Gambar Ilustrasi oleh Revoluis Mental Papua "Militerisme Diatas Tanah Papua Dan Organisasi Papua Merdeka (OPM)" |
Penulis: Nipson Murib
Sejak militer Indonesia merebut Negara West Papua menjadikan Indonesia sejak 1963 melalui berbagai cara oleh Negara Indonesia dan alat-alatnya, maka tulisan ini akan menyelaskan mengenai “Apa kerja-keja Militer Indonesia diatas Tanah Papua? Dan apa itu gerakan Orgnisasi Papua Merdeka di Hutang Papua?
Semenjak Negara West Papua dibubarkan atau Papua mengindonesiakan oleh Militer atas perintah Soekarno dalam TRI-KORA 19 Desember 1961, Tanah Papua dan Orang Papua menjadi korban kekerasan atau korban pelaku kriminal, orang papua menjadikan pelaku pengacau, orang papua menjadikan pelaku separatis, dll, yang diciptakan oleh Negara Indonesia atau kapitalis,militerisme. Sering kali kami mendengar di media kapitalis colonial bahwa pelaku kejahatan di atas Tanah Papua adalah TPN OPM, Gerakan Separatis, Gerakan OTK, Gerakan Pengacau, kelompok kriminal bersenjata (KKB) dan gerakan bersenjata Sipil, itulah bahasa atau sebutan yang digunakan dalam kelompok media koloni Indonesia, maka pembaca perlu ketahui dan tanyakan bahwa: Siapa sebenarnya Gerakan Pengacau, OTK, KKB, Separatis, diatas Tanah Papua, Apakah Militerisme atau OPM?
Penyelasan Sebagai Berikut:
A. Tentang Militerisme Di Papua.
Menurut (link): http://kbbi.web.id/militerisme adalah paham yang berdasarkan kekuatan militer sebagai pendukung kekuasaan; pemerintahan yang dikuasai oleh golongan militer; pemerintah yang mengatur negara secara militer (keras, disiplin, dan sebagainya): -- negara itu telah membawa malapetaka bagi dunia.
Keberadaan militer Indonesia di Papua sejak (TRI-KORA 19 december 1961).
dengan Tujuan Membantai bangsa Papua yang mempunyai Alam Papua, penggantian Rumpun/Ras dengan cara memperkosa Putri-putra Papua, proses Genocida dan etnocida dilakukan Melalui OPERASI MILITER, TRANSMIGRASI, KESEHATAN, PEMERKOSAAN. Militer Indonesia di Papua adalah Membantai orang Papua, Militer Di Tanah Papua adalah Menjaga Transmigrasi, Militer ditanah Papua adalah Menjaga Perusahaan-perusahaan milik Imperialis dan Kapitalis dengan bukti kejahatan militerisme Sbb:
1. OPERASI MANDALA Di bawa komando mayor Jendral Soeharto 1961
2. OPERASI TUMPAS pimpinan Jendral Kartidjo Dan Bintoro 1964-1968
3. Operasi Sadar Setelah PEPERA
4. OPERASI WIBAWA
5. OPERASI KIKIS 1977
6. OPERASI GALANG karena banyak Masyarakat yang menolak PEPERA.
7. OPERASI SAPU BERSIH UNTUK membasmi sisah2 rakyat Papua.
Rezim militer Orde Baru Soeharto menjadikan Papua sebagai daerah kekuasaan militer, terutama Angkatan Darat (AD). Kesan seperti itu sangat terasa karena instansi militer dan para petinggi militer di Kodam dan jajarannya mendominasi ranch politik dan jalannya pemerintahan di Papua. Cengkraman AD atas Papua kian kuat karena adanya dwifungsi ABRI dan dijadikannya Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Dengan semangat berdwifungsi, obsesi utama semua pimpinan militer Indonesia, khususnya di jajaran Kodam Trikora dan di Pemda Papua alah menghancurkan apa yang mereka sebut gerombolan bersenjata OPM. Obsesi penghancuran OPM itu juga dimotivasi oleh kepetingan ekonomi dan politik. Secara politik petinggi AD, seperti Pangdam, Danrem, dan Dandim adalah juga Ketua Pembina Golkar di wilayahnya. Secara ekonomi, semua perusahaan besar di Papua dikategorikan sebagai objek vital nasional. Artinya perusahaan-perusahaan itu berada di bawah naungan militer untuk keamanannya. Untuk itu, perusahaan-perusahaan harus menyetor sejumlah uang.
Pada gilirannya dalam setiap kepala pimpinan dan anggota ABRI beranggapan bahwa, semua orang Papua adalah separatis dan atau OPM, kecuali orang itu bisa menunjukkan dirinya bukan separatis. Obsesi itu tumbuh dari cara pandang yang melihat gerakan menuntut pengakuan identitas politik Papua. Maka dari itu untuk mengenyahkan "hantu OPM" itu, kebijakan yang diambil di Papua adalah menghancurkan OPM secara fisik (membunuh) dengan menggelar operasi militer berkesinambungan (DOM) dari tahun ke tahun.
Dr. Benny Giyai seorang rohaniwan dan intelektual Papua mencatat bahwa pengalaman di bawah cengkraman militer itu merupakan pengalaman pahit yang tak akan pernah terlupakan oleh orang-orang Papua. Benny menuliskan bahwa dalam seluruh pengalaman pahit itu, orang Papua merasa diperlakukan bukan sebagai manusia, melainkan hanya sebagai objek, yaitu objek operasi militer.
Sejarah sebagai objek kekerasan itulah yang selalu diingkari oleh Indonesia sampai hari ini.
Pihak-pihak militer atau aparat keamanan di Papua sama sekali tidak pernah merasa melakukan kejahatan terhadap siapa pun di Papua, karena operasi-operasi militer yang mereka lancarkan, atau penangkapan-penangkapan serta penyiksaan atau pembunuhan dengan segala bentuknya di Papua hanyalah dalam rangka menjalankan tugas sebagai pelindung NKRI dari rongrongan organisasi yang disebut sebagai OPM.
Tulisan ini berusaha membeberkan operasi-operasi militer yang digelar oleh Kodam yang berpataka "Praja Ghupta Kra" (Ksatria Pelindung Masyarakat) di Papua. Dalam pandangan orang-orang Papua, ABRI alih-alih menjadi pelindung, malah menjadi seperti pagar makan tanaman. Operasi¬operasi militer mendatangkan kesengsaraan lahir dan batin bagi orang-orang Papua. Pandangan orang Papua itu masih bertahan sampai saat ini sehingga mendorong mereka menuntut merdeka karena rendahnya kepercayaan terhadap instansi pemerintah yang ada di Papua.
Operasi-operasi militer yang berjalan terus-menerus dilihat sebagai kemenangan politik ABRI dalam melakukan bargaining dengan aktor¬aktor negara lain dalam mengambil kebijakan. Dwifungsi ABRI membuat aktor¬aktor politik lainnya kehilangan kendali terhadap ABRI. Hal itu terjadi karena kuatnya pengaruh perwira militer dalam politik lokal Papua baik dalam badan legislatif Papua maupun dalam lembaga eksekutif di Papua.
ABRI: Wajah Indonesia di Papua
Sampai saat ini, argumen Indonesia bahwa proses penggabungan Papua ke dalam Indonesia adalah suatu "kehendak dan panggilan sejarah" dari sikap patriotisme para sukarelawan terasa tidak memadai lagi. Apa lagi argumentasi yang menyatakan bahwa Papua telah menjadi bagian dari Indonesia sejak alam terbentang karena terdapatnya persamaan adanya kapak batu persegi dan adanya persamaan relief lukisan di dinding gua batu. Lebih tak berarti lagi, apabila klaim Indonesia itu semata disandarkan pada penguasaan Papua oleh kerajaan kuno seperti Sriwijaya, Majapahit sampai Sultan Tidore. Klaim atas Papua yang disandarkan pada argumen bahwa Papua adalah wilayah jajahan Belanda —sejak tahun 1828 berkat keberhasilan Belanda mendirikan benteng Fort du Buis di Teluk Triton, Kaimana¬secara otomatis menjadi wilayah Indonesia, juga tidak membantu banyak dalam menyakinkan orang Papua bahwa mereka adalah bagian sah dari Republik Indonesia.
Semua argumen itu terasa hambar karena tidak berasal dari pengalaman nyata orang-orang Papua sendiri dalam berintegrasi dengan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Lebih tepatnya, orang Papua berinteraksi secara nyata dengan entitas negara Indonesia adalah melalui sebuah pejanjian internasional yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 1962 di New York dan dilanjutkan dengan referendum tujuh tahun kemudian. Referendum itu disebut oleh Indonesia sebagai Pepera yang dijalankan secara musyawarah antara 1.022 orang mewakili seluruh orang Papua yang ada kala itu. Baru setelah Pepera di tahun 1969 itulah Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan tulang punggungnya pemerintahan militer.
Operasi militer untuk memaksa Papua berintegarasi ke dalam Indonesia secara faktual dirintis mulai tahun 1961 dengan masuknya bala tentara Indonesia ke Papua dengan sebutan sukarelawan dalam rangka melakukan infiltrasi untuk menguasai sebagian wilayah Papua dari Belanda dan kemudian daerah itu dimanfaatkan untuk mengacaukan jalannya pemerintahan Belanda atas Papua. Sejak tahun 1961 itulah, masyarakat Papua mengenal Indonesia secara nyata berkat adanya pasukan-pasukan ABRI yang menyusup ke Papua. Artinya, wajah pertama Indonesia di Papua diwakili oleh sepak terjang para pasukan infiltran ini.
1. Fase infiltrasi ini ditujukan untuk membentuk basis-basis gerilya dan mempersiapkan pembentukan pos terdepan bagi upaya penyerbuan Papua oleh Indonesia. Dalam fase ini, dimasukkan Lebih kurang 10 kompi prajurit ABRI ke Papua.
2. Fase kedua adalah melakukan serangan terbuka di beberapa daerah seperti Biak, Fak-fak, Sorong, Kaimana, dan Merauke.
3. Fase ketiga adalah konsolidasi pasukan sebagai kekuatan militer Indonesia di Papua.
Salah satu perwira ABRI yang menjadi infiltran ini adalah Kapten Benny Moerdani (kemudian menjadi Menghankam/ Pangab 1983-1988, Menhankam 1988¬1993) dengan pasukan berkekuatan 206 yang berasal dari RPKAD dan Kompi II Batalyon 530/Para dari Kodam Brawijaya. Pasukan ini diterjunkan di Merauke dengan sandi Operasi Naga. Operasi penyusupan di Papua ini secara keseluruhan diberi sandi Operasi Jayawijaya. Setelah New York Agreement disetujui, Benny dipindahkan ke Holandia (Jayapura) menjadi komandan sementara seluruh pasukan infiltran Indonesia di Irian Barat. Seluruh pasukan infiltran ini sebagaimana disyaratkan oleh New York Agreement kemudian diorganisasi ke dalam Kontingen Indonesia (Kotindo) sebagai pasukan keamanan UNTEA. Konsentrasi dari pasukan Indonesia ini awalnya adalah Merauke, Kaimana, Fafak, dan Sorong. Semua pasukan Indonesia ini kemudian dibagi ke dalam empat datasemen, yaitu Datasemen A di Merauke, Datasemen B di Kaimana, Detasemen C di Fak-fak, dan Detasemen D di Sorong. Pasukan-pasukan Indonesia ini kemudian diperbantukan kepada United Nation Security Force (UNSF) yang merupakan aparat keamanan UNTEA. Meskipun demikian, seluruh komando tetap berada di bawah Panglima Mandala. Artinya, pasukan Kotindo secara organik tetap merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ABRI. Maka dari itu, segala tanggung jawab organisatoris dan administratif tetap menjadi tanggung jawab Indonesia.
