Halloween party ideas 2015

ilustrasi gambar. sumber:ppriportal


Oleh: Paulus Tekege*


Di Belahan dunia mulai dari barat hingga ke timus saling menjajah antara negara yang merdeka dengan wilayah-wilayah yang belum merdeka. Dimana daerah yang memiliki potensi sumber daya alam tentu menjadi rebutan antara negara-negara yang sangat kuat demi kepentingan meningkatkan pendapatan belanja negara juga keuntungan pemodal nasional dan internasional (surplus).


Monopoli negara terhadap wilayah yang dikoloni masyarakat menjadi sasaran korban atas kekayaan alamnya.Rakyat akan ditindas dalam segala bidang mulai dari pemerintah yang dibangun tidak memiliki niat baik untuk memberdayakan masyarakat setempat. Tanah yang mempunyai potensi Sumber Daya Alam (SDA) tinggi akan dirampas secara paksa atau melalui perjanjian tentu yang tidak akan melibatkan pemilik hak ulayat. ironisnya lagi, Pendidikan yang tidak memadai dalam hal fasilitas sekolah hingga guru tentu buruk sebab dibenak kolonial mendasari dengan asumsi bahwa ketika mereka cerdas akan melakukan perlawanan. Begitu juga dibidang ekonomi. Sama sekali tidak diberdayakan ekonomi, atau tidak memberikan peluang kememandirian bagi rakyat tertindas. Lantas Ia membuat rakyat tertindas ketergantungan terhadap kolonial.


Ketika mempelajari sejarah dari beberapa negara yang menjadi daerah kolonial hampir sama, misalnya: sistem pemerintahan, perjanjian-perjanjian, penggunaan kekuasan dan sebagainya. Akibat dari pada itu secara perlahan masyarakat akan sadar semua keburukan dari kolonial. Kemudian akan melakukan perlawanan baik itu dengan cara damai/perjanjian, kompromi, dialog bahkan juga kekerasaan. Hal itu terbukti dalam sejarah negara-bangsa yang sudah merdeka di belahan dunia.


Dalam sejarah negara tersebut terjadi berbagai hal yang menjadi potrem penjajahan. Misalnya tragedi genosida, kekerasan militer, pembunuhan dan lain yang menjadi memori pasionis memory ingatan bagi masyarakat. Hal semacam itu akan berdampak buruk mengganggu psikologi warga. Bahkan Perserikatan Bansa-Bangsa (PBB) menila peristiwa ini menjijikan; tindakan tidak manusiawi atau dalam kategori kemanusiaan disebut Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebuah  hukum yang diatur untuk menghargai antara sesama manusia tak ada yang lebih dan kurang tanpa memandang suku, agama, ras serta golongan semua memiliki  hak dan kewajiban sebagai manusia yang sama harkat dan martabat, hukum itu di langgar.. 


Saking banyaknya peristiwa seperti diatas PBB mengatur tentang kebebasan manusia di muka bumi ini salah-satunya tentang kemerdekaan suatu bangsa yang berbunyi “Hak Menentukan Nasib sendiri” menegaskan bahwa untuk memilih merdeka daerah kolonial ditentukan nasib bangsa secara umumnya bisa memimpin bangsa sendiri secara mandiri, aman dan damai.


Dari sepanjang rentetan sejarah di atas bagi wilayah yang menduduki kolonial jalan satunya untuk keluar dari pemerintah kolonial untuk membentuk sebuah negara baru adalah KEMERDEKAAN untuk melepaskan status daerah kolonial menjadi negara sendiri.


Status papua juga masih dalam daerah kolonial dijajah oleh kolonial Indonesia mulai dari tahun 193 sampai hari ini. Persoalan diceritakan yang diatas juga dialami oleh masyarakat Papua. Pendudukan kolonial di tanah Papua tidak lain dari kepentingan ekonomi  sebab papua memiliki sumber daya alam yang tinggi mulai dari kesuburan tanah, emas, hutan bahkan hal yang belum sebut satu persatu.


Pelajaran sejarah yang dialami oleh negara lain dan tindakan kolonial hari memberi kesadaran betapa kejamnya kolonial  membuat masyarakat papua muak bahkan rakyat papua tidak ada masa depan hidup bersama kolonial sehingga rakyat papua melakukan perlawanan untuk menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua.


Kemerdekaan bagi bangsa Papua secara undang-undang kolonial indonesia mendukun seperti tulisan dibawa ini “Kemerdekaan Ialah hak segala bangsa maka penjajah diatas dunia harus dihapuskan karna tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan” Pembukaan Udang-Undang Dasar, di alinea pertama.


Ketika memahami pernyataan tersebut wajah Indonesia sesungguhnya juga anti kolonial. Sebab diketahui bahwa daerah yang mengkloni prakteknya tentu tidak sesuai dengan nilai kamanusiaan dan keadilan yang sebagaimana negara yang beranggota dalam PBB acuh tak acuh menjunjung tinggi kedua nilai tersebut. Akan tetapi dalam sisi lain ini hanya sebuah pernyataan, tidak dengan sifat keaslian dan tindakannya. Lihat saja West Papua hari ini. .


Untuk tangisi sejarah bangsa Papua sepanjang hidup bersama kolonial yang membuat hati rakyat Papua sakit menderita diatas tanah sendiri, itu mengingatkan kembali sebuah lirik lagu dalam grup mambesak yaitu “Yang Ku Damba Yang Ku Nanti Tiada Lain Hanya Kebebasan.” Ini  pernyataan juga sebagai ungkapan kerinduan rakyat Papua bahwa tidak adalah jalan lain untuk keselamatan bagi rakyat Papua dari cengkraman kolonial Indonesia selain Kemerdekaan/ Bintang pagi itu terbit di ufuk timur. Anggapan orang Papua bahwa jika bukan kemerdekaan menyelamatkan Orang papua, maka hanya tinggal cerita diatas tanah tumpah darah mereka/Bumi cendrawasih tercintah.


*Penulis adalah Mahasiswa, Sekertaris AMP Komite Kota Yogyakarta


 

Ketua AMP KK Lombok yang masih di tahan 
malam ini

Seruan Solidaritas!

Kepada seluruh gerakan Rakyat Bangsa Papua Barat, Pro-Demokrasi dan Lembangga Bantuan Hukum untuk advokasikan

Segera Bebaskan Nyamuk Ketua AMP Komite Kota Lombok. Hentikan Penanganan skala luar Jalur Hukum.


Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!


Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

Wawawawawawa..wa..wa..wa..wa!



Pada bulan Maret 2021 penganiyaian dan pemukulan di lakukan oleh Sekjen GMKI Mataram yang Namanya "Yansen Iek" Asal Papua dan "Yunus Yansede" Asal Papua anggota GMKAI di Mataram sekitar Jam 09:00 WITA. Dengan Ancaman membunuh mengunakan alat pisau dan anak panah di kosnya. Akhirnya di selesaikan secara proses hukum polisi. 

Kemudian ancaman dari seorang prof dosen dari UNRAM (Universitas Mataram), untuk bertemua dengan mengajak sebanyak dua kali [2x] membicarakan tentang Hak Menentukan Nasib Sendiri yang di back up oleh Intelijen Polda NTB namun di tolak oleh Ketua AMP KK Lombok. Selanjutnya adalah pernah di kejar-kejar oleh orang-orang tak di kenal dan kemudian pada tanggal 06 April 2021 mahasiswa Papua yang namanya "Billy Mayor"membawa kepal lingkungan  untuk membubarkan diskusi di kostnya di gomong, yang ketika itu AMP KK Lombok dan solidaritas menyikapi mengenai 07 April 2021 Kontrak karya Freeport Illegal. 

Dan pada 28 April-01 Mei 2021 Intelijen Polda NTB dan Porlesta Mataram  mengajak bertemu pada malam hari. itu pun di paksakan. Kemudian, 03 Mei 2021 Kendaraan roda dua 'Ban Motor' di rusakan dan sama solidaritas [KSI-Kelompok Studi Indenpendent] di rusakan oleh orang tak di kenal pada siang hari, Pukul 12:00 WITA saat gelar aksi hari pendidikan nasional dan hari buruh Internasional dengan OKP  lain. Rentetan itu, dilanjutkan lagi dengan pada 04 Mei 2021, Intelkan Polda NTB mengejak bertemu, itu pun di ajak sebanyak tiga kali [3x]  bahkan di ancaman mengirimkan melalui media sosial berupa indentitas pribadi seperti Ijazah, nama kedua orang tua, Asal suku/kab.

Pada tangan 08 Mei 2021 di kejar dengan mengunakan mobil berwarna putih dan ingin menabrak namun tidak terjadi,karna dapat di kendalikan. 

Pada 09 Mei 2021 terjadi pepresifitas, pemukulan, penangkapan dan pengeledaan tempat tinggal oleh warga yang terprokasi, kemudian secara paksa pihak kepolisian  mengejar terhadap AMP KK LOMBOK Dan KSI lalu di bawa ke Polda NTB dan Kaporles Mataram. Sabanyak 4 Orang (tiga orang dari KSI dan satu orang dari AMP KK Lombok). 


