sari, Preman, Sicuriti di setiap perkebunan mereka. Desa di warga sini mereka juga sering di tantang perang oleh preman bayaran,dkk.

Akibat Serangan perang, teror dan kriminalisasi dari alat alat yang diunakan Pt Bumi Sari ini yang membuat tani pakel trauma dan takut untuk melakukan tindakan perlawanan, seperti melakukan perlawanan mengunakan alat tajam, mempublikasi info atau berita tentang pakel di media sosial. Karena mereka takut  di panggil dari pihak kepolisian dan takut dikriminalisasi, seperti tani tani lainnya.


Bagun Solidaritas Dan Kekuatan Rakyat Untuk Melawan Setan Tanah di pakel?


Melihat sejarah panjang perjuangan warga pakel terus melawan setan tanah yang masih terus eksis dari generasi ke generasi mendiskriminasi warga dan merampas tanah pakel hingga satu abad ini.

Perjuangan untuk menjaga tanah moyang terus menjadi bagian kebudayaan yang terus dilakukan oleh warga pakel terhadap setan tanah dari generasi ke generasi. Kelas yang berkuasa menindas warga sipil yang tak bekuasa demi mengekploitasi sumber sumber daya alam warga setempat

Untuk itu Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) komite kota Jember dan Komite Pusat AMP mendukung warga pakel dan bersolidaritas untuk berjuang melawan setan tanah sebab melihat bahwa perjuangan kelas tertindas harus di dorong, dan galang Solidaritas secara luas Harus di lakukan, perjuangan dan solidaritas  antar kelas tertindas harus di dorong dan di kuatkan untuk merebut  hak hak setiap warga.

Kami melihat perjuagan warga Desa pakel sama hal yang terjadi di beberapa daerah di indonesia, seperti kasus rempang, warga batur, wadas, dan lebih khusus di papua mifee,pt freeport, dan masih banyak lagi perusahan ilegal dipapua serta masih banyak lagi konflik agraria yang mengakibatkan kerusakan hutan, lingkungan, alam dan manusianya. Dan kami melewan sistem yang sama yaitu sistem yang menindas.

Maka dengan melihat perlawanan kami, kapitalisme,militerissme, dan setan tanah serta kemanusian harus di junjung tinggi oleh karena  itu Pembebasan tiap kelas ploretariat dan mahasiswa harus bersatu dan bersolidaritas  untuk melawan demi merebut kembali semua hak hak rakyat tertidas.


Solidaritas Tanpa batas perjuangan sampai menang


Referensi


Aprianto, T. C. (2016). Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim, dan Konflik Agraria di Jember. Yogyakarta: STPN Press.

Puputan Pakel Commite.(2023). Atas Nama Tanah Pakel

Ghazali, Imam. (2022). Hikayat Tanah Pakel: Dari Blambangan, Perkebunan, Hingga Konflik Agraria di Desa Sumberejo Pakel, 1925-1943. Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta.

Li, T. M. (2020). Kisah Dari Kebun Terakhir: Hubungan Kapitalis di Wilayah Adat. Tangerang: Marjin Kiri

Margana, S. (2012). Ujung timur Jawa, 1763-1913: perebutan hegemoni Blambangan. Pustaka Ifada.

Nawiyanto, N. (2012). BERAKHIRNYA FRONTIR PERTANIAN: KAJIAN HISTORIS WILAYAH BESUKI, 1870-1970. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 14(1), 77-98.

Shohibuddin, M. (2018). Perspektif agraria kritis: teori, kebijakan, dan kajian empiris. Sajogyo Institute and STPN Press.

Wiradi, G. (2009). Reforma Agraria: Perjalanan yang belum berakhir (rev). Konsorsium Pembaruan Agraria, Sajogyo Institute.


 

,

Its.korankejora



Paskah merupakan perayaan untuk memperingati  kebangkitan Yesus dari kematian setelah 3 hari. Kebangkitan Yesus selain untuk membebaskan umat manusia dari dosa dan maut, membawa pengharapan bahwa manusia akan memperoleh kehidupan kekal.

Jauh sebelum era Yesus, perayaan paskah menjadi tradisi bangsa Israel. Mereka melakukannya dengan cara menyembelih domba yang berumur 1 tahun di bulan Nisan, kala itu. Perayaan itu dilakukan untuk menghapuskan dosa. Namun, setelah Yesus datang, kini umar kristen tidak perlu lagi menyembelih domba.

Penderitaan Yesus diatas kayu salib bisa dikatakan juga sebagai martir untuk visi menyelamatkan manusia dari dosa dan penyimpangan. Ajaran Yesus pun diteruskan oleh pengikut-pengikutNya. Banyak di antara mereka seperti Stefanus, Matius, Markus, Lukas menjadi martir saat menyebarkan ajaran Yesus.

Ketika mengajar, Yesus menentang ajaran-ajaran hukum taurat dan pemerintah Romawi yang menyudutkan rakyat dan kaum perempuan. Sehingga bisa dikatakan juga Yesus melawan ketidakadilan.

Di konteks Yesus melawan ketidakadilan ini terdapat kaitannya sekarang rakyat Papua melawan praktik kolonialisme Indonesia di Papua melalui Freeport yang beroperasi sejak 1967. Kehadiran PT Freeport membawa malapetaka bagi kehidupan rakyat Papua yang mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1961. Selain itu, menyebabkan kerusakan alam dan konflik berkepanjangan yang menelan banyak korban nyawa. Dalam artikel ini, penulis akan merefleksikan makna paskah dan perlawan rakyat Papua.

 

 Yesus sebagai martir dan teladan keberanian

Yesus datang ke dunia melalui rahim wanita perawan,  Maria dan Yusuf suaminya. Kedatangan Yesus sudah dinubuatkan jauh sebelum itu oleh nabi Yesaya dan beberapa nabi lainnya. Ia dikatakan akan membawa perdamaian. Ajaran-ajaran Yesus telah tersebar luas dan menjadi agama Kristen yang tidak lain adalah pengikut Kristus.

