Oleh: Zaqarias Tabuni*
Sejak kewenangan otsus diberikan kepada orang Papua hingga saat ini tidak ada perubahan yang signifikan menyangkut persoalan sumber daya manusia bahkan kemanusiaan. Malahan yang terjadi sebaliknya, pelanggaran kemanusiaann semakin meningkat. Mulai dari tabrak lari, di racun lewat makanan kadaluarsa, hingga penembakan oleh pihak militer pun terus terjadi. Lebih parah lagi pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak diproses lanjut oleh pihak penegak hukum. Lebih lanjut, akses terhadap jurnalis asing pun dikekang. Apa lagi utusan PBB, mereka pun tidak diberi izin untuk melakukan investigasi.
Otonomi khusus hanya sebuah permen karet yang hanya tercecap di bibir semata lalu hilang dalam wacana. Pemerintah provinsi tak punya kuasa lebih untuk melakukan otonominya karena ditekan dengan mentalitas uang. Uang yang digelontorkan bertriliunan hanya menjadi obat bius yang membuat mereka diam atas kekangan dari pemerintah pusat. Sehingga, kewenangan khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat dengan wacana mandiri itu lenyap bersama sogokan dana maupun tekanan psikologis melalui berbagai pengkondisian sosial.
Permen bius yang telah mereka nikmati semakin menggiurkan sehingga menimbulkan efek ketagihan. Akibatnya, terjadi persaingan antar elit. Di satu sisi, karena tekanan psikologi mencari kesenangan-kenyamanan pribadi dengan turut bermain dalam perpolitikan guna perjuangan yg sebenarnya diabaikan. Di lain pihak, karena benar-benar mencari sangat asyik pastinya, mereka sangat menikmati itu sehingga mereka lupa dengan masyarakat sekitar yang semakin terpuruk tak berdaya akibat tekanan tertentu.
Memang miris, didapatkan secara akademis maupun yang non akademis (masyarakat adat), sangat dimanfaatkan untuk memenangkan nafsu kuasa. Nah kebetulan, akhir dari ketagihan itu menimbulkan nafsu kuasa yang berlebihan. Calon a dan b mengadu domba masyarakat sehingga konflik. Itulah hasil dari permen otsus. Hasilnya, antara kita sendiri jadi anjing dan kucing, seakan bermusuhan satu sama lain. Padahal sama-sama orang Papua, bahkan sesama anak adat. Lebih parah lagi, dalam keluarga saja terjadi konflik antara kakak-adik, ayah-ibu, dan seterusnya di dalam kontestasi politik. Kita semakin membabi buta berlawanan antar sesama kita sendiri. Inilah tujuan mereka, yang bertujuan untuk melupakan perjuangan kita yang sebenarnya.
Dengan adanya konflik-konflik baru ini membuat kita lupa tujuan yang sebenarnya. Mimpi tentang kemerdekaan sudah di mimpikan oleh bangsa Papua. Memang, membius. Bahkan, pemerintah lupa untuk mendata sudah berapa banyak orang yang telah meninggal akibat pembius ini. Saking banyaknya sampe beli kertas untuk mencatat pun tidak pernah. Sangat disayangkan untuk itu.
Melihat persoalan seperti ini, masih mau kita bertekuk lutut dihadapan NKRI? Masih maukah mengkhianati hati kecil demi gelontoran dana yang sekejap saja akan habis? Masih mau menyembunyikan penjajahan yang didepan mata terus dilakukan oleh NKRI? Masih mau melihat rakyat mati sia-sia? Masih mau terus mempertahankan jalannya genosida yang terus dilakukan? ***
* Penulis adalah mahasiswa yang sedang berkuliah di Makasar.