Kronology Penahanan Anggota AMP KK Lombok dan KSI

Pada 09 Mei 2021, sekitar Pukul 22.00 Wita, Puluhan Massa Mendatanggi Kos atau tempat kediaman "Nyamuk" sebagai Ketua AMP KK Lombok . Kedatangan mereka didasarkan atas mis-persepsi: menduga story WA (What's up) Nyamuk ditujukan untuk mengancam Kepala Lingkungan Gomong. Padahal status itu tak ditujukan kepada Pak Maling, melainkan sebagai bentuk luapan emosional atas tekanan-tekanan yang dilancarkan intel-intel polisi dan tentara selama ini.

Hanya Pak Kaling kebacut merasa terancam hingga kemudian memberitahunya bukan hanya kepada warga, melainkan pula membuat laporan ke Polresta Mataram. Malam itu polisi langsung bergerak cekatan untuk melakukan pencarian. Pukul 22.30 Wita, Kawan Nyamuk sedang duduk berdiskusi dengan Kawan-kawan KSI di Museum Budaya.

Ketika itu, Bapak Kos Nyamuk menghubungi: meminta untuk mengamankan diri dulu, karena situasi kosnya sedang tidak aman: Kamar diterobos paksa, I bendera Bintang Kejora dan 1 Bendera AMP serta buku-buku sejarah Papua dirampas oleh aparat, serta Ijasah dan semua kepemilikan di ambil.

Setelah mengobrak-abrik kos, maka barulah aparat mencari Nyamuk. Pukul 23.00 Wita, pasukan Jatamnas Polresta Mataram berjalan mondar-mandir di sekitar Museum. 30 Menit kemudian datang 2 motor. Kawan-kawan pun lari menggunakan motornya ke Asrama Dompu, Seruni, Liang Balik hingga tertangkap di Lapangan Karang Pula Kota Mataram. 

Di lapangan itu sekitar pukul 01.00 Wita (10/5) aparat memaksa Nyamuk naik mobil, tapi dirinya menolak. Alasan diminta naik mobil katanya begini: Agar bisa mediasi dengan Pak Maling di Polresta Mataram. Hanya setelah ia hendak menuju kantor polisi, tiba-tiba kawanan GMKI (Prandy Ketua GMKI Mataram, Billi Mayor-Mahsiswa Papua, dan Erwin Aibekop-Mahasiswa Papua) datang mengeroyok anggota AMP KK Lombok dan KSI. Setelah semua dilumpuhkan, maka para korban diangkut dengan mobil Jatamnas.

Tiba di kantor polisi, mereka semua digeledah: tas, hp, laptop, dan buku kawan-kawan KSI diambil. Lalu mereka ditempatkan di halaman polisi untuk dicibir, ditekan, dan dipermalukan dengan beragam pernyataan dan pertanyaan dari aparat dan Pak Maling CS. Sementara Kawan Nyamuk dimasukan ke ruang interogasi. 30 Menit kemudian barulah 3 kawan KSI menyusul. Mereka diinterogasi sampai pukul 06.30 Wita. Sampai 16.30 Wita mereka bahkan masih ditahan, tapi di ruangan yang berbeda namun telah di bebaskan pada 1:3o Wita tanggal 11 Mei 2021.

Dalam penangkapan itu kawan-kawan yang menjadi korbannya tidak diberi kejelasan alasan dilakukannya penangkapan dan dijauhkan dari akses komunikasi apalagi untuk menghubungi pengacara. Tulisan ini pun ditulis secara sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan aparatus represif negara. Kemudian, di pisahkan Nyamuk di Bawa ke Polda NTB dan Kawan-kawan KSI di Kapolres.  

Kemudian, pada 10 Mei 2021 secara sepihak melakukan pertemuan khusus lalu membuat surat pernyataan yang mengarah ancaman terhadap pelaku korban yaitu ketua AMP KK Lombok. Kesepaktan membuat surat pernyataan adal Ketua IMAPA Lombok Manu Wandikbo, Andreas Wakei (Ketua PMKRI), Kepala Lingkungan serta Pihak Kepolisan. Dalam pembuatan surat pernyataan tanpa persetujuan korban. Isi surat berupa: 

1.Bagian pertama Indentitas Korban (berdomisili)

2. Janji Pernyataan:

1. Saya siap tidak berdomisili di Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai bentuk pengamanan diri akibat dari perbuatan yang pernah saya lakukan sebelumnya.

2. saya siap untuk di pulangkan dari Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan fasilitas dan dilakukan dengan penjagaan oleh aparat keamanan.

3. Saya berjanji untuk tidak mengulang lagi perbuatan tersebut dan tidak melakukan perbuatan pelanggaran pidana lainnya.

4. Jika saya melanggar ketentuan tersebut di atas maka saya siap untuk di tuntut kembali menurut hukum atas perbuatan pidana yang pernah saya lakukan sebelumnya

Dengan demikian pernyataan sikap ini saya buat dengan kesadaran dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun  serta jika saya mengulangi perbuatan tersebut maka saya saipa di proses secara hukum yang berlaku.

3. SAKSI-SAKSI

1. Manuel Wandikbo

  2.Haran 

3. Andreas P Wakei

4. Membuat Pernyataan (Paksaan untuk Tanda tangan dengan ancaman terhadap korban)  yaitu ketua AMP KK Lombok "Nyamuk"

Dari proses rangkain kejadian yang meneror korban hingga represifitas, penangkapan, pengeledaan tempat penghuni korban oleh warga setempat dan penangkapan terhadap kawan-kawan KSI serta Ketua AMP KK Lombok. Dan dilanjutkan dengan pemukulan oleh Mahasiswa Papua yang di sebukan di atas serta membuat surat tanpa menghadirkan pelaku korban. Kemudian organisasi-organisai yang reaksioner terlibat dalam proses kejadian tersebut. 

Maka, Komite Pusat- AMP menyeruhkan kepada organisasi-organisasi gerakan Pembebasan Nasional Papua Barat, Gerakan-Gerakan Pro-Demokrasi di Lombok maupun luar Lombok serta Bantuan Hukum untuk bersolidaritas. Dan di bawa ini AMP secara Nasional Menuntut:

1. Hentikan Kriminalisasi, Teror, terhadap Ketua AMP KK Lombok dan KSI [Kelompok Studi Indenpenden] di NTB.

2. Menuntut Pemerintah Indonesia Untuk menindak tegas Aparat kepolisian, warga serta Oknum-Oknum yang Mengeleda tempat kediaman secara paksa pada 09 Mei 2021 malam.

3. Pemerintah RI Segera mencopot  Aparatus Yang telah melakukan pengeberekan, melakukan teror, Pemukulan serta menangkap mahasiswa secara sewenang-wenangnya  terhadap Ketua AMP KK Lombok dan Kawan KSI

4. Berikan kebebasan di muka umum bagi mahasiswa Papua di Mataram untuk bebas berekpresi dan menyampaikan pendapat secara luas-luasnya

5. Mengencam tindakan yang menutup ruang demokrasi.

6. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus menjamin kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi dan menyampaikan pendapat secara umum khususnya Mahasiswa Papua di Mataram Sesuai hukum yang berlaku. 

7. Presiden Jokowi-MA segera mencopot jabatan Polda NTB, Kaporles NTB, serta seluruh jajaran yang telah mengebrek dan meneror, pemukulan serta menangkap secara paksa.

8. Mengutuk Keras Ketua GMKI yang melakukan pemukulan terhadap Ketua AMP KK Lombok dan KSI (Kelompok Studi Indenpenden) pada saat di paksa ke Kapolres Mataram.

9. Mengutuk Keras Kawan-Kawan Papua yang di GMKI memukul Ketua AMP KK Lombok dan KSI. 

10. Segera Bebaskan Kawan ketua AMP KK Lombok "Nyamuk" yang masih di tahan di Kaporles Mataram. 

11. Segera Bertanggung Jawab Saksi-Saksi yang menandatangi surat pernyataan yang di buat tanpa keterlibatan korban, Namun di paksakan unruk Menandatangi dengan ancaman. 

Demikian Surat Seruan  ini kami buat untuk di advokasikan oleh Para penegak bantuan Hukum agar ruang demokrasi di buka seluas luasnya dalam mengemukankan pendapat umum sdan kami serukan kepada seluruh elemen gerakan pro-demokrasi .

Medan Juang, 12 Mei 2021 


ilustrator: Koran Kejora

Penulis: Natalia Safkaur & Jhon Gobai )*


Tahukah Anda  sepenting apa  tanggal 1 Desember bagi rakyat West Papua? 


Merupakan hari kebahagiaan. Bagaimana rakyat West Papua memaknainya? 


Pada tahun 1961, tepat di tanggal 1 Desember, orang-orang Papua yang Bersatu dalam gerakan Dewan New Guinea (New Guinea Raad) memproklamirkan kemerdekaan secara de facto. Di momentum itu dibacakan atribut negara seperti Bendera Bintang Kejora yang anda kenal hari ini. Atau burung Mambruk sebagai lambang persatuan serta Hai Tanahku Papua sebagai lagu kebangsaan. Lantas semangat kemerdekaan itu dipadamkan oleh Presiden RI, Ir. Soekarno melalui gerakan Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) pada 19 Desember 1961. Apa rasanya negara-bangsa West Papua yang baru berumur 18 hari itu di sabotase kebahagiaanya? Itu proses awal rakyat West Papua mengenal Negara Indonesia. 