Begitu banyak nilai-nilai dan ajaran moral yang diajarkan oleh Yesus. Misalnya, nilai kejujuran, iman, keadilan, kesabaran, keberanian melawan ketidakadilan, dan seterusnya.

Salah satu wujud nilai keberanian yang dipelajari dari Yesus adalah ketika dia mengusir pedagang di bait Allah. Yesus percaya bahwa rumah Allah bukanlah tempat berjualan. Dalam hal ini, rakyat Papua juga percaya tanah dan gunung adalah sebagai mama yang memberikan kehidupan, bukan merusaknya.. Sehingga perlawan mereka tidak terlepas kepercayaan itu.

 

Freeport sebagai simbol eksploitasi dan ketidakadilan

 

Izin usaha PT. Freeport dikeluarkan oleh presiden Soeharto pada 7 April 1967 melalui undangan-undangan penanaman modal asing (PMA). Meskipun saat itu pulau cendrawasih masih wilayah sengketa antara Indonesia dan Belanda, namun izin usaha telah dilakukan 2 tahun lebih awal.

Jauh sebelum itu, setelah ditemukan adanya kekayaan alam di gunung Nemangkawi (grasberg) dalam ekspedisi yang dilakukan oleh  Antonie Hendrikus Colijn, Jean Jacques Dozy dan Frits Julius Wissel pada 1936. Ekspedisi itu tak hanya mendaki puncak tertinggi di pegunungan tengah Papua yang dinamai Carstenz Pyramid. Yang paling penting adalah penemuan gunungan tembaga oleh Dozy, seorang ahli geologi.

Setelah perang dunia ke-II selesai barulah laporan temuan Dozi tersebut diambil alih oleh perusahaan besar milik Amerika Serikat bernama Freeport Mcmoran yang langsung mengirim geologinya bernama forbes wilson yang tiba di papua tahun 1960, mereka sangat terpukau dengan kandungan kekayaan yang dimiliki gunung tersebut.


Sejarah Freeport Mcmoran Versi Suku Amungme


Amungme merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah pegunungan sekitar pegunungan Nemangkawi (cartenz) yang tinggi. Istilah Amungme sendiri berasal dari dua kata, Amung adalah pertama, utama, sejati, sementara itu, Me adalah manusia. Maka dapat diartikan bahwa orang amungme adalah manusia pertama yang mendiami daerah pegunungan Nemangkawi. Suku Amungme memiliki hubungan yang erat dengan alam dan mereka percaya bahwa alam adalah Aku; gunung, lembah, juga sungai adalah tubuh Ibu atau nama suku amungme itu sendiri.

Karena saat itu suku amungme belum memiliki budaya menulis, sehingga sejarah masuknya PT. Freeport diceritakan secara turun-temurun dalam cerita rakyat. Menurut mereka, pertama ada bangsa asing yang masuk di sekitar pegunungan Nemangkawi seperti para misionaris dan lembaga-lembaga tertentu. Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah Belanda dan para misionaris yang awalnya berkomunikasi dan mendokumentasikan gunung tersebut. Sehingga masuk PT Freeport disana juga tidak terlepas dari peran misionaris yang membuka jalan investasi.

Lebih lanjut dalam cerita rakyat menceritakan upaya-upaya Freeport Mcmoran dalam mengambil hati pemimpin suku-suku setempat. Tentu saja orang Amungme tidak semudah itu memberikan izin kepada orang asing untuk merusak alam dan gunung yang mereka anggap sebagai mama. Namun, berbagai upaya untuk eksploitasi dilakukan oleh Freeport Mcmoran dengan memberikan 1 kaleng kornet, tembakau, dan kapak kepada masyarakat setempat sebagai alat tukar kala itu. Tipu daya Freeport ini kemudian menjadi penyesalan secara moral dan terus melakukan perlawanan hingga detik ini. 


Kehadiran PT Freeport di tanah papua telah melanggar dan menghancurkan hak-hak politik rakyat papua yang telah merdeka tahun 1961 dan penandatanganan Kontrak Karya Freeport dilakukan 2 tahun sebelum penentuan pendapat rakyat. Artinya, 2 tahun sebelum Rakyat Papua Menentukan Nasibnya ( mau ikut indonesia atau merdeka sendiri ) Freeport telah lebih dulu beroperasi di papua. Selama tahun 1961 hingga 2021 tercatat 22 Operasi Militer yang sudah Meneror, Mengintimidasi, Mutilasi serta Memperkosa Perempuan Papua untuk menguasai seluruh aset kekayaan Alam di tanah Papua. Bahkan sepanjang tahun – tahun itu, rakyat papua harus mengungsi mencari tempat aman.

Berdasarkan laporan tahunan Freeport McMoRan, tambang Grasberg ini tercatat memiliki cadangan emas sebesar 28,2 juta ounces (sekitar 881,25 ton, 1 ounce = 28,35 gram) dan 29,0 miliar pounds tembaga (14,5 juta ton, 1 pound = 453,59 gram).

Sepanjang 2015, Freeport McMoran mencatat pendapatan dari penjualan emas dan tembaga dari tambang Grasberg di Papua yang dikelola PT Freeport Indonesia sebesar US$ 3,11 miliar, atau sekitar Rp 42,92 triliun, turun dibandingkan periode sama 2014 sebesar US$ 3,42 miliar.

 

Dari hasil pendapatan ini, apakah Rakyat Papua sebagai pemilik tanah sudah sejahtera? Jawabannya tidak! Rakyat. Ternyata rakyat papua menempati tingkat buta huruf tertinggi, termiskin di Indonesia. Bahkan rakyat papua hanya mendapatkan limbah dan konflik berkepanjangan yang menelan korban nyawa yang tidak berdosa.

 

Perjuangan rakyat Papua dalam menghadapi ketidakadilan


Perjuangan rakyat papua untuk melawan kolonial Indonesia berlangsung sejak tahun 1961. Pertama, kemerdekaan rakyat papua yang direbut secara paksa melalui operasi Trikora (1961). Operasi Trikora juga menjadi awal pengalaman buruk rakyat papua akan kehadiran watak militer Indonesia yang biadab, pembunuh,dan  penjarah rakyat papua itu sendiri.