Dengan posisi yang demikian, ABRI di Papua memiliki dua misi, formal merupakan alai kelengkapan dari UNTEA dalam UNSF, sementara infomal adalah untuk melanjutkan komando Trikora. Maka dari itu, ABRI dalam Kotindo, lebih mementingkan tugas informalnya, yaitu mengawasi UNTEA agar tidak merugikan Indonesia dan menekan kekuatan-kekuatan sosial politik orang-orang Papua yang menentang Indonesia.
Kodam: Tulang Punggung Security Approach
Tahun 1963, Men/Pangad Jend A. Yani mengeluarkan perintah Operasi Wisnumurti untuk mendatangkan pasukan dari divisi-divisi di Jawa, Makassar, dan Maluku untuk mengembangkan kekuatan tempur dan staf Kodam. XVII. Tugas pokok Kodam ini adalah menegakkan kewibawaan Pemerintah Indonesia, menjamin keamanan dan ketertiban serta membantu pemerintah sipil dalam membangun Irian Barat. Para infiltran yang tergabung dalam Kotindo adalah inti kekuatan ABRI di Papua ketika Kodam XVII/ Tjendrawasih dibentuk. Sesunguhnya Kodam XVII yang awalnya bernama Kodam XVII/Irian Barat dibentuk melalui Surat Men/Pangad/No. Kpts¬105 8/8/1962 pada tanggal 17 Agustus 1962 atau 2 hari setelah New York Agreement ditandatangani. Karena masa itu, Indonesia belum memiliki kewenangan pemerintahan di Papua. Kodam ini hanya berada secara bayangan dengan fungsi mengawasi UNTEA dan gerak-gerik politik orang-orang Papua, terutama yang pro-kemerdekaan Papua. Brigjen U. Rukmana yang komandan Kotindo merangkap sebagai Pangdam pertama di Papua.
Kodam ini kemudian direalisasikan secara nyata baru 12 Januari 1963 mendekati hari penyerahan administrasi ke pemerintahan Papua dari UNTEA ke Indonesia. Kodam ini kemudian membentuk komando teritorialnya yang terdiri dari 3 Korem dan 23 Kodim. Kemudian komando teritorial ini diubah pada tanggal 3 Maret 1963 menjadi 3 Korem dan 8 Kodim, 70 Puterpa dan 20 Kooterpa. Komando-komando ini berfungsi sebagai gelar pasukan dan sekaligus penguasaan teritorial dalam rangka fungsi sosial politik secara nyata. Di samping itu, juga ditambah dengan dua batalion infantri. Kodam mulai berfungsi secara riil 17 Mei 1963, setelah UNTEA mengalihkan tanggung jawab administrasi pemerintahan ke Indonesia. Kodam XVII/Irian Barat pada tanggal 30 Juni 1964 berganti nama menjadi Kodam XVII/Tjendrawasih dengan pataka-nya Praja Ghupta Vira yang berarti Ksatria Pelindung Masyarakat. Sejak tahun 1964, inti kekuatan Kodam XVII/Tjendrawasih terus berkembang dengan dibentuknya batalion¬batalion baru, yaitu Batalion 751/ Tjendrawasih di Manokwari yang berasal dari Kodam VII/Diponegoro, Yonif 752/ Tjendrawasih di Sorong berasal dari Kodam VI/Siliwangi, dan Yonif 753/Tjendrawasih di Jayapura. Ketiga yonif ini merupakan pembaharuan dari yonif sebelumnya, yaitu. Yonif 641/Tjendrawasih I yang berasal dari Diponegoro dan Yonif 642/Tjendrawasih II yang berasal dari Siliwangi. Ke dalam kedua batalion ini telah bergabung unsur dari Papua, yaitu para gerilyawan Kasuari/Trikora dan anggota eks-PVK (Papuan Vrywillingers Korp) setelah mereka dididik di Siliwangi dan di Diponegoro. Jurnlah seluruh pasukanABRI pada awal kehadiran Kodam ini sekitar 2.000 prajurit lebih.
Peran militer—terutama AD¬menjadi kian dominan di Papua ketika terjadi reorganisasi militer Indonesia setelah kekuasaan beralih dari tangan Soekarno ke tangan Soeharto. Dominasi militer di Papua itu sejalan dengan menguatnya militer dalam kekuasaan di Indonesia. Menhankam/Pangab Benny Moerdani yang juga anggota, MPR dalam sidang MPR tahun 1988 pernah menyatakan kekuatan militer dalam politik itu tak ubahnya sebagai partai politik. Di era Benny Moerdani menjadi Menhankam/Pangab inilah peranan Kodam menjadi komando yang dominan di daerah dan sekaligus satu-satunya kekuatan militer yang mengendalikan kondisi keamanan dan ketertiban sekaligus kondisi sosial-politik daerah. Dalam menjalankan fungsi sosial¬politik ini, ABRI aktif dalam menggalang kekuatan politik bersama dengan Golkar. Sejak orang Papua ikut Pemilu Indonesia di tahun 1971 sampai Pemilu tahun 1997, Golkar tetap merupakan partai politik dominan di Papua dengan perolehan suara di atas 80%.
Sejalan dengan kebijakan itu, kemudian Kodam XVI Tjendarawasih digabung dengan Kodam XV/Patimura menjadi KodamXVII/ Trikora yang menjadi kekuatan hankam dan sosial politik utama pula di Papua. Sebagai kekuatan hankam dan sosial-politik titik berat tugas ABRI di Papua adalah mengatasi gangguan kamtibmas dan menangkal subversi dalam negeri. Dengan titik berat tugas militer seperti itu, Kodam akhirnya menjadi institusi yang dikuasai oleh TNI AD.
Sejalan dengan itu, rangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi. Pengalaman buruk di bawah DOM ini, kemudian membangkitkan pengalaman buruk rakyat Papua selama proses awal integrasi dan Pepera. Pengalaman buruk itu kemudian tampil ke permukaan secara terbuka di kala kekuasaan militer dalam pemerintahan surut ketika reformasi politik terjadi tahun 1998. Di era reformasi, di Papua tumbuh keberanian mempersoalkan seluruh kekuasaan Indonesia di Papua yang didominasi oleh militer itu. Keberanian itu kian buncah ketika Panglima ABRI Jenderal Wiranto di bulan Agustus 1998 menyatakan minta maaf dan mencabut status Papua sebagai daerah DOM.
Dengan latar sejarah dan posisi politik seperti itu, militer di Papua merasa dan melihat dirinya sebagai satu-satunya institusi yang menjaga keutuhan Indonesia di Papua. Pada gilirannya, militer di Papua selalu bertindak kerena terhadap segala bentuk gerakan atau opini yang mempertanyakan atau memprotes keadaan yang dirasakan kurang adil oleh tokoh-tokoh Papua. pada gilirannya, militer Indonesia di Papua sangat mudah memvonis seluruh bentuk protes orang Papua sebagai gerakan separatis. Ketika cap separatis sudah dialamatkan oleh militer kepada seseorang di Papua maka orang itu akan bisa menjadi korban dalam sekejap. Baik menjadi korban penculikan, penyiksaan, bahkan pembunuhan. Aksi kekerasan itu berlangsung bertahun-tahun, dengan ribuan korban jiwa. Para korban dan keluarganya inilah bersama-sama dengan kalangan muda dan mahasiswa beserta tokoh-tokoh terpelajar Papua di era reformasi mulai menyuarakan perlunya Indonesia mempertanggungjawabkan seluruh kekerasan itu. Untuk meminta pertanggung¬jawaban itu, wacana hak asasi manusia menjadi wacana yang paling dominan di Papua.
Kian menghujamnya cengkraman militer terhadap kehidupan sosial politik di Papua juga tidak terlepas dari potensi ekonomi daerah ini yang begitu besar. Hal itu terlihat ketika PT Freeport mulai menanamkan investasinya di Papua. Untuk melindungi PT Freeport, militer di Papua mulai mengembangkan pengaruhnya dalam politik lokal dengan cara yang lebih keras. Selain itu, militer juga memperbesar kekuasaanya dengan menempatkan diri sebagai pelindung dari mengalirnya ribuan para imigran dan transmigran dari luar Papua. Semuanya ini disebut oleh para petinggi militer sebagai tugas nasional dalam rangka menjaga integritas teritorial Indonesia di Papua. Seluruh sepak terjang militer yang mendatangkan luka di hati orang Papua inilah yang hendak diperbaiki dengan diberikan status otonomi khusus terhadap, Papua. Pada bagian Menimbang dari UU Otsus menyatakan bahwa penyelengaran pemerintan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi keadilan, memenuhi kesejahteraan rakyat, penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menghormati hak asasi manusia, khususnya hak asasi masyarakat Papua.
Operasi-Operasi Militer: Penderitaan Rakyat Papua
Untuk mendapatkan perhatian, Masyarakat prokemerdekaan kerap melancarkan gerakan bersenjata secara sporadic. Hal itu ditempuh Masyarakat prokemerdekaan karena terbatasnya kemampuan tempur akibat sedikitnya jumlah persenjataan. Selain itu, juga karena tidak mudahnya medan Papua untuk membangun kekuatan besar yang terorganisasi secara baik. Selain gerakan bersenjata, secara umum usaha Masyarakat prokemerdekaan untuk menunjukkan diri mereka tetap eksis adalah aksi penculikan, aksi penyergapan, pengibaran bendera Bintang Kejora, penyebaran propaganda melalui media selebaran, dan mobilisasi demonstrasi atau rapat umum di daerah-daerah terpencil. Selain itu, kerap pula ditempuh aksi lintas batas, terutama ke PNG.