Trikora melegalkan pendudukan Kolonialisme Indonesia dengan pola militeristik hingga detik ini (2020). Militer jadi alat represifnya Negara dan investor. Lantas eksistensi keberpihakan Negara secara konstitusi juga kebijakan sangat berperan penting terhadap akses modal (investasi) dan keberadaan kekuasaan Kolonial. Sebut saja masuknya PT. Freeport Indonesia di Papua melalui UU Penanaman Modal Asing yang ditandatangani oleh Soeharto (1967). 


Rakyat West Papua mengenal rezim Indonesia dengan wajah kolonialistik. Kesenjangan sosial, ketimpangan Ekonomi, darurat Hak Asasi Mahasiswa (HAM), pembungkaman ruang demokrasi merupakan cerminan 38 tahun West Papua dibawa kekuasaan Indonesia. Berbagai laporan analisis dari berbagai Lembaga non pemerintahan juga akademisi membicarakan realita kondisi HAM dan Demokrasi serta lingkungan yang memburuk hingga berakibat ke ketahanan tubuh (hidup) manusia di Papua. Rakyat Papua semakin tidak berdaulat, dan bergantung pada kebijakan – kebijakan struktural kolonial Indonesia.


Berdasarkan realitas ketertindasan seperti itu memanifestasi perlawawanan rakyat West Papua. Realitas itu menjadi alasan seruan pemberontakan yang sesungguhnya. Bahwa penindasan mengharukan rakyat pada pemberontakan sebagai jalan menciptakan kondisi objektif yang baru. Melancarkan perjuangan revolusioner yang tak henti-henti sepanjang penindas terus berkuasa: perlawanan  terhadap kejahatan  Imperialisme yang mengkoloni, serta alat represifnya: Militerisme di West Papua. Sebab 3 kelompok ini lah dalang di balik semua kejahatan kemanusiaan dan alam di West Papua. 


Sehingga di tahun 2020 ini, rakyat West Papua memaknai 1 Desember sebagai hari evolusi semangat persatuan gerakan pembebasan rakyat West Papua. Perjuangan mendirikan suatu negara West Papua bukan satu-satunya, juga bukan alasan utama semangat perjuangan rakyat Papua. Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) terus menyerukan bahwa semangat perjuangan pembebasan rakyat Papua mengacu pada pembebasan manusia. Pembebasan yang bebas dari segala batasan-batasan tertentu. Semangat pembebasan yang tidak sekedar mengibarkan bendera yang berbeda dengan negara kolonial Indonesia, atau hanya sebatas suatu kebanggaan atas nama ras & agama yang berbeda. Semangat semacam itu justru akan mencelakai cita-cita perjuangan pembebasan rakyat West Papua: yakni kemanusiaan. Kemanusiaan lah yang lebih tinggi dari segala sesuatu. 


Maka, di momentum 1 Desember 2020 ini pergerakan rakyat West Papua mengakui dan menggaris bawahi secara sadar bahwa cita-cita perjuangan rakyat West Papua adalah “agar West Papua Lebih baik”. Demokrasi merupakan nafas dari perjuangan menuju cita-cita tersebut. Oleh karena itu segela bentuk ketidak-demokratisasi dalam gerakan persatuan nasional mesti terus dikritisi untuk suatu proses perjuangan yang lebih maju. 


Penjajah menunjukan wajahnya dengan proses yang tidak demokratis kepada rakyat West Papua. Sebut saja proses lahirnya Otonomi Khusus (otsus) hingga dinamika perpanjangan otsus jilid dua; proses Pepera (1969), Pendudukan PT. Freeport Indonesia (1967), Aneksasi (1963), New York Agreement (1962), Trikora (1961), dan seterusnya. Demokrasi yang sesungguhnya senantiasa di manipulasi oleh penjajah. Nilai, manfaat dan praktek berdemokrasi itu tidak ada sama sekali di bumi rakyat terjajah. Sehingga kaum penjajah selalu menggap dirinya superior, dan inferior bagi terjajah. Sikap merendahkan bangsa terjajah seturut dengan praktek-praktek rasial, juga diskriminatif. Tindakan itu bermuara pada tekanan psikologi rakyat tertindas. Penjajah menguasai seluruh alat penindasannya dengan Negara, lantas Dipusatkan di Jakarta lalu melancarkan penindasannya melalui alat represif juga ideology. Disini Negara digunakan sebagai alat kekuasaan. Atau alat penindasan. Lihat saja Negara Republik Indonesia yang menggunakan konsep yang mengacu pada Trias Politika. Konsep yang menetralisir semua pilar-pilar Negara, misalnya: Ilmu pengetahuan dan Media, kebudayaan, Hukum, dan Militer kepada tiga lembaga kekuasaan: lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. 


Pembagian kekuasaan itu mengacu pada konsep demokrasi yang manipulatif. Demokrasi yang berputar pada tiga kekuasaan itu, dan tentunya tidak mengajar kepada rakyat tertindas. Sebab fungsi lembaga legislatif yang fungsinya membuat kesimpulan kebahagiaan rakyat tertindas berdasarkan kemauan sendiri. Sebut saja misalnya pembuatan dan pengesahan UU Omnibus Law, Ciptaker, RUKUHP, Otsus jilid 2, dan seterusnya. Negara berfikir bahawa dengan mengesahkan berbagai rancangan perundang-undangan itu maka rakyat akan bahagia. Ternyata tidak. Justru memicu protes yang melibatkan massa yang banyak dalam demonstrasi yang meluas dimana-mana. Lantas protes itu negara menghadapinya dengan represi, penangkapan, penembakan, bahkan membubarkan demonstrasi. Media massa mulai dikerahkan untuk mempropaganda kepentingan kelas penguasa; menggerakan buzzer untuk mempropaganda Hoax, dan sebagainya. 


Lantas mendirikan semangat mendirikan suatu Negara West Papua tentunya bukan cita-cita perjuangan rakyat Papua hari ini. Negara hanya lah alat kekuasaan. Oleh itu Negara bukan satu-satunya alasan perjuangan kita. Kini akhir tahun yang diwarnai dengan penuh pertunjukan dalam perjuangan pembebasan rakyat West Papua. Saling menunjukan berbagai wajah pengkhianatan dalam perjuangan panjang mencapai cita-cita bangsa. Sebut saja kaum revisionis. Kaum revisionis selalu mengartikan perjuangan rakyat Papua mengacu pada pendirian suatu negara West Papua sebagai pencapaian tertinggi. Selalu mengartikan kemerdekaan dalam pandangan yang sangat sempit bahwa asumsi jalan keselamatan dan pembebasan merupakan mendirikan Negara West Papua beserta atributnya. Propaganda kaum revisionis itu akan mereduksi perspektif perjuangan rakyat Papua untuk ‘West Papua lebih baik’. Lembaga Negara tidak akan menjamin kebaikan pada umat manusia di suatu tatanan perkembangan masyarakat Papua. Rakyat akan di/terselamatkan oleh kesadaran rakyat sendiri. Hanya dengan kesadaran rakyat akan siapa musuh rakyat hari ini dan kesabaran akan cita_cita “West Papua yang lebih baik”, lalu perjuangan membumikannya.


Dari semua itu demokrasi lah nafas menciptakan “West Papua yang lebih Baik”. Cita-cita tersebut merupakan kritikan terhadap realitas penindasan hari ini. Terutama demokrasi yang dikuasai untuk kepentingan kekuasaan yang menindas. Juga kritikan kepada sistem produksi tanpa masa depan di west Papua. Sistem penghancur alam, juga berdampak kepada eksistensi manusia; Juga rezim yang tidak manusiawi di West Papua. Rezim yang selalu memproduksi berbagai undang-undang yang berorientasi memperkuat kekuatan arus penindasan yang semakin massif. Sehingga jalan menuju perjuangan menciptakan cita-cita tersebut merupakan praktek perjuangan yang revolusioner. Perjuangan revolusioner hanya bisa dimajukan dengan, pertama, kritik dan oto kritik. Kritik yang mengacu pada kesatuan tindakan dan aksi bersama. Kedua adalah kebebasan berpropaganda. 


Makna 1 Disember bagi rakyat West Papua, terutama gerakan Mahasiswa Papua, juga merupakan semangat untuk terus melawan penindasan.  Realitas penindasan hari ini menyasarkan bahawa tugas gerakan rakyat adalah MELAWAN. Maka, gerakan mahasiswa yang betul-betul anti terhadap penindasan terus melancarkan aksi-aksi perlawanan, paling minima di mulai dari membaca, berdiskusi, dan aksi, turun ke basis rakyat tertindas (pengorganisiran) tanpa memandang  warna kulit, agama, ras, dan segala batasannya.