Selain itu, perjuangan rakyat papua juga tidak terlepas dari akumulasi kekerasan melalui operasi militer seperti operasi barada yudha, operasi koteka, operasi sadar, dan seterusnya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan setidaknya terdapat 4 masalah fundamental perjuangan rakyat papua. Pertama, Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. Kedua, masalah operasi militer yang terjadi karena konflik tersebut di atas yang tak terselesaikan. Ketiga, semua hal di atas membuat masyarakat Papua timbul stigma sebagai orang yang termarjinalisasikan. Terakhir, kegagalan pembangunan Papua, (Widjojo, 2011).

 

Perjuangan rakyat papua yang masih eksis baik di sipil, angkatan bersenjata, dan diplomasi merupakan bentuk protes terhadap kolonial Indonesia. Perjuangan rakyat papua akan berhenti apabila kemerdekaan yang direbut Indonesia sejak 1961 dikembalikan.

 Perjuangan rakyat Papua ditempuh melalui 3 cara, di antaranya adalah diplomasi, gerilya, dan gerakan sipil. Gerakan diplomasi sudah dilakukan sejak 1970-an di negara Afrika seperti Senegal dan di beberapa negara Caribbean serta Pasifik. Saat ini yang masih eksis adalah united Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Mereka membangun soliditas internasional dan mengampanyekan persoalan Papua. 

Kedua, gerakan gerilya yang eksis juga sejak 1960-an. Gerakan gerilya adalah bentuk protes akibat aneksasi bangsa Papua dan bertujuan untuk mengembalikan kedaulatan bangsa Papua. Namun, dalam perjalannya, gerakan gerilya disebut dengan pelabelan seperti KKB, separatis, kksb, dan seterusnya. Pelabelan itu menjadi legitimasi Indonesia untuk membungkam keinginan rakyat Papua untuk penentuan nasib sendiri. Juga melakukan operasi militer yang menelan banyak warga sipil baik itu warga Papua maupun non-Papua. 

Selain kedua gerakan itu, rakyat Papua juga berjuang melalui gerakan sipil. Banyak gerakan sipil yang muncul baik itu untuk hak asasi manusia juga ekologis. Gerakan mahasiswa, pelajar, perempuan, dan masih banyak lagi. 

Gerakan Papua ini masih eksis sampai sekarang. Meskipun demikian, masalah persatuan menjadi masalah utama bangsa Papua untuk membebaskan diri dari cengkraman kolonial Indonesia. 

Seiring dengan meningkatnya pembungkaman ruang demokrasi dan pelanggaran HAM, gerakan rakyat Papua juga makin masif. 


Kaitan Paskah, Yesus, Freeport, dan perjuangan rakyat Papua


Dalam beberapa penelitian, terdapat sisi lain yang melatarbelakangi perayaan paskah oleh orang Israel (Kristen). Penelitian tersebut membahas paskah dari perspektif teologis (eskatologi) dari tulisan rasul Yohanes di Injil keempat. Dikatakan bahwa paskah merupakan tradisi Yahudi dari masa nabi Musa. Sehingga tradisi tersebut Yohanes gunakan agar umat Israel percaya bahwa "Yesus adalah anak domba Allah yang mengorbankan dagingnya untuk menyelamatkan manusia dari dosa". Selain itu, perayaan paskah juga menjadi persatuan nasional orang Israel ketika keluar dari penindasan bangsa Mesir di waktu di perjanjian lama. 

Paskah semestinya menjadi refleksi kita bersama untuk melihat persoalan di Papua. Kalau Yesus rela berkorban untuk menyelamatkan umat manusia dari dosa, maka rakyat Papua juga perlu mengikuti ajaran Yesus untuk menyikapi ketidakadilan yang disebabkan oleh kolonial Indonesia melalui PT Freeport.

 

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa paskah merupakan bentuk pengorbanan Yesus untuk membebaskan manusia dari dosa dan maut. Melalui paskah dan ajaran-ajaran Yesus seperti nilai-nilai kejujuran, keadilan, keberanian, musti menjadi modal bagi rakyat Papua melihat persoalan Papua. 

Persoalan utama rakyat Papua adalah dimana masuknya PT. Freeport yang membawa malapetaka dan konflik berkepanjangan yang menelan banyak nyawa. Oleh karena itu, melalui refleksi paskah ini, penulis mengajak rakyat Papua Tutup PT Freeport dan berikan hak menentukan nasib sendiri. 



Referensi

1. https://korankejora.blogspot.com/2019/04/tutup-freeport-dan-berikan-hak.html

2. Widjojo, M. S. (2011, November 16). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. From Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia: http://lipi.go.id/berita/single/Riset-LIPI-Empat-Akar-Masalah-Konflik-Papua/5818

3. file:///C:/Users/WIN10/Downloads/1194-3454-1-PB.pdf

4. https://www-ulmwp-org.translate.goog/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc


Penulis adalah Aktivis Pro papua Merdeka Di Jakarta


 

 

 

 

 






Oleh: Nicko sol



Kekerasan di papua sampai detik ini terjadi hal ini tak berlebihan karena konflik di timur leste mengungkapkan hal itu proyek keamanan didalam daerah konflik itu pernah terjadi. setelah timur Leste sudah merdeka dan Ace di didamaikan dengan perjanjian Helsinki, proyek keamanan, itu bergeser ke Papua. berapa contoh konflik yang terjadi di daerah Papua, seperti yang terjadi di Nduga, punjak Papua, pengunungan bintang Oksibil, Yahukimo, myabart, serta daerah lain nya. aksi aksi aparat keamanan telah menunjukkan tindakan kekerasan yang memakan korban di kalangan masyarakat sipil. kekerasan demi kekerasan dalam konflik antara seluruh wilayah Papua tidak bisa dipantau karena aparat keamanan mengisolasi daerah itu dan menutup akses pekerja kemanusiaan dan hak asasi manusia. korban masyarakat semakin banyak dan tidak bisa tertolong. hal ini menimbulkan persoalan kemanusiaan yang terjadi. Desakan penghentian aksi militer dan kepolisian dalam operasi keamanan di Nduga tidak pernah di lakukan. Pada hal presiden RI Joko Widodo pernah memerintahkan untuk menarik pasukan dari Nduga pada awal tahun 2019. Kemudian, bupati dan wakil Bupati Nduga, toko pemimpin gereja, toko masyarakat dan semua orang yang peduli kemanusiaan pun meminta agar TNI polri di tarik seluruh wilayah konflik di Papua  lebih di daerah Nduga. Namun hal itu tidak terjadi juga.

