foto aksi massa Aliansi Mahasiswa Papua, komite kota Bogor |
Pada 19 Tahun Biak Berdarah, 6 Juli 2017, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) secara nasional peringatkan Negara terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Aparatur (militer) dibawa Kontrol Presiden Soerharto—pasca reformasi 1998. Dari sekian media yang menyirkulasi berita, hari itu, MetroSindronews dot com mewartakan berita yang sangat tidak rasional dan sangat tidak objektif terhadap tujuan serta tuntutan aksi AMP Bogor (6/7) yang diberitakan oleh Haryudi. Saya menilai, opini tersebut sangat berpotensi membangun kebencian terhadap keberadaan mahasiswa Papua di mata masyarakat Bogor. Saya akan menguraikan muatan beritanya, terlepas dari etika jurnalistik, mulai dari judul berita hingga Isiannya.
Pertama, mengutip kalimat akhir di paragraf pertama, “...kecaman atas perpanjangan kontrak Freeport.” Padahal aksi mahasiswa Papua di Bogor pajangkan dua spanduk berisi tuntutan “Negara Bertanggungjawab atas Kejahatan Kemanusiaan di Papua Barat” dan “Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Rakyat Papua Barat” serta jujuan aksinya iyalah peringati 19 tahun Biak Berdarah.
Asumsi dari uraian diatas bahwa wartawan MetroSindronews tidak memantau di lapangan serta tidak tahu-menahu informasi seruan aksinya, sebelum itu. Entah Ia menyaring sumber dari siapa? Dan dimana? Sehingga mewartakan berita yang tidak produktif serta menyebarkan berita palsu kepada publik?
Kedua, mengutip paragraf terakir, “... pihak kepolisian membiarkan aksi tersebut melawan arus lalu lintas yang diterapkan Sistem Satu Arah (SSA) hingga mengalami kemacetan.” Ia menggunakan warga sebagai sumber alasan pembenaran hal tersebut. Bahwa Haryudi memanipulasi sumber dan memihak kepada satu sisi saja bahwa Polisi mematuhi dan menghargai Hak mahasiswa Papua longmarch melawan arus. AMP Bogor menyesalkan hal itu. Mengutip ampnews.org (8/8), pengurus AMP Bogor mengatakan Polresta Kota Bogor meneror, mengintimidasi, hingga menginterogasi Mahasiswa Papua saat mengantar Surat Pemberitahuan Aksi, serta rute aksi pun ditentukan kehendak Polisi.
Ketiga, Ia menulis, "Mahasiswa Papua Bogor memanfaatkan kesempatan saat Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Turki dan Jerman." Hal ini juga sangat subjetif. Setiap 6 Juli, orang Papua, yang ada di Papua, luar Papua dan dimana saja selalu peringati Tragedi Biak Berdarah yang dilakuan oleh Negara melalui aparat Militernya. Dan Mahasiswa Papua secara nasional melakukan aksi di Jawa dan Bali.
Sehingga muatan berita ini tidak hanya menyudutkan/mendiskriminasi mahasiswa Papua, tetapi juga membangun opini publik, menyebar pandangan buruk, membangun kontruksi kebencian kepada masyarakat bogor, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di Yogyakarta—hingga detik ini mahasiswa Papua Jogja sangat kesulitan mendapat kos-kosan. Hal itu terjadi, di Jogja, berawal dari peran media yang terus membangun opini publik, mendiskriminasi, rasial serta tindakan pengepungan asrama Mahasiswa Papua. Serta aksi-aksi mahasiswa Papua Yogyakarta selalu mendapatkan represif oleh, tidak hanya polisi, juga ormas-ormas milisi reaksioner, seperti Pemuda Pancasilah yang turut bergabung dalam tiga hari pengepungan asrama Papua, faksi Katon yang di koordinir oleh Muhamad Suhud, dan gabungan ormas lainnya yang selalu turut serta dalam aksi reaksionis Polisi terhadap Mahasiswa Papua.
Hal itu belum pernah terjadi di kota Bogor selama ini. MetroSindronews, kami menilai, sedang membangun pandangan buruk warga bogor akan berdampak pada kebencian antar-sesama rakyat yang tindas: mahasiswa Papua dan warga kota Bogor.
