Halloween party ideas 2015

ilustrasi gambar
Pernyataan Sikap & Himbauan
Aliansi Mahasiswa Papua 

Lampiran: 

Kronologis Malang, Ternate, Ambon, Surabaya dan Semarang

Mengutuk Tindakan Represif dan Rasis Aparat TNI-POLRI dan Ormas Reaksioner terhadap mahasiswa Papua 


Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan (TNI dan POLRI) dan ormas sipil reaksioner terhadap mahasiswa Papua dan kelompok Solidaritas semakin menjadi-jadi. Dalam satu bulan terakhir ini saja tercatat ratusan aktivis mahasiswa ditangkap oleh aparat keamanan saat hendak melakukan aksi demonstrasi damai di beberapa kota seperti Ternate, Ambon, dan Malang. Bahkan untuk Malang, massa aksi mendapat serangan verbal dan fisik. Mereka dimaki menggunakan nama binatang sekaligus dipukul, dan dilempari oleh Ormas Reaksioner serta aparat berpakaian preman. Akibatnya 6 orang terluka parah.

Represifitas tidak berhenti di situ. Ke-esokan harinya tanggal 16 Agustus 2019 sekitar pukul 16:00 WIB mahasiswa Papua yang sedang berada di asrama Kamasan Papua Surabaya dikepung oleh TNI/POLRI, Ormas, dan SATPOL PP. Seperti yang terjadi di Malang, mahasiswa juga mendapatkan makian bernada rasis dari massa yang mengepung. Pengepungan juga disertai dengan perusakan fiber penutup pagar Asrama Kamasan Papua. Mereka menuduh mahasiswa Papua telah merusak bendera Merah Putih dan membuangnya ke selokan. Seiring waktu berjalan massa yang mengepung bertambah semakin banyak. Mereka meneriakan yel-yel seperti, "Usir Papua" dan "Bunuh". Sementara penghuni asrama sebanyak 15 orang harus mengamankan diri ke dalam aula asrama.

Selama berjam-jam mereka terjebak di dalam aula, tanpa ada makanan dan minuman. Pukul 02:00 WIB dini hari, dua orang Mahasiswa asal Surabaya berinisial " AL" dan "AR" Mencoba masuk dan memberikan makanan saat mobilisasi mulai berkurang, namun setelah makanan sampai keduanya langsung digelandang oleh kepolisian ke Polrestabes Surabaya. 

Pagi harinya (17 Agustus 2018) sekitar pukul 10:00 WIB massa kembali berdatangan. Pukul 13:30 WIB mahasiswa Papua  yang tidak tinggal di asrama (sebanyak 28 orang) datang dengan maksud memberikan makanan pada penghuni asrama yang terjebak di dalam.

Keadaan di luar semakin ramai. Yel-yel terus menggema. Sekitar pukul 14:45 polisi dengan bersenjata lengkap berhasil merangsek masuk ke dalam asrama. Mereka berkali-kali menembakan gas air mata. 42 orang yang berada di asrama diangkut paksa menuju Polrestabes Surabaya menggunakan mobil Dalmas. Penangkapan ini disertai dengan pemukulan hingga menyebabkan mahasiswa Papua mengalami luka di sekujur tubuhnya. Polisi beberapa kali mengeluarkan suara tembakan sembari mendorong para mahasiswa untuk segera naik ke atas mobil Dalmas. Pukul 15:50 WIB mahasiswa Papua tiba di Polrestabes Surabaya dan langsung ditempatkan di salah satu ruangan. Polisi memintai mereka keterangan dan identitas.

Inisial nama-nama mahasiswa yang terluka di Asrama Kamasan Surabaya, antara lain:

1. E.W , Perempuan ( 19  )  dapat pukulan/tonjok
2. N. K Laki-laki ( 24 ) tangan kanan keseleo akibat didorong untuk tiarap di mobil Dalmas
3. A. U Laki-Laki ( 56 ) Dipopor pada alis mata
4.  K. Laki-Laki (23 ) Dipukul di pelipis
5. F.P Laki-laki ( 33 ) Kena tembakan gas Air Mata di kaki.

Hal pemaksaan pemasangan Bendera dan Spanduk Cinta NKRI itu kembali terjadi di Asrama Papua Semarang. Sejumlah Ormas berpakaian Pemuda Pancasila dan berbaju biasa, anggota Polisi, TNI, dan Intel datangi asrama Papua pada pukul 7:00 WIT, pagi. 
Aparat menggunakan Warga Candi Sari kota Semarang untuk memasang Spanduk bertuliskan “kami warga Kel. Candi Tidak Setuju Asrama West Papua Digunakan untuk Kegiatan yang mengarah pemisahan Papua dari NKRI. Jika hal tersebut dilakukan kami sepakat menolak keberadaan West Papua di Kelurahan Candi. NKRI HARGA MATI”. Kelompok reaksioner itu mengecam Bahwa mereka berhak di sini. Bila tak di pasang maka Pindah saja.  

Atas kejadian-kejadian represif ini kami menyatakan sikap:

1. Mengutuk pelaku pengepungan Asrama Kamsan Papua Surabaya, dan penyerangan aksi damai di Malang, pemaksaan pemasangan Spanduk dan bendera di Asrama Papua Semarang serta pemukulan yang berujung pada penangkapan di Ternate dan Ambon.

2. Tangkap dan adili aktor dan intelektual pelaku dalam pengepungan Asrama Kamasan Papua Surabaya dan penyerangan aksi mahasiswa Papua di Malang (15 Agustus 2019) 

3. Kepolisian Resort Kota Besar Surabaya, KODIM Surabaya dan Pemerintah Daerah Surabaya bertanggung jawab atas Pembiaran terhadap TNI, Pol PP dan Ormas Reaksioner yang dengan sewenang-wenang mengepung dan merusak Asrama Kamasan Papua.

4. Pecat anggota-anggota TNI dan Satpol PP yang memulai provokasi penyerangan Asrama mahasiswa  Papua di Surabaya

5. Hentikan rasisme! Manusia Papua bukan Monyet!

6. Tangkap dan adili pelaku pemberangusan ruang demokrasi di Surabaya, yang mengakibatkan 5 orang terluka berat dan belasan lainnya luka-luka ringan.

7. Ganti segala kerusakan materil dan immateril akibat dari penyerangan Asrama Kamasan Surabaya!

8. Hormati dan Lindungi hak kebebasan berkumpul dan mengemukakan pendapat sebagaimana yang di maksud dalam konstitusi.

9. Hentikan Aparat TNI/Polri provokasi warga yang tak tahu-menahu tentang politik Papua Merdeka dan NKRI Harga Mati.

Secara terpisah, AMP menghimbau kepada rakyat Bangsa West Papua:

1. Rasisme, penyebutan "monyet Papua" itu datang dari kelompok reaksioner berwatak kolonial. Kolonialisme di Papua sudah berlangsung sejak 1962 pasca Negara Imperialis, Amerika Serikat, terlibat dalam perjanjian New York yang melahirkan penjajahan baru di Bumi West Papua setelah Belanda.

Rasisme, sikap dan tindakan merendahkan martabat harga diri Rakyat Papua telah lama dilakukan lewat operasi-operasi militer mengakibatkan lebih dari jutaan jiwa meninggal dalam pembantaian. Mereka menguasai sumber produksi hingga di pelosok, mengambil semua kekayaan alam Papua untuk tuannya Imperialis Amerika. Mereka mengisolir rakyat Papua seakan bangsa yang tak bisa berbuat apa-apa selain bergantung kepada kolonial.

Maka, dengan peristiwa pengepungan, penangkapan, dan penyebutan "monyet Papua" yang berulang terjadi, kami himbau untuk tidak terprovokasi dengan propaganda-propaganda yang memicu saling menyerang antar kelompok etnis atau beragama di Papua. Sebab propaganda semacam itu Iah menghendaki tuntutan politik Papua merdeka yang sedang diperjuangkan oleh rakyat Papua digiring ke dalam isu rasial, saling serang antara kelompok. Musuh kita jelas, Militerisme, Kolonialisme beserta tuannya, Imperialisme.

Sehingga atas menodai harga diri dan martabat bangsa West Papua oleh penjajah, rakyat satu-kan barisan, kekuatan, bangun persatuan nasional, mobilisasi massa untuk mogok jalan, menuntut Hak untuk menentukan nasib bangsa West Papua, bangsa yang kerap disebut Monyet oleh bangsa Penjajah.

2. Kepada Rakyat dan mahasiswa Papua di luar Papua, khususnya di Jawa-Bali, pusat kota kolonial, yang mengatur strategi penjajahan di Papua, itu ada di pulau Jawa, Ibu Kota Jakarta.

Kita adalah kaum muda yang memikul tanggung jawab atas amanah sejarah perjuangan melawan penjajahan dan membebaskan rakyat West Papua, mempeloporinya untuk menentukan kondisi objektif yang baru, yakni bangun bangsa yang bebas dari penjajahan.

Amanah itu adalah pertama, menciptakan kader pejuang yang matang secara teori dan praktek, yang teruji dalam aksi massa, dalam segala resiko perlawanan, termasuk menyaksikan langsung, menjadi saksi dan korban atas pengepungan, pemukulan, penangkapan, teriakan rasis, untuk mengenal siapa itu penjajah dan menumbuhkan iman perlawanan untuk perjuangan panjang menciptakan bangsa yang mandiri dan bebas dari watak kolonialisme. Kedua, kita ada saksi, telinga, mata, bagi penderitaan rakyat Papua. Menyebarkan seluruh realita ketertindasan kepada rakyat Indonesia, bangun solidaritas kepada buruh, tani, nelayan, mahasiswa, LGBT, dan kaum minoritas yang tersingkir dari rezim kapital yang bersekongkol dengan pemodal Internasional di Indonesia.

3. Menghimbau kepada Seluruh Mahasiswa di luar Papua, siapkan kekuatan, mobilisasi massa dari asrama ke kampus, untuk mengepung Istana Negara, Jakarta, menuntut Rezim Jokowi segera memulangkan kami ke West Papua dengan syarat berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri kepada bangsa yang Indonesia menyebutnya "Papua Monyet", Rakyat Bangsa West Papua. 

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan. Kemanusiaan yang adil dan beradab hanya mungkin tercapai apabila penjajahan, diskriminasi rasial, dan penindasan di atas dunia segera dihapuskan.

Tanah Kolonial, 18 Agustus 2019

Aliansi Mahasiswa Papua
Komite Pusat 

Ketua Umum

Jhon Gobai


Oleh: Beyaz C. Ap*

Sebetulnya saya menyadari bahwa artikel ini tak sempurna! Memang tak ada karya tulis yang sempurna, tetapi dari segi struktur kata dan bangunan kalimat yang tak beraturan itu membuktikan bahwa saya mesti banyak belajar soal menulis. Tapi saya mau siratkan apa yang saya ingin sampaikan kepada gerakan, yang akan terus hidup sepanjang hidup ini dibentrokan dengan perjuangan penemuan jatih diri manusia.

Saya mulai cerita dari isi artikel “Papua Merdeka: Jalan Pemberontakan Rakyat yang sadar” yang ditulis oleh Kawan Jhon Gobai. Ada tiga poin penting (menurut saya) yang menjadi inti buah pikir dalam tulisan tersebut. Pertama, realitas perlawanan sebagai wujud reaksi dari akumulasi penindasan yang berkepanjangan. Hingga pada dekade ini Bangsa West Papua terus bersuara, bergerak, mengorganisir diri dalam aksi-aksi perlawanan hingga pada kampanye tingkat internasional. Hal kedua adalah perkembangan organisasi perlawan, terutama organisasi politik yang terang-terangan menyatakan sikap perlawanan kepada musuh rakyat, yakni imperialisme yang mengkoloni beserta alatnya, militerisme. Perkembangan organisasi perlawanan memberikan pergeseran dinamika politik dalam kesadaran rakyat. Artinya gerakan membongkar kesadaran hegemonik kolonial, bahwa itu palsu. Itu manfaat dari perjuangan membangun kesadaran rakyat tentang arti penting perlawanan. Sehingga, hal ketiga, kita mampu meyakinkan dunia tentang wajah penjajahan yang menjunjung modal dalam dan eksistensinya. Keyakinan itu membawa dukungan, kawan perjuangan dari mana saja. Entah dari rakyat Indonesia, negara-negara melanesia, dunia internasional, dan setiap elemen rakyat. 