Akibat nya menjadi pertanyaan, mengapa TNI polri tidak mau keluar dari NDUGA dan lain.  Mengabaikan hati nurani. Berhati  kriminal?, Apakah ada kaitannya dengan kepentingan ekonomi dan bisnis di Papua?, Berulang kali pimpinan TNI -polri  selalu mengatakan jaga NKRI ,  pendekatan humanistik menjaga keselamatan warga dari serang KKB , Teroris sebagai alasan mempertahankan operasi militer dan keamanan di Papua. Padahal, di balik alasan itu sebenarnya TNI-POLRI menjaga bisnis dan ekonomi dari para pebisnis konglomerat di Papua. para elit di aparat keamanan dan pengusaha melancarkan dan mengembangkan usaha mereka, dengan jargon NKRI harga mati. Kemudian TNI polri juga menciptakan stigma OPM , separatis, makar dan sebutan terbaru KKB,(kelompok kriminal bersenjata ) kemudian pemerintah label kan Teroris.


𝗞𝗲𝗸𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗼𝗹𝗲𝗺𝗶𝗸 𝗞𝗲𝗸𝘂𝗮𝘀𝗮𝗮𝗻 𝗣𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗡𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮 𝗱𝗶 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮 𝗕𝗮𝗿𝗮𝘁.


Kekerasan Negara di Papua Barat terlihat jelas dengan adanya bitokrasi yang terus tidak memperhatikan hak-hak rakyat Papua Barat. Hak penyampaian pendapat, hak budaya untuk hidup serta pelurusan sejarah maupun hak-hak sipil yang masih belum tersampaikan oleh rakyat di pemerintah pusat. Negara Indonesia hanya mengutamakan pendekatan dengan kekerasan senjata, dan penangkapan secara sewenang-wenangnya yang luar dari jalur hukum.

Pada tahun 2001 peresiden Megawati Soekarno Putri yang ke-5, mengesahkan UU NO.21 Tahun 2001 Otonomi Khsusus Papua. Kehadiran Otonomi Khsusus Papua Jilid I, bentuknya tidak mewakili untuk memperdebatkan bagimana hak aspirasi Papua Barat sejak itu.  Pengesahan itu, Melahirkan berbagai kontravesrsial antara Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua Barat, Namun, digandengankan dengan kekerasan militer dan transmigrasi yang melonjak menduduki Pulau Papua. Bahkan Otsus Jilid II dibuat secara paksa juga.

Eksploitasi alam, manusia dan perampasan ilegal, Pembunuhan, Pemenjaraan, Penangkapan, Intimidasi,teror. Berbagai peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan terus terjadi di Papua Barat, hutan dan tanah-tanah adat dijadikan lahan jarahan bagi investasi perusahaan-perusahaan Multi National Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis. Pratek praktek pra-kondisi di lakukan dengan penculikan, tabrak lari, teror, operasi militer dan lain sejenis-nya di atas tanah Papua Barat, hanya karena kepentingan Ekonomi, Politik, dan Kekuasaan dari kolonalisme Indonesia sertakan negara-negara imprealis yang rakus akan eksploitasi kehidupan rakyat. Ikut serta juga, pembungkaman terhadap ruang demokrasi semakin nyata dilakukan oleh aparat negara (TNI-Polri) dengan melarang adanya kebebasan berekspresi bagi Rakyat Papua Barat didepan umum serta penangkapan disertai penganiayaan terhadap aktivis-aktivis perjuangan Pembebasan Papua Barat.  Rasisme di Surabaya belum terselesaikan Tentu keberadaan militer TNI-POLRI bukan untuk melindungi rakyat Papua, melainkan meneror dan semakin membuat masyarakat adat terusir dari tanahnya sendiri. Sesuai dengan pesan tertulis Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/CEN Eko Daryanto. Dimana, sekitar 2.529 personel TNI-POLRI diterjunkan ke wilayah Papua pada 21-30 Agustus 2019.

Pengiriman Militer tersebut sebagai reaksi dari gerakan yang dilakukan oleh rakyat Papua atas masalah rasisme yang dilakukan oleh aparat dan ormas reaksioner Indonesia terhadap mahasiswa Papua yang ada di Surabaya, Yogyakarta dan wilayah indonesia lainnya. Dan penambahan (Pasukan Setan) sekita 400 personil terakhir pada 1 mei 2021, yang ditempatkan pada distrik Ilaga, Kab. Puncak Papua, dengan dalih yang sama. bahkan aksi meyikapi  rasisme Indonesia di Papua Barat maupun Luar Papua Barat, Rakyat dan Mahasiwa dapat di tahan dengan sewenang-wenangnya Negara dan di tetapkan sebagai kasus makar tanpa hukum yang jelas. TAPOL (Tahanan Politik)  salah satu nya JUBIR Internasional KNPB Vicktor Yeimo ditangkap  karena melakukan protes dalam orasi  politik nya atas ucaran rasisme yang dilontar oleh ormas,PP,Dan TNI di surabaya  terhadap mahasiswa Papua.

 𝐀𝐤𝐚𝐫 𝐌𝐚𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐝𝐢 𝐓𝐚𝐧𝐚𝐡 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚 𝐁𝐚𝐫𝐚𝐭.