ABRI terus-menerus melancarkan Operasi Sadar di bawah komando Pangdam Brigjen R. Kartidjo untuk menghancurkan kelompok perlawanan. Operasi Sadar ini tidak saja bertujuan untuk mematahkan perlawanan yang terjadi di Manokwari, tetapi juga menegaskan kekuasaan Kodam XVII atas seluruh wilayah Papua. Tugas pokok operasi adalah melakukan penghancuran terhadap gerombolan yang bergerak di sekitar Manokwari dan Kebar sekaligus, minimum menangkap Ferry Awom dan Julianus Wanma, baik mati maupun hidup sebelum tanggal 17 Agustus 1965. Operasi ini sejak 10 Agustus dilancarkan secara intensif dan terus-menerus ke kampung-kampung yang menjadi basis-basis perlawanan. Dalam operasi pengejaran terhadap kelompok perlawanan, 36 orang penduduk setempat tewas.
Sejalan dengan operasi pengejaran ini, Operasi Sadar dikembangkan ke seluruh wilayah Irian Barat pada tanggal 25 Agustus 1965. Kali ini, Operasi Sadar langsung dipimpin oleh Pangdam. Berdasarkan perintah operasi ini, wilayah Papua kemudian dibagi ke dalam 4 sektor. Sektor I adalah daerah yang meliputi Manokwari dan sekitarnya menjadi pos terdepan operasi. Untuk daerah ini dilancarkan operasi intelijen dan teritorial untuk mendukung operasi fisik (tempur). Di sektor lainnya yang belum menujukan adanya perlawanan fisik, hanya dilancarkan operasi intelijen dan teritorial dengan tujuan untuk mencegah meluasnya pengikut perlawanan.
Operasi ini dilanjutkan oleh Pangdam yang baru, yaitu Brigjen R. Bintoro. Sepanjang tahun 1966-1967 operasi tempur ABRI kian massif untuk menghadapi kelompok-kelompok perlawanan yang tumbuh dari suku Arfak di Manokwari di bawah pimpinan Lodewijk Mandatjan dan Ferry Awom dan juga di daerah sekitar Jayapura dan Merauke. Nama operasi kali ini adalah Operasi Baratayudha dengan mendatangkan pasukan dari Yonif 314/ Siliwangi dengan 2 kompi Yon 700/RIT dan 2 kompi Yon 935/Brimob. Selain itu dalam operasi ini juga dilibatkan 2 Ton KKO/ALRI, 1 Ton Kopasgat dan 1 tim RPKAD. Pasukan tempur ini juga diperkuat dengan 2 pesawat Bomber B-26 dan 1 Pesawat Dakota dan 1 Kapal Perang. Operasi Baratayudha bertujuan menghancurkan perlawanan dan mempersiapkan pemenangan PEPERA. Operasi ini bersifat tempur dengan dibantu oleh operasi intelijen dan teritorial yang disiapkan dalam tiga fase, yang fase terakhirnya adalah tahun 1968. Fase ketiga, ini ditujukan untuk konsolidasi persiapan memenangkan Pepera.
Operasi Baratayudha yang banyak menelan korban jiwa membuat kelompok perlawanan terpecah menjadi kecil-kecil dan surut. Untuk mengintensifkan kemenangan dalam Pepera, kelompok-kelompok kecil ini kemudian dikejar terus-menerus. Inti dari pasukan yang mengejar ini adalah dari RPKAD. Sejalan dengan ini, show offorce dari kekuatan yang diiringi dengan operasi intelijen dan territorial dilancarkan di daerah yang perlawanan kecil dan melemah untuk memenangkan situasi psikologis. Sepanjang tahun 1967, operasi berhasil menembak mati 73 orang dan menangkap 60 orang dengan menyita 39 pucuk senjata. Adapun yang menyerahkan diri 3.539 orang. Operasi Barathayuda ini menggetarkan hati banyak orang Papua, karena mereka tidak mengira Indonesia akan melancarkan perang terbuka yang banyak mendatangkan penderitaan fisik dan psikis dalam menghadapi protes mereka.
Ketika Brigjen Sarwo Edi menjadi Pangdam, digelar operasi baru yaitu operasi Wibawa dengan tugas utama adalah memenangkan Pepera untuk Indonesia. Tugas pokok dari operasi ini adalah menghancurkan kelompok perlawanan, mengamankan usaha memenangkan Pepera serta menumbuhkan dan memelihara kewibawaan pemerintah. Untuk tujuan itu, Kodam melakukan sinkronisasi operasi tempur, intelijen, dan teritorial. Sejalan dengan ini, Pangdam memerintahkan di setiap Kodim disiapkan kekuatan tempur agar bisa digunakan jika diperlukan.
Dalam kerangka memenangkan Pepera, OPSUS di bawah pimpinan Mayor Ali Moertopo yang bergerak di bidang intelijen dan sosial-ekonomi berperan dominan dalam melakukan operasi teritorial untuk penggalangan. Dalam kerangka Operasi Wibawa, pemenangan Pepera ke Kodam diperbantukan intelijen dari Den Dipiad dan intelijen dari Tim Karsa Yudha/RPKAD. Untuk memenangkan Pepera itu, intimidasi dan kekerasan telah memaksa sebagian orang memilih menjadi Indonesia. Secara keseluruhan, dalam operasi ini dilibatkan 6.220 orang pasukan indonesia.
Operasi Pemenangan Pepera ini dibagi ke dalam 4 fase. Fase pertama adalah menghancurkan kelompok perlawanan dan sekaligus memperluas sebaran pasukan ABRI ke daerah-daerah yang telah dikuasai. Selain itu, di setiap Puterpa disiapkan 1 regu pasukan infantri untuk melakukan operasi teritorial. Fase kedua adalah memastikan di daerah-daerah Kepala Burung Pepera dimenangkan oleh Indonesia. Untuk ini, segenap unsur ABRI dilibatkan untuk mengeliminir kelompok perlawanan. Fase ketiga dan keempat adalah memastikan kemenangan pada hari H-nya dan mengamankan hasilnya. Meski pun fase-fase itu telah disiapkan, ternyata upaya memastikan Pepera bisa dimenangkan oleh Indonesia tidak berjalan secara mulus. Di daerah Erambo (Merauke), Dubu/Ubrub (dekat perbatasan), Enaratoli dan Wahgete (Paniai) terjadi penolakan oleh masyarakat setempat. Para utusan pemerintah dan unsur ABRI yang ada di daerah itu dilawan oleh penduduk.
Di Enarotali, perlawanan lebih hebat dengan melancarkan gerakan bersenjata serta terang-terangan menolak bergabung ke Indonesia yang dipimpin oleh A.R. Wamafma, Senen Mote, Maphia Mote, dan Thomas Douw. Perlawanan ini juga didukung oleh beberapa orang polisi asal Papua yang berpihak kepada kelompok perlawanan. Untuk menghentikan gerakan ini, Pangdam Sarwo Edi 'memerintahkan menghancurkan kelompok perlawanan. Untuk itu, pasukan Kopashanda dan pasukan dari Kompi 3, Batalyon 724/Hasanuddin diterjunkan di Enarotali untuk membantu pasukan yang ada di Kodim 1705/Nabire. Pasukan ini dalam operasinya didukung pula oleh Dipiad (Dings Pelaksana Intelijen AD) dan Satgas AURI yang dilengkapi pesawat B 26, Dakota, dan Hercules. Pasukan Yon 724/Hasanuddin ini kemudian bergerak melancarkan operasi ke berbagai daerah di sekitar Paniai. Operasi yang dipimpin oleh Mayor Mochtar Jahja dan Mayor Sitompul ini tidak mudah dilupakan oleh rakyat Paniai karena dalam operasi ini militer bertindak secara kasar dan membabi buta. Ditengarai ada sekitar 634 orang penduduk terbunuh sepanjang operasi itu. Aksi perlawanan menjelang Pepera ini juga pecah di Piramid, Wamena. Dua orang anggota ABRI dibunuh oleh penduduk. ABRI dalam peristiwa Piramid ini melancarkan operasi intelijen dan teritorial untuk mencari pelakunya. Pasukan dari Satgas 3/Hasanuddin dikerahkan untuk menguasai kampung-kampung dan mencari pelaku.
Gencarnya operasi-operasi militer yang diperintahkan oleh Pangdam Sarwo Edi tidak terlepas dari fungsinya sebagai Ketua Proyek Pelaksana Daerah. Sesuai dengan surat Mendagri No. 30/1969, Pangdam bertanggung jawab atas pengendalian, penggerakan, dan koordinasi kegiatan semua aparatur pemerintah daerah, sipil, dan swasta dan ABRI di Papua. Dengan lain kata, Pangdam adalah penguasa tertinggi di Papua dalam menjalankan pemerintahan dan bertanggung jawab penuh untuk memenang-kan Pepera. Dalam posisinya sebagai Ketua Proyek, Pangdam melancarkan usaha-usaha peningkatan operasi tempur di semua lini untuk menghancurkan perlawanan, melakukan operasi teritorial untuk penggalangan kondisi bagi pemenangan Pepera dan mengintensifkan operasi intelijen untuk mematahkan sisa-sisa gerakan perlawanan oleh masyarakat. Selain itu, melakukan operasi pengamanan objek vital dan tempat-tempat sidang Dewan Pepera.
Sejalan dengan kemenangan Indonesia dalam Pepera, ABRI melakukan pula fungsi¬fungsi sosial-politiknya. Untuk itu, Kodam melancarkan program penggantian para pejabat kabupaten dan dinar-dinar yang dilihat diragukan loyalitasnya pada Indonesia. Bersamaan dengan ini, keanggotaan DPRD I dan II melakukan penyusunan ulang dengan memasukan anggota, ABRI menjadi anggota atau pimpinan dewan. Dalam konteks ini, pasukan ABRI juga dirapatkan di kampung-kampung untuk mengawasi kehidupan masyarakat secara langsung. Di samping itu, juga melancarkan proyek civilisasi dan kesehatan bekerja sama dengan zending dan misionaris yang telah ada. Dalam bidang ekonomi, Kodam juga turut serta melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi dengan mengontrol arus dan harga barang. Semua kegiatan ini disebut sebagai kegiatan civic mission ABRI di Papua.
Setelah memenangkan Pepera, 29 Januari 1970 Brigjen Acub Zainal ditunjuk menjabat Pangdam Tj endrawasih. Di tangan Pandam baru ini, organisasi Kodam menjadi 3 Korem, 9 Kodim, dan 3 Yonif. Yonif 751/ Tjendrawasih di Arfai, Manokwari berasal dari Kodam Diponegoro dengan status tugas jangka panjang. Yonif 752/Tjendrawasih di Sorong berasal dari Kodam Siliwangi dan Yonif 753/Tjendrawasih di Ifar Gunung, Jayapura berasal dari Brawijaya ditambah prajurit asli orang Papua. Ketiga Yonif ini dikembangkan menjadi pasukan organik Kodam Tjendrawasih. Sementara pasukan¬pasukan ABRI dari kesatuan lainnya yang berasal dari luar Papua mengalami rotasi penugasan. Pasukan lama pulang dan diganti dengan pasukan baru dari asal kesatuan yang sama. Reorganisasi ini juga sejalan dengan reorganisasi Kopkamtibda di Irian Jaya. Semua ini dipersiapkan untuk menyambut pelaksanaan Pemilu 1971.