Kini Gerakan Politik mulai mendorong Persatuan dengan cara mengkritisi, terlibat aktif dalam pembangunan persatuan, dan terus mengkonsolidasikan diri dalam setiap aksi guna menemukan landasan dan konsep persatuan yang berkesesuaian terhadap realitas keberadaan sosial, konteks kebangsaan, dan demokrasi model Papua yang, tentu idelnya, terbangun relasi terhadap sesama manusia.

Kemudian realitas penindasan, pengisapan oleh imperialisme yang mengkoloni kini telah sampai pada sel-sel kehidupan. Semua sendi-sendi yang melenturkan kehidupan (dulu) yang harmonis telah dihancurkan dan dikuasai oleh penguasa yang rakus itu. Disini letak probelmnya. Sehingga rakyat terus melakukan perlawanan untuk mendorong persatuan nasional sebagai syarat untuk melawan dominasi kekuasaan, dan menentukan nasibnya sendiri. 
***

Berbicara soal penindasan di West Papua merupakan merefleksi eksistensi perlawanan gerakan politiknya—yang didorong oleh keberadaan sosial yang sangat krusial. Itu realitas perjuangan rakyat west Papua hari ini. Sebab sejarah perjuangan bangsa west Papua sejak perlawanan terhadap kolonialisme Belanda hingga saat ini adalah berbicara soal merebut kedaulatan politiknya. Itu yang mendominasi. Sehingga pandangan yang terbangun adalah Politik praktis ala kolonial dan politik Papua Merdeka. Dua sudut pandang ini yang kemudian terbangun di rana sipil hari ini. 

Sehingga rakyat kemudian mampu melihat mana politik kolonial dan papua merdeka. Itu lah kemajuan gerakan hari ini. Tetapi penting juga kita harus mengkritisinya pandangan tersebut dengan bagiman rakyat melihat realitas penindasan di masing-masing sel yang menompang kehidupan sosial. Bagimana buruh melihat kehidupan perburuhannya; masyarakat adat yang terpinggir dan terasing; pasar yang monopolistis; pelajar-mahasiswa melihat realitas penindasan, begitu terus di setiap sektor kehidupan. 

Sebab kedaulatan politik tidak menjamin keselamatan kehidupan di setiap sektor. Apa pun bentuk kehidupan sosialnya, yang tahu dan paham betul adalah rakyat yang hidup didalam setiap sektor tersebut. Misal, Mahasiswa di Jawa-Bali bicara tutup Freeport—tuntutan politiknya—tetapi ribuan buruh PT. FI sedang mogok menuntut keadilan. Buruh bicara keadilan artinya buruh bicara kehidupannya. Sementara Masyarakat Adat bicara tanah adat yang rampas oleh perusahaan bisa saja Buruh akan kehilangan pekerjaannya. Sehingga kompleksitas persoalan ini diciptkan sedemikian rupa oleh imperialisme yang mengkoloni untuk kepentingan nilai lebihnya (Surplus). Artinya, disini kita dapat melihat bagimana Imperialisme menciptakan kesengsarahan, jurang pemisah antra rakyat terjajah dengan kebiadaban sistim produksinya. Sehingga berbicara soal politik (entah politik Papua merdeka atau Politik praktis kolonial), mesti harus membicarakan hubungan sosial yang terbentuk karena urusan kebutuhan (paling dasar) makan-minum, rumah, dan pakaian yang terjadi di setiap sektor dan hubungannya dengan “sistim kerjanya”.

*Penulis adalah Anggota Aliansi Mahasiswa Papua


Ilus. Koran Kejora

Materi disusun Oleh Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua Biro Agitasi dan Propaganda. 

Pendahuluan

Pada perjuangan rakyat Papua Barat dalam hak penentuan nasib sendiri merupakan proses yang telah di perjuangkan oleh Masyarakat Papua Barat. Sebuah manifesto kemerdekaan telah berevolusi sejak perjuangan Hak Penentuan Nasib Sendiri menjadi konsep dasar di bawa panji perjuangan rakyat Papua Barat. Sejak Manifesto dan revolusi rakyat Papua Barat pada 01 Desember 1961 merupakan konstitusi perjuangan rakyat Papua Barat yang telah merdeka sama seperti bangsa-bangsa lain dibelahan bumi. Namun, Bangsa Papua Barat tersebut di peradabkan dengan beragam perjanjian-perjanjian yang tidak melibatkan rakyat Papua Barat satu pun.  Perjanjian sepihak itulah, tanah dan rakyat bangsa Papua Barat yang telah merdeka di jadikan sebagai alat ekonomi politik oleh negara penguasa di antaranya, Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat sehingga menghasilkan pengalihan kekuasaan bangsa Papua Barat ke Indonesia tanpa Hukum Internasional yang tidak jelas dan meredam kemerdekaan sejati-nya Rakyat West Papua. 

Rakyat Papua Barat, masih beranggapan bahwa perjuangan dalam Hak Penentuan Nasib Sendiri telah menjadi bagian yang melakat untuk terus memperjuangan dalam merebut Hak Penentuan Nasib Sendiri menjadikan hak aspirasi dan hak tuntutan untuk menuntut bahwa mengapa dengan sepihak Bangsa Papua Barat di Aneksasi atau di paksa masukan Papua Barat ke Indonesia? Pada hal,  Rakyat Papua Barat telah Menentukan Nasib Sendiri sama seperti bangsa-bangsa lain. Apakah memang bangsa Papua Barat di jadikan seperti itu? Dan mengapa Bangsa Papua Barat yang merdeka lalu Amerika Serikat, Indonesia,dan Belanda serta termasuk PBB atau UNTEA mengambil ahli untuk mengagagalkan negara Papua Barat? Apa kah itu sah? .Juga, Mengapa Indonesia menjajah Rakyat Papua Barat yang kini telah 56 Tahun dengan gaya system serta militernya mereka yang ganas? Serta mengapa perusahan-perusahan multi Internasional dapat beroperasi menjadikan ladang bisnisnya Indonesia di Papua Barat?

Bangsa yang pernah merdeka adalah bangsa yang telah deklarasikan untuk menjadi sebuah negara. Dan Memiliki alat-alat kebangsaan dan Ideologi seperti, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan, Symbol Kenegaraan, Mata Uang, Bahasa dan batas wilayah serta system pemerintahan. Maka, Deklarasi 01 Desember 1961 rakyat bangas Papua Barat merupakan kenegaraan yang sah, sama seperti negara-negara lainnya. Konsep kenegaran yang telah merdeka tidak perlu memperdebatkan untuk mengagalkan atau integarsikan dengan wilayah lain. Maka, Ketidakadilan, Ketidakwenangan, yang di lakukan merupakan kondisi yang tidak manusiawi atas rakyat Papua Barat; apa lagi jika Hukum Internasioal telah salah dalam menagani hak Penentuan nasib sendiri. Dari deretan sejarah bahwa gugusan pulau Papua dari Sorong sampai Samarai terbagi menjadi dua bagian: Bagian pertama Papua Timur adalah PNG yang telah merdeka sejak 16 September 1975 dari pemerintah Australia dan bagian kedua, Papua Barat merupakan dearah yang telah deklarasikan kemerdekaan sejak 01 Desember 1961, Namun kini Papua Barat tergolong dalam penjajahan Indonesia karena sejak 01 Mei 1963 secara di aneksai bangsa Papua Barat dimasukan ke dalam system Indonesia tanpa keterlibatan rakyat Papua Barat.

Maka, hal yang paling wajar di jelaskan atau diuraikan bahwa mulai dari deklarasi Papua Barat hingga pada Ilegal Tranfer yang dilakukan oleh UNTEA melalui beberapa kesapakan yakni New York Agreement, 15 Agustus 1962 dan Roma Agreement, 30 September 1962 yang pada akhirnya meresahkan rakyat Papua Barat dan Ilegal Transfer itu, sehingga tidak ada tuntutan rakyat Papua  Barat atau kemauan rakyat Papua Barat  untuk menyatakan hidup bersama Indonesia. Tetapi Ilegal Tranfer atau Aneksasi adalah sepihak. Dalam Melihat kondisi seperti ini, merunjuk pada inti sari proses Aneksasi yang gagal hukum tersebut dan pada akhirnya menimbulkan Indonesia menjajah bangsa Papua Barat dengan gaya Indonesia tersendiri. 

01 Mei 1963 dan Aneksasi Papua Barat

Deklarasi atau revolusi rakyat Papua Barat 01 Desember 1961 adalah mempunyai hukum de Jure dan De facto kebangsaan yang di manifestokan dan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) 19 Desember 1961 merupakan penjajahan gaya baru Indonesia di Tanah Papua Barat serta awal dari mengagalkan negara Papua Barat yang 19 hari telah merdeka di tanah Papua Barat.Melalui Trikora Indonesia telah mempunyai tiga catatan penting untuk merebut kemerdekaan bangsa Papua Barat, Pertama Bubarkan Negara Boneka Papua Barat Buatan Belanda, Kibarkan Bendera Merah Putih di seluruh Irian Barat/Papua Barat, dan Bersiaplah untuk Mobilisai Umum. Dan inilah kondisi TRIKORA yang di ciptakan oleh Indonesia untuk merebut negara Papua Barat bagian dari gaya penjajahannya. 
Setelah TRIKORA di cetuskan itu, di Alun-alun Utara Kota Yokjakarta oleh  Ir.Soekarno dan kawan-kawannya  dan adapun, alasan atau tujuan Ir. Soekarno mencaplok dengan beragapan bahwa Papua Barat bagian dari Indonesia (mencaplokan)  dengan syarat berikut: bahwa Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit, Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung Papua Barat oleh sultan Tidore dan Soekarno mengklaim sebagai bagian dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah “Indonesia Bagian Timur”. Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda. Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme barat di Asia Tenggara. Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda. Mungkin juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI. 
setelah alasan Sukarno dan kepentingan eksploitasi di Papua Barat Soekarno juga melakuan kerja sama militer bersama Uni Soviet atau Rusia untuk merebut Papua Barat melawan Belanda dan ketika itu, Amerika Serikat menjadi penengah. Belanda meminta Amerika Serikat untuk melawan Indonesia yang di beking oleh milter Uni Soviet atau Rusia. namun Amerika Serikat menyatakan bahwa sangat melelahkan dan karena melakukan perang dunia ke II melawan Jepang di Pasifik serta sekutunya dari tahun 1915 hingga 1945, menjatuhkan Bom Irosima dan Nagasaki  di Jepang  pada tahun 1945 sehingga Amerika Serikat menyatakan bahwa Amunisi telah habis dalam melawan jepang serta sekutunya dan setelah itu, Amerika Serikat menyatakan kepada Belanda dan Indonesia untuk melakukan perjanjian-perjanjian untuk Papua Barat yang tanpa keterlibatan rakyat Papua Barat satu pun. Setelah itu, pada selama tahun 1962 melakukan perjanjian-perjanjian tersebut  dengan nama The New York Agreement pada 15 Agustus 1962 dengan beberapa point pertama,
1. Apabila badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nation (UN) telah membenarkan persetujuan atau perjanjian itu melalui Rapat Umum, maka Belanda segera menyerahkan kekuasaan atas Irian Jaya (Papua Barat) kepada UNTEA, 
2. Terhitung sejak tanggal 1 Mei 1963 UNTEA yang memikul tanggung jawab Administrasi Pemerintah di Irian Jaya (Papua Barat) selama 6-8 bulan dan menyerahkannya kepada Indonesia, 
3. Pada akhir tahun 1969, dibawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB dilakukan Act of Free Choice, orang Irian Jaya (Papua Barat) dapat menentukan penggabungan pasti tanah mereka dengan Indonesia atau menentukan status atau kedudukan yang lain (Merdeka Sendiri), 
4. Indonesia dalam tenggang waktu tersebut diharuskan mengembangkan dan membangun kebersamaan orang Irian Jaya (Papua Barat) untuk hingga akhir 1969, Papua Barat menentukan pilihannya sendiri.