Kondisi ini tidak terlepas dengan sejarah Papua Barat Bahwa sejak , 01 Desember 1961 di Holandia (Jayapura) Negara Papua Barat telah di akui sebagai bangsa yang merdeka dan mendeklarasikan di bawa Pemerintahan Belanda serta telah disiarkan melalui radio Australia dan Belanda. Selama kemerdekaan Bangsa Papua Barat ketentuan kebangsaan telah di sahkan secara de Facto dan de Jure. Sementara itu, gejolak  penolakan terhadap kemerdekaan Bangsa Papua Barat Indonesia menentang atas kemrdekaan itu sehingga tepat pada 19 Desember 1961 melalui Ir. Soekarno mengumandangkan TRIKORA (Tri Komando Rakyat) di Alun-Alun Utara Kota Yogyakarta dengan tiga tuntutan pertama, Bubarkan Negara Boneka Papua Barat Buatan Belanda, Kibarkan Bendera Merah Putih di seluruh Irian Barat/Papua Barat, dan Bersiaplah untuk Mobilisai Umum. 

Sehingga Indonesia menghadirkan intervensi Internasional dan Militer untuk menganeksasi secara persenjataan serta memanipulasi sejarah Rakyat bangsa Papua Barat. Pada Tahun 1962 Soekarno Melakukan Serangan dengan Operasi Sandi: Jayawijaya yang di pimpin oleh Jendral. Suharto dalam menganeksasi bangsa Papua Barat dengan kekuatan militer. Akibat dari itu, Manifesto Politik antara Indonesia dan Belanda membuat Agenda mengenai perjanjian-perjanjian atas Papua Barat; Sementara Amerika Serikat sebagai penengah. Setidaknya, dua perjanjian yang di lakukan The New York Agreement [15 Agustus 1962] dan Roma Agreement [30 September 1962]. Dari kedua, perjanjian dilakukan tanpa wakil rakyat Papua Barat satu pun tidak dihadirkan dan hanya sepihak dilakukan antara Belanda, Indonesia dan Amerika Serikat. 

Bisnis eksploitasi terus berjalan dan pendoropan militer terus terjadi kemudian melakukan Operasi militer di Tembagapura,Timika,Nduga, Pengunungan Bintang, Yahukimo, Maybart,dan Kaimana serta pelosok lainnya. Negara Indonesia tidak menjamin hak hidup rakyat Papua mulai dari sektor budaya, sejarah, kesetaraan bahkan ruang hidup rakyat Papua untuk kedepannya. Sejak, UU yang dibuat untuk kebijakan demokrasi Indonesia, rakyat Papua tidak ada hak untuk terjamin itu, karna UU yang dibuat adalah tak ada kebebasan bagi rakyat Papua Barat. Mulai dari UU Hak Cipta Keja, Omnibus Law. UU Agraris, UU Minerba dan lainnya.

Dengan melihat dari realitas kondisi sejarah kekerasan yang panjang hingga kini 2023, Aliansi Mahasiswa Papua selalu tuntut untuk Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai solusi demokratis sebagai bagian dari menghargai demokrasi Indonesia sesuai PEMBUKAAN UUD 1945.


Penulis adalah Aktivis Selfdetermination For West Papua

 



 

Oleh : Midi Villexz Kogoya

 

Pendidikan ialah sebuah institusi yang sangat penting dalam membangun peradaban suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa cepat atau lambat ditentukan oleh bagaimana Pendidikan generasi muda di dalamnya dirumuskan, dan diterapkan. Kualitas sebuah bangsa diukur dari kemampuan bagaimana negara itu menerapkan sistem pendidikan yang tepat untuk menjawab ragam masalah kehidupan yang mempengaruhi keberlangsungan hidup masyarakatnya.

Melalui Pendidikan seseorang dibentuk karakternya, kepribadiannya, sudut pandang tentang dirinya dan dunia sekeliling dia, dan melalui proses pendidikan dalam bidang tertentu yang ditekuninya pula seseorang itu mempunyai kemampuan dalam melihat suatu peristiwa, menganalisis peristiwa itu, dan memberikan argumentasi-argumentasi sesuai dengan bidang kepakarannya mengenai peristiwa itu. Melalui Pendidikan seseorang dibentuk karakternya, kepribadiannya, sudut pandang tentang dirinya dan dunia sekeliling dia, dan melalui proses pendidikan dalam bidang tertentu yang ditekuninya pula seseorang itu mempunyai kemampuan dalam melihat suatu peristiwa, menganalisis peristiwa itu, dan memberikan argumentasi-argumentasi sesuai dengan bidang kepakarannya mengenai peristiwa itu.

Mencerdaskan kehidupan bangsa (UUD - RI  alinea ke- 4, 1945) merupakan cita- cita pendiri negara Indonesia. Pada awal kemerdekaan tahun 1945 jumlah penduduk buta aksara mencapai 97 persen, namun pada tahun 2015, jumlah penduduk buta aksara telah berkurang menjadi 3,4 persen atau sebanyak 5,6 juta orang.

Founding Fathers Indonesia Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno sangat percaya bahwa dengan adanya kemerdekaan bangsa indonesia, maka angka buta haruf akan menurun, dengan adanya sistem pendidikan yang berbasis budaya indonesia maka harkat martabat bangsa indonesia akan di angkat setera dengan negara lain.

Artinya bahwa cita- cita kemerdekaan bangsa papua dari indonesia adalah jaminan untuk mencerdaskan  bangsa papua, menghidupkan budaya, menjaga dan melindungi alam, dan mengangkat harkat martabat orang papua dari rasial penjajahan. Bila kita presentasekan angka buta huruf awal kemerdekaan  RI  tahun 1945,  97 persen dari populasi 61 jt orang, artinya lebih dari 50 Jt orang indonesia saat itu masih primitif  dalam kebodohan. Sedangkan angka buta huruf bangsa west papua tahun  2019, 22.8 persen dari populasi 4 jt orang , artinya kurang dari 1 Jt orang masih belum mendapatkan pendidikan yang layak.