Pemilu 1971 ini merupakan pemilu pertama Indonesia di bawah kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto. Pemilu ini juga merupakan pemilu pertama bagi orang Papua dalam kekuasaan Indonesia. Dalam mempersiapkan Pemilu 1971 ini, Kodam juga menghadapi perlawanan, terutama di Biak Utara dan Barat, serta di kepala burung Manokwari. Untuk menghentikan perlawanan tersebut dilancarkan operasi militer. Sandi operasi adalah Operasi Pamungkas dengan pendekatan pada operasi teritorial yang dibantu tempur dan intelijen. Pelaksana Operasi adalah Kodim Biak yang dibantu pasukan tempur dari Yonif 753 dan 752/Tjendrawasih serta Dipiad. Operasi di Biak ini dipimpin oleh Dandim Biak Mayor R.A. Hendrik dan Mayor Puspito yang juga Komandan Yon 753.
Bulan Juli 1971, Kodam juga melancarkan Operasi Pamungkas di Manokwari untuk mengejar Ferri Awom yang belum menyerah. Operasi ini dipimpin oleh Danyongab Satgas 3/Merdeka, Mayor Ahmad. Kemudian digantikan oleh Letkol S. Mardjan. Dalam Operasi ini terlibat pasukan dari Satgas 3/.merdeka dan 1 peleton dari Yon 751 dan 1 peleton dari Kompi 753. Batalion-batalion bertugas mengejar kelompok perlawanan sepanjang hari selama berbulan-bulan, Siang, dan malam. Dalam pengejaran ini Kapten Sahala Rajaguguk berhasil membujuk Ferry Awom untuk menyerah dengan 400 orang anggotanya.
Operasi militer yang masif di tahun 1971 ini alih-alih membuat sentimen anti Indonesia surut, malah perlawanan berkembang ke berbagai kota dalam bentuk penyerangan terhadap pos-pos ABRI dan pemerintahan. Melihat perlawanan menguat, Kodam kian memperkuat kekuasaannya di Papua dengan menutup, Papua bagi media. Suasana ketakutan merajalela di seantero Papua. Selama menjelang dan sesudah Pemilu 1971 tidak ada satu pun orang di Papua berani mempersoalkan ketidakadilan atau tindakan-tindakan anggota militer yang menyakitkan hati mereka.
Atmosfer ketakutan itu muncul dari tindakan militer Indonesia yang selalu melancarkan serangan militer besar-besaran terhadap daerah-daerah yang ditengarai sebagai basis masyarakat yang melawan pemerintahan indonesia. Dalam melakukan serangan, ABRI kerap melibatkan pasukan dalam jumlah besar dengan dibantu oleh pesawat pembom Bronco dan helikopter bersenjata. Serangan besar-besaran itu tidak saja mengejar masyarakat yang mencoba menyerang pos-pos ABRI, melainkan kerap kali menelan korban jiwa dari penduduk kampung yang tidak terlibat dalam penyerangan pos-pos ABRI.
Banyaknya korban jiwa di akhir tahun 1970-an ini juga disebabkan oleh sikap militer Indonesia sendiri yang tidak pernah secara jelas memposisikan masyarakat yang melawan pemerintahan Indonesia sebagai gerakan kemerdekaan. Mereka hanya dilihat sebagai gerakan kriminal yang disebut sebagai Gerakan Pengacau Liar (GPL) atau Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Dengan cara seperti ini, setiap korban jiwa yang jatuh dari kalangan orang-orang Papua dengan mudah diklaim oleh militer sebagai anggota penganggu keamanan.
Menjelang Pemilu 1977 perlawanan kembali dilancarkan, oleh masyarakat di Papua, terutama di daerah Kelila, Kobagma, Bokondini, Mulia, Ilaga, Piramid, Kabupaten Jayawijaya. Perlawanan ini dipicu oleh penempatan kesatuan-kesatuan ABRI di hampir seluruh wilayah Papua. Operasi-operasi militer untuk mematahkan perlawanan menjelang Pemilu 1977 dan Sidang Umum MPR 1978 ditingkatkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Selain itu, perlawanan juga pecah di Enarotali, Biak, dan Mimika serta di sepanjang daerah perbatasan dengan PNG Era ini dianggap oleh orang Papua sebagai era awal status Daerah Operasi Militer bagi Papua diterapkan . Pangdam Tjendrawasih waktu ini dijabat oleh Brigjen Imam Munandar.
Di Jayawijaya, terutama di daerah sekitar Tiom dan Kwiyawage yang merupakan lembah-lembah di Baliem dilangsungkan pula operasi militer untuk menghentikan perlawanan dan mempersiapkan Pemilu 1977. Operasi dilancarkan di bulan April dan Juni. Perlawanan orang Ndani di daerah ini diawali oleh perasaan tidak suka Suku Ndani terhadap kebijakan Indonesia yang memaksa mereka berganti pakaian. Sekitar 15.000 orang berkumpul melakukan protes. Perlawanan ini diawali oleh Operasi Koteka yang dilancarkan untuk mengadabkan orang-orang di daerah itu. Di Tiom sekitar 4.000 orang melawan dengan cara menyerang pos pemerintah di daerah itu. Kemudian ke daerah ini diterjunkan pasukan khusus dari RPKAD dengan didrop dari helikopter. Selain itu, para penduduk yang mencoba menyelamatkan diri ke hutan-hutan dihujani tembakan dari udara.
Di areal PT Freeport di Timika bulan Juli 1977 juga terjadi gejolak. penduduk setempat yang ditengarai digerakkan oleh masyarkat yang menolak pemerintahan Indonesia juga melancarkan serangan terhadap pips-pips dan fasilitas PT Freeport karena merasa kecewa atas kehadiran perusahaan itu. ABRI membalas aksi penduduk itu dengan melakukan penembakan dari udara menggunakan pesawat Bronco. Setelah itu, ke berbagai deretan kampung di sekitar Agimuga diterjukan pasukan infantri dari Batalion 753/Tjendrawasih untuk mengejar penduduk dan membakar perkampungan. Implikasi dari aksi kekerasan ini penyelengaraan Pemilu 1977 di beberapa kampung di daerah pegunungan ini terpaksa ditunda.
Robin Osborne mencatat operasi militer di tahun 1977-1978 adalah operasi militer paling buruk. Dalam setiap operasi pengejaran terhadap masyarakat yang prokemerdekaan Papua, diterjunkan pasukan dalam jumlah besar yang berintikan kesatuan RPKAD dan pasukan angkatan darat lainnya. Di daerah selatan Jayapura yang berdekatan dengan perbatasan yang dikenal sebagai daerah Markas prokemerdekaan Papua diterjukan 10.000 orang tentara setelah daerah itu dibombardir dari udara oleh dua pesawat Bronco. Dalam penyerangan ini, diperkirakan 1.605 orang para pro kemerdekaan Papua dan penduduk di wilayah itu tewas. operasi militer tahun-tahun itu selalu diingat oleh orang-orang tua dan menceritakan kepada anak dan cucu mereka di daerah itu hingga hari ini, sebagai kenyataan paling pahit dalam hidup mereka.
Sepanjang tahun 1977-1978 itu, Dubes Indonesia untuk PNG memperkirakan 1.800 orang pasukan dikerahkan beroperasi di hutan-hutan untuk melakukan pengejaran dan 3.000 orang siaga berada di Jayapura untuk setiap saat. Menyadari operasi militer itu telah menciptakan ketakutan dan menelan banyak korban jiwa yang tidak perlu, Panglima ABRI kala itu, Jenderal M. Yusuf, mengumumkan akan mengurangi operasi militer di Papua dengan mengintrodusir kebijakan baru yang dikenal dengan kebijakan Operasi Senyum. Dalam Operasi Senyum ini dinyatakan Indonesia tidak akan melancarkan operasi besar-besaran, karena masyarakat prokemerdekaan Papua mulai dilihat kecil dan tidak membahayakan. ABRI hanya, akan melancarkan patroli di perbatasan dan tugas keamanan rutin.
Gejolak kembali membuncah di tahun 1980-an, terutama sekitar tahun 1984. Di tahun 1980-an Kodam telah dinyatakan sebagai Kotama dalam jajaran AD. Panglima Kodam menjadi pimpinan di daerah untuk seluruh jajaran komando. Pangdam dalam reorganisasi organisasi ABRI ini langsung berada di bawah Panglima ABRI. Sejalan dengan itu, Panglima ABRI juga memiliki komando langsung kepada Kotama AD lainnya, yaitu Kostrad dan Kopassus. Oleh karena itu, di era ini operasi militer melibatkan pasukan-pasukan dari Kostrad dan Kapassus dengan perintahnya langsung dari Panglima ABRI, dan Kodam hanya memfasilitasi. Kenyataan ini kemudian dikenal dengan nama pasukan BKO (bawah kendali operasi). Di era ini, Papua juga tertutup bagi media sehingga banyak operasi yang dilancarkan oleh militer tidak diketahui oleh orang luar. Robin Osborne menyebut keadaan ini sebagai perang rahasia Indonesia di Papua.
Di awal tahun 1980-an, Kopkamtib mengeluarkan analisis bahwa kekuatan Masyarakat prokemerdekaan telah mengecil dan terpencar-pencar ke dalam kelompok kecil-kecil dengan senjata yang sangat terbatas. Meskipun demikian, Laksusda Irian Jaya kala itu juga melihat gerakan kelompok-kelompok Masyarakat prokemerdekaan itu kembali mulai aktif setelah menerima pukulan telak sepanjang tahun 1977-1978. Gerakan Masyarakat prokemerdekaan itu aktif sepanjang daerah perbatasan dengan PNG. Antara bulan Maret dan Juni 1984, pasukan dari Kopasandha (Kopassus) mulai melakukan penyusupan ke daerah-daerah sekitar perbatasan.
Aksi pasukan baret merah ini adalah dengan melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang dicurigai. Osborne mencatat gerakan pasukan ini sangat menakutkan penduduk sekitar perbatasan karena perlakuan buruknya terhadap penduduk. Akibatnya, ratusan orang melarikan diri ke daerah PNG karena takut. Pengungsian ke PNG di tahun 1984 ini kian banyak ketika Suku Muyu di Mindiptana, Woropko, dan Merauke juga masuk ke PNG. Pengungsian Suku Muyu ini dipicu oleh kehadiran pasukan ABRI, yaitu intelijen Kopassus di daerah itu untuk mencari anggota Masyarakat prokemerdekaan setelah ter adinya penyerangan pos ABRI di desa Kanggewot dan Kakuna tanggal 11-12 April 1984. Gerakan suku Muyu ini kemudian juga diikuti oleh penduduk dari daerah lainnya, yaitu dari Jayapura, Wamena, Sorong, Mimika (Amungme), Manokwari, dan Fak-fak. Seluruh pengungsi asal Papua yang masuk ke PNG ini diperkirakan mencapai 10.000 orang. Sementara Yafet Kambai mencatat dari seluruh pengungsi itu hanya sekitar 7.500 berhasil masuk ke PNG dan 1.900 orang berdiam diri di hutan-hutan sekitar perbatasan. Seluruh pengungsi ini ditempatkan di kamp East Aswin dan Western Province, PNG.
Gerakan pengungsian ke PNG selain faktor operasi militer di daerah perbatasan itu, juga disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan, yaitu banyaknya operasi intelijen, dan masuknya arcs transmigrasi secara besar-besaran ke Papua terutama di sekitar daerah perbatasan. Transmigrasi yang di dalamnya juga masuk keluarga ABRI dan para pensiunan ABRI kian membuat orang takut sekaligus merasa tanahnya dirampas. Para purnawirawan ABRI yang ikut dalam pemukiman transmigrasi sekaligus menjadi Intel Kodam dalam mengawasi daerah itu. Daerah-daerah transmigrasi ini seperti di Arso dan Koya atau di beberapa daerah di Merauke dijadikan pula sebagai daerah penyangga bagi Masyarakat prokemerdekaan dan memudahkan ABRI untuk melakukan patroli di daerah itu.
Pengungsian ke PNG di tahun 1983-1984, juga dipicu oleh banyaknya terjadi penangkapan-penangkapan di kota-kota Papua, terutama Jayapura oleh intelijen Kopasandha. Mereka yang ditangkap ada 20 orang yang berasal dari Uncen dan pegawai Gubernuran Irian Jaya. Salah seorang dari mereka adalah Arnold Ap yang menjabat sebagai Kepala Museum Antropologi Uncen. Penangkapan ini menimbulkan keresahan di Jayapura. Akibatnya, banyak dari para mahasiswa Uncen dan pegawai di pemerintah daerah lari ke PNG. Bahkan di Jakarta, tiga orang sahabat Amol Ap yang memprotes penangkapan dan pembunuhan Arnold oleh Kapassus ke DPR-RI terpaksa meninggalkan Jakarta.
Setelah pelarian besar-besaran ke PNG tahun 1984 ini, gerakan perlawanan dari Masyarakat prokemerdekaan betul-betul surut. Namun, ABRI yang kian merasa berkuasa atas Papua tidak bisa meninggalkan cars-cars kekerasan untuk menunjukkan dominasinya. Stigma OPM diekploitasi sedemikian rupa untuk melumpuhkan siapa saja yang dianggap menentang Indonesia. Tindakan kekerasan itu kerap pula dipakai setiap menjelang pemilu demi memenangkan Golkar di Papua.
Operasi militer setelah tahun 1984 berjalan secara lebih masif, namun aksi kekerasan dalam operasi itu tidak diketahui oleh publik di luar Papua karena media massa dilarang memberitakannya. Kemasifan operasi itu ditopang oleh kebijakan ABRI yang menjadikan yonif sebagai kekuatan inti tempur dengan pasukan tambahan dari Jakarta atau Makassar dan Maluku yang di-BKO-kan ke kodam. Di tahun 1984 ini, kodam. memilik 6 yonif, 3 di Papua dan 3 yonif di Maluku sebagai hasil penggabungan kodam. Dari 3 yonif di Maluku, satunya adalah Yonif Linud 733 di Ambon yang berkualifikasi para. Yonif dari Maluku ditugaskan melakukan operasi secara bergantian, sementara yonif di Papua melakukan operasi sepanjang tahun di bawah kendali korem.
Papua sebagai daerah operasi, satuan intelijen kodam dan jajarannya memegang peranan yang besar untuk menghancurkan gerakan yang disebut Masyarakat prokemerdekaan. Oleh karena itu, peranan intelijen dan operasi kontra intelijen selalu aktif sepajang tahun. Para intelijen dari kodam dan korem direkrut dari anggota satuan tempur yang memiliki naluri intelijen dan kemudian dilatih 3 sampai 10 hari sebelum diterjunkan mengumpulkan informasi. Selain itu, anggota intelijen ini latihan sambil bertugas bersama dengan intelijen tempur yang datang dari Kopassus.
Operasi-operasi di masa ini adalah Operasi Gagak I (1985-1986) yang dipimpin oleh Pangdam Mayjen H. Simanjuntak. Dalam operasi ini, pasukan operasi dibagi ke dalam sektor A di perbatasan, B di tengah dan C kepala burung dengan komando Korem masing-masing. Danrem adalah komandan sektor operasi. Kodim menjadi subsektor dengan Dandim sebagai Dansubsektor. Titik tekan operasi adalah teritorial dengan didukung oleh operasi intelijen dan tempur serta kamtibmas. Sektor Al meliputi daerah Kodim 1701/Jayapura, yaitu Membramo, Arso, Wares. Senggi, Kemtuk dan Demta. Pasukan yang dikerahkan di daerah ini adalah Yonif 733/ BS, satu kompi dari Yonif 751, 9 tim intelijen, aparat teritorial setempat serta dibantu oleh 2 SSK Wanra. Sementara A2 meliputi daerah Kodim 1702/Wamena dengan kekuatan pasukan dari 1 regu Yonif 751, 2 peleton Kilipur-4/Diponegro, 2 peleton Senzipur 10 serta pasukan teritorial setempat berserta 2 SST wanra/hansip. A3 adalah daerah Kodim 1707/Merauke dengan sasaran utama adalah desa Mendiptana dan Waropko. Pasukan yang ditedunkan di daerah ini adalah 1 kompi Yonif 751,1 peleton Zipur 4/Diponegoro, I peleton Denzipur 10, dan aparat teritorial yang dibantu oleh 2 SST wanra/hansip.
Daerah operasi sektor B adalah meliputi daerah Korem 173/PVB, dengan hot spot operasi di Nabire. Sasaran utama adalah Enarotali dan Kebo, Ilaga. Operasi ini bertujuan memburu pimpinan Masyarakat prokemerdekaan, yaitu Daniel Kogoya, Tadius Yogi, dan Simon Kogoya. Pasukan yang dikerahkan ke daerah ini adalah 1 pleton Yonif 753,1 peleton Zipur 4/Dip dan Apter setempat dan dibantu oleh 2 SST hansip/wanra. Sektor C adalah daerah Fak-fak dengan fokus operasi di daerah C3, yaitu daerah kompleks Tembagapura, Agimuga, dan Timika. Pimpinan Masyarakat prokemerdekaan yang hendak dikejar di daerah tambang PT Freeport ini adalah Vicktus Wangmang dengan mengerahkan pasukan dari Yonif 752 dengan kekuatan 2 kompi dibantu Apter dan 2 SST hansip/wanra. Dalam Operasi Gagak I ini, Kodam mencatat 14 orang yang diduga Masyarakat prokemerdekaan berhasil dibunuh dan 8 orang ditangkap dengan menyita 2 pucuk senjata.
Memasuki tahun 1986 operasi ini dilanjutkan Pangdam Mayjen Setiana dengan sandi Operasi Gagak II (1986-1987) dengan tugas pokok penghancuran GPK. Titik tekan operasi adalah operasi teritorial dan intelijen untuk memisahkan GPK dari rakyat serta melakukan deteksi loyalitas rakyat terhadap pemerintah. Operasi intelijen melakukan penggalangan agar loyalitas rakyat meningkat. Operasi tempur terus dijalankan dengan menggelar patroli untuk mengejar dan menghancurkan. Operasi dilancarkan dengan tetap membagi daerah operasi ke dalam 3 sektor. Pasukan yang dilibatkan dalam Operasi Gagak II ini adalah seluruh pasukan organik tempur dan teritorial Kodam VIII/ Trikora. Serta pasukan BKO dari Satgas Yonif321/Kostrad, 6 Tim Intelpur Kostrad, I Kompi Yonzipur/Dip, 1 Kompi Yon Zipur/ Brawijaya, satuan dari TNI AL dan AU serta Penerbad. Selama operasi ini, ABRI melaporkan 21 orang berhasil dibunuh, 5 ditangkap dan menyerah 12 orang dengan menyita 13 pucuk senjata.
Ketika Mayjen Wismoyo Arismunandar menjadi Pangdam Trikora digelar operasi dengan sandi Operasi Kasuari 01 (1987-1988), yaitu Juni 1987 sampai Mei 1988 dengan tugas utama menghancurkan GPK secara fisik, terutama di sekitar daerah perbatasan. Selain itu, operasi juga ditekankan di Kabupaten Jayapura, Paniai, Fak-fak dan Biak. Perkiraan ABRI waktu ini kekuatan Masyarakat prokemerdekaan hanya 222 orang dengan 64 pucuk senjata campuran. Akan tetapi, operasi digelar dalam 3 sektor dengan Danrem tetap sebagai komandan. sektor. Untuk daerah subsektor Al yang meliputi perbatasan di Kabupaten Jayapura dikerahkan pasukan dari Satgas Yonif 321/ Kostrad, Satgas Patimura II, 2 peleton Yonif 751, tim Yonif 752, tim analis Kopassus, tim Intelpur Kostrad, Satgas Intel Laksusda, satu peleton Kizipur 4/Diponegoro, I kompi Zipur 5/Brawijaya dengan dibantu 4 SSK wanra sebagai TBO. Sementara untuk Subsektor A2, Wamena dikerahkan 1 Ton Yon 751, 1 Ton Zipur 5/Brawijaya, 1 tim Intelpur Kostrad, 1 Ton Plus Satgas 642/Tanjungpura dan dibantu. SST wanra. Sementara di sector yaitu Merauke dikerahkan pasukan 1 Ton Yonif 751, dan 1 Ton Zipur 5/Brawijaya, Satgas Intel Laksusda dan Tim Intelpur Kostrad dan 2 SST wanra.
Di daerah operasi subsektor Bl, Nabire sasaran adalah Enarotali dan Sugapa, dengan menerjunkan pasukan dari Yonif 753, Intel Laksusda, Kizipur 4/Diponegoro, peleton Intelrem 173, Ru Marinir, 1 peleton Kopaskhas AU, I Tim Khusus Kodim Nabire dan 2 SSK wanra. Kampung yang menjadi sasaran adalah Kampung Tagitakaida, Seruai, Kampung Swaipak, Ampobukar, Supiori dan Swainober, Biak Barat. Selain itu juga di desa Hitadipa, Kecamatan Komopa, Kecamatan Sing, Desa Sapolinik, Kecamatan Sinak dan Lereh, Nabire. Begitu. juga Desa Tamakuni, Waropen. Pimpinan Masyarakat prokemerdekaan yang dikejar di daerah ini adalah Tadius Yogi dan Simon Kogoya. Sementara itu di sektor C, pasukan dikonsentrasikan untuk patroli tempur dan penjagaan areal PT Freeport serta Kecamatan Agimuga dan kampung Jila. Pasukan yang dikerahkan adalah berasal dari Yonif 752 satu kompi, Yonif 753 satu. regu, Ton Intelrem 171, Satgas Intel Laksusda dibantu satu SSK wanra. Semua pasukan di-BKO-kan kepada Kodim 1706/Fak-fak.
Operasi militer ini kemudian dilanjutkan dengan Operasi Kasuari 02 (1988-1989). Operasi ditekankan di sepanjang perbatasan dengan PNG dengan titik tekan operasi teritorial, intelijen dan tempur serta kamtibmas. Operasi teritorial diarahkan untuk membentuk desa binaan agar rakyat berpihak pada ABRI. Pasukan yang bertugas dan sektor operasi sama dengan Operasi Kasuari 01. Kelly Kwalik muncul sebagai pimpinan OPM di daerah Agimuka dan Tembagapura di masa Operasi Kasuari 02 ini. Mayjen Abinowo setelah mengantikan Wismoyo Arismunandar mengelar Operasi Rajawali 01 (1989-1990) dan Operasi Rajawali 02 (1990-1991). Operasi tetap, ditujukan untuk penghancuran Masyarakat prokemerdekaan di sepanjang perbatasan dengan PNG. Jenis operasi adalah teritoril, intelijen clan tempur secara terpadu dan serentak. Operasi teritorial diarahkan untuk pembentukan desa binaan dengan tujuan memisahkan rakyat dari GPK. Sementara, operasi intelijen ditujukan untuk mengidentifikasi gerakan GPK dan menetralisir penganihnya. Sementara itu, operasi tempur melancarkan patroli, pengejaran, dan penghancuran. Pasukan yang terlibat dalam operasi ini adalah pasukan organik Kodam VIII ditambah Yonif 621 /Tanjungpura, Yonif 43 1 / Brawijaya, (diganti Yonif 3 1 O/Siliwangi), 1 tim Intelpur Kostrad, Satgas Dampak XX Kopassus, Satgas Udara 3 Heli Puma, 1 Cassa AL, dan 32 Polsek, dan 6 SSK wanra. Di masa inilah, Thomas Wangai mengibarkan Benders Melanesia Barat di Jayapura.
Memasuki tahun 1990, kekuatan Masyarakat prokemerdekaan diperkirakan hanya 215 orang dengan 69 pucuk senjata campuran. Konsentrasi gerakan berada di sepanjang perbatasan dan sebagian tersebar di Kabupaten Jayapura, Biak, Yapen-Waropen, Fak-fak, Merauke. Pada periode ini, ABRI telah membagi empat kelompok GPK, yaitu politis, orang hutan, rakyat pendukung, dan clandestine yang berada dalam Pemda I dan II, perguruan tinggi, dan SLTA. Pasukan pendukung operasi ini adalah pasukan organik Kodam tambah 32 Koramil rawan, yaitu Satgas Yonif 732 asal Maluku, Satgas Ki. Denzipur 10, 1 Ki. Yon 751, 752, 753, Satgas Intel, dan ditambah pasukan nonorganik, yaitu Satgas Yonif 621, 431, 310, tim Intelpur Kostrad, Den Kopassus, dan Satgas Udara. Di tahun 1990 inilah, operasi intelijen militer yang berintikan pasukan Kopassus di Papua meningkat. Penangkapan-penangkapan yang disertai pembunuhan terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai Masyarakat prokemerdekaan kerap terjadi di berbagai tempat.
Operasi jenis ini kemudian terkuak ketika terjadi serangkaian pembunuhan terhadap penduduk kampung di desa Wea, Tembagapura di bulan Oktober sampai Desember 1995. Dalam aksi ini, pasukan dari Yonif 752 melakukan penembakan membabi buta terhadap penduduk yang sedang berada dalam ruma-rumah mereka. Tindakan ABRI itu diawali oleh adanya demontrasi beberapa bulan sebelumnya dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora. Dalam peristiwa ini, 11 orang terbunuh dan bebeberapa orang lainnya ditangkap dan kemudian disekap, di kontainer milik PT Freeport. Sebagian dari penduduk di kampung-kampung itu juga mengalami penyiksaan. Aksi kekerasan yang sama juga terjadi di Mapenduma, kab Jayawijaya Wamena ketika pasukan Kopassus mencoba membebaskan orang-orang yang disandera oleh kelompok Yudas Kogoya dan Kelly Kwalik.
Operasi militer dengan tujuan untuk memburu kelompok Masyarakat prokemerdekaan kembali terjadi di tahun 2003 tepatnya antara bulan April sampai Juni dan kemudian terus bertahan sampai Oktober di Wamena. Dalam operasi pengejaran di tahun 2003 ini diterjunkan pasukan dari Kopassus dan Kostrad yang di BKO-kan kepada Korem 171/Jayapura. Operasi militer ini diawali oleh terjadinya pembobolan gudang senjata Kodim 1702 Wamena oleh sekelompok orang bersenjata dini hari tangal 4 April 2003. Untuk mengejar kelompok bersejata itulah operasi ke kampung-kampung di seputaran kota Wamena dilancarkan. Pengejaran bahkan sampai ke daerah Kwiyawage. Mereka yang ditangkap di sekitar kota Wamena ditahan di Kodim dan kemudian mengalami penyiksaan yang luar biasa. Di kampung-kampung yang dilewati pasukan TNI ini terjadi rangkaian kekerasan terhadap penduduk. Namun, tindakan kekerasan yang luar biasa dilakukan pasukan TNI terjadi di Kwiyawage. Kampung-kampung yang diperkirakan berpenduduk hampir 7.000 jiwa ini dihujani tembakan dan rumah-rumahnya dibakar. Ribuan penduduknya yang berhasil ditangkap mengalami penyiksaan dan beberapa orang di antaranya dibunuh.
Operasi militer yang paling mengejutkan setelah DOM dicabut di Papua adalah tindakan Kopassus di tahun 2001, yaitu membunuh Theis H. Eluay di Jayapura. Pembunuhan itu dilakukan setelah Theis diundang Kopassus ke markasnya di Hamadi, Jayapura. Mayatnya kemudian dibuang di jurang pingir jalan di daerah Koya. Sampai hari ini, pembunuhan Theis ini belum terungkap siapa yang memerintahkannya. Yang jelas, seorang letkol dan seorang mayor Kapassus divonis oleh Makamah Militer Tinggi III Surabaya sebagai penanggung-jawabnya. Metode pembunuhan terhadap Theis bukanlah metode baru di Papua. Ratusan orang di Papua dibunuh dengan cara seperti itu, baik di kampung-kampung maupun di kota di seluruh Papua.
Sebenarnya ketika memasuki era reformasi politik Indonesia di tahun 1998, Masyarakat prokemerdekaan tidak berarti lagi secara politik karena tidak memiliki kekuatan senjata yang memadai. Bahkan, para anggotanya terpecah-pecah dan banyak yang bertalian dengan aparat TNI. Maka dari itu ketika menjabat Menkopolkam, SBY menyatakan Masyarakat prokemerdekaan bukanlah ancaman yang serius. Namun, aksi kekerasan oleh TNI di Papua tidak pernah surut. Rangkaian operasi militer yang terpapar di atas jika disimak dalam literature resmi Indonesia terdapat kesan bahwa operasi itu berjalan mulus tanpa cela. Seluruh operasi itu digelar semata-mata untuk mematahkan perlawanan Gerakan Pengacau Liar atau Gerakan Pengacau Keamanan. Tetapi, banyak saksi di Papua menyatakan dalam seluruh operasi itu banyak korban jiwa jatuh dari penduduk biasa di kampung-kampung serta puluhan orang Papua yang terpelajar dipenjarakan. Ketika situasi politik berubah, rangkaian Operasi Militer di Papua, digugat oleh orang-orang Papua karena mereka mencatatnya sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi mereka. Ternyata dalam operasi militer yang tiada putus itu yang dibunuh, disiksa, dan dihilangkan atau diperkosa bukanlah sekadar musuh negara, melainkan ratusan penduduk kampung yang daerahnya menjadi sasaran operasi militer tersebut. Antara tahun 1963-1969 korban orang Papua oleh operasi militer diperkirakan oleh Osborne dengan mengutip Hasting berjumlah 2.000 sampai 3.000 orang. Sementara Eliaser Bonay mantan Gubernur Papua di tahun 1981 pernah menyatakan korban berkisar 30.000 j iwa. Jan Warinussy Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari memperkirakan jumlah korban hampir 100.000 jiwa sejak Pepera sampai sekarang. Namun, jumlah korban yang moderat ditulis oleh Agus Sumule ketika merumuskan perlunya Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran. dan Rekonsiliasi dijamin pembentukannya dalam UU Otonomi Khusus untuk Papua. Sumule merinci jumlah korban tersebut adalah antara tahun 1969-1997 di Paniai 614 orang dibunuh. Hilang 13 orang dan diperkosa 80 orang (1980-1995). Tahun 1979 Kelila (Jayawijaya) 201 dibunuh, serta tahun 1977 di Asologaiman, 126 dibunuh, dan Wasi 148 orang dibunuh. Jumlah korban pembunuhan oleh aparat dalam rangkaian operasi militer itu belum teridentifikasi secara jelas sampai saat ini. Meskipun demikian, masalah hak asasi manusia yang serius telah terjadi di Papua. Menyikapi masalah hak asasi manusia yang serius itu, ketika fajar tahun 2000 merekah, Presiden Abdurrahman Wahid yang kala itu berada di Jayapura mengubah nama provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua. Seiring dengan perubahan nama itu, Presiden juga memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora dan meminta TNI mengunakan jalan damai dan meninggalkan cars-cars kekerasan dalam menyikapi masalah di Papua. Setahun kemudian, status Otonomi Khusus juga disetujui oleh Presiden Megawati kepada Papua melalui UU No. 21/2001.
Jalan dialog ini mulai terbuka karena munculnya gelombang protes yang tiada henti di Papua sepajang tahun 1998. Gelombang itu dimulai oleh para kalangan mahasiwa di Jayapura dan kemudian menjalar ke hampir semua kota di Papua. Titik cetusnya terjadi di Biak, bulan Juli 1999. Ribuan orang berdemonstrasi dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di Pelabuhan Biak. Demonstrasi kemudian juga menyebar ke kota-kota Papua lainnya, seperti Manokwari, Wamena, Merauke, Timika, dan Jayapura. Sayang dalam berbagai aksi demonstrasi yang diikuti pengibaran bendera Bintang Kejora ini, lagi-lagi, aparat keamanan bertindak secara kasar. Sepanjang tahun 2000, demonstrasi-demonstrasi yang menuntut keadilan dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora juga mengalami tindakan kekerasan oleh aparat keamanan. Sepanjang tahun 1999-2000, puluhan orang tewas tertembak oleh aparat.
B. TENTANG OPM
Organisasi Papua Merdeka atau singkat bahasa adalah OPM awalnya Angkatan Bersenjata Papua Barat Yaitu batalyon Kasuari yang diberi Nama Papoea Vrijwilleger Korps (PVK) Batalyon ini dibentuk pada 21 Februari 1961 Di Arfai-Manokwari kini dipakai oleh Batalyon Infanteri 752 TNI-AD. Setelah Peralihan Administrasi Negara Papua Barat dari Belanda ke tangan PBB UNTEA pada 1 Oktober 1962, Seluruh Pasukan PVK masih tetap eksis Hingga terjadi penyerangan Manokwari 1963. Penyerangan ini dilakukan oleh Batalyon PVK di bawa Pimpinan sersan Ferry Awom Dan Polisi Papua Jhon Jambuni dimana pasukan PBB yang berada Di Fasharkan dan Reremi Diserang oleh PVK dari Arfai sedangkan Pasukan Indonesia Yang brada Di KOREM diserang oleh Polisi Papua. Penyerangan ini dibantu Juga Oleh Seluruh Masyarakat Papua yang brada Di manokwari karena senjata milik Polisi Papua dan PVK dibagikan kepada Masyarakat. akibatnya hingga kini beredar Senjata Mouser Di kalangan masyarakat Manokwari yang Di jadikan sebagai Alat Pembayar maskawin.
Sebagai tindak balas PBB mulai menggunakan taktik Penipuan kerja Sama dengan PVK dan menangkap seluruh seluruh angora PVK lalu membubarkan pasukan PVK dengan Cara mengirim kembali ke daerah asalnya masing2 sedangkan Sersan Awom Dan Sersan Mathinus, Jimmy Wambraw ditahan di Manokwari. Mereka berdua diadili melalui Pengadilan Internasional Di bekas Kantor Gubernur Nederland Niuew Guinea Sekarang Kantor Gubernur Papua Barat Kemudian Dijatuhi Hukuman Tahanan di Lembaga Kampung Ambon. Kemudian dibebaskan pd tggl 30 April 1963 sebelum penyerahan administrasi Pemerintahan Papua ke Indonesia 1 Mei 1963. Kasus ini tidak pernah dilapor Oleh Penguasa UNTEA djalal Abdol kepada Sekjen PBB. kasus ini mengakibatkan PBB melanggar perjanjian New York pasal VII karena telah Membubarkan Polisi Negara West Papua.
Akhirnya PVK ditarik untuk Di Latin Di kodam Siliwangi Bandung kemudian Awom dgn Wambraw diangkat sbgai RPKAD skarang KOPASUS. mereka berdua di tugaskan ke Papua akhirnya mereka berdua Tiba di manokwari dan mulai mengumpulkan seluruh para Toko masyarakat Steak Barent Mandacan, Lodewik Mandacan, Irogi Meidoga, Terianus aronggear, Jhon Jambuani, Silas Wompere, Daniel Wanma, Benyamin Anari, Marthen Rumbiak, Watofa dl, Maka diadakan Rapat tertutup di Rumah keluarga Watofa Di SANGGENG sehingga membentuk Organisasi Pembebasan Papua Merdeka (OPPM). Berdirinya OPPM atau sekarang sebut OPM pada tanggal 26 Juli 1965 di Manokwari, dengan ketua Umum Terianus Aronggear dan dibantu oleh pasukan Gerilya dibawa pimpinan Panglima Tertinggi Sergeant PVK Permenas Ferry Awom.
Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu label yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka). Lahirnya OPM di kota Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Picu "proklamasi OPM" yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu.
Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala di kota Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan "proklamasi OPM" serta "pengibaran bendera OPM" yang kesekian kali. Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya. Soalnya, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai.
Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah "Papua Barat", seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan berdirinya negara "Melanesia Barat". Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menggondol gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.
Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara -- tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM -- mendapat perhatian luas.
26 Juli 1965
Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun. Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan tempur gerakan itu adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah migran suku Biak yang memang banyak terdapat di Manokwari. Sebelum terjun dalam pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah pemimpin partai politik bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu.
1 Juli 1971
Empat tahun sesudah pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando almarhum Sarwo Edhie Wibowo, "proklamasi OPM" kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Irian Jaya, "Mavik". Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak.
Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur (Aditjondro, 1987: 122). Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan Diponegoro.
Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri. Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda. Atas dorongan Womsiwor, ia membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat berikut dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat Brigadir Jenderal.
PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi. Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure ).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bah-wa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
SethJafetRumkorem
(Brigadir-Jenderal)
3 Desember 1974
Dalam upacara pembacaan proklamasi itu, Rumkorem didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat?), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima?) TEPENAL Republik Papua Barat.
Imajinasi kartografis wilayah negara merdeka yang dicita-citakan oleh para aktivis OPM, tidak terbatas pada wilayah eks propinsi New Guinea Barat di masa penjajahan Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di "Markas Victoria", imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua Niugini. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut "Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini) sampai ke Sorong, yang "100% merdeka di luar Republik Indonesia".
Sejak Februari 1975 Lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan "proklamasi Sorong-Samarai" itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan "bunuh diri" di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di antaranya abang dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9 Maret 1977 Kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan "makar". Ketika saya bekerja di Jayapura di awal 1980-an, saya berkenalan dengan salah seorang pencetus "proklamasi Sorong-Samarai", yang telah selesai menjalankan masa hukumannya, dan sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan transmigran sebagai tenaga penterjemah. Ia tidak mau berceritera tentang gerakan yang pernah dilakukannya (atau yang pernah dituduhkan kepadanya?).
26 April 1984
Pada tanggal ini, pemerintah Indonesia melakukan "sesuatu" yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap, ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.
Arnold Ap yang lahir di Biak tanggal 1 Juli 1945, menyelesaikan studi Sarjana Muda Geografi dari Universitas Cenderawasih, Abepura (13 Km sebelah selatan kota Jayapura). Di masa kemahasiswaannya, ia turut bersama sejumlah mahasiswa Uncen yang lama dalam demonstrasi-demonstrasi di saat kunjungan utusan PBB, Ortiz Sans, untuk mengevaluasi hasil Pepera 1969. Sesudah hasil Pepera mendapatkan pengesahan oleh PBB, tampaknya ia menyadari bahwa pendirian suatu negara Papua Barat yang terpisah dari Indonesia terlalu kecil kansnya dalam waktu singkat. Ia kemudian berusaha memperjuangkan agar orang Irian dapat mempertahankan identitas kebudayaan mereka, walaupun tetap berada dalam konteks negara Republik Indonesia.
Selain pertimbangan real-politik , pilihan Arnold Ap untuk memperjuangkan identitas Irian melalui bidang kebudayaan juga dipengaruhi oleh "modal alam" yang dimilikinya. Ia seorang seniman serba bisa yang berbakat. Selain mahir menyanyi, memainkan gitar dan tifa, menarikan berbagai jenis tari rakyat Irian Jaya, melukis sketsa-sketsa, ia juga mahir menceriterakan mop alias guyon-guyon khas Irian. Karena kelebihan-kelebihannya itu, Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih, Ignasius Soeharno, mengangkat Arnold Ap menjadi Kurator Museum Uncen yang berada di bawah lembaga itu. Dalam kapasitas itu, ia sering mendapat kesempatan mendampingi antropolog-antropolog asing yang datang melakukan penelitian lapangan di Irian Jaya. Kesempatan itulah yang dimanfaatkannya untuk melakukan inventarisasi terhadap seni patung, seni tari, serta lagu-lagu dari berbagai suku yang dikunjunginya (Ap dan Kapissa, 1981; Ap, 1983a dan 1983b).
Dalam kedudukan sebagai kepala museum yang diberi nama Sansakerta, Loka Budaya , ia mengajak sejumlah mahasiswa Uncen mendirikan sebuah kelompok seni-budaya yang mereka namakan Mambesak (istilah bahasa Biak untuk burung cenderawasih). Kelompok ini didirikan tanggal 15 Agustus 1978, menjelang acara 17 Agustus, sebagai persiapan untuk mengisi acara hiburan lepas senja di depan Loka Budaya. Selain Arnold, para "cikal-bakal" Mambesak yang lain adalah Marthin Sawaki, Yowel Kafiar, dan Sam Kapisa, yang masih berkuliah di Uncen waktu itu (IrJaDISC, 1983).
Ternyata, respons masyarakat Irian -- baik orang kota maupun orang desa, orang kampus maupun orang kampung -- terhadap karya kelompok Mambesak ini cukup besar. Lima volume kaset Mambesar berisi reproduksi -- dan juga, rearrangement -- lagu-lagu daerah Irian Jaya, berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk di Studio RRI Nusantara V setiap hari Minggu siang, cukup populer. Apalagi karena di selang-seling siarannya, lagu-lagu rekaman Mambesak selalu diputar. Lagu-lagu itu bahkan pernah saya dengar di Pegunungan Bintang dari siaran radio negara tetangga, Papua Niugini, yang sedang dinikmati oleh seorang penduduk asli suku Ok.
Berarti, dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan kebangkitan kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori oleh Arnold Ap dari kantornya di Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Sebagai kurator museum dan penasehat pusat pelayanan pedesaan yang saya pimpin waktu itu, IrJa-DISC, ia juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh adat serta seniman-seniman alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap dengan Kelompok Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat keamanan Indonesia, bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah suatu "bungkus kultural" bagi "bahaya laten" nasionalisme Papua. Walhasil, Arnold mulai berurusan dengan aparat keamanan di Jayapura. Tapi karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melakukan sesuatu yang "subversif" atau bersifat "makar", ia tak dapat ditahan. Apalagi kaset-kasetnya, atas saran Arnold, diputar di kampung-kampung di perbatasan Irian Jaya - Papua Niugini, untuk mengajak para gerilyawan OPM keluar dari hutan dan pulang ke kampung mereka.
Keadaan itu berubah drastis di penghujung tahun 1983, ketika pasukan elit Kopasandha yang ditugaskan di Irian Jaya, berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM yang mereka curigai ada di kampus dan di instansi-instansi pemerintah di Jayapura, dan menumpasnya once and for all. Arnold dianggap merupakan "kunci" untuk membongkar jaringan "OPM kota" itu. Mengapa Ap? Karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak.
Walhasil, pada tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Irian lain, yang umumnya bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri. Penahanan tokoh budayawan Irian yang di media cetak Indonesia hanya dilaporkan oleh harian Sinar Harapan dan majalah bulanan Berita Oikoumene , segera mengundang kegelisahan kaum terpelajar asli Irian di Jayapura maupun di Jakarta. Walaupun penahanannya dipertanyakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) maupun teman-teman Arnold yang lain di Jayapura dan di Jawa, sampai awal 1984 tak tampak tanda-tanda bahwa ia akan diajukan ke pengadilan. Ia hanya dipindahkan dari tahanan Kopassandha ke tahanan Polda. Seorang teman Arnold yang juga anggota inti Kelompok Mambesak, Eddy Mofu, malah mendadak juga ikut ditahan bersamanya. Ketidakjelasan status sang budayawan Irian ini, menambah keresahan kawan-kawannya di Jayapura dan Jakarta. Kegelisahan mereka akhirnya mendorong dua peristiwa pelarian politik ke luar negeri. Di Jayapura, pada tanggal 8 Februari 1984, puluhan teman dan simpatisan Arnold Ap melarikan diri ke Vanimo dengan menggunakan perahu bermotor. Dalam rombongan itu termasuk isteri Arnold, Corry, bersama tiga orang anaknya yang masih kecil serta bayi di dalam kandungannya. Sementara itu di Jakarta, empat pemuda Irian -- Johannes Rumbiak, Jopie Rumajau, Loth Sarakan, dan Ottis Simopiaref -- yang mempertanyakan nasib Arnold ke DPR-RI, akhirnya terpaksa minta suaka ke Kedutaan Besar Belanda, setelah mereka ketakutan akibat dicari-cari oleh aparat keamanan di tempat penginapan mereka (Kobe Oser, 1984).
Di tengah-tengah gejolak politik beginilah, "tawaran" kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984 (Osborne, 1985 dan 1987: 152-153; Anon., 1984 dan 1985; Ruhukail, 1985).
Sekitar lima ratus orang ikut mengantar jenazah sang seniman ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pekuburan Kristen Abe Pantai, berdampingan dengan makam sahabat dan saudaranya, Eddy Mofu, yang sudah meninggal pada hari pertama pelarian mereka dari tahanan pada hari Minggu Paskah, 22 April 1984. Kematian sang seniman ikut melecut arus pengungsi tambahan ke Papua Niugini. Sementara mereka yang sudah lebih dahulu lari ke sana, ikut memperingati kematian teman mereka, sambil menghibur sang janda, Corry Ap. Kematian budayawan asli Irian ini menambah simbol nasionalisme Papua, karena berbagai fraksi OPM di luar negeri, berlomba-lomba mengklaim Arnold Ap sebagai orang yang diam-diam menjadi "Menteri Pendidikan & Kebudayaan" mereka di dalam kabinet bawah tanah OPM di Irian Jaya. Ada yang juga menyebut sang seniman adalah seorang "konoor modern", merujuk ke para penyebar kabar gembira dalam mitologi mesianistik Biak, Koreri. (Osborne, 1987: 149).
Namun selang beberapa tahun, legenda itu mulai pudar. Lebih-lebih karena para penerus Kelompok Mambesak yang masih tetap bernaung di bawah kelepak sayap museum Uncen, tak ada yang mampu (atau berani?) menghidupkan kembali peranan kelompok senibudaya itu menjadi ujung tombak kebangkitan kebudayaan Irian. Sedangkan di Negeri Belanda, ke mana isteri dan anak-anak Arnold Ap diizinkan mengungsi oleh pemerintah Papua Niugini, kelompok-kelompok OPM mencoba memproyeksikan jandanya, Corry Ap, bagaikan figur Corry Aquino yang juga kehilangan suaminya karena keyakinan politik sang suami, Benigno ("Ninoy") Aquino. Namun Corry Ap bukan Corry Aquino, dan setelah bosan dengan usaha-usaha politisasi dirinya, janda sang seniman menarik diri dari kehidupan publik dan membatasi peranannya (yang sudah cukup berat) sebagai ibu, ayah, dan pencari nafkah, bagi keempat orang anak laki-lakinya di negeri yang tak selalu ramah terhadap para migran berkulit hitam.
Kesimpulan
Dari pennyelasan diatas dapat mengetahui dan simpulkan mengenai kedua pergerakan diatas Tanah Papua, baik gerakan Militerisme dan gerakan OPM. Dalam kesimpulan ini juga pembaca dapat ketahui mengenai pertanyaan “Siapa sebenarnya Gerakan Pengacau, OTK, KKB, Separatis, diatas Tanah Papua, Apakah Militerisme atau OPM?
Yang jelas sesuai tulisan diatas Gerakan Pengacau, OTK, KKB, Separatis, diatas Tanah Papua adalah Militerisme colonial Indonesia . Militerisme Indonesia atau kami sebut kelompok Pengacau terhadap orang papua diatas pulau Papua adalah mereka yang tidak memiliki kemanusiaan dan tidak memahami yang namanya UUD Negara RI “ Bahwa Kemerdekaan Ialah Hak Segala Bangsa, maka Penjajahan diatas dunia harus di hapuskan” dan juga tidak menghargai “Kovenan Internasional Hak-hak sipil dan politik”
Pengacau diatas Tanah Papua adalah mereka yang Namanya Militer Indonesia sejak perintah Soekarno dalam (TRI-KORA) untuk merebut dan membubarkan Negara West Papua Yang baru merdeka tanggal 1 Desember 1961-19 Desember 1961. Apakah OPM termasuk Pengacau? Jawabanya “OPM tidak Pengacau”, karena OPM adalah Angkatan Bersenjata Papua Barat Yaitu batalyon Kasuari yang diberi Nama Papoea Vrijwilleger Korps (PVK) Batalyon ini dibentuk pada 21 Februari 1961 Di Arfai-Manokwari. OPM adalah orang-orang terpelajar yang memahami HAM dan memahami nasionalisme orang Papua dan berjuang untuk merebut kembali kemerdekaan Negara West Papua 1 Desember 1961 yang dibubarkan oleh militer Indonesia itu, maka dalam gerakan OPM melawan kepada Sistem Negara dan Alat-alatnya adalah pantas untuk melawan karena, mengindonesiakan papua dalam system NKRI melalui Pepera adalah tidak adil dan tidak menghargai hak-hak orang.
Orang Tak di Kenal atau singkat kata OTK diatas Tanah Papua adalah mereka yang menamakan diri sebagai militer Indonesia yang melakukan Operasi-Operasi diatas Tanah Papua mengejar, membunnuh, dipenjarahkan prokemerdekan Negara West Papua sejak Tahun 1961 smpai saat ini, belum ketahui secara detail mengenai berapa orang Papua yang telah di tumpas habis-habisan diatas tanah leluhurnya sendiri. Kekerasan pembunuhan pemenjarahan adalah perlakukan OTK yang datang dari NKRI ditugaskan oleh Negara untuk membasmi ras malanesia yang hidup diatas tanah papua ( kalau orang papua mau merdeka silahkan cari pulau lain di pasifik untuk merdeka, atau meminta orang Amerika agar menyediakan tempat di bulan Ally Mutopo pada tahun 1966) itulah bukti sikap penjajah atau OTK.
Siapa Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB?
Kelompok kriminal Bersenjata (KKB) diatas Tanah Papua adalah militerime Indonesia yang melakukan kriminal terhadap orang Papua untuk melindungi kekayaan yang ada diatas Tanah Papua yang telah dikuras habis-habisan demi kepentingan Negara kapitalis dan inperealis. KKB diatas Tanah papua adalah mereka yang mengatas namakan sebagai keamanan NKRI di pulau Papua guna melidungi dan menjaga transmigrasi yang bekerja demi investasi Negara dan pemilik perusahaan kapitalis atau imperealis feodal.
Apakah Kelompok kriminal bersenjata adalah orang papua? Jawabannya “bukan orang Papua atau Bukan Pro Perjuangan Papua Merdeka yang melakukan KKB” karena, properjuangan Papua Merdeka adalah berstruktur dan mempunnyai surat PO dari atasan untuk melawan colonial atau militerisme Indonesia. Pro papua merdeka memahami taktik atau strategi untuk melawan OTK atau militer Indonesia bukan tanpa izin dari atasan yang tidak menghargai.
Siapa Separatis itu?. Sebelum ditunjuk siapa yang separatis di Papua perlu ketahui bersama apa arti separatis; Separatis menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah “golongan yang menghendaki pemisahan diri dari suatu persatuan; golongan bangsa untuk mendapat dukungan” . Dengan arti diatas orang papua tidak sama sekali memiliki persatuan atau tidak ada kekerabatan antara Indonesia dengan Papua, baik pada zaman kerajaan sampai zaman penjajah Kolonial Belanda, karena sejarah tertulis bahwa penjajahan Bangsa Indonesia dan Bangsa West papua Oleh pemerintah colonial Belanda itu sendiri, namun kekuasaan pemerintahnya di bagi dua yaitu dibawah kekuasaan Batavia (Indonesia) dan Holandia (Papua) maka tidak ada namanya satu Bangsa atau satu persatuan antara Bangsa Indonesia dengan Bangsa Papua.
Orang Papua Berjuan untuk membentuk kembali kemerdekaan bangsa Papua yang telah direbut oleh Militerisme Indonesia sejak itu, para pejuang yang memberontak adalah pejuang yang memahami nasionalisme bangsa Papua, karena para pejuang tersebut terdidik dan berpendidikan yang membentuk suatu gerakan organisasi yang berstruktur berjuang papua harus menentukan nasib bangsanya menjadikan Negara yang merdeka dan berdaulat tanpa penindasan diatas bangsanya dan Tanahnya sendiri yaitu dari Sorong sampai samarai, agar bangsa papua mengatur dan memimpin bangsanya dalam kesatuan yang utuh tanpa ada gangguan dari Separatis, OTK, KKB, dan Pengacau diata tanah Papua.
Disini perlu ketahui bahwa gerakan bangsa papua tidak separatis karena Separatis mengartikan bahwa ; golongan yang menghendaki pemisahan diri dari suatu persatuan” bangsa Papua atau malanesia tidak satu bangsa dengan bangsa Idonesia atau melayu dan bangsa Papua tidak pernah bersatu untuk berjuang Indonesia merdeka, namun media colonial dan kaki tangan penjajah selalu istigma menyebut gerakan separatis ini sangat salah paham dan tidak memahami arti dari separatis! Gerakan perjuangan papua mereka saat ini, karena dipaksakan untuk bersatu dalam NKRI, maka pantas untuk anak Papua berjuang merebut kemerdekaan Negara West Papua pada 1 Desember 1961.
Penulis adalah Ketua Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Bali
Sumber:
Telius yikwa http://www.elsam.or.id; widjojo, muridhan s. 2005.” Separatisme-hak asasi manusia-separatisme: sklus kekerasan di Papua, Indonesia” dalam jurnal hak asasi manusia dignitas, vol III/ no.1 tahun 2005.
http://tangisantanah.blogspot.co.id/2009/05/sejarah-opm-organisasi-papua merdeka.html?m=1 Sejarah OPM (Organisasi Papua Merdeka), Oleh: Dr. George Junus
(Aditjondro, 1987: 122).
Kobe Oser, 1984
Osborne, 1987: 149).
Ukur dan Cooley, 1977: 287;
Osborne, 1985: 35-36;
Sjamsuddin, 1989: 96-97;
Whitaker, 1990: 51.