Perjanjian berikutnya  The Secret Memmorandum of roma (30 September 1961) dan The Roma Joint Statement (20-21 Mei 1969) berisi mengenai: 
1. Menunda atau membatalkan Pepera 1969 sesuai Perjanjian New York, 
2. Indonesia akan menduduki  Papua Barat selama 25 tahun mulai dari 1 Mei 1963. 
3. Pelaksana Pepera 1969 akan di jalankan berdasarkan cara indonesia musyawarah, 
4. Laporan akhir PBB atas Impementasi Pepera ke SU PBB harus di terima tanpa perdebatan terbuka, 
5. Amerika Serikat Membuat Investasi melalui BUMN Indonesia untuk eksplotasi sumber daya alam di Papua Barat,
6. Amerika Serikat menjamin lewat Bank Pembangunan Asia dana sebesar US$20 Juta kepada UNDP untuk pembangunan di Papua Barat selama 25 Tahun mulai dari 1 Mei 1963, 
7. Amerika Serikat menjamain rencana Bank Dunia dan menerapkan Transmigrasi orang Indonesia ke Papua Barat. 

Setelah Lahirnya, perjanjian New York Agreement dan Roma Agreement, Implementasi awal yang di lakukan adalah penyerahan Papua Barat dari pemerintah Belanda  melalui UNTEA (United Nation Temporary Executivee Authority) untuk sementara waktu ke pemerintah Indonesia. Adminitrasi tersebut berlangsung dari 01 Oktober 1962 saat UNTEA mengambil ahli dari Belanda. Tujuan UNTEA yang sebenarnya adalah untuk memfasilitasi dekolonisasi daerah Belanda, West New Gunea atau Papua Barat, dan melaksanakan Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam kontrol Penuh PBB berdasarkan Hukum Internasional. Setelah, UNTEA mengambil ahli dan menyerahkan Papua Barat ke tangan Indonesia pada 01 Mei 1963. Dengan catatan bahwa Indonesia harus patuhi hukum Internasional atau PBB untuk melaksanakan point-point pada New York Agreement dan Roma Agreement. Namun, sama sekali Indonesia tidak melakukan tanggungjawab moral dalam menjalankan Hukum Intenasional atau UN. UNTEA dan UN pun tidak mengambil ahli untuk mengerakan perjanjian-perjanjian yang di buat sejak tahun 1962 tersebut.  Kegagalan UNTEA dan UN dalam menangani Papua Barat sangat meresahkan sehingga Indonesia dapat memanipulasi, membungkam Hak Penentuan Nasib Sendiri di  Papua Barat melalui cara Indonesia.  UNTEA dan UN gagal dalam menjalankan ketentuan-ketentuan Hukum Internasional tentang Hak Penentuan Nasib Sendiri sehingga melanggar Hukum Internasional, Melanggar Prinsip-Prinsip Demokrasi, dan Melanggar Hak-Hak Dasar Masyarakat Papua Barat.  Beranggapan dari itu, bahwa Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Papua Barat telah di klaim dan di tutup mata oleh PBB dalam tidak menanggung Hak Sipil Rakyat Papua Barat dan Indonesia pun telah melanggar Hak sipil Rakyat Papua Barat itulah yang disebut. Awal 01 Mei 1963 merupakan hari Aneksasi bangsa Papua Barat ke dalam kolonial Indonesia. 

UNTEA:  01 Oktober 1962-01 Mei 1963 di Papua Barat

Papua Barat dalam perebutan oleh Belanda, Amerika Serikat, dan Indonesia sehingga badan Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA) atau Pasukan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Papua Barat (UNSF) di dirikan pada 01 Oktober 1962 sesuai dengan resolusi Majelis Umum 1752 melalui dalam pasal dua perjanjian New York Agreement mengenai New West Gunea atau Papua Barat yang perlu berakhir pada  01 Mei 1963. Karena perjalanan dan perdebatan tentang Papua Barat sangat panjang serta melahirkan perang dingin antara Indonesia, Amerika Serikat, dan Belanda atas Papua Barat. Sangketa Papua Barat setelah kemerdekaan Papua Barat di revolusikan Pada 01 Desember 1961. Penilaian Indonesia atas Papua Barat adalah wilayah Papua Barat merupakan sangketa wilayah-nya sedangkan pemerintah Belanda beragapan bahwa rakyat Papua Barat bukan penduduknya Indonesia dan Belanda yang akan menentukan massa depan Rakyat Papua Barat hingga pengakuan ke PBB untuk sebuah bangsa untuk Papua Barat. Dari resolusi Majelis Umum 1752 tentang Papua Barat adalah untuk kepentingan rakyat Papua Barat dan mengatur wilayah tersebut sertakan bukan  untuk di aneksasi. Dalam Tahun 1962 Hubungan Luar Negri, 1962-1963 Vol XXIII, Asia tenggara merilis bahwa Perjanjian itu hampir merupakan kemenangan total bagi Indonesia dan kekalahan bagi Belanda, bahwa Biro Urusan Eropa Amerika Serikat bersimpati pada pandangan Belanda bahwa “Aneksasi oleh Indonesia akan dengan mudah memperdagangkan kulit putih untuk kolonialisme coklat” dan Alasan mendasar bahwa pemerintah Kennedy  menekan belanda untuk menerima perjanjian ini adalah bahwa mereka percaya bahwa pertimbangan perang dingin untuk mencegah Indonesia dari Komunis pergi mengalahkan kasus Belanda”. 
Tentang persoalan  Papua Barat sebelum perang dunia II telah saling kotradiksikan antara Indonesia dan Belanda sekitar tahun 1920-an untuk memindahkan rakyat Indonesia di tanah Papua Barat. Namun, Belanda tidak mengizinkan hak tersebut karena Belanda menganggap bahwa Indonesia adalah bagian dari koloni Belanda. Dan selama rentang waktu tersebut, Indonesia bangkit dalam gerakan nasionalismenya tahun 1945 dan menentukan nasib sendiri Indonesia. Lalu, Belanda membutuhkan waktu untuk negosisai dalam menentukan status Papua Barat bersama Indonesia, lahirnya Perjanjian Linggadjati tentang perdebatan Papua Barat pun terjadi antara kedua pihak pada 15 November 1946. Konfrensi Meja Bundar antara Belanda-Indonesia tahun 1949 kedua pihak  membahas juga soal Papua Barat. Namun dari Perjanjian Linggarjati dan Konfrensi Meja Budara status Papua Barat masih tidak ada akhirnya. Indonesia mendapatkan dukungan dari Internasional untuk Negosiasi bersama Belanda, akan tetapi Belanda bersih keras untuk wilayah Papua Barat tetap bagian dari kekuasaannya sehingga pada 1956 Belanda mengamandemenkan konstitusi bahwa Papua Barat bagian dari Kerajaan Belanda. Dari perjuangan Belanda untuk Papua Barat di masukan kedalam kerajaan Belanda berakhir dengan perjajian-perjanjian yang di sebut dengan perjanjian New York Agreement dan Perjanjian Roma Agreement untuk menyelesaikan konflik Papua Barat tahaun 1962. Dari Perjanjian tersebut sebagai implementasinya Belanda mentransfer administrasi Papua Barat secara otoritas sementara ke Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UNTEA yang di bentuk 01 Oktober 1962. Dan sementara UNTEA di Papua Barat di pimpin oleh Jose Rolz-Bennet dari Guatemala mulai dari 01 Oktober hingga 15 November 1962 dan Djalal  Abdoh dari Iran menjabat sebagai administrator serta memimpin dari 15 November 1962 hingga 01 Mei 1963 mengibarkan Bendera Papua Barat dan Bendera PBB di wilayah Papua Barat secara berdampingan. Dan tepat pada 01 Mei 1963 Indonesia menerima Tranfer Papua Barat ke Indonesia dengan jaminan penuh oleh UNTEA bahwa Indonesia harus memberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri untuk Papua Barat dengan sesuai keinginan rakyat Papua Barat dalam penentuan nasib sendiri dari setiap laki-laki dan prempuan tanpa kecuali untuk hak penentuan itu sendiri.  Selama UNTEA meninggalkan Papua Barat  dan menurunkan Bendera Bintang Kejora di ganti dengan Bendera Merah Putih Indoneia dalam bulan Mei 1963; saat itilah mobilisasi militer Indonesia di Papua Barat dengan mendekatkan garakan intimidasi, rasisme, dan beragam operasi militer yang dilakukan atas bumi Papua Barat. Akhir dari UNTEA di Papua Barat Indonesia telah menyediakan politik kolonialnya bahwa pada tahun 1963 system kolonial Indonesia telah menyediakan Gubernur Kolonial Pemerintah Indonesia di tanah Papua Barat yang pertama di Pimpin oleh Elizer Bonay yang di lantik oleh Presiden Ir. Soekarno pada 04 Mei 1963 di Jayapura. Kondisi kekuasan kolonial Indonesia di tanah Papua Barat memulai pengesaran rakyat Papua Barat, mengakibatkan pengungsian ke wilayah PNG secara jumlah besar.  

Memecahkan Masalah dari Aneksasi

Sejarah Indonesai dan Sejarah Papua Barat sangat berbeda secara konteks perjuangan kedua bangsa. Indonesia dengan kekuatan militer dan intervensi bangsa Papua Barat tanpa memandang hak sipil atau kemauaan rakyat Papua Barat, apakah rakyat Papua Barat layak bergabung ataukah rakyat Papua Barat tidak layak bergabung dalam bingkai NKRI?. Selama Tuntutan yang di berikan oleh UNTEA kepada Indonesia tidak sama sekali menjalankan Hak Hukum Internasional; Indonesia tidak serius mempertanggungjawabkan, mengabdikan sesuai prosedur dalam perjanjian New York Agreement dan Roma Agreement.  Dari Konteks tersebut dan dengan System Indonesia mengambil gaya mereka sendiri, bahkan UNTEA atau PBB juga tidak bertanggungjawab atas hak sipil, Hak Penentuan Nasib sendiri sesuai jalur Internasional yang telah di sepakati namun semuanya hanya membohongi masyarakat. Indonesai mempunyai peradaban sendiri dan rakyat Papua Barat juga mempunyai perdaban tersendiri; di atara itu, Indonesia mampun menunjukan esensinya kolonialisme dengan cara sangat pasif melalui beragam Proses Operasi militer yang di gencarkan dari sejak bangsa Papua Barat di Aneksasi. Seketika Indonesia beragapan bahwa Pemerintah yang di tanamkan di Papua Barat merupakan proses yang telah menang; Namun itu, tidak adil bagi rakyat Papua Barat dalam bingkai NKRI adalah slogan sementara yang terus menerus di kembangkan, dari proses yang di jalankan oleh system Indonesia di tanah Papua Barat merupakan kolonialisme gaya lama dan Neo Kolonialisme dengan gaya baru Indonesia di Tanah Papua Barat. Dalam penjajahan gaya lama tahun 1960-an oleh seorang Jedral. Ali Murtopo, pada tahun 1966 mengatakan bahwa “Kalau Orang Papua ingin merdeka, silahkan cari pulau lan di Pasifik untuk merdeka. Atau meminta orang Amerika Serikat agar menyediakan tempat di Bulan bagi orang-orang Papua menempati di sana” dan ini adalah system kolonialisme Indonesia terhadap suku bangsa Papua Barat yang mendiami di bumi cendrawasih. Anggapan saja bahwa System Indonesia tidak menginginkan rakyat Papua Barat namun menginginkan Pulau atau tanah Papua Barat untuk system kolonialisme Indonesia. Dan Ada pun gaya baru dalam era neo kolonialisme Indonesia atas Papua Barat Jedral. Luhut Binsar Pandjaitan pada 19 Febluary 2016 mengatakan bahwa “Sudah sana Pergi ke Melanesia saja, tidak usa tinggal di Indonesia Lagi”. Para komprador Indonesia inilah membungkam seluruh seluk-beluk secara demokratsi bagi rakyat Papua Barat.  Dan pada 29 Janurai 2019 seorang wakil President Yusuf Kala melalui media CNN mengatakan bahwa “Jika dialog dan diplomasi gagal di Papau, yaa senjata yang berbicara”.  Dari cara kolonial bekerja di tanah Papua Barat menjadi sebuah konsep yang sangat bertentangan dan melahirkan beragam ingatan yang tidak akan pernah di lupakan dari setiap kekejaman melalui perkataan atau rasisme mapuan parxis yang di lakukan oleh system Indonesia atas Papua Barat sejak bangsa Papua Barat di aneksasi hingga kini. 