Konsep pendidikan indonesia Mencetus dan pelopor lewat   Ki Hajar Dewantara mengatakan pendidikan harus didasarkan pada asas kemerdekaan, memiliki arti bahwa manusia diberi kebebasan dari Tuhan yang Maha Esa untuk mengatur kehidupannya dengan tetap sejalan dengan aturan yang ada di masyarakat, selanjutnya diberi nama “Tri Pusat Pendidikan”, yaitu suatu pelaksanaan pendidikan dengan melibatkan alam keluarga, alam perguruan, dan alam masyarakat untuk membentuk manusia-manusia yang unggul, berbudi pekerti dan cerdas.

Artinya dalam pelaksanaan proses pendidikan harus melibatkan ilmu pengetahuan sosial masyarakat sekitar yaitu tentang  pengetahuan alam, budaya, bahasa, sejarah dan lainnya, jadikan sebagai bahan materi dalam proses mengajar belajar  di sekolah maupun di perguruan tinggi.

Akan tetapi sejak indonesia mengkoloni wilayah West Papua pada 19 Desember 1961 dan 1 Mei 1963 semua buku- buku sejarah manifesto perjuangan bangsa papua di bakar habis termasuk berbagai pembangunan infrastruktur fasilitas lain, hal itu di ungkapkan dalam buku (Dr. Socratez Sofyan Yoman, pemusnahan etnis melanesia. 2007.)

Pegiat sastra dan pemerhati pendidikan di Papua Andy Tagihuma dalam seminar yang diselenggarakan oleh mahasiswa Papua di kampus FISIPOL UGM Yogyakarta 2019 mengatakan  Sistem pendidikan di Indonesia dinilai tak cocok diterapkan di Tanah Papua. Awal tahun 1930-an, banyak buku-buku tentang Papua yang diterbitkan oleh para misionaris dalam bahasa Biak. Lalu kemudian, banyak buku-buku dari bahasa Melayu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Biak. Buku-buku itu kemudian didistribusikan dari Biak hingga Raja Ampat, pada waktu itu para misionaris membuat sekolah untuk mengajar anak-anak Papua.

Sistem pendidikan yang diterapkan saat itu juga sangat baik sehingga mereka yang didik pada zaman itu jauh lebih pintar. “Karena sistem pendidikan yang diterapkan sangat tepat. Yaitu menyesuaikan dengan kondisi rill dan kebutuhan yang sangat penting bagi anak-anak papua. Kalau pada saat Papua sudah bersama Indonesia sistem pendidikan rusak. Karena sistem pendidikan menggunakan standar secara merata (pendidikan sentralistik) tanpa melihat kondisi-kondisi yang ada di lapangan, termasuk kondisi sosial dan budaya setempat.

 Undang-undang dasar 1945 dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan Pendidikan, dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Akan tetapi pemerintah merealisasiskannya jauh dari kenyataan. Yang terjadi justru pemerintah sibuk mengurusi urusan-urusan ekonomi pasar, politik kepentingan, dan mengkapitalisasi pendidikan. Banyak aturan turunan dari sistem Pendidikan itu sendiri, dengan demikian hingga saat ini Pendidikan itu masih terus mengalami banyak persoalan dan layanan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih hanya dalam angan-angan.

Berdasarkan  survei yang dilakukan change.org oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2017). Survei tersebut dilakukan terhadap 27.298 responden Sebanyak 14,33 persen responden penduduk luar Papua menyatakan rendahnya kualitas pendidikan merupakan masalah utama. Kemudian, untuk responden penduduk Papua nonasli, kualitas pendidikan rendah menempati posisi kedua dengan 11,8 persen. Sedangkan untuk responden Papua asli, kualitas pendidikan rendah menempati posisi ketiga dengan 9,8 persen. Permasalahan di bidang pendidikan semakin diperkuat dengan keinginan responden untuk memperbaiki sumber daya manusia (SDM) di Papua bila menjadi pihak berwenang.

Peningkatan SDM menempati posisi paling atas dari tiga kelompok responden. Sebanyak 26 persen responden luar Papua ingin meningkatkan SDM provinsi yang terletak di Indonesia paling Timur itu. Kemudian, 18 persen penduduk Papua nonasli dan 20 persen penduduk Papua asli ingin meningkatkan SDM. Peningkatan SDM yang diinginkan semua responden ini sangat menarik, karena sangat berkaitan dengan kualitas pendidikan rendah seperti survei tadi.

Faktor Gagalan Pendidikan di Papua

a)      Logica Fallacy: Membaca, menulis dan menghitung

Pemerintah selalu melakukan sosialisasi dimana-mana, baik sekolah-sekolah. Juga pasang poster, dan iklan  di jalan-jalan raya, pasar dan lainnya hingga terus menerus menyadarkan orang melalui media masa—cetak maupun eletronik guna mengutamakan bahasa Indonesia dan melestarikan bahasa daerah. Bahasa Indonesia mereka terus dorong dalam kehidupan sehari-hari, mulai di sekolah, kantor dan lainnya. Tetapi tidak dengan bahasa daerah.

Bahasa daerah di Papua tidak dianggap sebagai sesuatu yang harus dilindungi dan dilestarikan. Mereka menerapkan aturan secara sistematis supaya orang Papua lupa bahasanya, budayanya, agamanya dan lain sebagainnya. Hingga beberapa suku di Papua, terutama daerah atau suku-suku asli di pesisir pantai dan daerah transmigran seperti kota Jayapura, Keerom, Merauke, Nabire, Manokwari, Fak-Fak dan lainnya nyaris punah.

