doc. amp kk bali. Saat aksi 26 tahun 26 tahun tragedi biak berdara |
korakejora - Tepat 26 tahun Pelanggaran ham berat Biak Berdara itu terjadi, Tragedi Biak Berdarah Merupakan akibat tindakan dari Aparatus militer Negara Kolonial Indonesia melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat Papua Barat di Biak yang mengibarkan Bendera Bintang Kejora secara damai dan demokratis. Kejahatan dan kekerasan Aparat terhadap rakyat papua di biak pada tanggal 2-6 July 1998 telah mengorbankan 230 orang. 8 orang meninggal; 8 orang hilang; 4 orang luka berat dan dievakuasi ke Makassar; 33 orang ditahan sewenang-wenang; 150 orang mengalami penyiksaan; dan 32 mayat misterius ditemukan hingga terdampar di perairan Papua New Guinewa (PNG) dan sebagian korban belum terdata sejak 6 July 1998.
Kasus pelanggaran ham berat tersebut Sampai hari ini 6 July 2024 telah memasuki 26 Tahun namun Negara masih terus mengabaikan dan sepelehkan kasus pelanggaran ham tersebut, bahkan pelanggaran dan kekerasan terhadap rakyat dan bangsa papua terus terjadi di mana mana.
Kondisi ini, kami melihat bahwa Kekerasan oleh kolonial dan militer Indonesia di atas Tanah Rakyat Bangsa Papua Barat merupakan kekerasan yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis terhadap rakyat Papua Barat dari tahun ke tahun tanpa hentinya, yang mengancam berbagai korban kemanusian, Alam, budaya, bahkan martabat kemanusiaan. Dan tidak terlepas dari praktek Kapitalis dan kedok Imperialis antara kolonial Indonesia di Tanah bangsa Papua Barat. Akibat awal dari Aneksasi bangsa Papua Barat sejak 1 Mei 1963 setalah Rakyat Papua Barat merebut kemerdekaan pada 1 Desember 1961 secara konstitusional de jure dan de facto secara pengakuan kebangsaan di bawa Belanda dan penyiaran Radio Autralia serta Belanda bahkan secara sah atribut kebangsaan sudah ada sejak itu. Namun, kemerdekaan bangsa Papua Barat telah dimanipulasi oleh Indonesia dan orang maupun Negara-negara yang mempunyai berbagai kepentingan di atas Tanah Papua Barat. Selanjutnya, kekerasan tragedi kemanusian terus berlanjut dalam bingkai negara kolonial Indonesai melalui beragam operasi militer tanpa hentinya, termaksud tepat pada 06 July 1998 merupakan hari peringatkan tragedi Biak Berdarah yang ke-25 Tahun hingga 06 juli 2023 tanpa penanggungjawab dan mengadili atas kekerasan Aparatus militer Indonesia oleh Negara.
Kini, telah 26 tahun berlalu tanpa proses penyelesaian kasus tragedi biak berdarah maupun seluruh tragedi kemanusiaan dan pembiaran terhadap aparat negara sebagai pelaku pembantaian tersebut. Tindakan pemeliharaan dan melindungi pelaku palanggar HAM, justru melanggengi kepentingan akses eksploitasi-an sumber daya alam dan menjaga eksistensi mengkoloni Papua Barat. dan disertakan juga, pemusnahan etnis Melanesia Papua Barat yang sangat spontanitas yang meningkat terus-menerus, terlihat jelas ketika bangsa Papua Barat di aneksasi dari 1 Mei 1963 hingga 2020 sangat cukup signifikan kekerasan oleh aparatus negara kolonial Indonesia di seluruh Tanah Papua Barat. Ketika Bangsa Papua Barat di aneksasi, Masif-nya perampasan tanah-tanah adat, serta meningkat represifitas aparat negara disertai dengan kebrutalan penangkapan aktivis Papua Barat yang makin meningkat. Juga, militer dan sistem di bawah kontrol negara kolonial Indonesia terus melakukan pelanggaran HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pengejaran dan penangkapan aktivis Papua Barat, rasialisme, penganiyaiyaan, bahkan memenjarah hingga menghabisi nyawa rakyat Papua Barat tanpa henti.
Setelah Biak Berdarah, terjadi pula berbagai tragedi-teragedi mulai dari tragedi Wamena Berdarah (2000 dan 2003); Wasyor Berdarah (2001); Uncen Berdarah (2006), Nabire Berdarah (2012); Paniai Berdarah (2014), Nduga berdarah (2017 dan 2018 sampai hari ini), Fak-Fak Berdarah [2019] dan peristiwa berdarah lainnya yang Negara kolonial Indonesia pun tak menyelesaikan kasus-kasus tersebut sampai hari ini. Bahkan Otsus [Otonomy Khusus] sejak 21 November 2001 disahkan melalui Mantan President RI [Replublik Indonesia] Soekarno Putri/Megawati Putri sampai kepemimpinan Jokowi-Maruf Amin; Tak ada satu kasus pun di selesaikan malah dalam tahapan Otsus Papua berlangsung hingga kini Tragedi berdarah terus meningkat bahkan Otsus Papua yang di berikan merupakan kebijakan yang merugikan, meresahkan Rakyat Papua Barat yang terus ditindas habis-habis sampai hari ini.
Selama tahun 1961 hingga 2021 tercatat 22 Operasi Militer yang sudah Meneror, Mengintimidasi, Mutilasi serta Memperkosa Perempuan Papua untuk mengusai seluruh asset kekayaan Alam di tanah apapua. Bahkan sepanjang tahun – tahun itu, rakyat papua harus mengungsi mencari tempat aman.
Bahkan, dalam kurun waktu 2017-2022 terjadi pengungsian secara massal di beberapa wilayah diantaranya Nduga, Timika, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Maybrat, Yahukimo dan yapen. Dewan Gereja dalam laporan terbaru melaporkan lebih dari 60.000 rakyat Papua mengungsi. Artinya selama 4 tahan berturut-turut rakyat Papua tidak merayakan Natal sebagai Hari Besar umat Kristen. Selain disebutkan diatas, proses pemiskinan secara ekonomi, pelayanan kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak layak dan persoalan di berbagai sektor dilakukan negara dengan sadar dan terencana.
Sisi lain, Pemekaran provinsi yang sebelumnya ada dua Provinsi Papua dan Papua Barat kini bertambah menjadi 6 provinsi yakni Barat Daya, Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua Pegunungan Tengah. Yang sudah tentu, ini merupakan awal kehancuran orang papua di tanah sendiri. Awal dimana perampasan tanah, air, udara, serta laut yang akan massif serta meloloskan kepentingan negara – negara maju untuk mengambil sumber daya alam serta membunuh rakyat papua atas nama Infrastruktur.
Sejak pemilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir tahun 2014 hingga 2024, Kapitalisme Global dan militer [ TNI dan POLRI ] bekerja sama dan membiarkan terus mengakumulasi lebih banyak kekuasaan dan anggaran dengan melanggengkan struktur komando teritorial yang mengizinkannya mengakses SDA—secara legal maupun ilegal. Sejak lama, pemeritah pusat dan pemerintah local, militer dan kapital global terlibat dalam kegiatan ekonomi ilegal di West Papua, termasuk di usaha penebangan kayu dan pengamanan perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan, yang juga disertai penggusuran orang-orang West Papua dari tanahnya. Militer, Pemerintah Indonesia dan elit local juga merupakan penerima alokasi dana Otsus dalam jumlah yang besar, dua per persen dari anggaran nasional Indonesia, serta dana pembangunan, dan dana infrastruktur. Bupati-bupati terpilih memiliki anggaran yang bisa diakses militer untuk melakukan operasi militer melawan dugaan ancaman pemberontak di West Papua.
Kendati UU Otonomi Khusus Jilid I – II , G - 20, Omnibus, UU Minerba, UU KUHP serta seluruh kebijakan negara hanya untuk kepentingan Eksploitasi Kapital Modal di Tanah West Papua. Sehingga, aparat keamanan [ TNI dan POLRI ] menjadi anjing penjaga para pemodal untuk meraup banyak untung dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua yang melimpah, bahkan TNI dan POLRI dengan dalih operasi kontrapemberontakan dan transmigrasi terus memperlancar aktivitasnya dipapua. Hal ini menyebabkan kasus-kasus pembungkaman kebebasan berekspresi secara damai terus berlanjut. Larangan pengibaran bendera Bintang Kejora tetap diberlakukan, dan, tidak ketinggalan, tetap terjadi pembunuhan di luar hukum oleh TNI/Polri.
Bahkan setelah UU Otsus disahkan Presiden Jokowi mengizinkan militer Indonesia memperluas struktur teritorialnya dengan membangun dua komando daerah militer (kodam) baru, di Provinsi Papua dan Papua Barat, Papua Barta Daya, Papua Pegunungan serta Papua selatan. Pihak militer mengklaim bahwa hal ini diperlukan dalam rangka melawan gerakan perlawanan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Namun, TPNPB tidak hadir dalam jumlah yang signifikan di tanah West Papua. Tampaknya militer tengah berusaha menjustifikasi penambahan struktur komando teritorial yang bisa membuat mereka terus melanggengkan kepentingan bisnisnya.
Sedangkan, rakyat papua minta untuk hak menentukan nasib sediri dan tpnpb memintah untuk untuk perundingan agar menguranggi pelanggaran ham di papua, dilain sisi Jokowi – Maruf Amin serta Mahfud Md tidak mau mendengarkan apa keinginan TPNPB dan Rakyat Papua, untuk segera lakukan ‘’PERUNDINGAN’’ melainkan pemerintah indonesia membantah pernyataan tersebut. Banhkan hingga sekarang pembungkaman, penangkapan dan pelanggaran ham secara sadis dan masif terjadi di tanah papua barat.
Maka, untuk menyikapi Pelanggaran Berat ham “Tragedi Biak Berdarah, yang ke-26 tahun dan mengutuk Kekerasan Kolonial Indonesia di Tanah Papua Barat”, Sehingga Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Menuntut Indonesia Rezim Jokowi dan PBB Segera:
1. Melawan lupa 26 tahun tragedi Biak berdara di west papua: Negara Stop lakukan kekerasan dan pemunuhan secara sitematis di papua barat
2. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua
3. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia
4. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang
5. Cabut Omnibus Law, Cabut UU otsus, dan DOB Di papua
6. Dukung Suku Auyu di boven Dan Moi di sorong Menolak perusahan ilegal
7. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri
8. Hentikan operasi militer dan pembagunan pos militer Berlebihan di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, paniai, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya
9. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua
10. Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung
11. Jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua
12. Usut, Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM
13.Menundukung perundigan antara indonesia, pemerintah zelandia baru dan TPNPB OPM yang di mediasi oleh PBB demi menyelesaikan konfilk di west papua
14. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua
Demikian penyataan sikap ini, Kami sampaikan kepada PBB, Negara RI dan seluruh Jajarannya, Atas perhatian dan dukungan seluruh Rakyat Papua Barat, kami ucap terima kasih.
Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!
Medan Juang,
Tanah kolonial, Sabtu 06 Juli 2024