Indonesia mempunyai sikap keharusan bahwa “Mengindonesiakan Rakyat Papua Barat atau Memutihkan rakyat Papua Barat” dalam Tirto.Id pun di bahsa dan tidak terlupakan pernyatan seperti ini pernah di bahas dalam forum Asia Tenggara Tahun 1962. Dalam catatan tersebut merilis bahwa “apa bila bangsa Papua Barat merdeka maka mereka akan mengkoloni rakyat Indonesia menjadi budaknya negara Papua Barat”. Inilah konsep mereka kembangkan sejak itu. Sesungguhnya, Aspek ini merupakan rasisme atau Genocide yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan cara halusnya maupun Asia tengara yang rasisme. Rangkaian dari ini, Indonesia atas Papua Barat juga di lihat dari kepentingan ekonomi politiknya Indonesia yang terus melakukan beragam eksploitasi terhadap kehidupan rakyat Papua Barat. Maka, mencapai dan menyelesaikan Masalah Aneksasi tersebut adalah System Indonesia dan PBB segera memberikan hak penentuan nasib sendiri sesuai kemauan rakyat Papua Barat dan untuk mengentikan Genocide yang di jalankan oleh Indonesia di atas tanah Papua Barat. 

Nama Operasi Militer Tahun 1961-1963

1. Operasi Trikora, 19 Desember 1961
2. Operasi Wisnu Murti I dan II Tahun 1963-1964
3. Operasi Khusus Pemenangan Pepera Tahun 1961-1965

4. Operasi Sorong Tahun 1962
Tujuan dari Operasi ini untuk melakukan penyerangan terhadap masyarakat 
5. Operasi Sandi: Jayawijaya
Operasi militer dengan sadi  Jayawijaya targetan untuk menguasai Pulau Biak dan Jayapura tahaun 1962. 
6. Operasi di Biak
Operasi ini di lakukan di Biak Tahun 1962, karena Biak merupakan kota awal masuknya Belanda.  

Gugatan dan Penutup  

Hari 01 Mei 1963 merupakan hari Aneksasi Bangsa Papua Barat dan bagi Indonesia adalah Hari Integrasi. Ini merupakan gejolak sejarah yang sangat panjang; namun system Indonesia harus mengetahui bahwa rakyat Papua Barat menyatakan bahwa 01 Mei 1963 adalah Aneksasi yang memanipulasi sejarah gerakan Papua Barat hingga saat ini yang ke 56 Tahun, rakyat Papua Barat terus memperjuangkan Hak Penentuan Nasib Sendiri yang di bungkam dan di manipulasi melalui system Indonesia yang sedang tidak demokratis bagi bangsa Papua Barat. Melihat dari sejarah Gerakan ini, bahwa hari Aneksasi bagi bangsa Papua Barat adalah Nasionalisme kejam oleh system kolonialisme Indonesia terhadap rakyat Papua Barat. Jalan terbaik dari sebuah Hak Penentuan Nasib sendiri segera PBB, Indonesia, Amerika Serikat , Belanda mengakui kesalahan dalam Aneksasai bangsa Papua Barat ke dalam NKRI yang sangat manipulatif dan tidak manusiawai itu. Maka, System Indonesia perlu menghargai hak demokratis untuk Papua Barat dalam merdeka bagi Rakyat Papua Barat sendiri sebagai solusi demokratis dan biar kedepan bangsa Indonesia sejahtera di Negrinya sendiri.

Sumber:

Saltford, John (2003). Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Pengambilalihan Indonesia ke Papua Barat, 1962-1969 . Pers Psikologi . hlm. 172, 181–183
960, Indonesia, Volume XVII; 203. Pengiriman Dari Kedutaan Besar di Indonesia ke Departemen Luar Negeri
Piagam PBB pasal 103.
Hubungan Luar Negeri, 1961-63, Vol XXIII, Asia Tenggara" . Seri Hubungan Luar Negeri .Departemen Luar Negeri Amerika Serikat .
Penders, Christian Lambert Maria (2002).Bencana Nugini Barat: Dekolonisasi Belanda dan Indonesia: 1945-1962 . University of Hawaii Press .hlm. 49–68.
 Bone, Robert C. (2009). Dinamika Masalah Papua Barat . Penerbitan Equinox . hlm. 135–153.

://id.m.wikipedia.org/wiki/Papua_Nugini
https://m.facebook.com/notes/leonie-tanggahma/apa-yang-terjadi-pada-tanggal-1-mei-1963-mengapa-papua-menyebutkanya-hari-aneksa/381221278582792/
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Otoritas_Eksekutif_Sementara_Perserikatan_Bangsa-Bangsa
https://web.archive.org/web/20090204085815/http://destiga.com/index.php%3Foption%3Dcom_content%26task%3Dview%26id%3D49%26catid%3D37&xid=17259,15700023,15700186,15700190,15700253,15700256,15700259&usg=ALkJrhhkTmXxv5IQQha8pFw0BPceHq0Zdg
http://webdiary.com.au/cms/?q=node/1458
https://suarapapua.com/2017/09/09/kronologi-papua-1960-1969-ketika-hak-hak-politik-bangsa-papua-diberangus/
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190129151952-20-364758/referendum-papua-jk-sebut-senjata-bicara-jika-dialog-gagal
https://tirto.id/memutihkan-orang-papua-cmPk
https://tirto.id/mengapa-sekutu-memilih-hiroshima-nagasaki-untuk-dibom-cucQ

Photo oleh Bantuan Hukum di Bali, saat di lokasi kejadian 15 April 2019
Represifitas, Rasisme dan Pembungkaman Ruang Demokrasi Terhadap Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali oleh Kepolisian, Intel dan ormas bayaran.

Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] mengencam atas ruang pembungkaman yang di lakukan oleh kepolisian saat melakukan aksi demo damai yang bersyarat izin tersebut dan pihak kepolisian telah melakukan atau mengiring berita hoax mengenai aksi yang di lakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali pada 15 April 2019. Dan dengan klarifikasi penyebaran berita hoaks mengenai mengajak golput bersama masyarakat Bali adalah kebohongan Publik; Namun, Aksi dari Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali adalah sesuai prinsip dan arahan dari keputusan Aliansi Mahasiswa Papua Pusat sesuai tuntutan yang telah di buat secara agenda Nasional. Sehingga, Aliansi Mahasiswa Papua mengencam kepada pihak kepolisian porlesta Denpasar dan Porles Dentim (denpasar Timur) atas kelakukan pemukulan, pengoroyokan, tendangan, penangkapan, pembubaran paksa, dan pihak kepolisian telah merobek poster-poster aksi, satu TOA di ambil, Satu Bendera AMP di ambil, tali komando di putus-putuskan, Noken di tarik, pakaian di tarik; bahkan 7 orang massa aksi mendapatkan pendaraan dan bercak pukulan di tubuh. Dengan melihat itu, kronologis aksi selengkapnya sebagai berikut:

Pada hari Senin, 15 April 2019 Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali melakukan aksi demo damai dengan tuntutan isu “Golput 2019 dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua sebagai Solusi Demokratis”. Aksi Massa yang hadir 29 orang. Sebelum tiga hari surat pemberitahuan aksi telah di masukan ke Porlesta Denpasar Bali dan Porles Dentim (Denpasar Timur) serta surat tanda terima dengan titik kumpul Perkiran Timur Renon Denpasar Bali dan titik aksi Jl. Bundaran Hayam Wuruk Denpasar dan durasi waktu aksi pukul 10:00 WITA s/d Selesai.

Massa aksi berkumpul di titik kumpul pada Pukul 10:00 WITA dan melakukan Long March ke Titik aksi Jl. Bundaran Hayam Wuruk sambil berorasi oleh korlap (koordinator lapangan aksi) hingga pada titik aksi. Mulai dari titik kumpul ke titik aksi durasi waktu 10:00-10:18 WITA dan di hadang oleh polisi, intel, ormas bayaran sebelum 15 meter dari tempat tujuan atau titik aksi di Jl. Bundaran Hayam Wuruk.

Massa aksi yang di hadang tidak di berikan waktu ruang untuk negosiasi sama pihak berwajib dari Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali sehingga represifitas langsung di lakukan oleh pihak  kepolisian, intel, ormas bayaran. Bahkan, ruang orasi sangat dibungkam, di tutupi secara paksa seketika aksi berlanjut.

Represif itu berlangsung salam 15 Menit dari pukul 10:20 WITA  hingga 10:37 WITA. Selama represif dari kepolisian dengan jumlah massa yang melebihi massa aksi demo damai. Ada pun massa aksi mendapatkan kekerasan fisik oleh kepolisian, intel, Ormas bayaran seperti melakukan tendangan, pemukulan, penarikan, pengoroyokan, di tahan kaki dan tangan diseret ke dalam mobil truk Dalmas, poster-poster di robek, spanduk poster di robek, dan bendera AMP di ambil, satu TOA  di Mabil sepatu, sendel dan tali komando di putus-putus dan 7 (tujuh) orang menjadi korban pemukulan hingga darah dan benjolan. Selama  represif berjalan massa aksi sudah di naikan ke mobil truk dalmas dan sebagian di seret di naikan secara paksa sambil melakukan kekerasan.

Sekitar pukul 10: 40 WITA hingga 11: 05 WITA Massa aksi di angkut oleh kepolisian dengan mobil Truk Dalmas menuju ke Porlesta Denpasar Bali dengan pengamanan ketak, ada pun dalam mobil truk Dalmas berisi empat orang polisi, dan mobil dua dalmas kecil di depan serta di belakangan saling mengikuti serta motor polisi, intel dan Ormas menuju ke Porlesta dengan jumlah yang banyak. Satu mobil truk dalmas juga mengikuti hingga ke Porlesta Denpasar Bali.

Pada saat di porlesta kepolisian menurunkan di depan kantor Porlesta dan saling menegosiasi bersama negesiator Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali dan penanggungjawab aksi Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali bersama kepala Kaporles Bali. Hasil dari negosiasi itu, menyepakati untuk introgasikan massa aksi yang hadir dengan dua orang di wakili dari massa aksi sebagai introgasi oleh Kasat Intelkam Porlesta Denpasar dan di bantu oleh Lembaga Bantuan Hukum Bali (LBH Bali) sebagai bantuan hukum untuk Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali. Hasil Introgasi dua orang tersebut mulai dari pukul 11:40 WITA hingga sampai 14:50 WITA sebagai memberikan data soal introgasi tersebut dan Lembaga Bantuan Hukum Juga memberikan introgasinya atau data sebagai bantuan hukum. Kasat Intelkam mengambil data tentang aksi yang di lakukan dan selama introgasi menawar makanan, minuman untuk membungkam hak aspirasi massa aksi serta seolah-olah kepolisian menjadi pihak baik tetapi sangat represif dari kemanusiaan yang seutuhnya dalam pembungkaman ruang demokratis bagi mahasiswa West Papua. Apa Lagi, membiarkan pelakunya yang memukul, menyeret, menendang, mendorong, membiarkan begitu tanpa melihat hukum dalam militernya dan hukum dari UUD negara itu sendiri.

Setelah selesai Introgasi dari Kasat Intelkam Porlesta Denpasar memberikan arahan terakhir atau pertanyaan untuk introgasi tersendiri atau di muka umum bersama massa aksi yang menunggu di depan kantor kaporlesta? dua pilihan ini di berikan terhadap dua introgasi tersebut untuk melihat itu, akhirnya memilih untuk arahan bersama massa aksi yang lagi menunggu. Lalu, Kepala Porlesta Denpasar  memberikan arahan dan di pulang dengan dua unit mobil truk Dalmas menuju pada titik kumpul aksi di Parkiran Timur Renon sesuai permintaan massa aksi. Satu mobil truk Dalmas mengangkut massa aksi 29 orang tersebut dan yang satunya mengunakan mengangkut polisi hingga pada tujuan di titik kumpul. Dari introgasi dan di turunkan ke titik kumpul tepat pada pukul 15: 39 WITA serta massa aksi membubarkan diri melakukan aktivitas masing-masing.

Melihat dari rangkain di atas bahwa Negara dan militernya Indonesia terus membungkan setiap ruang pengerakan Aliansi Mahasiswa Papua dan kalangan luas sehingga pembungakam, dekriminasi, rasisme, dan represif serta beragam kekerasan terus militer menjadi alat pembungkaman mengamankan aktivitas eksploitasi dan produksi kapitalis birokrat, serta menjalankan agendanya Imperialisme yang sangat membungkam setiap hak kebebasan berekspresi, berpendapat, dan kebebasan  hidup pun di batasi oleh para apratus yang terus mengisap kehidupan rakyat, terutama mahasiswa West Papua dan rakyat pada umumnya. Dengan itu, Aliansi Mahasiswa Papua menykapi dan menuntut kepada system Negara Indonesia dan Militernya TNI-PORLI segera:

1. Hentikan Kriminalisasi dan pembungkaman ruang demokrasi terhadap mahasiswa West Papua di Bali .
2. KAPOLDA BALI, Segera Mencopot para pemukulan, penendangan, pengoroyokan, dan yang membubarkan massa aksi. 
3. Kepolisian Bali terutama Polda, Porlesta, dan Porles hentikan penyebaran hoaks terhadap massa luas mengiring informasi yang tidak jelas
4. Negara dan Pemerintah Provinsi Bali Segera mencopot Kapolda Bali dan Jajarannya karena melakukan repersifitas
5. Berikan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum bagi mahasiswa Papua di Bali
6. Mengencam tindakan yang menutup ruang demokrasi sesuai UUD No 08 Tahun 1998
7. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus menjamin kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi dan menyampaikan pendapat secara umum khususnya Mahasiswa Papua di Bali.

Pernyataan ini kami buat untuk di advokasi oleh Para penegak Hukum dan membuka ruang publik dalam mengemukankan pendapat secara sebebas-bebasan-nya untuk hak setiap manusia di muka bumi.

Mengetahui
Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua
Medang Juang, 16 April 2019

Photo Saat Aksi demo damai di Kota Ambon, 12 April 2019
Salam Pembebasan Nasional Papua Barat 

Pada hari Jumat, 12 April 2019 Aliansi Mahasiswa Papua [AMP]  Komite Kota Ambon dan PEMBEBASAN Serta Individu Pro Demokrasi melakukan aksi demo dami di Ambon melalui Komite Boikot Pemilu 2019 dan Membacakan Pernyataan Sikap bersama terkait Boikot untuk Pemilu 2019, Represifitas terhadap AMP Komite Kota Malang 07 April 2019, dan beberapa tuntutan Lainnya , yang termasuk Berikan Hak Penentuan Nasib Senidri Bagi Bangsa West Papua.

Pernyataan Sikap

Pemilu 2019 semakin dekat. Rakyat kembali dihadapkan pada pilihan yang tak ada bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya: tak ada yang memiliki program-program yang mampu menjawab tuntutan rakyat atas permasalahan demokrasi dan kesejahteraan, miskin rekam jejak dalam membela kepentingan rakyat. Sama sekali tak ada hal yang baru.

Sejak Pemilu tahun 1999, partisipasi rakyat pemilih terus menurun. Pada tahun 1999, partisipasi rakyat mencapai 92,6%, menurun menjadi 84,1% di Pileg 2004, turun lagi menjadi 78,2% di Pilpres 2004 Putaran I, turun lagi di 76,6% di Pilpres 2004 Putaran II, pada Pilpres 2009 turun lagi di 71,7%, dan mencapai angka 70,9% di Pilpres 2014. Penurunan-penurunan tersebut--meskipun sebagian merupakan andil dari kekacauan administratif penyelenggara--merupakan sinyal bahwa semakin banyak rakyat yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu (golput). Dari tahun ke tahun, ada lebih banyak rakyat yang tak percaya, kecewa, atau bahkan muak terhadap sistem politik di negara ini.

Golput adalah pilihan yang paling masuk akal. Dan itu menjadi sikap kami dalam Pemilu 2019 ini.
Kami menyarankan agar rakyat tidak memilih partai dan calon-calon legislatif yang korup, partai yang menipu rakyat, yang satu barisan dengan para pelanggar HAM, yang anti kebebasan berpikir, berkumpul, berkeyakinan dan berpendapat, yang tidak memecah-belah rakyat dengan memainkan sentimen agama, yang tidak rasis, yang tidak dikendalikan militer, dan yang tidak dekat dengan kepentingan kapital.

Apakah ada yang demikian? Jawabnya: tidak.

Pelibatan militer terus meningkat terutama selama masa pemerintahan Jokowi. Yang terakhir wacana pelibatan militer aktif dalam kementrian negara "sebagai implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI)".

Dalam konteks Pilpres 2019, ada borjuasi dengan kekuatan kapital yang besar serta militer dan sisa-sisa Orde Baru yang terlibat dalam tim pemenangan baik di kubu Jokowi maupun Prabowo. Aburizal Bakrie, Moeldoko, Wiranto, Luhut Binsar Pandjaitan, Ryamizard Ryacudu, Chairul Tanjung, Eric Thohir, Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Riza Chalid, Djoko Santso, Widjojo Seojono, dan lain-lain dan seterusnya. Belum lagi dukungan dari ormas-ormas reaksioner terhadap para calon. Pelibatan militer dan sisa Orde Baru di kedua kubu cukup menunjukkan bahwa siapa pun yang terpilih nanti tak akan ada yang serius mengadang militer dalam berpolitik. Keterlibatan konglomerat juga menjadi tanda akan keberpihakan kedua kubu pada kepentingan borjuasi, bukan pada kepentingan rakyat pekerja.

Deretan hal tersebut memperkuat alasan mengapa kami memilih untuk tidak memilih. Memilih salah satu berarti mendukung masuknya militer dalam kehidupan sipil dan mendukung penindasan sistematis terhadap rakyat pekerja.

Dalam permasalahan HAM, keduanya segendang sepenarian. Diskriminasi dan kriminalisasi kelompok minoritas dan aktivis, penyitaan buku, pembubaran kegiatan terus berjalan sepanjang pemerintahan Jokowi. Juga tak ada kemajuan dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Permasalahan yang terjadi di Papua juga tak bisa dihiraukan. Puluhan-bahkan ratusan ribu rakyat Papua dibunuh, disiksa, ditangkap, diperkosa, dipenjara tanpa ada proses hukum yang jelas.
Deretan hal tersebut memperkuat alasan mengapa kami memilih untuk tidak memilih. Memilih salah satu tak akan menghentikan pelanggaran HAM dan tak akan berdampak positif terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.

“Pesta demokrasi” ala borjuasi ini bukanlah pesta demokrasi untuk rakyat.

Terakhir, memilih untuk tidak memilih hanyalah awal. Selanjutnya adalah menciptakan panggung-panggung tempat rakyat dapat berkumpul, berdiskusi, dan bicara tentang tuntutan-tuntutan mereka sendiri. Persoalan rakyat hanya akan selesai bila rakyat sendiri yang berkumpul bergerak, membangun kekuatan politik alternatif (tanpa melibatkan unsur reaksioner) untuk menciptakan jalan keluar bagi permasalahan-permasalah rakyat.

Dengan ini, Kami Komite Boikot Pemilu 2019 yg di dalamnya tergabung organisasi: Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) kota Ambon dan Individu pro demokrasi menyatakan sikap dan menyerukan:

1. Golput dalam Pemilu 2019.

2. Lawan militerisme.

3. Mengecam Tindakan Aparat Terhadap aktivis FRI-WP dan AMP kota Malang.

4. Tutup PT. FreePort dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua.

5. Bebaskan kawan kami Hisbun Payu (Is).

6. Hentikan Pembungkaman Ruang Demokrasi dan Kriminalisasi Aktivis yang berekspresi yang menyampaikan pendapat di muka umum.

7. Bangun kekuatan politik alternatif.

Hidup Rakyat!

Medan Juang, 12  April    2019


Aksi Bersama 
Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua 
        [FRI-WP] _____________________________________________________________________________

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!

TUTUP FREEPORT, GOLPUT PEMILU 2019 DAN BERIKAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI SEBAGAI SOLUSI DEMOKRATIS BAGI BANGSA WEST PAPUA

Salam Solidaritas!

Freeport Indonesia telah lama menjadi malapetaka bagi bangsa West Papua. Kehadiran Freeport-McMoRan di tanah West Papua tak bisa dipisahkan dengan kehadiran pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan kerusakan lingkungan di tanah West Papua. Pemerintah kolonial Indonesia juga ikut andil dalam malapetaka yang diderita bangsa West Papua.

Freeport Indonesia yang beroperasi sejak 1967 (52 tahun) merupakan wujud nyata dari imperialisme, untuk melipatgandakan keuntungan kapitalis Internasional dengan mengeksploitasi sumber daya alam di West Papua. Dalam sejarahnya, demi pengamanan proses penanaman modal, operasi-operasi militer Indonesia digelar di tanah West Papua. Setelah Operasi Trikora pada 19 Desember 1961, ada beragam operasi militer seperti Operasi Banten Kedaton, OperasiPenyisiran, Operasi Koteka, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Jayawijaya, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu, Operasi Sadar. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Force, Operasi Cakra, Operasi Wisnumurti, Operasi Brathayudha, Operasi Wibawa, , Operasi Garuda dan Operasi Lumba-lumba, Operasi Mapiduma, Operasi Penangnan Pepera, Operasi Koteka, Operasi Senyum, Operasi Gagak, Operasi Kasuari,  dan Operasi Khusus. Nyaris semuanya dilakukan demi penguasaan wilayah West Papua. Demi kenyamanan dan keamanan proses penanaman modal belaka, serta kolonisasi West Papua.

Pada tahun 2000, ELSHAM Papua membuat laporan tentang kekerasan aparat keamanan yang terjadi di berbagai wilayah di West Papua. Di Paniai, tercatat 614 orang meninggal, 13 orang hilang, 94 orang diperkosa. Di Biak, 102 orang meninggal, 3 orang hilang, 37 orang dianiaya, 150 orang ditahan. Di Wamena, 475 orang meninggal. Di Sorong, 60 orang meninggal, 5 orang hilang, dan 7 orang korban pemerkosaan. Di Jayawijaya, 137 orang meninggal, 2 orang hilang, 10 orang menjadi korban pemerkosaan, 3 orang menjadi korban penganiayaan. Belum lagi pembakaran rumah ibadah, kampung, rumah, alat-alat adat istihadat. Itu pun belum termasuk wilayah-wilayah lainnya, yang belum terdata dengan baik mulai dari 01 Mei 1963 Rakyat West Papua di aneksasi hingga saat ini.