Hampir kota-kota besar, seperti kota/kabupaten Jayapura, Wamena, Nabire, Merauke, Timika, Biak, Manokwari, Sorong, dan Fak-Fak sekarang berada dalam tahap ancaman dan kepunahan bahasa, budaya dan lain sebagainnya. Sebagain besar penutur sudah meninggal dunia akibat kawin paksa dan juga akibat dari tidak pernah memproteksi masyarakat adat pribumi setempat.

b)      Eksploitasi Sumber Daya Alam Lewat Pendidikan

Bagi kolonial, kapitalis dan imperialis, pendidikan adalah senjata yang paling mematikan, terutama untuk menipu orang, merekayasa keadaan, memutarbalikan fakta, data, kebenaran dan sejarah yang berhubungan dengan benduan yang identik tak berdaya, terbelakang, tidak mampu bersaing dan melawan mereka. Mereka akan membangun sistem ketergantungan pendidikan yang pada awalnya membuka akses dengan beragam dalil yang baik-baik dan seolah-olah akan menguntung kaum yang tak berpendidikan.

Mereka akan menggunakan racun pendidikan supaya orang-orang yang menghambat mereka kehilangan kesadaran, mudah ditipu, direkayasa, dan melakukan sesuatu sesuka hati oleh seorang bidan, petugas medis, dan atau penguasa. Supaya mudah membeda, operasi dan melakukan apa saja dengan bebas tanpa ada perdebatan dan perlawanan. Itulah yang bukan tidak mungkin kalau bisa saja pendidikan bisa menjadi senjata paling ampuh—mematikan bagi penguasa untuk menjajah kaum budaknya dengan dalil segala kebaikan.

c)      Kepentingan Politik Campur Aduk Dengan Sistem Pendidikan Nasional

Masalah lain adalah pemerintah selalu memaksakan kaum minoritas kulit hitam di Indonesia untuk belajar sejarah perjuangan pemuka negara itu, tetapi mereka tidak pernah memasukan materi dalam kurikulum sejarah pendidikan politik yang berhubungan dengan pergerakan, perjuangan dan perlawanan orang Papua terhadap orang asing. Mereka tidak pernah memberikan kebebasan pendidikan kepada orang Papua untuk mempelajari sejarahnya sendiri.

Pemerintah selalu memasukan kisah perjuangan orang Papua kecuali itu berpihak dan menguntungkan kepada negara. Ada pula nilai-nilai kearifan lokal, seperti dalam mata pelajaran ketrampilan atau muatan lokal. Namun, itu terkesan hanya untuk bahan yang sifatnya menguntungkan mereka dan tidak sama sekali mendorong secara sistematis dan berkelanjutan guna menghormati derajat orang Papua di Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia bukan mendidik, membina dan mempersiapkan orang dengan baik; tidak lagi memanusiakan manusia; tidak menyadarkan orang dan lainnya. Tetapi justru melalui sistem pendidikan yang bagus diatas kertas itu menghasilkan orang yang bermoral hancur, mentalitas tidak benar dan seterusnya.

Sekolah seolah-olah diarahkan untuk menjadi pegawai negeri, politikus dan negarawan yang koruptor. Tapi juga sekaligus bukan menjawab persoalan atau mengisi lapangan kerja. Justru pendidikan melahirkan angka kemiskinan, pengangguran dan kejahatan luar biasa. Kalau tanah Papua disebut surga kecil yang jatuh ke bumi, orang Papua tidak harus hidup miskin, melarat dan mati sana sini seperti binatang dengan berbagai cara.

d)      Daerah atau wilayah operasi militer

Penyelenggaraan pendidikan di Wilayah atau daerah konflik sangat terbatas, bahkan tidak ada sama sekali , karena gedung- gedung sekolah di isi oleh aparat militer kolonail indonesia dan warga setempat terjadi pengungsian besar-besaran. Misalnya kabupaten Nduga, Yahukimo, Maybrat, dan Pegunungan Bintang, Intan jaya dan juga Puncak Jaya.

e)      Program Beasiswa

Kebijakan Program beasiswa bagi Orang Asli  Papua  (OAP) bersifat politiks, di sertai dengan syarat nasionalisasi dan ideologisasi tentang NKRI harga mati, Misalnya beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah Papua (ADEM), (ADIK), beasiswa otsus dan lainnya, artinya pendidikan masih bersifat fasis dan komersial.

f)       Rendahnya Partisipasi Anak dan Guru

Di Papua, angka partisipasi sekolah dikatakan rendah, karena masyarakat sendiri tidak mendukung anaknya untuk bersekolah. Dimana ada beberapa kabupaten di Papua yang sampai sekarang, anak–anak usia sekolah justru tidak bersekolah. Misalnya di Kabupaten Nduga, Puncak dan Puncak Jaya. Bahkan, ada beberapa kabupaten sampai sekarang anaknya tidak sekolah seperti kabupaten Nduga, Puncak dan Puncak Jaya atau hampir 20 kabupaten di Papua IPM (Indeks Pembangunan Manusia) masih rendah.

Untuk kabupaten yang tingkat buta aksara masih rendah di kabupaten Nduga. Namun masih ada beberapa kabupaten lagi yang masih rendah,” tambahnya. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan dan IPM di Papua rendah. Salah satunya adalah banyak guru yang meninggalkan tugas serta jarak sekolah dengan pemukiman masyarakat jauh. Selain itu, kualitas guru juga sangat menopang kualitas pendidikan. Untuk itu saat ini solusi yang dilakukan Dinas pendidikan adalah pemberantasan buta aksara di Papua.

g)      Pengaruh Lingkungan Keluarga dan Sosial

Kehidupan masyarakat yang kompleks, dengan tingkat kesadaran pentingnya pendidikan yang terbatas, serta dorongan motivasi maupun biaya, serta akses jangkauan aktivitas pendidikan. Hal ini menjadi kendala bagi peserta didik.

 

h)      Pendidikan Tidak Di Perhatikan Oleh Pemerintah

Pemerintah terkesan hanya membangun konsep pendidikan yang sangat kering dan itu tidak mampu membuat apalagi merubah grafik peningkatan kesadaran orang Indonesia, termasuk Papua yang dari tahun ke tahun berada dalam zona degradasi. Otoritas setempat jarang menerapkan konsep pendidikan yang membuat orang berada dimana saja—taxi, bus, bandara, pesawat, rumah sakit, kebun dll biasakan untuk membaca dan menulis sesuatu.