MetroSindronews, tindakan manipulasi sumber berita dari warga-masyarat sebagai alasan pembenaran, adalah hal yang tidak rasional. Posisi keberadaan sosial warga Bogordan rakyat Papua, hari ini, AMP melihat berdampak dari tindakan penguasa, dimana Pemerintah Indonesia bersekutu dengan kapitalis-imperialis, sejak Seokarno dilengserkan dan kekuasaan jatuh kepada tangan Soeharto—sekutu dengan Imperialis, serta merampas seluruh lahan pertanian dan mengasingkan masyarakat serta menguras rakyat dalam sistim yang terotonomi. Sehingga Media sangat berperang penting untuk menghemoni pikiran serta mencorong ide dan gagasan palsu, ilusi-ilusi yang mengalienasi.
Peranan media sangat diperlukan oleh borjuis serta kapitalis untuk melanggengi kepentingannya. Terus membangun kebencian antara sesama rakyat tertindas, memelihara rasisme, dan penguasa terus berjaya diatas penderitaan rakyat.
Peran Media Dalam Membangun Kesadaran Rakyat
Meruntuhkan kekuasaan dan merebut kekuasaan oleh kaum tertindas, tak hanya dengan menggunakan kekuatan-kekuatan fisik serta aksi-aksi dalam jumlah massa yang banyak. Media juga berperan penting untuk memembebaskan kesadaran rakyat dari hegemoni penguasa/penjajah. Selama 56 tahun rakyat Papua hidup dibawa sistim kolonial.
Dimana sistim pemerintahan yang terpusat di Jakarta, media (cetak dan online, TV), pendidikan, partai borjuasi, Undang-Undang serta ilmu pengetahuan yang dikendalikan langsung dari Ibu Kota Kolonial. Selama masa kolonisasi, Ide, filsafat dan gagasan-gagasan serta tipu daya kolonial telah tertanan dan berakar dalam Pikiran rakyat Papua. Sementara penindasan itu terus terjadi dan melanggengi kepentingan akumulasi kapital serta eksploitasian sumber-sumber hidup Rakyat.
Maka, Perjuangan pembebasan rakyat Papua Barat, adalalah dimana perjuangan mengusir penjajah serta kebudayaan orang Papua yang tekontaminasi dengan budaya dan pengetahuannya kolonial. Hal itu sangatlah mustahil bagi kita dalam kondisi hari ini, dimana ruang demokrasi terus dibranguskan oleh aparatus reaksioner, media sirkulasi Inforasi Papua dihecker (dibatasi) oleh Kementerian Informatika dan Komunika, serta kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang sangat jauh dari keberadaan sosial masyarakat, yang seharusnya rakyat berdialetika untuk merubah ketertinggalan.
Membangun kesadaran rakyat dan bangkit melawan penindasan, itulah yang tak dinginkan oleh Penguasa. Sebab tercipta antagonisme klas, kontradiksi yang terus berpolemik akan mengganggu akses eksploitasian serta akumulasi kapital. Sehingga Negara serta kapitalis-imperialis membutuhkan alat kontrol masyarakat, yakni aparatus Ideologi dan aparatus reaksioner. Dimana Polisi (alat represif Negara) mengontrol aksi-aksi perlawanan rakyat, hingga berhati-hati berbangun kesadaran rakyat. Diskusi dibubarkan, perpustakaan buku di gledak, hingga aksi yang bertentangan dengan kepentingannya diterima dengan tindakan-tindakan represif oleh aparat reaksioner. Media sikulasi informasi pun dikontrol oleh Negara, serta media borjuasi turut serta dalam membangun iklan-iklan produk kapital, sinetron, dan berita-berita tentang aktivitas serta gaya hidup orang klas menengah dan atas. Mewartakan tokoh populer dari latar belakang sosial. Sehingga memaksa masyarat untuk induvidualisme, kerja keras dalam terpecah-kelompok serta, semakin tak percaya dengan revolusi, perlawanan terhadap rezim dalam aksi massa yang besar, hingga menerima ketertindasan sebagai sebuah takdir. Kebebasan dan perubahan diartikan sebagai sebuah rezeki, dan penderitaan pula diaminkan sebagai takdir dan teguran atas sistim produksi sumber-sumber kehidupan yang lewat batas-hukum alam. Artinya rakyat menyadari adanya penindasan tetapi kesadaran untuk melawan, berjuang demi sebuah revolusi; dan nalar kritis ini lah media memaikan peran penting menghegemoni rakyat.
Dengan kemajuan teknologi yang siap saji, disertai dengan banjiran ilmu pengetahuan borjuis, berita-berita hox serta oponi publik yang tak bersumber dan memprovokasi yang makin marak rakyat pun semakin terasuk dalam banjiran informasi itu. Entah! Siapa yang mengendalikan alat control pikiran itu, dialah yang menguasai.
Penulis : Jhon Gobai, Kader AMP