Selain terhadap kekerasan terhadap kemanusiaan, Freeport Indonesia juga berperan besar pada kerusakan alam West Papua. Puluhan ribu ha hutan telah diubah menjadi hutan mati. Peluapan sungai akibat endapan limbah yang masuk dalam kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya). Limbah tailing yang dibuang ke Sungai Ajkwa, salah satu sungai di antara lima sungai lain di Mimika. Masih ada sungai-sungai lain seperti Sungai Aghawagon, Sungai Otomona, Sungai Minjerwi, Sungai Aimoe, dan Sungai Tipuka. Freeport Indonesia telah mengkontaminasi perairan dengan cairan asam berbahaya bagi kehidupan akuatik dan terancam bagi rakyat setempat.

Freeport Indonesia, imperialisme Amerika Serikat dan kolonialisme serta militerisme Indonesia di West Papua merupakan kesatuan yang berperan besar terhadap rangkaian penindasan yang tersistematis di West Papua. Negara digunakan sebagai alat kelompok pemodal yang sedang berkuasa untuk melegalkan penindasan di bumi Papua. Kontrak karya pertama PT Freeport dan Indonesia dilakukan pada tahun 1967, sementara Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dilakukan pada tahun 1969, itu pun dengan praktik yang manipulatif serta tidak demokratis. Ini merupakan sebuah cerminan dari kolaborasi antara kapitalisme, kolonialisme dan militerisme yang diaplikasikan melalui praktik politik penggabungan paksa (aneksasi) West Papua ke dalam bingkai Republik Indonesia tanpa memberikan kebebasan bagi Rakyat West Papua untuk menentukan nasib sendiri.

Apa lagi Pemilu 2019 Indonesia, terus agenda kolonisasi untuk melakukan ekonomi politiknya ke kancah Internasional dalam menjual tanah West Papua tanpa melihat rakyat asli West Papua dan beberapa kali, Indonesia telah melakukan Pemilu sejak Orde baru hingga saat ini.

Kondisi hari ini, Pemilu 2019 kolonial Indonesia akan dilakukan di seluruh daerah secara serentak pada 17 April 2019 mendatang, yang mana adalah salah satu agenda kolonial di tanah West Papua untuk membungkam proses perjuangan gerakan rakyat West Papua dalam perjuangan kemerdekaan, serta meloloskan agenda kolonial dan kapitalis Internasional menyangkut Freeport. Media-media Indonesia memberitakan pemerintah akan mengerahkan aparat sebanyak 3.000 – 15.000 untuk mengamankan Pemilu di West Papua. Proses pengamanan Pemilu 2019 Indonesia di tanah West Papua juga merupakan bagian dari operasi militer yang akan di lakukan di beberapa tempat terutama di Nduga. Melalui militernya, pemerintah Indonesia terus melakukan kolonisasi, juga dengan cara melakukan pembungkaman, penindasan, penembakan, pemboman, penyisiran, pemerkorsaan, penangkapan, pemenjarahan dan beragam penindasan terhadap rakyat West Papua. Pemerintah Indonesia juga berusaha membungkam pergerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat [TPNPB] dengan menyebut mereka dengan sebutan KKB, KKBS, separatis, dan tak mau mengakui sebagai tentara pembebasan. Perjuangan sipil untuk menuntut Hak Penentuan Nasib sendiri juga diangggap sebagai separatis hingga saat ini; termasuk pembungkaman ruang demokrasi mahasiswa, perempuan, buruh, tani, nelayan, mama-mama pasar Papua dan lain-lain.

Keberadaan Freeport dan Pemilu 2019 kolonial Indonesia tidak membawa apa pun bagi rakyat West Papua kecuali petaka.

Maka dari itu, kami Front Rakyat Indonesia untuk West Papua [FRI-West Papua], bersama Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menuntut serta mengambil sikap dan menyatakan sikap:
1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Solusi Demokratik Bagi Bangsa West Papua
2. Tidak mengikuti Pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum 2019
3. Hentikan Pemilu 2019 seluruh Tanah West Papua
4. Usir dan Tutup Freeport
5. Audit kekayaan freeport serta berikan pesagon untuk buruh
6. Audit cadangan tambang dan kerusakan lingkungan
7. Tarik TNI-Polri organik dan non-organik dari tanah West Papua
8. Hentikan rekayasa konflik seluruh tanah West Papua
9. Buka Akses jurnalis dan Informasi untuk West Papua
10. Usut, tangkap, adili dan penjarakan pelanggaran HAM selama keberadaan Freeport  Mc Moran di West Papua

Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!
Medan Juang, 06 April  2019

Ils. gambar oleh Koran Kejora

Karya, A. Helena Kobogau

Perjuangan itu bukan hanya sebuah khayalan,
perjuangan itu bukan hanya sebuah rutinitas,
perjuangan itu bukan hanya sebuah warisan,
perjuangan itu bukanlah hanya sebuah masa lalu.

perjuangan itu bukan hanya berpengetahuan tinggi,
perjuangan itu bukan hanya berteori,
perjuangan itu bukan hanya duduk berpikir dan berdiskusi,
perjuangan itu bukan hanya dengan menulis dalam sebuah lembaran kertas putih dengan tinta sebuah pena.

perjuangan itu bukan hanya kata-kata yang diucapkan,
perjuangan itu bukan dengan berteriak dijalan dengan hanya memegang meghapon,
perjuangan itu bukan hanya bermilitansi,
perjuangan itu bukan hanya sebuah hiasan didinding sebuah rumah,
perjuangan itu bukan hanya berlutut dan memohon pada yang Kuasa.

perjuangan itu bukan hanya berbuat baik,
perjuangan itu bukan hanya dengan siapa kita berteman,
perjuangan itu bukan hanya berbagi kepada orang lain,
perjuangan itu bukan hanya menilai dari satu sisi saja,
perjuaangan itu bukan hanya melihat derita dan tangisan.

perjuangan itu bukan bukan sebuah fisik namun sebuah eksperiment dari perpaduan antara jiwa dan fisik dengan membentuk sebuah pola pemahaman yang sejati akan perjuangan itu sendiri.
Perjuangan itu adalah urat nadi dan nafas dalam setiap aktifitas.
Perjuangan itu tidak memandang usia dan batas waktu.

Perjuangan itu merupakan satu kesatuan dari kelompok-kelompok manusia.
Perjuangan itu adalah dengan mengerjakan hal-hal paling kecil dengan tekun dan penuh tanggung jawab.
Perjuangan itu tidak ada yang namanya perbedaan antara klas-klas dalam suatu tatanan masyarakat.
Perjuangan itu baru akan dimulai ketika ego pribadi itu dikalahkan dalam diri individu itu sendiri.
Perjuangan itu bukan hanya melihat sesuatu yang besar [diatas], namun merendahkan diri antara satu dengan yang lain.
Perjuangan itu adalah dengan menjadi seorang yang siap sedia dalam hal apapun untuk membuat revolusi-revolusi dalam kalangan masyarakat tertindas.

Perjuangan itu hanya dapat dimulai dari diri sendiri dengan dipupuk oleh kesadaran melihat sebuah  realitas, berpikir kristis, dan bertindak produktif dalam siklus kehidupan yang proaktif.
Perjuangan itu juga merupakan senjata perlawanan paling ampuh yang harus kita siapkan untuk melawan musuh leluhur moyang kita.

Perjuangan itu dengan mempertahankan harga diri serta identitas secara terhormat.
Perjuangan itu merupakan bunga-bungan cinta dalam kerja-kerja revolusi.
Perjuangan itu adalah harkat derajat dan martabat suatu masyarakat dijunjung tinggi.
Perjuangan itu merupakan sebuah seni dalam budaya leluhur yang harus dipertahankan.
Perjuangan itu merupakan lestarinya alam dan bumi sebagai pijakkan kaki yang terindah.

Perjuangan itu merupakan darah dan tulang yang menggerakkan tubuh dan jiwa untuk dapat memaknai sesungguhnya arti dari perjuangan itu sendiri.
Perjuangan itu adalah menciptakan satu kesatuan dalam kehidupan yang bedah.
Perjuangan itu dapat mempersatuhkan keunikan dari suku-suku budaya dan bahasa yang beragam.
Perjuangan itu merupakan tindakan nyata yang harus diwujud nyatakan dalam “PERSATUAN PEMBEBASAN NASIONAL PAPUA BARAT” sebagai perjuangan yang Sejati, Luhur dan Mulia, serta Nan Abadi Selamanya.

Photo saat aksi protes menolak RCEP di Nusa Dua Bali, 27 Feb 2019
Persoalan golobalisasi dan penguasaan kolonialisme sangat erat menguasai seluruh pelosok tanah Papua Barat terutama merampas tanah air suku bangsa minoritas melalui kolonialistik yang sangat mengarap melalui eksploitasi kapital dalam program-program yang tidak asumsi kepada kelas suku bangsa minoritas. Kondisi kekuasaan, oleh globalisasi tidak terlepas dari imperialisme yang terus menguras dan mencakupi lingkungan masyarakat melalui membuka sektor-sektor kekuasaan yang tidak ada keuntungan, kesejahteraan, keutuhan system. Imperialisme bekerja sama dengan kolonialisme di mana daerah yang di jajah secara terstruktur dan mangakibatkan yang namanya “Genocide”  terhadap suku bangsa minoritas yang menentang persoalan hak Penentuan nasib sendiri secara demokratis dasar dari perjuangan kelas masyarakat.

Pengaruh golobalisasi dari peninjauhan eksploitasi kapital; dapat terlihat melalui system kolonalisme yang  mencengkram pada daerah yang di jajah dengan kekuatan militersime dan kekuatan system kolonial yang masih tidak menghargai system suku bangsa minoritas di Papua Barat. Dari Adengan tersebut, golobalisasi masih bekerja sebagai kekuatan negara untuk melakukan eksploitasi dengan program-program internasional sesuai kesepakatan dari forum-forum regional atau kawasan kesepakatan antar mitra negara yang kolonialistik. Penguasaan dan pengaruh itulah, imperialisme sangat ketat untuk melakukan penguasaan beragam kondisi gerakan sosial invansi rakyat untuk menjalankan agenda eksploitasi melalui kapitalis-kapitalis monopoli atau kolonial menuju kepentingan kekuasaan eksploitasi atas dasar beragam sumber daya yang ada di wilayah-wilayah tersebut.  Pandangan suku bangsa minoritas dan sebuah hak untuk menentukan nasib sendiri adalah sesuatu kewajiban dari sejarah suku bangsa minoritas, telah membentuk hakikat yang seutuh-nya memperjuangkan hak demokratis yang sejati-nya dalam peradaban kehidupan seapanjang masa; sebab  perjuangan kelas dalam suku bangsa minoritas di Papua Barat; sangat meyakini bahwa sebuah perjuangan hak penentuan nasib sendiri akan menyelamatkan dan memberikan kebebasan ekspresi ketika kemerdekaan yang di rebut secara demokratis menjadi kelegahan antara suku bangsa minoritas yang ada di Papua Barat.