“Tiada Revolusi tanpa teori Revolusioner.” V. I. Lenin


*Penulis adalah anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), kuliah di kota Yogyakarta


Aksi Ndugama pada 27 July 2020
di kota Kenyam Ndugama.
Tim Koran Kejora.

Di bawa rezim Pemerintah Jokowi-Maruf Amin terus melakukan pembantaian terhadap rakyat sipil Ndugama dan itu tidak berhenti sejak dahulu hingga kini. Operasi militer dengan sandi Mapiduma pada Tahun 1996, bahkan sebelum itu pun Operasi militer di lakukan serta penjajahan sejak dahulu oleh Negara Indonesia. Dalam data yang di release oleh LBH Papua Bahwa ada sekitar 40.819 (empat puluh ribuh delapan ratus sembilan belas rakyat Ndugama yang mengunggsi silahkan klik link tersebut "ps://suarapapua.com/2020/03/12/lbh-papua-desak-negara-tangani-40-819-pengungsi/").

Pandangan Negara Indonesia terhadap rakyat nduga adalah Separatis bagi Negara Indonesia. Semanjak Operasi militer digencarkan sejak dulu hingga dalam Tahun 2018, 2019 serta akhir bulan juny 2020 tak ada berhenti operasi militer itu terjadi.

Dalam catatan LBH Papua bahwa ada korban yang meninggal bahkan ada yang di tembak serta di bakar Rakyat Nduga dengan rumahnya (Honay).Data Ada sekitar 255 dan meningkat menjadi 257 rakyat Nduga yang di terror, intimidasi, di tembak, di kejar, dibunuh, dll, serta pelakunya oleh Negara Indonesia melalui TNI/PORLI. Informasi saat ini, ada rakyat Ndugama yang di tembak mati oleh TNI PORLi Negara Indonesia pada 18 July 2020 di tembak Mati dua rakyat Nduga di antaranya Seorang Anak dan Bapaknya yang sebenarnya profesi sebagai Tukang Sensor kayu (masyrakat sipil biasa). Diantaranya ELIAS KARUNGGU berumur 40 Tahun dan SELU KARUNGGU anaknya yang berusia 20 Tahun. Keduanya adalah rakyat sipil asli Ndugama. Sebelumnya, pada 20 Desember 2019 HENDIRIK LOKBERE yang berumur 30 Tahun dapat di tembak oleh pihak TNI/ PORLI saat Ia mengendarai kendaraan Truk muatan di Nduga.

Penjajah dari Negara Indonesia terus berlanjut dan itu pun rakyat Nduga yang masih ada di Ndugama terus memprotest atas kejahatan Negara Indonesia terkait pembunuhan rakyat sipil Nduga yang tidak bersalah dan ada pun tuntutan-tuntutan aksi Demo damai:

1. Negara Indonesia Segera Bertanggung Jawab atas pembunuhan Rakyat Sipil di Nduga serta seluruh Rakyat Papua Barat.

2. OTONOMI KHUSUS JILID II TOLAK RESMI DI ALAM TERBUKA.

3. 2021 BERAKHIR OTONOMI KHUSUS DAN KEMBALIKAN KEMERDEKAAN NEGARA WEST PAPUA BARAT.

4. kami meminta negara Republik Indonesia  bertangung jawab atas  penembak kan ALIAS KARUNGGU.ISU KARUNGGU.Dan ENDRIK LOKBERE. warga sipil pengungsi.

5. kami meminta pelaku penembakkan 3 orang harus proses hukum yang berlaku,kenapa abaikan saja.

6. Kami Menolak dengan tegas dari kabupaten Nduga  Otsus Pluss jilid II 100%

7. kami minta lembaga kemanusiaan  Internasional dalam hal PBB Dan Gereja se dunia segera bentuk tim invetigasi ke Nduga Papua Barat

8. Kami meminta pengacara Ham PBB ke Papua Barat terkhusus ke Nduga

9. Kami cukup banyak nyawa dibunuh sebanyak 257 orang  jiwa ini habis,maka solusi perdamaian adalah Berikan lah Hak Penentuan Nasip Sendiri Bangsa West Papua.

Dan kutipan yang kami kutip dari sumber media perantara” Atas Pengorbanan ini Jokowidodo segera lepaskan Papua Barat merdeka sendiri, salah satu toko gereja Sakeus Kogeya dalam orasinya di sampaikan di adapan masa terbuka. Di tambakan salah satu mama dari pengungsi berdiri dan dalam orasinya saya lahirkan anak-anak bukan TNI/polri bunuh tidak, saya lahir kan mereka jaga tanah Nduga dan Papua Barat ini, dulu kami hanya pegang Alkitab pemerintah Indonesia belum ada di ndugama disini, kami pake sali dan bapak-bapak pake koteka dan cawat, sebelum Indonesia ada di Papua Barat tidak pernah bunuh orang Papua Barat sebarang, kalau Negara model seperti ini kami Papua Barat harus lepas pengakuan mama pengungsi itu.

Salah satu intelektual Nduga meminta kepada Presiden Jokowi Dodo menarik pasukan TNI/POLRI operasi militer yang sedang berlangsung di wilayah Ndugama ini, atas perintah Jokowi itu melalui TNI menembak warga sipil dan operasi militer sampai hari ini masih berlanjut
Aksi demo damai bersama rakyat tersisa Nduga mulai dari 20 July 2020 Hingga 27 July 2020 dengan seluruh Masyarakat pengungsi semua elemen  di ibu kota kenyam kab,Nduga  di lapangan terbuka,bahwa Menyapaikan sikap di atas. Kami membutuhkan keterangan juga dari seluruh elemen rakyat untuk terus mengangkat kasus kejahatan Negara Indonesia di Ndugama Papua Barat.

Salam Peluk Erat untuk rakyat Ndugama.
Wa..Wa..

KJ. Prjock Picture
Penulis, Oskar Gie**

 "REFLEKSI 1 TAHUN TRAGEDI KEMANUSIAAN DI NDUGA - PAPUA"
 Persoalan Ndugama dan Ruang Hidup (2 Desember 2018 - 2 Desember 2019)

Awal mulanya pada tanggal 02 Desember 2018, telah terjadi Kontak senjata antara TNI-POLRI dan TPN-PB di Nduga Papua yang mengakibatkan terbunuhnya para pekerja Istaka Karya 19 orang, dengan status jelas adalah aparat TNI-POLRI. Kejadian ini pula mengakibatkan operasi Militer Indonesia besar-besaran di Nduga, baik itu terror, intimidasi, penembakan brutal, pengeboman lewat udara, pembakaran Honai (rumah warga) dimana-mana, pembakaran fasilitas umum, penghancuran rumah dan kantor-kantor (bangunan kantor distrik, puskesmas, gereja, sekolah dan rumah-rumah guru).

 Operasi sadar yang dilakukan oleh Aparat TNI-POLRI ini menimbulkan Tragedi  Kemanusiaan di Nduga, yang terus terjadi sampai saat ini tepat 1 tahun (2 Desember 2018 - 02 Desember 2019) masyarakat Nduga mengungsi lebih dari 12 distrik yang sudah tak berpenghuni lagi. Jumlah pengungsian-nya pun sudah melebihi 45 ribu orang. Mereka mengungsi ke gunung-gunung yang dikelilingi oleh hutan belantara, ada juga yang mengungsi ke Kabupaten Wamena, Puncak Papua, dan Timika.

Dari pengungsian tersebut, telah mengakibatkan nasib 700-An lebih Pelajar SD – SMU Nduga terbengkalai dan tidak dapat menerima pendidikan dengan baik sampai hari ini. Belum lagi seluruh mahasiswa Nduga yang terlantar nasib pendidikannya akibat exodus besar-besaran di seluruh kota study yang ada di Negara Indonesia, yang dikarenakan kejadian rasisme Surabaya oleh perlakuan beberapa aparat TNI-POLRI dan Ormas Reaksioner pada tanggal 16-17 Agustus 2019 lalu, dan juga kejadian terror dan intimidasi dimana-mana akhir dari rasisme itu.

Sampai saat ini (Desember 2019) telah tercatat 238 lebih Rakyat Nduga yang meninggal, yang diakibatkan oleh kurangnya Makanan, Sakit, Dan Lelah Saat Mengungsi. Bahkan adapula yang dibunuh oleh Militer Indonesia, yang secara membabi buta menyerang rakyat sipil di Nduga, dengan kejadian pengeboman pada tanggal 04 Desember 2018, dan penyerangan-penyerangan lainnya. Tanpa disadari, ini adalah penindasan manusa Nduga yang sangat tidak manusiawi oleh system pendekatan hukum degara lewat aparat Militer Indonesia yang bisa dibilang telah melakukan pelanggaran HAM Berat (Pembunuhan Manusia), terror dan intimidasi secara langsung kepada masyarakat Nduga, Papua.

Melihat masyarakat yang dipaksa keluar dari tempatnya untuk bertahan hidup dikarenakan konflik bersenjata yang terjadi sejak 2 Desember 2018 hingga saat ini masih terus berlangsung, terjadi pengiriman pasukan besar-besaran di Nduga Papua. Menurut data investigasi berita online (jubi.co.id; tirto.id; bbc.com; merdeka.com), tercatat bahwa pada tanggal 04 Desember 2018, terjadi pengiriman 153 pasukan gabungan TNI dan POLRI dikirim sebagai pasukan khusus untuk memburu TPN-PB di Nduga; 

Pada tanggal 05 Desember 2018, terjadi penambahan pasukan RAIDER dengan keahlian tempur dikirim oleh KODAM XVII Yonif 751/Vira Jaya Sakti yang bermarkas di Sentani, Jayapura; Pada tanggal 09 Maret 2019, penambahan 600 pasukan TNI dikirim oleh Batalyon 432 KOSTRAD Makassar dan Batalyon Zipur 8 Makassar; Pada tanggal 04 Juli 2019, Seorang anak perempuan berusia 1 tahun diduga disandera aparat setelah ibunya dibunuh; Pada tanggal 12 Agustus 2019, 200 personil BRIMOB didatangkan ke Timika dan selanjutnya ditempatkan (tugas) di Nduga, Puncak dan Puncak Jaya; dan pada tanggal 10 Oktober 2019, tercatat juga 5 orang Jenaza pengungsian ditemukan di Mbua, ditemukan dalam satu lubang yang ditutupi oleh daun-daunan sebelum ditimbun tanah. Hal ini, perlakuan pembunuhan dilakukan oleh aparat TNI-POLRI yang lagi bertugas disana.

Dalam situasi krisis kemanusiaan yang sangat serius ini, pemerintah Papua dan Pemerintah Pusat hanya sibuk dengan membahas DOB (Pemekaran Provinsi dan Kabupaten Baru di Papua). Bahkan yang menjadi trending topik adalah rekrutmen relawan untuk mensukseskan PON 2020 di Papua, yang dikerjakan oleh KNPI dengan dana yang sangat besar sampai setiap orang relawan digaji jutaan Per- bulan. Bagi saya ini adalah pengalian isu oleh Negara Indonesia untuk melupahkan, menghilangkan dan membiarkan isu tragedi Nduga-Papua tetap dalam kekejaman (Pembunuhan Manusia) Pelanggaran HAM berat tanpa ada solusi kemanusiaan bagi keselamatan masyarakat Nduga.

Sebagai sesama Orang Papua, ketika melihat saudara kita (Masyarakat Nduga) yang dibunuh, mengungsi, dan mengalami krisis kemanusiaan yang belum berakhir. Pertanyaan-nya, apakah Nduga Bukan Papua ? Apakah Pengungsi Nduga bukan manusia sebagai sesama rakyat Papua ? Apakah Pemekaran Provinsi (DOB) lebih penting dari pengungsi dan pelajar-mahasiswa exodus yang terlantar di Nduga ? Apakah PON 2020 lebih penting dari 238 lebih korban meninggal di Nduga ? Kita semua sama-sama manusia yang terlahir sebagai orang asli Papua (OAP) dan seharunya hidup bebas tanpa Intimidasi, Teror dan Pembunuhan dalam bentuk penindasan apa pun di atas negeri kita sendiri.

Sebelum memasuki perayaan Natal 2019, mari kita refleksikan sejenak Tragedi Kemanusiaan yang terjadi di Nduga semenjak tanggal 02 Desember 2018 hingga kini. Kiranya pemerintah Papua dan seluruh masyarakat Papua harus sadar bahwa rakyat Papua, khususnya masyarakat Nduga telah menjadi pengungsi diatas tanah-nya sendiri dan telah menjadi korban pembunuhan dari kebiadaban (klonialisme) pendekatan militer Indonesia, yang telah mengakibatkan 238 jiwa rakyat Nduga meninggal dunia dan ribuan rakyat Nduga mengungsi selama setahun.

Perlunya kita sebagai Rakyat Papua baik itu Pemerintah, LSM, Agama, Akar Rumput, Pelajar dan Mahasiswa, maupun juga lembaga hukum Indonesia dan Internasional harus menekan kepada Pemerintah Indonesia (Pusat) agar segerah membuka akses jurnalistik nasional dan internasional di Nduga, dan melakukan suatu tindakan hukum yang kongkrit untuk menyelesaikan kasus tragedi kemanusiaan ini. Sebab kalau tidak maka masyarakat Nduga akan punah dengan sendirinya. Saran kongkrit saya kepada pemerintah Papua dan seluruh elemen-sosial masyarakat yang peduli kepada Tragedi Kemanusiaan Nduga agar segera meminta Presiden Jokowi Dodo untuk menarik seluruh operasi aparat TNI-POLRI yang ada di Nduga, baik itu pasukan organik maupun non organik sebagai solusi kongkrit penyelesaian masalah ini. 

Penulis adalah aktivist Self-Determination

Sumber:

- Media Online (jubi.co.id; tirto.id; bbc.com; merdeka.com)
- Kajian data diskusi ilmiah Mahasiswa Nduga, 03 Desember 2019


Oleh: Musell Safkaur )*

Revolusi adalah sebuah pertarungan terbuka antara kekuatan-kekuatan sosial dalam sebuah perjuangan memperebutkan kekuasaan.

Sebuah revolusi disebakan oleh pergaulan hidup,suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis,dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam.

Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh pelbagai macam faktor, ekonomi,sosial, politik dan pisikilogis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan dilain pihak.

Kaum proletar Indonesia tumbuh dan menjadi  lebih kuat seiring dengan berkembangnya kapitalisme. Dalam pengertian ini, perkembangan kapitalisme adalah juga perkembangan kaum proletar menuju kediktatoran. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah, semakin besarlah hantu revolusi.

Tetapi kapan kekuasaan akan beralih ke tangan kelas proletar tergantung bukan secara langsung pada tingkat kekuatan-kekuatan produksi,tetapi tergantung pada relasi-relasi didalam perjuangan kelas,pada situasi internasional,dan akhirnya, tergantung pada sejumlah faktor subjektif; tradisi, inisiatif, dan kesiapan kaum proletar untuk berjuang.

Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan memegang kekuasaan negeri,politik dan ekonomi dan revolusi itu harus dijalankan dengan “kekerasan”. Yang merebut kekuasaan dengan aksi politik-aksi massa yang revolusioner lagi teratur dan tidak mau tunduk.

Revolusi bukan saja menghukum sekalian perbuatan ganas, menentang kecurangan dan kelaliman,tetapi juga mencapai segenap perbaikan dari kecelaan.

Di dalam masa revolusilah tercapai puncak kekuatan moral, terlahir kecerdasan pikiran dan teraih segenap kemampuan untuk mendirikan masyakat baru.

Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi,niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi.

Tuntaskan reformasi dengan revolusi !

*Penulis adalah aktivis AMP, kuliah di Yogyakarta

Massa aksi GempaR Papua saat sedang aksi didepan gedung Museum Uncen, Jayapura, 9 Agustus 2019

Dalam rangka memperingati hari Masyarakat Adat International pada 09 Agustus 2019, Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR Papua) melakukan aksi demonstarasi damai dengan Tema “Papua Bukan Tanah Kososng : Tutup Mata Lawan” di tiga Kota Studi Jayapura, Manokwari dan Sorong (Solidaritas).

Berikut Kronologinya:

KOTA JAYAPURA: Halaman UPT. Loka Budaya Museum Uncen Abepura.

Di Kota Jayapura GempaR Papua bergerak dan melakukan Aksi Demonstrasi damai dalam bentuk Orasi ilmiah, panggung budaya dan pemutaran film bersama Solidaritas Mahasiswa Uncen Peduli Budaya. Persiapan dimulai sejak pagi pukul 08.40 dihalaman Unit Pelaksana Teknis (UPT) Museum Loka Budaya Universitas Cendrawasih Padang Bulan Abepura.

Kegiatan di Pimpin oleh Kordinator Lapangan Selpianus Asso Pahabol dan Penanggung Jawab Aksi Samuel Womsiwor.

Memasuki pukul 09:00 Panggung orasi dan kelengkapan lainnya telah siap, 09:02 menit tepat diluar pagar UPT. Museum Uncen nampak seorang pria diluar masa aksi yang berperawakan Intel mengambil gambar-gambar Persiapan Aksi.

Pukul 09.20 orasi-orasi lepas oleh mahasiswa dan anggota GempaR Papua yang beruapa ajakan dan himbauan berlangsung selama kurang lebih 20 menit.

Memasuki pukul 09:40 hingga 09:45 Persiapan dan kegiatanpun mulai dengan dibuka oleh Pembawa Acara. Kesempatan pertama diberikan kepada Kordiantor Aksi Lapangan, selanjutnya pembawa acara memberikan kesempatan kepada GempaR Papua perwakilan Mahasiswa asal Kabupaten Fak-fak lalu diselingi dengan lagu-lagu daerah oleh GempaR Papua.

Mulai Pukul 10:00 – 11:20 Acara berjalan dengan lancar Orasi-orasi Ilmiah terkait Situasi Masyarakat Adat Papua hari ini terus disampaikan oleh GempaR Papua, Solidaritas Mahasiswa Peduli Budaya, Perwakilan Gerakan Perempuan Revolusioner West Papua, Perwakilan Forum Independen Mahasiswa (FIM) dengan diselengi Musik lagu-lagu daerah dan Puisi.

Tepat pukul 11:24 Pembantu Rektor III (PR III) Universitas Cendrawasih (Uncen) tiba dilokasi dan langsung bertemu dengan Kodinator Aksi Lapangan (Selpianus Asso Pahabol). Negosiasi terjadi dianatar Pihak Universitas dan Korlap sebagai negosiator. Orasi-orasi tetap berjalan. Negosiasi ini berjalan selama kurang lebih 10 menit dan hasilnya aksi tetap dilanjutkan meski Pembantu Rektor Tiga telah menyampaikan bahwa kegiatan ini tidak diberikan ijin oleh pihak kampus dan ini menurut PR III ini adalah perintah Rektor UNCEN untuk aksiini dibubarka, sehingga menurut PR II beliaupun tidak bisa melakukan pembelaan. Kordinator lapangan sendiri menjelaskan bahwa kegiatan ini tidak akan menganggu civitas akademika karena hanya akan berada disatu titik dengan orasi-orasi ilmiah dan panggung budaya setelah itu akan bubar. setelah pembicaraan usai PR III Uncen meninggalkan lokasi aksi dan kembali ke Auditorium Uncen mengikuti Debat Kandidat Calom Ketua Badan Eksekutiv Mahasiswa (BEM) UNCEN.

Pada saat negosiasi tersebut berlangsung mulai tampak beberapa kendaraan operasional kepolisian diluar pagar halaman UPT. Museum UNCEN. Nampak 1 Trek Dalmas, 1 Mobil Hilux, 1 mobil kaca gelap (Avanza/Inova), dan beberapa kendaraan bermotor roda dua. Meski demikian Kegiatan tetap dilanjutkan, waktu menunjukan pukul 11:37 saat pembacaan puisi dilakukan dan bersamaan dengan itu nampak pihak kepolisian telah memasuki halaman Musuem Uncen. Polisi-polisi tersebut ada yang dari kesatuan Brimob yang nampak jelas dari seragam mereka, Kesatuan Intel yang mana semuanya menggunakan pakian biasa (baju preman) dan Polisi berseragam cokelat.

11:40-11:48 Aksi Pembacaan Puisi tetap dilakukan dan dilanjutkan dengan Orasi dari GempaR Papua membawakan isu Sejarah Perjuangan Masyarakat Adat di PBB dan Mengapa 09 Agustus dijadikan Momentum Peringatan hari Masyarakat Adat Sedunia. Pada kesempatan ini Kepolisian yakni Kesatuan Intelejen dan Polisi Bersergam yang telah berada disekitaran halaman Museum telah melewati dan memasuki Tali Komando Brimob dan Polisi yang berjaga-jaga diluar pagar halaman Museum Uncen mulai masuk.

Mereka meminta kepada massa massa aksi untuk membubarkan diri. Jumlah Personil diperkirakan 50an yang terdiri dari Polisi, Brimob dan Intelejen, orasi tetap berjalan dan negosiasi dilakukan, namun polisi tetap mendekati massa aksi yang berjumlah 20-an orang dan hendak menghentikan orasi yang sedang dilakukan dengan paksa.

Sekjen GempaR Papua Yason Ngelia lalu menghentikan Orasi yang sedang dilakukan dan dan hendak mengumpulkan massa aksi untuk membubar diri dengan damai. Pada saat itu massa aksi telah terkepung oleh puluhan anggota kepolisian tersebut. Pada saat hendak membubarkan diri tersebut telepon Genggam Milik Saudara Yason Ngelia yang dipakai untuk mengambil gambar oleh salah satu Anggota GempaR Papua dirampas oleh salah satu Polisi. Ketegangan terjadi saat perebutan Telepon Genggam (Hand Phone/HP). Bersamaan dengan kejadian tarik menarik tersebut Mic Kabel yang digunakan ditempat aksi dirusak oleh kepolisian hingga kapel Mic Putus, HP-HP yang digunakan untuk mengambil gambar disita, termasuk Kamera Jenis .....

Ditengah Ketegangan tersebut Samuel Womsiwor sebagai Penangung Jawab Aksi menenangkan Massa dengan menyuruh berkumpul dan diharapakan satu komnado. Semua kembali tenang dan mengikut arahan pihak kepolisisan. Aski dibubarkan dan massa diarahkan untuk ikut Kepolisian Sektor Abepura (POLSEK ABE).

Tepatnya Pukul 11:50 massa aksi berjumlah 18 orang telah berada didalam Trek Dalmas dan diangkut menuju POLSEK ABE. Setibanya di POLSEK ABE, massa disuruh menunggu dihalaman depan POLSEK ABE (Semnetara) di Kantor Pos Abepura.

Dari sejumlah 18 Orang tersebut 4 orang diantaranya yakni :

1. Yason Ngelia (Sekjen GempaR Papua),
2. Samuel Womsiwor (Penanggung jawab Aksi),
3. Melkior Asso (Kordinator Aksi Lapangan) dan
4. Oria Kiwak (Pembawa Acara/ Master of Ceremony).
Keempat orang ini, diminta masuk keruangan terpisah untuk dimintai Keterangan.
Dari 18 orang ini 1 diantaranya dibebaskan atas Nama Harun Rumbarar dengan syarat menghapus foto-foto dari Memori Camera Miliknya. Sedangkan 13 Orang lainnya, diminta untuk mencatat nama, ketiga belas orang teresebut adalah :
1. Majus W Sool
2. Naman Kogoya
3. Lani He Lani
4. Alfianus Sool
5. Jeferson Saiba
6. Efrin Tabuni
7. Kinaonak Putri
8. Nare Kobak
9. Fernando Rumpaisum
10. Melpianus Asso
11. Elias Hindom
12. Yonas Tekege
13. Miseriko Ohoiwutun

Ketiga belas orang pada daftar diatas dibebaskan, namun 4 orang lainnya masih ditahan di POLSEK ABEPURA, Yaitu : Yason, Samuel, Melkior dan Ori (nama lengkap ada diatas).

Pukul 14:20 Pengacara Hukum (PH) dari LBH tiba di POLSEK Abepura, saat itu berdasarkan hasil kordinasi para PH sampaikan bahwa mereka diminta untuk kordinasi dengan Kapolsek (menurut mereka itu adalh perintah mereka hanya mengikuti) sedangkan Kapolsek sendiri tidak berada ditempat. PH kemudian kembali bernegosiasi untuk dapat bertemu dan mendampingi korban, tetapi sekalu lagi dipersulit dengan dimintai surat kuasa. Karena kendala teknis Surat Kuasa belum dipegang oleh PH dilapangan, maka proses advokasi sedikit terhambat karena pihak kepolisian yang tidak memberikan keringanan untuk para Pengacara melakukan tugas pendampingan.

Sekitar pukul 18:45 Pengcara dari LBH Papua, bapak Imanuel Gobay tiba di POLSEK dan melakukan Advokasi. 15 menit kemudian keempat orang lainnya dibebaskan.
Tepat Pukul 19:00 Semua massa aksi berjumlah 18 orang yang ditahan telah bebas.

Catatan kejadian pada saat proses pemeriksaans: 
1. Ada pengerusakan oleh Pihak Kepolisian pada saat penangkapan dihalaman Museum Uncen yakni 1 buah Mic Kabel.
2. Baliho dan perangkat aksi lainnya (speaker dan megapon)
3. juga disita bersamaan saat seluruh massa aksi dibubarkan.
4. Ada kekerasan fisik terhadap Samuel Womsiwor oleh polisi pada saat diruangan pemeriksaan.
5. Ada pelecehan oleh polisi dengan menarik lepas cawat (pakain tradisional)
6. Telepon Genggam (HP) milik Yason Ngelia dan Fernando Rumpaisum diminta untuk dihapus seluruh video dan foto-foto aksi di ruangan pemeriksaan.
7. Oria Kiwak Pembawa Acar (MC) pada saat di ruangan pemeriksaan diminta untuk membuka baju “eh ko nanti buka ko pu baju itu”.

Sumber: Gempar Papua


Penulis: Cinta Griapon*


“Menerima ketertindasan bukan untuk diam, tapi dilawan. Karena mengembalikan hak dasar perempuan Papua tidak semata makan minum, tapi soal Identitas!”—Diary Pribadi.

Perempuan diartikan dengan berbagai keterangan sesuai realita dimana Ia berada. Terkadang perempuan diartikan berdasarkan kondisi fisik, ekonomi bahkan kondisi lingkungan. Ini dapat terbentuk akibat adanya realita dari situasi dan dikonstruksi oleh kekuasaan yang mendominasi. Mengapa realita perempuan di Palestina, tidak sama dengan di Inggris, begitu pula di Venezuela. Dan tentu akan berbeda dengan perempuan di Papua.

Basis material: sejarah perkembangan masyarakat dan kondisi ekonomi-politik dunia penting menjadi landasan analisa untuk memahami dan menemukan akar masalah penindasan terhadap perempuan. Secara umum mayoritas Perempuan  mengalami ketertindasan yang sama di ruang publik maupun domestik. 

Ketertindasan ini kemudian perlu diulas lebih jauh akar permasalahannya. 

Salah satu komunitas dunia yang mengalami ketertindasan atas nama moderenisasi adalah masyarakat adat, diantaranya masyarakat Papua. Keberadaan masyarakat adat terancam akibat adanya interaksi perdagangan untuk menghasilkan profit atau keuntungan bagi kelompok tertentu.

Untuk itu mari kita lihat persoalan perempuan Papua.

Kolonialisme Belanda

Terbentuknya kolonialisme akibat praktek (meluasnya) perdagangan yang besar dan menguasai sehingga adanya akumulasi modal atau penukaran barang bernilai. Itu dilakukan oleh Negara-negara di Eropa untuk mendapatkan barang-barang yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari atau untuk asesoris. Maka kolonialisme merupakan salah satu cara untuk membenarkan keberadaan kelompok perdagangan di suatu wilayah. 

Wilayah yang dijajah (dikuasai) tentu memiliki sumber daya alam melimpah. Kemudian kondisi masyarakat tak berkelas atau masyarakat yang kehidupannya bergantung pada alam, dan kehidupan saling bekerja sama, kerapkali menjadi tempat yang baik untuk dilakukan penjajahan. 

Mayoritas kondisi masyarakat seperti ini adalah masyarakat adat. Masyarakat adat biasanya hidup berdampingan dengan batasan suku, sebagai komunitasnya. Suku memiliki wilayah untuk hidup kemudian memiliki hukum-hukum adat. Hal inilah yang menjadi peluang penjajah (kepentingan eksploitasi) untuk menduduki wilayah tersebut. Hal ini bisa menjelaskan bagaimana Belanda melakukan penjajahan (ekspansi) di Indonesia, Inggris untuk Malaysia, Papua Nugini, dan India dan penjajahan Spanyol di sebagian besar wilayah Amerika latin untuk kepentingan eksploitasi lahan, juga keberadaan negara-negara Eropa Barat di Afrika. 

Penjajahan pada dasarnya untuk kepentingan akumulasi modal melalui perdagangan. Ini akan disesuaikan dengan komoditi yang dibutuhkan dalam selang waktu tertentu sesuai keinginan pasar saat itu. Maka, pada < 400 tahun yang lalu bahkan hingga sekarang masih ada perdagangan manusia atau perbudakan. 

Hal ini juga menjelaskan bagaimana konidsi yang dapat menjelaskan penjajahan di Papua barat. 

Juli 1828 dengan dua kapal Triton dan Iris berlabu di sebuah kaki gunung Lamenciri, kapal Triton yang membawa A. J. Van Delden seorang komisaris utusan Belanda di Maluku bersama kapten Let. J.J Stanboom untuk persiapan eksplorasi dan mendirikan benteng sebagai bukti kekuasaan Belanda di teluk Triton. 

24 Agustus 1828 diresmikan benteng Foor de bush di teluk Triton, kaki gunung Lamencari, Kaimana. Saat ini merupakan saat dimana Belanda mulai datang dan menengok wilayah Papua Barat. Pada abad 18 kebutuhan pasar akan rempah-rempah dan minyak. Hal itu yang menyebabkan keinginan negara-negara-negara yang memilki pedagang-pedagang handal untuk melakukan ekspansi. Akses Belanda ke Papua dikarenakan keberadaannya di wilayah Maluku. 

Masyarakat Papua yang mendiami di persisir pertama kali melakukan interaksi. Mayoritas wilayah pesisir menjadikan laut sebagai tempat mendapatkan makanan, maka transportasi laut sangat berkembang saat itu, salah satunya adalah suku Byak  yang berlayar dan interaksi keluar wilayah adatnya. 

Pelayaran suku Byak ke luar kampungnya untuk mendapatkan makan atau karena konflik di wilayahnya, hal ini yang menjawab keberadaan suku Byak di wilayah Manukwar, wilayah Jayapura, kepulauan Rajampat, dan berbagai wilayah lainnya. 

Pulau Byak juga merupakan wilayah strategis untuk pelabuhan transportasi laut di wilayah pasifik. Sehingga, interaksi ini membuat pulau Byak dijadikan sebuah tempat berlabuh, juga pada tahun 1940-an pulau Byak dijadikan tempat pertahanan fasis Jepang untuk melawan Amerika serikat. Pecahnya perang Dunia II, menjadikan fasis Jepang saat itu menduduki paksa kepulauan-kepulauan di Byak, akibatnya adanya perlawanan dari Angganita Manufandu yaitu perlawanan bersenjata, sebagai bentuk pengusiran terhadap penjajahan di wilayahnya.


Jayapura menjadi tempat berlabuh untuk kepentingan ekonomi, pengangkutan barang mentah dan administrasi Belanda. Kondisi masyarakat khususnya perempuan di Port Numbay (Jayapura) berbeda dengan wilayah lainnya, Belanda banyak melakukan pelatihan-pelatihan di bidang khusus dan pelayanan-pelayanan kesehatan, pendidikan dsb. 

Kebanyakan pelayanan ini juga melibatkan perempuan yang diperkerjakan di perkantoran, dan perawat. Hal ini berbeda jauh dengan Java (pulau Jawa) atau Maluku karena pendekatan di Papua, Belanda melakukannya dengan pendekatan keagamaan. Di balik itu pemerintahan Belanda pula melakukan eksplorasi-eksplorasi di wilayah Papua untuk kepentingan pembagian wilayah dan sumber daya alam.

Tercatat sejak 1900-an hingga 1930 telah dilakukan lebih dari 140 eksplorasi. Salah satu penemuan berharga yang dilakukan Belanda pada tahun 1920-an adalah gunung Nemangkawi, yang kini dihuni tambang PT. Freeport dan tambang-tambang kecil lainnnya. 

Pada tahun 1900-an eksplorasi dilakukan karena kebutuhan minyak menjadi kebutuhan pasar dunia saat itu. Eksplorasi dilakukan melalui udara dan air, pada saat eksplorasi dilakukan kebanyakan wilayah-wilayah yang ditempati beberapa suku seperti suku Mee masih memiliki kehidupan perdagangan berupa barter untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, begitu pula masyarakat yang hidup di kaki gunung Nemangkawi, kehidupan berdampingan. Pada saat itu gunung Nemangkawi dilihat sebagai salah satu keindahan alam sebab memiliki alam yang asri dan di puncak gunung diselimuti salju abadi, hingga dibuktikan oleh geolog yang datang dan menemukan keberadaan material tambang. 

Pada tahun 1920-an keperluan tambang tidak diminati sebab tambang tidak bisa menjalankan mesin-mesin, setelah revolusi Industri di wilayah Eropa barat. Setelah perang dunia II kebutuhkan pasar dunia akan bahan-bahan mentah seperti bahan tambang untuk keperluan pembuatan senjata dan alat-alat teknologi semakin tinggi, maka arsip yang dimiliki Belanda pada tahun 1920-an tentu menjadi berguna di tahun 1940-an. 1935 Pemodal-pemodal asal Belanda, Inggris dan Jerman sempat melakukan penyatuan modal untuk mendirikan perusaahan minyak yang bernama ‘Netherland Nieuw Guinea Petroleum Maatshappij (NNGPM) di wilayah Domberai, Papua, untuk menjawab kebutuhan pasar dunia akan minyak bumi. Inilah kerja-kerja kolonial, melakukan penjajahan atas kepentingan eksploitasi untuk kepentingan perdagangan kemudian memperoleh keuntungan. 

Kejahatan kolonial Belanda ditutupi dengan program-program keagaamaan untuk pelayanan-pelayanan, maka saat itu rakyat Papua kemudian susah melihat Belanda sebagai penjajah, apalagi saat Belanda menduduki Papua, belanda hanya melakukan eksplorasi. Hingga perang dunia II usai 1945 kemudian adanya organisasi-organisasi dunia yang melihat pentingan pembangunan Hak Asasi Manusia, pentingnya melepaskan wilayah-wilayah jajahan, hal ini tetap tidak terlepas dari kebutuhan pasar untuk mendapatkan bahan-bahan mentah. 

Setelah perang dunia II perempuanlah yang diandalkan menjadi tenaga produktif untuk mengembalikan situasi setelah Perang, karena kaum laki-laki dijadikan gerilya-gerilya untuk perang. Perempuan mengalami penindasan akibat adanya eksploitasi yang mengharuskan perempuan bekerja lebih banyak (beban ganda). Bayangkan saja situasi di Papua, menjadi tempat penjajahan Belanda kemudian menjadi tempat sementara Jepang dalam melaksanakan perang, situasi trauma juga situasi kelaparan. Setelah perang perempuan mencoba kembali melakukan aktivitas seperti biasa, kemudian Belanda didesak meninggalkan Papua, kemudian dilanjutkan dengan penjajahan Indonesia.

Kolonialisme Indonesia

Sang Proklamator Ir. Soekarno mengumandangkan komando pendudukan di Papua pada 19 Desember 1961. Alun-alun Yokyakarta menyaksikan bunyi Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) merupakan awal malapeta bagi rakyat Papua. TRIKORA, bagi rakyat Papua, adalah manifesto penjajahan.

Sejak itu Papua menjadi daerah operasi militer (DOM). Terhitung mulai 1961-1998 tercatat 15 rangkaian operasi militer, dan berlanjut hingga tahun 2004.Tak berhenti disitu, hingga kini dibeberapa wilayah masih dijadikan DOM seperti Sinak, Nduga, Illaga, Mulia,Tembagapura, daerah lainnya di tanah Papua.

Pertunjukan kekejaman kolonial Indonesia di Papua di mulai rangkaian operasi militer (1961-2004) telah memakan lebih dari 500.000 juta jiwa orang Papua mati dibantai secara brutal oleh Militer Indonesia. Belum dan tak pernah terhitung jumlah korban yang hilang, yang teridentifikasi. 

Kemudian secara paksa, melalui mekanisme yang tidak demokratis, tanpa melibatkan orang Papua, Indonesia melakukan pendekatan diplomatif kepada Amerka, yang menyepakati perjanjian New York/ New York Agreement  pada 15 Agustus 1962, dan menghasilkan tindakan aneksasi (penggabungan paksa) pada 1 Mei 196, teritori Papua menjadi bagian dari Indonesia. 

Pelaksaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 14 Juli – 2 Agustus 1969 menjadi alasan legal di muka Internasional. Akademisi Internasional, lembaga-lembaga akvokasi temukan banyak pelanggaran Hukum dan Hak Asasi. Pepera dilakukan dalam situasi operasi militer berlangsung, dengan mekanisme Musyawara—yang harusnya mengikuti keputusan Internasional bahwa One Man One Vote (Satu orang satu suara)—ala Indonesia, serta memperoleh manipulative. 

Betapa susahnya, saat itu, kondisi psikologis dan fisik rakyat Papua saat itu yang berduka akibat dihujani peluru, kemudian dipaksakan untuk memilih bergabung dengan Indonesia. Tentu saja pemerintah menggunakan cara yang jahat untuk memenangkaan suaranya.

Rakyat Papua di di intimidasi, tentu ada pemaksaan dalam memilih, juga keterlibatan yang tidak mewakili populasi rakyat papua.Kemenangan ABRI dalam pepera diwakili oleh 1024 suara dari 800 ribu juta jiwa jumlah populasinya.

Manipulasi ini disebabkan adanya dorongan kepentingan eksploitasi sumber daya alam Papua yang berlimpah. Selain wilayah yang strategis untuk jalur perdagangan  dan keamanan, SDA Papua menjadi perhatian rezim Indonesia, saat itu, tergiur. Bagaimana tidak laut berisi minyak, gunung mengandung material, tanah subur untuk penanaman kelapa sawit, sedangkan 1960-an setelah perang dunia II kebutuhan pasar adalah material-material tambang untuk pembuatan produk-produk semakin meningkat. 

Papua dikorbankan untuk kepentingan eksploitasi. 7 April 1967 merupakan kontrak karya PT. Freport Mc. Moran antara Indonesia dan Amerika serikat. Kontrak karya dilakukan dua tahun sebelum PEPERA (1969); dan tentu tak melibatkan masyarakat adat, satu pun orang papua sebagai pemilik ha katas gunung nemangkawi yang dikeruk. 

Hal ini membuktikan keterlibatan negara-negara imperialis (negara-negara yang memiliki modal untuk kepentingan perdagangan yang menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya) dalam menggabungkan paksa Papua menjadi bagian dari Indonesia. Pada rentang waktu 1960-an juga terjadi gejolak politik di Indonesia yakni kekalahan gerakan rakyat terhadap rezim fasis Soeharto (kapital-militer) terjadi sekitar 1965-1966, sehingga selain DOM di Papua, Indonesia terjadi pembataian manusia yang berasal dari gerakan rakyat. Bahkan kejahatan ini terus belanjut hingga kini, yakni militer menguasai sistem pemerintahan dan sektor-sektor lainnya.

Pada situasi 1960-an hingga 1998 perempuan Papua yang menjadi korban: budak seksual, dijadikan korban kekerasan untuk memukul mundur kaum laki-laki dalam perjuangan, dan perempuan dibunuh secara brutal. Perempuan dijadikan objek kekerasan karena perempuan adalah tenaga produktif untuk menghasilkan makanan (kehidupan trandisional rakyat papua (1961-1998), kemudian perempuanlah yang akan melahirkan. 

Kondisi tersebut membuat banyak perempuan Papua terjebak dalam trauma yang mendalam. Trauma itu yang menjadi salah satu alasan, banyak perempuan yang memilih diam, memilih untuk perlindungan yang berlebihan (over protektif) kepada anggota keluarganya. Kondisi ini pula yang dapat menjawab semakin sedikit rakyat Papua membicarakan tentang hak demokrasinya. Perempuan dijadikan budak seksual kemudian terus berlanjut setelah 1998, dimana perempuan-perempuan Papua akan dikencani oleh militer untuk kepentingan memuaskan nafsunya (Nonton Video: Papua Voice ‘Surat Cinta kepada sang prada), ada pula diperkosa. 

Hal ini terus terjadi seperti lingkaran setan. Perempuan dituntut untuk bersekolah namun, tidak ada perlindungan terhadap perempuan, tidak ada upaya nyata dalam mengurangi stigma buruk terhadap perempuan, sehingga perempuan Papua terus menjadi korban. Lingkaran setan ini tidak berhenti di kekerasan militerisme. Kekerasan terhadap diskriminasi dalam sistem kesehatan, pelayanan yang buruk menyebabkan banyak kerugian yang dialami perempuan Papua. Sistem budaya yang dicengkoki budaya kolonial Belanda dan Indonesia melebur menjadi satu, budaya patriarki (dominasi laki-laki), budaya patron (yang lebih tua lebih mengerti segalanya, mentokohkan seseorang) dan budaya-budaya lain yang menjadikan perempuan semakin disingkirkan. 

Kondisi ini yang menjawab mengapa wilayah adat/ tanah adat di Papua, hampir tidak ada keterlibatan perempuan dalam pelepasan tanah adat kepada investor atau pemerintah. Budaya patron yang menyebabkan banyak perempuan yang menjadi sempit dalam berpikir, kesulitan kaum perempuan dalam berserikat apalagi menentukan nasibnya sendiri, kesulitan dalam mengakses banyak hal yang dapat meningkatkan tenaga produktifnya. Hal ini dikarenakan daerah domestik dan lingkungan menekan keberadaan perempuan, kemudian perempuan diikat dengan budaya-budaya yang menindas. Tahun 2001 – 2019 merupakan tahun dimana otonomi khusus (Otsus) diberlakukan di Papua, Otsus adalah anak kandung kolonial Indonesia di Papua, kebutuhan pasar dunia terhadap produk-produk pertanian, bahan mentah minyak sawit, bahan mentah minyak bumi, bahan mentah material tambang, jasa dsb, membuat kolonial Indonesia akan terus menawarkan program-program ‘pembangunan’ untuk menipu rakyat Papua. Selain perampasan tanah adat, negara juga menjadikan perempuan menjadi komoditi atau jasa seksual. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak pekerja seks komersial (PSK), hal ini disebabkan kebutuhan pasar adalah jasa seks sehingga mayoritas perempuan maupun laki-laki dan transgender harus dikorbankan untuk memenuhi pasar. 

Kondisi ini dialami perempuan Papua, kebiasaan mendapatkan makanan di alam/hutan/wilayah adatnya, kemudian dihentikan akibat aktivitas pertambangan, perkebunan, peternakan yang bukan untuk kepentingan perempuan tersebut. Bahkan tanah yang dikelolanya sekian tahun dirampas tanpa keterlibatnya dalam mengambil keputusn, ketika perempuan ingin bersuara akan dibenturkan dengan mocong senjata, kemudian muncul stigma-stigma lainnya, sehingga perempuan Papua di masa kolonial Indonesia benar-benar hidup dalam lingkaran setan. Fenomena-fenomena ini terus terjadi, dan akan terus terjadi bila tidak ada kesadaran yang baik dari perempuan –perempuan Papua. 

Kesadaran itu tidak dibentuk dari perempuan yang mendapat gelar Ph.D atau perempuan tidak perlu menjadi orang lain untuk melawan penindasan. Perempuan perlu menyadari dirinya sebagai manusia yang merdeka, manusia yang memerdekakan orang lain. Perempuan papua juga perlu sadar terhadap kebebasan yang membebaskan bangsanya dan bangsa tertindas lainnya. Alternative perjuangan harus ditawarkan oleh kaum perempuan dan kaum tertindas lainnya sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi penjajahan. 

*Penulis adalah aktivis AMP, Perempuan Papua, Mahasiswa Yogyakarta.
___________
Sumber :
Alua, A., Papua dari pangkuan ke pangkuan.,
Pigai N.D., Evolusi Nasionalisme dan sejarah konflik politik di Papua, 2000., 
Anonim., Papua Voice Film ‘ Surat cinta kepada sang prada’

Komentar Anda

[disqus][facebook]
Gambar tema oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.
Koran Kejora View My Stats