doc.amp @korankejora |
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-WP), Carkrawala Muda Kerakyatan (CMK) dan Serikat Pembebasan Perempuan (SIEMPRE); meyelenggarakan Diskusi Publik Refleksi 3 Tahun Rasisme. Pada kamis, 18 Agustus 2022 waktu 17.00 mulai dari pukul 18.30 sampai selesai, di kontrakan puncak Papua Yogyakarta.
Rasisme adalah prasangka buruk berdasarkan keturunan bangsa. sebuah paham ras diri sendiri ras yang paling unggul dan melihat dari perlakuan negara Indonesia terhadap rakyat Papua bahwa orang Papua dianggap sebagai manusia yang tidak layak hidup dan primitif. Anggapan seakan mereka saja yang dapat layak hidup dan kami manusia OAP (Orang Asli Papua) bukan manusia tapi binatang begitu....Rasisme itu melihat dari negara-negara yang pernah Jajah seperti Indonesia. Rasisme sudah ada sejak bangsa Papua masuk dalam kolonial Indonesia. Rasisme itu produk dari kolonial itu sendiri. Indonesia sudah merdeka tapi masih terjajah oleh Amerika, Inggris, Jepang, dan China dan negara imperialisme lainnya.
PT Freeport mensejahterakan suku Amume dan Kamoro bahasa yang di bangun oleh negara colonial. Mana buktinya?
Yang jelas terjadi di Papua adalah genosida dan penggungsian, tidak sejahtera, sisi ekonomi sosial, pendidikan budaya, dll.
Rakyat Papua adalah korban rasisme sepanjang perjuangan rakyat Papua bukan pelaku Rasisme.
Dan Melihat dari sejarah prasangka yang menganggap seolah ras tertentu (dibandingkan ras lainya) memiliki sifat maupun kelakukan buruk sebagai bawaan hakikat, biologis, maupun turun-temurun, sekaligus perseksusi atau pun penindasan penindasan sistematis berdasarkan prasangka tersebut. Rasisme dalam beberapa kasus juga diiringi mitos kemahaunggulan ras ras dari pelaku rasisme tersebut muncul dari perbudakan modern pada masa awal kapitalisme oleh para kapitalis Eropa dan Amerika untuk memperbudak kaum kulit hitam Afrika di perkebunan-perkebunan wilayah mereka. Dalam perkembangan, rasisme bukan lagi hanya menggunakan superioritas biologis, namun juga perbedaan etnis, budaya, dan bahkan agama. Rasisme demikian juga berkembang di Indonesia.
Sejak awal perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan colonial Belanda, Bangsa Papua tidak pernah terlibat dalam pembentukan Negara-Bangsa Indonesia, baik itu melalui sumpah pemuda maupun dalam rapat-rapat BPUPKI dan PPKI. Para nasionalis Papua memproklamasikan kemerdekan pada 1 Desember 1961. Namun ambisi rezim Soekarno untuk meluaskan kekuasannya ke setiap wilayah bekas Hindia Belanda menggagalkan proklamasi tersebut dengan melakukan dengan operasi militer Tri Komando Rakyat (Trikora) di Alun-alun Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961.
Kemudian melihat lagi rasialistik yang dialami oleh rakyat Papua selama perjuangan, dan kembali melihat beberapa bentuk rasisme yang terjadi terhadap orang asli Papua (OAP). Hal itu terjadi karena mindset yang dibentuk dari para imperialis.
Mulai dari hinaan bentuk fisik seperti warna kulit, rambut, dan bentuk fisik. Bahkan diskriminasi di tempat belajar, tempat kerja, pengadilan, hingga tindakan intimidasi oleh aparat keamanan. Hampir seluruh manusia kulit hitam dibelahan dunia di diskriminasi hanya karena warna kulit.
Merebaknya protes anti-rasisme seperti Black Lives Matter, Papuan Lives Matter, dan yang terkini Stop Asian Hate adalah akumulasi kemarahan terhadap diskriminasi rasial yang melanggar hak orang sejak berabad-abad lalu, yang menyebabkan berbagai kesenjangan yang merugikan sampai sekarang.
Mari kita kulik lebih jauh apa yang dimaksud dengan rasisme dan mengapa harus dibasmi tuntas. Rasisme adalah perbedaan perilaku dan ketidaksetaraan berdasarkan warna kulit, ras, suku, dan asal-usul seseorang yang membatasi atau melanggar hak dan kebebasan seseorang.
Rasisme juga sering diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia dapat dibagi menjadi kelompok terpisah berdasarkan ciri biologis yang disebut “ras”. Gagasan ini juga menyakini ada hubungan sebab akibat antara ciri fisik suatu ras dengan kepribadian, kecerdasan, moralitas, dan ciri-ciri budaya dan perilaku lainnya, yang membuat beberapa ras secara ‘bawaan’ lebih unggul dari yang lain.
Lilian Green, pendiri North Star Forward Consulting ( Konsultasi Lanjut Bintang Utara ), organisasi yang merekomendasikan kebijakan, praktik, dan prosedur untuk melawan opresi sistemik di AS, menyebut bahwa rasisme punya empat dimensi: internal, interpersonal, institusional dan sistemik.
Rasisme internal mengacu pada pikiran, perasaan dan tindakan kita sendiri, sadar dan tidak sadar, sebagai individu. Contohnya seperti mempercayai stereotip ras yang negatif, atau bahkan menyangkal adanya rasisme.
Rasisme interpersonal adalah tindakan rasis dari seseorang ke orang lain, yang bisa mempengaruhi interaksi publik mereka. Misalnya perilaku negatif seperti pelecehan, diskriminasi, dan kata-kata rasis.
Rasisme institusional ada dalam institusi dan sistem politik, ekonomi, atau hukum yang secara langsung atau tidak langsung melanggengkan diskriminasi atas dasar ras. Ini menyebabkan ketidaksetaraan kekayaan, pendapatan, pendidikan, perawatan kesehatan, hak-hak sipil, dan bidang lainnya. Misalnya, praktik perekrutan diskriminatif, membungkam suara orang dengan ras tertentu di ruang rapat, atau budaya kerja yang mengutamakan sudut pandang kelompok ras dominan.
Rasisme sistemik melibatkan institusi atau entitas berwenang yang menegakkan kebijakan rasis, baik di bidang pendidikan, perawatan kesehatan, perumahan, pemerintah, dan lain-lain. Ini adalah efek riak dari ratusan tahun praktik rasis dan diskriminatif yang masih berlangsung hingga kini.
Pemikiran rasis bisa membuat seseorang punya prasangka buruk terhadap ras tertentu. Prasangka buruk ini bisa berdampak negatif terhadap orang yang terdiskriminasi. Bahkan rasisme mengawali banyak peristiwa mengerikan dalam sejarah dunia, seperti pembantaian Yahudi oleh Nazi.
Rasisme memandang mereka yang berbeda sebagai bukan manusia, tapi objek yang bisa diperlakukan semena-mena. Di negara yang terbelah konflik rasial, penyiksaan dan perlakuan buruk sering menimpa kelompok yang menjadi target perilaku rasis.
Misalnya, di AS, meski setengah dari orang yang ditembak dan dibunuh polisi berkulit putih, tapi jumlah orang kulit hitam yang ditembak tidak proporsional dibandingkan komposisi demografi AS. Jumlah orang kulit hitam kurang dari 13 persen populasi, tapi yang dibunuh polisi lebih dari dua kali lebih banyak dibanding orang kulit putih.
Setiap satu juta populasi orang kulit hitam, ada 30 orang tewas ditembak polisi. Jumlah ini timpang dengan statistik yang menyatakan dalam setiap satu juta populasi orang kulit putih, 12 orang tewas ditembak polisi. Data ini mengindikasikan dugaan rasisme atau diskriminasi terhadap orang berkulit lebih gelap.
Hal ini dapat di saksikan tiap hari dimana rakyat Papua mati di tangan Militer, di rumah sakit, kecelakaan lari, keracunan makanan, pembunuhan, dan meninggal akibat operasi militer Indonesia.
Diskusi
ini menimbulkan analisa terkait Papua, untuk menyeselesaikan rasisme yang
terkontruksi dalam pemikiran sistemik birokratis Indonesia serta cara superior
melihat kekuasaan rasialis maupun jalan keluar bagi rakyat tanah air Papua
Barat, mengenai Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai akhir rasisme di Tanah air
Papua Barat.
Penulis adalah Agitasi dan Propaganda Aliansi
Mahasiswa Papua Komite Kota Yogyakarta.
Editor: Komite Pusat AMP AGI-PRO