Golobalisasi menguasai suku bangsa minoritas di Papua Barat adalah kekuasaan yang sangat tidak dipungkiri lagi dari kekuasan-kekuasan Imperialisme, Kapitalisme monopoli dan kolonial yang mengklaim setiap sejarah suku bangsa minoritas di Papua Barat; kekuasan-kekuasan itulah rakyat masih memperjuangkan untuk merebut hari revolusi kemerdekaan yang pernah di rebut sejak 01 Desember 1961, pada hal secara konstituasional di bawa hukum internsional secara de jure dan de facto telah menyatakan kemerdekan sebuah negara yang merdeka sama dengan kemerdekaan di negara-negara lain.  Maka, kefokusan yang dapat di lihat secra suku bangsa minoritas adalah keyakinan memperjuangkan hak demokratis dan menuntut untuk mengembalikan hak demokratis kemerdekaan tersebut; itulah kodisi realitas yang dapat di lihat antara suku bangsa minoritas tersebut;

Kekuasaan system kolonialisme di Papua Barat dapat di petakan dan problematikan bahwa, suku bangsa minoritas atas tanah dan airnya dikuasai oleh kolonial seperti, system pendidikan di kuasai oleh transmigrasi, system pemerintahan sendiri di kuasai oleh para transmigran, militersime masih menguasai suku bangsa minoritas; apa lagi militer telah moyoritas atas tanah Papua Barat, kolonialisme telah mempetak-petakan lahan bisnis (membangun jalan trans Papua, pemekaran pronvinsi-provinsi kabupaten-kabupaten dll), melakukan eksploitasi (batu, kayu, air, pasir, emas, nikel, minyak, tembaga) dan beragam unsur ara tanah, mendatangkan barang-barang yang kadarluarsa di Papua Barat (mie, beras, obat-obatan yang termasuk semua makanan instan) yang kadarluarsa, apa lagi rumah kesehatan yang di bangun oleh kolonial tidak ada fasilitas yang menguntungkan, menguasai tanah Papua Barat untutk mengistigam bahwa Papua Barat dalah bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Replublik Indonesia) Pada hal secara sejarah gerakan rakyat Papua Barat belum pada proses penyelesaian; malah negara dengan kepentingannya membohonggi secara internasional mengenia sejarah gerakan rakyat Papua Barat; apa lagi bagi suku bangsa minoritas yang ada saat ini dalam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri untuk menentukan masa depan anak cucu.

Dari situasi, Golobalisasi yang terus menguasaan pandangan suku bangsa minoritas di Papua dan masih saja menghalanggi kondisi realitas Hak Penentuan Nasib Sendiri; kekuasaan secara Privatisasi, Deregulasi, dan liberalisasi setiap sektor kehidupan di tengah rakyat Papua Barat. Globalisasi secara privatisasi adalah kekuasan kolonial dan kapitalis monopoli mempunyai kepentingan dalam melakukan eksploitasi dan setiap eksploitasi digunakan untuk jadikan milik seseorang secara privat, kebanyakan kekuasaan sumber daya yang ada di Papua Barat adalah privat. Dalam kepemilikan tersebut di liberalisasikan secara Internasional untuk mengeksploitasikan dalam perdagangan bebas maupun melakukan deregulasi menghapus kepemilikan tanah dan air  suku bangsa minoritas di Papua.

Menyikapi ini RCEP yang berdampak buruk khusus pada pergerakan perjuangan Hak Penentuan Nasib Sendiri untuk West Papua dan suku bangsa minoritas. RCEP (Regional Cemprehensive Ekonomi Partnership) adalah kita ketahui bahwa membahas tentang  perdagangan bebas antara lain perdagangan barang, Perdagangan jasa, Investasi, Kerja sama Ekonomi dan teknis, kekayaan Intelektual, persaingan, penyelesaian sangketa, E-commerce, Usaha Kecil dan menengah (UKM) dan masalah lainnya, yang di atur dalam 16 Negara, yakni 10 negara (Burnei, Kamboja, Indonesia, Loas, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Tahiland) sebagi ASEAN, dan 6 negara dari Asia-Fasifik yang mempunyai perdagangan bebas (Australia, Cina, India, Jepang, Korea Selatan dan Selandian Baru. Beberapa tahun belakang ini, pertemuan RCEP pernah di lakukan di beberapa negara regional seperti, Kamboja, Burnei, Australia, Malaysia, Cina, India, Tahiland, Jepang, Myanmar, Selandia Baru, Vietnam, filipina, Singapura dan Indonesai yang kedua kalinya dari tanggal 2-9 Febluary 2018 di Yogyakarta dan 18 Feb 2019 di Nusa Dua Bali yang sedang berlangsung. RCEP di lakukan dalam setiap tahun dan agenda para pemodal mendorong  Agenda RCEP untuk menguasai dan mengeksploitasi seluruh kehiduapan rakyat. Kepentingan-kepentingan negara-negara akan menjalankan esensi kelayakannya untuk menguasai seluruh tanah airnya secara batas wilayah yang di batasinya melalui UUD untuk sebagai implementasi eksploitasi oleh negara yang mempunyai kepentingan dalam RCEP itu sendiri; Maka dengan tegas, Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menolak setiap perampasan hak milik suku bangsa minoritas dan di mana monolak juga RCEP yang melakukan privatisasi, deregulasi, liberalisasi di Papua Barat dalam rangka mengeksploitasi sumber kekayaan alam maupuan kekuasaan system kolonialistik. Dan penolakan itu, sebagai memperjuangan Hak Penentuan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis untuk bebas dari beragam kekuasaan Imperalis, Kapitalis, dan kolonial yang bersifat golobalisasi di Papua Barat.

ALIANSI MAHASISWA PAPUA [AMP]

Ilst.Gambar Koran Kejora Aliansi mahasiswa Papua
Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua)
dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
_______________________________________________________

PERNYATAAN SIKAP

“Pesta Demokrasi Sejati adalah Pelaksanaan Hak Menentukan Nasib Sendiri”

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak
Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!

Wilayah yang terbentang dari Numbai sampai Merauke, Raja Ampat hingga Baliem, Pulau Biak sampai Pulau Adi, adalah wilayah West Papua. Dan West Papua bukanlah Indonesia. Indonesia adalah negara yang melakukan kegiatan politik secara ilegal di atas wilayah itu, sejak pasca deklarasi operasi Trikora 19 Desember 1961. Saat itu juga, demokrasi ala kolonial Indonesia hadir di sana. Demokrasi yang tak pernah benar-benar mencoba, apalagi menjamin, kebebasan rakyat West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.

Negara Indonesia tidak pernah peduli pada hak berdemokrasi rakyat West Papua. Cara-cara represif dan manipulatif sudah pernah dilakukan Indonesia sejak pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 di West Papua. Praktik seperti itu yang juga masih bertahan sampai saat ini di West Papua.

Sejarah memperlihatkan pada rakyat West Papua, juga rakyat Indonesia, bahwa Indonesia hampir selalu gagal menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di West Papua. Mulai dari soal pelanggaran kesepakatan New York Agreement 15 Agustus 1962, ketika Indonesia diwajibkan menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat secara one person one vote; genosida perlahan setelahnya selama kurun 50-an tahun; perusakan hutan yang begitu masif; gizi buruk; eksploitasi begitu masif terhadap bahan-bahan tambang (emas, tembaga, uranium, minyak, gas dsb)—yang berakibat peningkatan jumlah ton tailing yang merusak alam West Papua; ketimpangan sosial antara penduduk asal dan pendatang; extra judicial killing terhadap warga sipil termasuk aktivis; perlakuan rasis terhadap rakyat West Papua; hingga pengekangan kebebasan berkumpul dan berpendapat.

Kontestasi pemilu tahun ini sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Masing-masing partai, beserta calon-calon legislatifnya dan calon presiden serta wakil presiden, berebut suara dari rakyat West Papua. Tapi mari kita perhatikan, apakah mereka bersedia mendengarkan suara rakyat Papua yang paling mendasar, “hak menentukan nasib sendiri”? Atau bicara soal mengurangi mobilisasi militer dan mengadili para pelaku pelanggar HAM? Atau menjamin kebebasan berkumpul dan berpendapat bagi semua kelompok sipil?

Meski suara dukungan rakyat West Papua jadi rebutan, ironisnya dalam debat Pilpres pertama, soal West Papua sama sekali tidak diperbincangkan baik oleh Jokowi maupun Prabowo. Prabowo sendiri memiliki track record buruk di Papua dalam kasus Mapenduma. Namun, bukan berarti Jokowi lebih baik. Jokowi sebagai incumbent, telah membiarkan pelanggaran hak asasi manusia berulang kali terjadi. Misalnya, kasus Paniai Berdarah yang tak rampung, kasus Deiyai dan Dogiyai yang juga tak selesai, belum lagi kasus-kasus penangkapan massal terhadap para aktivis West Papua yang belakangan makin sering terjadi.

Jokowi memiliki kekuasaan. Namun, kekuasaannya tidak digunakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan membiarkan pelanggaran terus terjadi. Pembiaran itu artinya, mengiyakan dan jadi bagian perbuatan pelanggaran HAM.

Ditambah lagi, sampai sekarang masih dilakukan operasi militer di Nduga (Distrik Dal, Distrik Yigi, Distrik Mbua, Distrik Mikuri, Distrik Enikngal, Distrik Yal, Distrik Mam dan Distrik Mugi). Sebagaimana operasi-operasi militer sebelumnya di West Papua, operasi militer itu memakan banyak korban sipil. Puluhan rakyat termasuk anak-anak meninggal, terjadi penahanan dan pembakaran rumah. Ada setidaknya 20 ribu orang yang terpaksa mengungsi keluar dari daerah tersebut.
Akibatnya, pendidikan, kegiatan ekonomi, dan keagamaan, tak berjalan dengan normal. Akses pemerintahan sipil, wakil rakyat, jurnalis, pekerja kemanusiaan, sangat sulit. Kehadiran aparat TNI/Polri di sana justru menyebabkan rakyat trauma.

Dalam kenyataan sejarah dan keadaan seperti itu, wajar jika rakyat West Papua tak berpusing soal Pemilu maupun Pilpres 2019. Gelaran tersebut hampir mustahil menjadi hal yang penting bagi rakyat West Papua. Sebab, 1) keberadaan Indonesia di wilayah West Papua ilegal, 2) tak ada partai politik yang menyuarakan permasalahan nasional West Papua, dan 3) pelaksanaan Pemilu itu sendiri tak lain hanya untuk melanggengkan praktek-praktek kolonialisme: menjadi alat bagi pemerintahan kolonial untuk menempatkan penguasa-penguasa lokal dalam mengamankan kepentingannya.

Kami dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua, seperti halnya rakyat West Papua, mustahil membayangkan adanya demokrasi, kesejahteraan, bagi rakyat West Papua jika masih berada dalam cengkeraman kolonialisme Indonesia. Tak ada pesta demokrasi jika rakyat tak memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Untuk itu kami mengambil sikap dan menyatakan bahwa:

1. Tidak mengikuti Pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum 2019
2. Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi rakyat West Papua
3. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua
4. Buka akses jurnalis dan informasi untuk West Papua

Salam solidaritas!

Medan Juang, 12 Februari 2019

Ilust.Gambar oleh Koran Kejora Aliansi Mahasiswa Papua
Oleh: Gilo Logo***

Belajar sejarah perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat sejak tahun 1940-an sampai dengan saat ini, dengan berbagai macam cara perjuangan yang dilakukan untuk merebut hak politik rakyat Papua Barat untuk menentukan Nasib Sendiri yang selalu memperlambat oleh Kolonial Indonesia, dan juga dengan belajar dari wilayah Papua Barat yang terbentang dari Sorong sampai Samarai dengan berbagai macam budaya, adat isti adat, bahasa, kebiasaan kepercayaan/agama dengan berbagai kelas penindasan yang disebabkan oleh penjajahan kolonial dan imperialisme di Papua Barat; maka dalam upaya untuk mengerakan masa rakyat Papua Barat yang terdiri dari berbagai macam latar belakang-nya tersebut,  dari Sorong sampai Samarai untuk keluar dari hegemoni/penjajahan system colonial dan imperialisme tersebut di butuhkan satu Front Persatuan Nasional untuk mempersatukan semua elemen rakyat Papua dari Sorong sampai Samarai. 