 

Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 perubahan tahun 2021 ini, yang dibangga-banggakan dan dipaksan pemerintah, kalau berhasil memanusiakan atau menindonesiakan, maka tidak perlu ada lagi tuntutan Papua merdeka, referendum, pengakuan kedaulatan politik dan perundingan internasional.

Sistem pendidikan Indonesia di Papua menjadi alat atau senjata paling ampuh untuk menipu, merekayasa, memutarbalikan fakta, data, kebenaran sejarah dan mendukung sistem kolonialisme, kapitaslisme dan imperialisme.

Orang yang sekolah dalam sistem pendidikan nampak tidak memiliki komitmen untuk membela masyarakat adat dengan cara bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya. Mereka selalu seolah-olah diarahkan untuk bekerja di dalam birokrasi, partai politik, perusahaan, kontraktor dan konsultan yang selalu mempermudah akses bagi sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme di Papua.

 

Di masa Otsus sekalipun, bahkan generasi Otsus sekalipun terasa tidak mampu memberdayakan, dan melindungi hak-hak masyarakat adat dengan kekuatan hukum dan kebijakan sendiri. Semua kebijakan yang sifatnya memanusiakan dan menyelesaikan masalah kemanusiaan sekalipun masih dikendalikan oleh pemerintah pusat. Sehingga mau harapkan perkembangan dan kemajuan pendidikan di Papua sangat susah.

 

Kurangnya perhatian dari pemerintah, secara fisik bangunan dan fasilitas yang tidak memadai, beserta kurangnya para tenaga pengajar, kemudian ditambah lagi dengan anggaran pendidikan yang tidak tepat sasaran. Bagian ini terus menjadi perdebatan dan pengupayaan dari pemerintah sendiri untuk pemerataan Pendidikan di tanah Papua hingga saat ini yang dilakukan belum maksimal.

 

i)       Metode Mengajar Bergaya Militer

 

Metode pengajarnnya sama dengan bagaimana semua atasan selalu saja mengarahkan bawahan untuk menghafal ilmu matematika mengenai perkalian, pembagian, pengurangan dan lainnya. Juga mengarahkan orang untuk menghafal pengertian semata tanpa memahami teks, konteks dan hingga minimnya kemampuan untuk mengkontekstualisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Sungguh metode pengajaran model ini memang melatih dan mendidik orang, tetapi dengan kualitas yang sangat terbatas. Tidak hanya menyiksa orang, akan tetapi juga pada saaat yang sama, secara sadar atau tidak sadar, secara langsung atau tidak langsung membosankan, menyiksa, membodohkan dan bahkan tidak efektif. Mau bilang ikut menindas tetapi harus hati-hati karena memang ini sistem yang cukup membingungkan dan memabukkan.

 

Sebagian sekolah dasar di daerah lain pun memiliki indikasi yang sama. Namun, peristiwa penutupan sekolah akibat keterbatasan guru, fasilitas dan lainnya tidak dapat dijangkau oleh semua pihak terkait, seperti jurnalis, dan pihak terkait dalam birokrasi. Beberapa sekolah yang ditutup di Wamena, Jayawijaya selama 20 tahun belakangan ini bersamaan dengan waktu dimana Otsus Papua jilid pertama diberlakukan ini setidaknya mewakili beberapa sekolah yang nasibnya sama tetapi belum di publis.

Dalam posisi krisis seperti ini aparat keamanan dan militer kolonial Indoensia sering masuk mengisi kekosongan itu. mereka berdalih bahwa mengajar anak-anak karena tidak ada guru, peduli dan lain sebagainnya. Bagian perbatasan antara Papua New Guinea dan Indonesia, aparat disana sudah ambil bagian. Selain menjaga keutuhan, mereka juga menjadi tenaga pengajar disana. Ini sangat membantu pemerintah daerah dalam keterbatsan yang diakibatkan oleh pemekaran dan lainnnya di samping meningkatkan mutu pendidikan setempat.

 

Barang kali memang sangat tertolong bagi anak sekolah yang membutuhkan guru di tengah krisis pendidikan di Papua  di samping menanamkan nasionalisme Indonesia terhadap anak-anak sekolah di tanah Papua. Tetapi di lain sisi, sesungguhnya partisipasi dan intervensi aparat keamanan dan militer kolonial menunjukkan sebuah fakta bahwa pendidikan di Papua tidak baik-baik saja—menggambarkan bentuk lain tentang penindasan lewat pendidikan yang melibatkan TNI/Polri.

 

KESIMPULAN

Penerapan Sistem pendidikan di papua lebih politik hanya demi keutuhan NKRI, sedangkan pengetahuan lingkungan sosial pernah di libatkan dalam kurikulum, akibatnya 5 penutur bahasa dan budaya punah di Papua Barat. Sistem pendidikan di Papua merupakan murni bagian dari penjajahan, dikarenakan selama perlakukan UU OTSUS di Papua sejarah orang papua tidak pernah mengajarkan di sekolah, di kampus. Sehingga pendidikan di papua adalah bagian dari genosida.

 

 

Referensi

1.    https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171214205030-20-262499/survei-lipi-kualitas-pendidikan-masalah-utama-papua.

2.      https://jubi.co.id/sistem-pendidikan-di-papua-masih-rendah/
https://jubi.co.id/sistem-pendidikan-indonesia-tak-cocok-di-papua/

3.      https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/08/jumlah-penduduk-buta-aksara-turun-menjadi-329-juta#:~:text=Pada%20awal%20kemerdekaan%20tahun%201945,sebanyak%205%2C6%20juta%20orang.

4.      https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171214205030-20-262499/survei-lipi-kualitas-pendidikan-masalah-utama-papua

5.      https://laolao-papua.com/2021/02/08/praktek-penindasan-dalam-liberalisme-sistem-pendidikan/

6.      https://laolao-papua.com/2021/09/28/penjajahan-lewat-pendidikan-di-papua/

 

 

    Penulis adalah Anggota Aktif di AMP Komite Kota Jember

 

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats