Mee Ati Aten, dalam bahasa Amungkal adalah, “Hargai Kami Sebagai Manusia, Sebagaimana Manusia Lain”. Dan Doa I.S Kijne pada tanggal 25 Oktober 1925, setibahnya di Papua ia mengatakan bahwa :Bangsa ini akan bangkit memimpin dirinya sendiri”. Penduduk adat pemilik gunung yang dieksploitasi PT Freeport menilai keberadaan Freeport selama 50 tahun di negerinya telah merusak aset leluhur mereka.
Odizeus Beanal, B.Sc, putra daerah dari Amungme mengatakan, pihaknya tidak ribut soal siapa pemilik saham, namun kehancuran lingkungan dan tatanan simbol budaya yang rusak harus dipulihkan demi sebuah martabat yang adil.
Odizeus yang juga Ketua Lembaga Adat Suku Amungme (LEMASA) melanjutkan, martabat Amungme yang sudah dihancurkan selama operasi tambang tidak bisa dijawab dengan harga dana satu persen.
“Ini soal harga diri kami, perasaan sosial akan filosofi adat budaya leluhur Amungme harus dikembalikan. Jangan lubangi Mama kami,” sambung Odizeus dengan kesal.
Gambar. Tampak Pusat Operasi PT. Freeport Indonesi |
Sementara itu aktivis pertambangan rakyat di Papua, Jhon Gobai yang juga Sekretaris II Dewan Adat Papua, mengingatkan bahwa negara dan para pemangku kepentingan bisnis agar melibatkan hak masyarakat adat dalam mengambil kebijakan.
Gobai juga sependapat dengan Odizeus soal saham. Lanjutnya, tidak penting bicara soal kepemilikan saham. Martabat adat tidak bisa diukur melalui saham. Kami ingin langkah pemerintah dalam menyelesaikan masalah Freeport untuk ke depannya harus benar benar melibatkan pemilik tanah. Gobai ingin agar prinsip FPIC harus jadi pedoman dalam pembicaraan apapun soal hak-hak tanah adat.
Neles Kum, pemuda asli Amungme juga menghendaki agar penyelesaian masalah Freeport tidak mengkambinghitamkan masyarakat adat. Sebab, selama 50 tahun Freeport menambang, banyak saudaranya yang mendapat dampak buruk secara langsung.
Sebagaimana sikap yang mereka sampaikan, bahwa LEMASA sebagai lembaga representatif suku Amungme, mendesak dilakukan perundingan yang melibatkan masyarakat adat setempat.
Aktivis Papua, Arkilaus Baho mengatakan Freeport harus mengalah sebagai bentuk dukungan terhadap UU Minerba dan PP Nomer 1 / 2017 yang sudah tercantum di dalamnya tinggal diimplementasikan, salah satunya dengan mewujudkan perusahaan-perusahaan pertambangan yang sudah beroperasi selama ini (berdasarkan ijin dari pemerintah pusat), untuk berunding dengan masyarakat adat setempat secara langsung dan mencari formulasi baru kemitraan, antara Imperialisme.
“Supaya ruang berunding bebas dan tidak ada unsur paksaan, terutama soal implementasi regulasi IUPK yang dijalankan oleh pemerintah terkait Freeport, maka segala upaya kekisruhan yang saat ini dilakukan oleh pihak tertentu yang masih menyuarakan kepentingan Freeport, harus dihentikan agar ada suasana damai untuk duduk bicara,” demikian ditambahkan Arki.
Masyarakat adat pemilik gunung yang dieksploitasi PT Freeport menilai keberadaan Freeport selama 50 tahun telah merusak aset leluhur.Editor : Gideon M. Adii
Sumber:
1. https://mail.google.com/mail/u/0/#inbox/15ae8c619e70079d
2. http://requisitoire-magazine.com/2017/03/20/mee-ate-aten-kami-bukan-mau-mengemis-saham/