Namun untuk memenangkan gerakan rakyat untuk keluar dari penjajahan Kolonial dan imperialisme ini dibutuhkan dan harus diusahakan secepat-cepat-nya adalah Persatuan Nasional, dan Front Persatuan Nasional harus berdiri secara demokratis dan terdiri dari perwakilan semua elemen rakyat Papua Barat yang mengalami  penindasan dari Kolonial dan Imperialisme, agar Front tersebut untuk menggerakan perjuangan rakyat sebagai penyadaran akan penindasan dan mengorganisir kelas-kelas rakyat yang mengalami penindasan di Papua Barat mulai dari kaum tani, kaum buruh, kaum nelayan, kaum mama-mama pasar dan lain-lain,  dan memperhatikan gerakan rakyat sebagai dari semua sektor penindasan dan mengontrol maju-mundur-nya kesadaran sektor-sektor rakyat dari penindasan yang di alami dengan pendidikan-pendidikan politik dan lain-lain.  Penting-nya Front Persatuan Nasional di dalam mempersatukan seluruh gerakan Rakyat Papua Barat yang mengalami penindasan untuk memikirkan penting-nya Persatuan Nasional dalam menuju pada Pembebasan Nasional Papua Barat dan mengukur sebab akibat dari penindasan yang dialami oleh seluruh rakyat Papua Barat dari Sorong sampai Samarai, Front Persatuan Nasional tersebut harus mempunyai platform perjuangan yang berlandaskan pada Anti Kolonial, Anti Militerisme dan Anti Imperialisme dan Front juga, mempunyai peranan penting dalam menyiapkan gerakan rakyat yang sadar akan mepunyai persatuan yang kuat dan demokratis sehingga mempunyai garis perlawanan yang jelas untuk melawan system Kolonial dan Imperialisme di tanah Papua Barat dan juga menghapus segala perjuangan/Perlawanan yang dilakukan secara  kelompok-kelompok atau individu, tetapi semua yang tergabung dalam wadah Front Persatuan Nasional merupakan menyatukan pandangan untuk menghadapi musuh bersama rakyat Papua Barat Hari ini, yaitu kolonialisme,Militerisme dan Imperialisme.

Tugas-tugas utama dari Gerakan rakyat dalam Front Persatuan, dan sebagai kewajiban bagi para kaum Nasionalis/gerakan pro kemerdekaan yang tergabung dalam Front adalah  agar mengedepankan/mengutamakan rasa persatuan tanpa memandang latar belakang masing-masing, persatuan yang di bangun harus demokratis yang terdiri semua elemen gerakan rakyat Papua Barat yang mengalami penindasan dan ingin keluar dari belenggu penindasan tersebut dan menghapus system perjuangan secara kelompok,individu dan sikap egoisme yang dapat mengotak-kotakan gerakan perjuangan. Tugas pokok untuk menghilangkan kepentingan dan sikap egoisme, kelompok-mengelompokan/individu-individu dan lain-lain adalah tugas utama dan amanat dari revolusi 1 Desember 1961 yang harus disadari oleh seluruh elemen gerakan rakyat dan kaum nasionalis Papua untuk lebih mendorong Persatuan Nasional untuk merebut kembali revolusi 1961 tersebut. Yang saat itu, direbut secara sepihak oleh pihak kolonial melalui militerisme untuk kepentingan imperialisme global.

Dan Pembebasan Nasional Papua Barat dinyatakan sebagai hal  mutlak yang harus di dorong oleh semua elemen gerakan dalam Front Persatuan, harus menjadi bagian dari seluruh rakyat Papua Barat dengan tujuan- yang sama untuk merebut kembali revolusi 1 Desember 1961 dengan prinsip-prinsip bahwa Front harus  menjadi Front Persatuan yang Demokratis dan Front yang tidak mengotak-kotakan gerakan di tanah Papua Barat. Ini berarti bahwa tanpa ada suatu wadah Persatuan Nasional yang demokratis di tanah Papua Barat, Rakyat Papua Barat akan terus binggung dan berjuang secara sendiri-sendiri maka secara kuantitas gerakan, kita akan menjadi lemah dan  tidak mungkin bangsa Papua Barat bisa keluar bayang-bayang penindasan yang dilakukan oleh System kolonial dan imperialisme, karena-nya Semua elemen rakyat dan kaum nasionalis/organ-organ yang nanti-nya berada dalam Front tersebut harus mendorong sunguh-sunguh Persatuan Nasional yang utuh merangkul semua sektor rakyat tertindas dari sorong sampai samarai untuk menuju Pembebasan Nasional Papua Barat.

Program umum yang harus di dorong oleh Front Persatuan antara lain harus menyatakan bahwa jika bangsa Papua Barat ingin bebas dan keluar dari penjajahan Kolonial dan Imperialisme dan merdeka secara demokratis dan makmur, maka soal pokok yang harus di dorong untuk merebut kembali revolusi Demokratik 1961 adalah Persatuan Nasional yang arti-nya dalam Front Persatuan tersebut bertujuan untuk menghapus penjajahan kolonial dan kekuasaan Imperialisme di Papua Barat.

Dapat disimpulkan bahwa tugas pokok revolusi Papua Barat saat ini adalah Persatuan Nasional untuk membawa bangsa Papua Barat keluar dari belenggu penindasan kolonial dan imperialisme dan untuk mewujudkan Persatuan Nasional tersebut dibutuhkan sebuah Front Persatuan yang bersifat demokratis dan menghilangkan sifat perjuangan yang egoisme, sukuisme, agamaisme kelompok-mengelompokan/individu dan menghapus pemikiran yang seolah-olah hanya satu elemen gerakan atau satu individu menjadi pahlawan yang bisa membawa Bangsa Papua keluar belenggu penindasan pikiran-pikiran seperti ini yang harus di hapuskan di karena-kan wilayah Papua Barat yang terbentang dari Sorong sampai Samarai dengan berbagai macam kebiasaan, adat/istiadat bahasa keyakinan dan lain- lain, ini dibutuhkan suatu wadah yang bisa mempersatukan semua itu, guna menjadi satu kekuatan yang besar; kekuatan yang lahir dari kesadaran rakyat tertindas di seluruh Papua Barat untuk keluar dari belenggu penindasan Kolonial dan Imperialis dan ingin menentukan Nasib Sendiri sebagai solusi yang demokratis bagi rakyat Papua Barat itu sendiri.

Dilihat dari sudut strategi perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat sudah sangat maju dewasa ini, namun yang menjadi soal utama adalah kurang-nya pemahaman rakyat Papua Barat dan organ gerakan mengenai penting-nya makna Persatuan Nasional.  Maka dari itu, untuk menpercepat perjuangan bangsa Papua Barat untuk keluar dari belenggu penindasan kolonial dan imperialisme ini berarti kita harus menggulingkan sikap-sikap egoisme, sukuisme, agamais dan lain lain, sampai ke akar-akar-nya dan menargetkan untuk Persatuan Nasional yang demokratis untuk menuju pembebasan Nasional Papua Barat.

Pembebasan Nasional di Papua Barat sendiri bisa terjadi bila rakyat Papua yang mengalami penindasan tersebut bertekad untuk melepaskan diri dari system Kolonial dan imperialisme yang sedang menghisap dan menindas dari setiap kativitas rakyat.

Ini menjadi pertanyaan yang menarik bagi elemen gerakan/organ-organ yang berbicara Papua Barat Merdeka perubahan di tanah Papua Barat (pembebasan nasional di Papua Barat) hanya bisa terlaksana atau terjadi apabila dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip bahwa “hanya Rakyat Papua Barat dari Sorong hingga Samarai yang sadar akan penindasan yang mampu mengeluarkan diri-nya dari belenggu penindasan” arti-nya tidak ada yang dapat membebaskan rakyat Papua Barat dari belenggu penindasan tersebut kecuali kekuatan dan persatuan rakyat Papua Barat itu sendiri menyatu. Hal ini sedikit bisa di benarkan karena dewasa ini banyak kaum Nasionalis Papua Barat dengan berbagai macam organ-nya yang memperjuangkan soal pembebasan Nasional Papua Barat, namun belum menemui titik temu dikarenakan gerakan-gerakan ini tidak megedepankan kepentingan rakyat Papua Barat yang sedang mengalami penindasan dan mengorganisir seluruh elemen rakyat Papua Barat yang ingn keluar dari belnggu penindasan dan mempersatukan-nya untuk menjadi kekuatan yang utuh untuk membawa rakyat Papua Barat keluar dari belenggu penindasan ini.

Karena seluruh rakyat yang mengalami penindasan di Papua Barat pasti dapat mengetahui bentuk-bentuk penindasan yang menindas-nya dan bisa mengeluarkan dirinya dari belenggu penindasan tersebut apabila ada satu wadah Front yang bisa mempersatukan mereka dan konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat yang mengalami penindasan ini, untuk keluar dari belenggu penindasan tersebut dan menentukan nasib sendiri serta terlepas dari belenggu penindasan System kolonial dan dari  imperialisme serta juga mengimbangi tugas sejarah untuk merebut kembali revolusi 1961 yang karena-nya memikul tugas sejarah untuk memimpin revolusi, untuk mengimbaggi tugas tersebut Front Persatuan harus dibangun sehingga mampu merangkul seluruh sektor yang mengalami penindasan di Papua Barat dari Sorong sampai Samarai, Melalui membangun kesadaran yang kuat akan penindasan yang menindasnya, untuk menunaikan tugas sejarah tersebut melalui Front Persatuan tersebut, bahkan harus bersandar penuh pada kebutuhan gerakan seluruh rakyat Papua
Barat dari Sorong sampai Samarai yang mengalami penindasan dari kolonialisme dan imperialisme.

Dengan Begitu akan memunculkan syarat Subjektif dan Objektif sandar-menyandar antara Front Persatuan yang dibangun dengan sektor-sektor yang mengalami penindasan di Papua Barat  mulai dari kaum Tani, Buruh, Anak Aibon, Mama-Mama Pasar dan Lain-Lain; untuk memenangkan revolusi Demokratik  menentukan Nasib Sendiri, dan sektor yang mengalami penindasan sandar pada Front persatuan membebaskan diri-nya dari penindasan yang di alami-nya.

Front persatuan sendiri harus memperluas dan memperkuat persatuan gerakan rakyat Papua Barat serta mempertinggi taraf perjuangan ke tingkat perjuangan yang konsisten anti Kolonial, Militerisme dan Imperialisme dalam Front Persatuan sendiri akan benar-benar luas dan kuat apabila Front tersebut bekerja secara teguh mendorong kebutuhan rakyat yang ingin keluar dari berbagai belengu penindasan dan mendorong revolusi tahap pertama revoluisi demokratik untuk menentukan Nasib Sendiri.

Front yang di bangun mencapai pada titik kemenangan untuk menghapus system Kolonial dan Imperialisme dan merebut kembali hak-hak politik rakyat Papua Barat untuk menentukan Nasib Sendiri sebagai solusi demokratis Bagi rakyat Papua Barat apabila Front Persatuan Nasional Papua Barat tersebut bersandar penuh pada kebutuhan rakyat Papua Barat yang mengalami penindasan.

Salam Pembebasan Nasional Papua Barat.

Penulis Adalah Biro Organisasi Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali

Ilust.Gambar Koran Kejora
Karya, Armand Axel**

Tanah dan tempatku dihancurkan oleh Perusahaan
Aku dijajah dari semua lini kehidupanku
Dengan aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa
Aku dilarang membela dan mempertahankan hakku
Aku diburu dan di bunuh oleh Polisi dan Militer

Aku sendiri tak bisa hancurkan
Perusahaan yang sedang hancurkan tanah dan tempatku
Aku sendiri tak bisa hapuskan
Aturan yang sedang hancurkan kehidupanku
Aku sendiri tak bisa melawan
Polisi dan Militer yang sedang memburu dan membunuhku

Kawan mari kita berkumpul jadi satu
Kita melangkah bersama kebenaran sejarah
Sang bintang kejora kita belajar dan berjuang
Bersama rakyat tertindas
Kita angkat suara kebebasan terhadap penindasan

Karena kita bersatu tak bisa dikalahkan

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats