Tulisan ini dirangkum oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
Beberapa waktu lalu, kita dikagetkan oleh debat (selanjutnya baca: diskusi) terbuka di facebooktentang wawancara Benny Wenda dan Rex Rumakiek soal mimpi “sebuah negara West Papua merdeka?” yang awalnya diterbitkan oleh Majalah News Internationalist dan diterjemahkan oleh koran online Tabloid Jubi.
Hal tersebut merupakan hal baru dalam perjuangan pembebasan nasional Papua, yang semakin memasuki usia 55 tahun. Cukup tua untuk usia manusia Papua sekarang. Dan hal-hal baru seperti ini kita mesti menciptakannya sendiri dengan lompatan-lompatan mendadak, perubahan yang cepat, atau yang sering kita sebut revolusi, khususnya dalam hal berpikir. Namun dalam disiplin-disiplin tertentu.
Tentu menjadi hal baru, bagi pandangan kawan-kawan Papua. Dan memang bukan hal aneh, bahwa hal baru selalu mejadi hal yang asing dan selalu memicu berbagai pertanyaan bahkan ada yang pro dan kontra terhadap diskusi ini. Dalam diskusi ini terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu: kawan-kawan yang memiliki kesadaran maju dab kesadaran rata-rata.
Berkesadaran maju yang dimaksud adalah mereka yang telah mengambil bagian dalam gerakan pembebasan nasional, mengetahui akar persoalan penjajahan di Papua dan jalan keluarnya, telah mengambil bagian dalam perjuangan pembebasan nasional Papua, namun masih dalam tahap dan kesepakatan-kesepakatan tertentu, belum tegas mengambil sikap untuk menyerahkan seluruh hidupnya dalam perjuangan pembebasan umat manusia seutuhnya.
Berkesadaran rata-rata yang dimaksud adalah mereka yang belum jauh memahami dinamika gerakan, sepakat dengan perjuangan pembebasan nasional Papua, belum terlibat (belum mengenal budaya alternatif untuk menentang budaya penjajah) dalam gerakan pembebasan nasional, dan secara umum pola pikirnya masih terhegemoni oleh budaya dan pandangan penjajah (kelas borjuis dalam tatanan kapitalisme).
Banyak kalangan awalnya pesimis terkait diskusi terbuka tersebut. Baik kawan-kawan Papua yang berkesadaran maju maupun berkesadaran rata-rata. Dan menimbulkan berbagai macam pertanyaan, apakah hal tersebut baik atau buruk, memajukan atau memundurkan, menyatukan atau justru menciptakan perpecahan.
Diskusi terbuka yang dilakukan beberapa waktu yang lalu, telah menarik minat banyak kalangan untuk mengikuti dan mengonsumsinya. Dalam pengikut diskusi tersebut, kami membagi atau memetakkan para pengikut diskusi tersebut dalam dua kelompok: pertama adalah pengikut pasif (berkesadaran rata-rata). Mereka yang hanya mengikuti namun tidak memberikan komentar sama sekali. Kedua adalah kelompok pengikut aktif (berkesadaran maju). Mereka yang mengikuti, juga memerikan pandangan, tanggapan dan juga komentar.
Tulisan ini dirangkum guna mengarahkan pandangan para penikmat diskusi tersebut, khususnya kawan-kawan Papua yang berkesadaran maju dan berkesadaran rata-rata agar tidak salah paham dengan diskusi terbuka yang telah dilakukan. Tujuannya agar tidak terjebak dalam budaya dan cara berpikir penjajah yang selalu kayak momok dan terjebak dalam cara berpikir budaya-budaya lama yang menjadikan perjuangan ini statis.
Latar Belakang Munculnya Diskusi Terbuka
Ide atau pemikiran untuk memosting status awal di facebook yang kemudian memicu diskusi yang panjang, tentu tidak muncul dari langit. Bahwa ide selalu lahir dari situasi. Ide atau pemikiran tersebut lahir dari situasi dan kondisi objektif yang terjadi di lapangan. Ide tersebut lahir dari kondisi organisasi atau wadah gerakan yang semakin tidak demokratis, terbang tinggi jauh dari realitas, dan lupa bahwa rakyatlah kekuatan yang dapat menghancurkan sistem yang menindas rakyat itu sendiri.
Tujuan daripada diskusi terbuka adalah untuk mengkritisi wawancara Benny dan Rex yang terkesan menghayal, ambisius, ambigu, dan tidak didasarkan pada realitas objektif Papua hari ini.
Selain itu juga mencoba untuk mendorong perjuangan ke arah yang merakyat, agar hal tersebut dapat didiskusikan oleh berbagai kalangan. Bahwa pemerintah maupun bentuk pemerintahan yang dibentuk semestinya harus keluar dari kondisi real dan kebutuhan-kebutuhan mendesak guna memenuhi syarat-syarat materialnya menuju pembebasan nasional Papua.
Kenapa Harus Mengkritik?
Kritik merupakan sebuah proses penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuannya untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Perlu diketahui bersama, bahwa dunia bergerak dengan pertentangan-pertentangan. Bumi berputar dengan gaya saling menarik dan menolak. Manusia berkembang dari zaman hingga zaman kapitalisme ini dengan melalui berbagai pertentangan-pertentangan dan perdebatan-perdebatan yang kemudian saling memajukan.
Kritik adalah sebuah aktivitas yang penting untuk sebuah kemajuan, seperti seorang kawan yang memarahi kawannya yang salah dalam bertindak untuk kebaikan bersama. Seperti kata kawan Marta Harnecker dalam tulisan Kritik Yang Tidak Substansial Harus Dihukumbahwa, “sejarah kita menunjukan bahwa menjadi kiri tidak membuat kita jadi orang suci. Kita punya kelemahan, kita bisa melenceng.” Artinya bahwa tidak selalu seorang pejuang berlaku benar, siapapun selalu memikul hal positif dan negatif.
Kritik harus dipahami tidak seperti yang sering digunakan oleh kaum penjajah. Penjajah selalu menggunakan kritik sebagai cara untuk menjatuhkan lawan-lawannya. Contoh kritik-kritik politikus (pejabat dalam pemerintahan kolonial) Papua yang saling mengkritik untuk saling menjatuhkan. Namun berbeda dengan hal tersebut, tujuan dilakukannya kritik adalah untuk memperbaiki dan menyatukan perspektif atau pandangan, dan wacana untuk membangun sebuah bangsa dan Negara yang sejahtera secara ekonomi, adil secara sosial, demokratis secara politik, dan partisipatif secara budaya.
Kritik Terbuka: Menguntungkan Musuh atau Revolusi?
Hal yang bersifat terbuka, sering dilakukan agar khalayak umum dapat mengetahui apa yang sedang dilakukan. Sama halnya dengan debat terbuka yang beberapa waktu lalu dilakukan, bahwa hal tersebut dapat menjadi konsumsi umum agar dapat diketahui secara umum baik gerakan maupun masyarakat luas, apa yang harus dilakukan/dikerjakan dalam kondisi yang seperti ini.
Seperti yang dilakukan kawan Martha Harnecker, saat menjabat sebagai editor jurnal politik Chile Hoy. Hal yang selalu dilakukannya adalah kriitik terbuka. Maetha sering dikritik oleh intelektual-intelektual atau wartawan yag tidak disukai karena mereka terkadang sedikit arogan. Tapi mereka memberikan pemahaman dan pandangan kepada massa luas agar dapat memahami arah yang seharusnya dilakukan menuju perubahan.
Dalam kondisi seperti ini, Evo Morales juga pernah mengatakan ketika wawancaranya dengan Walter Martinez dari media teleSUR bahwa adalah hal penting kita belajar mendengarkan, karena terkadang pejabat pemerintahan tidak mendengar atau mendengar hanya dari mereka yang disekelilingnya, yang dapat menyebabkan pejabat pemerintah mendapat gambaran salah tentang negeri itu (Bolivia). Hal yang sama juga terjadi dan tercermin dalam wawancara Benny dan Rex di atas yang juga ditafsirkan dipahami oleh beberapa kawan-kawan sebagai sebuah keniscayaan. Sebenarnya tidak.
Tentu musuh selalu memantau aktivitas kita. Bahkan, Sun Tsu, seorang Jenderal dari Cina, ahli strategi militer, dan filsuf mengatakan bahwa tiada yang lebih dekat dengan jenderal perang, kecuali intelijen musuh. Namun, kritik yang dipahami sebagai kemajuan justru dapat membuat musuh kalang kabut akibatnya. Maka, sepakat bahwa apa yang dikatakan Fidel Castro, “Kita membutuhkan praktek kritik di ruang-ruang kelas, alun-alun publik. Musuh akan memanfaatkan itu, tapi revolusi akan diuntungkan darinya melebihi musuh”.
Catatan untuk Kawan-Kawan Berkesadaran Maju dan Rata-Rata
Penjajah mempertahankan kekuasaannya tidak hanya dengan kekerasan. Dalam kondisi Papua, cara penjajah untuk memepertahankan kekuasaannya adalah dengan menyebarkan pengetahuan, ideologi, nilai-nilai, norma-norma, bahkan filsafat yang disebarkan melalui pendidikan, gereja, dan segala ruang dimana rakyat mencari pengetahuan.
Manusia adalah seperti alat konversi. Manusia adalah produk sejarah. Apa yang dipahami manusia adalah apa yang didengar, dilihat, dirasa, diraba, dan dihirup di jaman di mana ia hidup. Proses yang dialami terus menerus, kemudian dengan kemampuan otak untuk mengelola sejarahnya menjadi kesimpulan-kesimpulan sementara. Kesimpulan ini yang disebut kesadaran. Kesadaran merupakan pemahaman yang ditransformasikan melalui sikap tanggap untuk dapat mengenali situasi-situasi di sekitarnya.
Maka tidak dapat dipungkiri bahwa, hal baru selalu menciptakan pertanyaan-pertanyaan baru dalam menanggapinya. Dalam hal ini, misalnya kawan-kawan Papua yang masih berpandangan rata-rata maupun sebagian yang berkesadaran maju, berpandangan bahwa diskusi atau perdebatan yang beberapa waktu lalu dilakukan adalah hal yang bersifat memecah persatuan, memberikan peluang untuk lawan baca, dan lain-lain. Sebab, masih terbawa cara berpikir budaya lama yang terhegemoni oleh budaya penjajah.
Dalam organisasi-organisasi gerakan revolusioner, terdapat sebuah ruang yang sering disebut ruang kritik oto kritik. Kritik oto kritik merupakan sebuah senjata ampuh untuk memecahkan segala macam masalah dan memperbaiki kesalahan guna mendapat kemajuan dalam praktek-praktek atau kerja-kerja revolusi.
Oleh karena itu, siapapun (termasuk pemimpin) tidak perlu takut terhadap kritik. Justru dengan kritik oto kritik seseorang dapat membersihkan kesalahan, kekeliruhan di masa lalu dan memperbaiki hal tersebut guna kemajuan bersama menuju perubahan di masa depan. Kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di masa lalu perlu dikupas secara ilmiah, agar lebih hati-hati dan lebih baik di masa depan. Maka sangat diharapkan bahwa, organisasi-organisasi perlawanan di Papua sudah harus menyediakan ruang-ruang kritik oto kritik, sebagai ruang untuk menilai kembali hal-hal di masa lalu, guna memajukan siasat-siasat dan strategi perlawanan di masa depan.
Dalam kondisi kita hari ini, kritik oto kritik harus dibiasakan. Di waktu-waktu yang lalu, hal yang bersifat kritik, tanggapan, dan masukan sudah sering dikeluarkan, dalam bentuk surat maupun proposal. Namun hal tersebut tetap belum melahirkan perubahan yang baik untuk mendorong kemajuan gerakan. Maka seperti kata Fidel Castro, dalam kondisi tersebut maka kritik di ruang terbuka sangat penting untuk mencoba mendorong batu yang tidak pernah maju-maju.
Dalam kondisi ini, yang perlu ditanam dan dirawat dengan baik dalam pemikiran, bahwa kritik merupakan proses untuk mencari kebenaran sesungguhnya. Seperti yang sering dilakukan gerakan kiri pada umumnya yang selalu melalui perdebatan-perdebatan dalam mengambil langkah yang terbaik dalam proses merubah dunia. Seperti perdebatan Marx dan Wheitling di Brussel, yang kemudian membuat Marx dengan keras mengatakan bahwa “Ketidaktahuan tidak pernah menolong siapapun”.
Catatan:
Kritik atas wawancara Benny Wenda dan Rex Rumakiek akan tetap dipublikasikan secara terbuka.