kondisi kesehatan Suku Korowai. sumber gambar: majalah akar rumput |
Siaran Pers
Selamatkan Korowai Sesuai Hak Sebagai Warga Negara Indonesia
Korowai memiliki kekayaan masalah yang begitu unik. Beragam masalah sudah cukup lama menyelimuti masyarakat di dataran Selatan Papua ini. Selama bertahun-tahun mereka hidup dan jauh dari kata berkembang dan maju. Penyakit yang paling sering mereka alami itu seperti anak Puti Hatil (3) menderita, yakni; bisul, malaria, gizi buruk, kulit gatal-gatal.
Masih banyak lagi penyakit lain, diantaranya; kaki gajah (filariasis), batuk berdahak, demam, kelaparan, dan lain sebagainya. Penyakit yang disebutkan diatas, semua kalangan masayarakat, dari usia kecil sampai tua mengalami hal yang sama. Mereka ini terkesan punya kewajiban untuk harus mendapatkan penyakit.
Kelihatan, macam ada sesuatu yang “melarang” mereka hidup sehat dan mendapatkan pendidikan yang layak. Bukan karena isu kanibalisme yang selama ini menghantui orang, akan tetapi memang tidak ada orang yang tergerak hati untuk hidup bersama dan siap sedia untuk melayani mereka.
Sebenarnya itu soal kepedulian yang amat minim. Orang tidak berani masuk dan hidup dengan mereka dengan waktu yang cukup lama. Banyak orang yang sering pergi kesana, tetapi bukan untuk melayani dan hidup dengan mereka sama-sama. Orang pergi hanya untuk foto dengan mereka dan potret Lou Logobul Of milik masayarakat.
Sungguh, mereka tidak bisa mencari kesembuhan segampang mereka mencari pisang, parut sagu dan berburuh binatang liar sebagai makanan utama. Barangkali, daun gatal adalah satu-satunya ramuan tradional yang bisa mereka andalkan selain tua-tua adat.
Mereka hanya bisa mendengar dari para penginjil, bahwa di daerah lain punya Pustu, Puskesmas dan rumah sakit yang dilengkapi dengan obat-obatan, suntik dan segala peralatan medis lainnya. Bakal dilengkapi pula dengan perawat dan dokter yang punya semangat untuk hidup bersama masyarakat. Namun mereka tidak tahu semua itu yang bagaimana dan seperti apa sebenarnya.
Mereka itu tahu Pustu, Puskesmas, sekolah dasar itu dari bangunan yang tidak berfungsi dari hasil karya misionaris dan pemerintah. Selain itu, mereka tahu karena melihat langsung dari bangunannya yang dipenuhii rumput dan pohon, tapi juga karena dikuasai oleh hewan dan binatang liar.
Mereka juga tahu kalau orang diluar itu tahu baca, menulis dan menghitung dari seorang fotographer, peneliti antropolog, pembuat film dokumenter, tetapi mereka tidak tahu kapan mereka akan melihat itu bahkan bisa sekolah langsung. Ketika mendengar itu, mereka punya keinginan besar untuk merasakan itu, terutama TK, SD, SMP, SMA/SMK dan sampai di perguruan tinggi.
Tetapi mereka tidak tahu wujudnya, prosesnya bahkan juga tidak pernah merasakannya. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan, mereka hanya mengharapkan, mengharapkan dan mengaharapkan. Maksudnya mengharapkan orang yang mau tinggal lama-lama di Korowai, yang bisa melayani mereka di bidang kesehatan dan pendidikan.
Orang Korowai tidak tahu itu siapa yang akan datang dan tinggal lama-lama untuk melayani mereka. Saat ini kondisi fisik mereka butuh perhatian khusus. Mereka harus dan wajib diperhatikan seperti masyarakat Indonesia di wilayah lain. Sebab, mereka adalah warga negara yang memiliki hak sejak lahir sampai saat ini.
Saat ini, masih banyak orang terus menderita di tengah hutan, Selatan Papua itu. Jarak antara masyarakat dan semua pihak sangat langkah. Sehingga, dapat dipastikan bahwa secara umum kesehatan masyarakat di Korowai tidak akan pernah membaik. Mereka akan terus mengalami penyakit yang sulit diatasi oleh masyarakat sendiri.
Kontak hubungan dengan orang Barat dapat terjadi pada 1978 di Yaniruma, perbatasan antara Korowai – Kombai. Peristiwa itu sama seperti orang Papua di wilayah lain yang menjalin komunikasi dengan orang asing dan pendatang. Tetapi kemajuan di daerah ini sangalah lamban bahkan sama sekali belum menunjukkan perubahan yang begitu signifikan.
Jika dibangdingkan, wilayah lain Papua sekalipun dikenal daerah tertinggal dari semua sektor pembangunan,tetapi minimal bisa lihat perubahannya. Namun prihatinya masyarakat di wilayah ini sangat disayangkan. Persoalan dasar di daerah ini dua hal, pendidikan dan kesehatan. Tetapi keduannya, tidak memiliki akses yang terbuka bagi mereka. Sungguh ini amat ironis.
Bayangkan, dari tahun 70-an misionaris Gereja Reformasi, Johannes Veldhuizen banyak mendirikan pos-pos pendidikan dan kesehatan di Kouh, tapi semua sudah tidak berjalan lagi. Pos-pos tersebut hilang tanpa jejak yang jelas. Pelayanan kesehatan dan pendidikan di Kouh mati total, saat pemerintah Indonesia mengambil alih kekuasaan di Irian Barat dari tangan Belanda.
Kemenangan Indonesia dalam pelaksanaan PEPERA 1969, membawah malapeta bagi masyarakat Korowai-Kombai. Dimana pos kesehatan rawat jalan dan pos-pos pendidikan darutan tidak berjalan lantaran misionaris Belanda itu meninggal Yaniruma. Kepergian itu membawah semua niat baik untuk hidup bersama dan terus melayani masyarakat.
Semua hilang di telang hutan dan waktu saat Indonesia mulai masuk di daerah Kouh,Korowai-Kombai. Indonesia mendorong pendudukan pertama dengan memekarkan 1 administrasi pemerintahandistrik di Kouh dan dikepalai oleh Daminikus Amutapai. Memasuki 2000, kini banyak pemekaran yang muncul bagaikan jamur dimusim hujan.
Meski demikian. kesehatan masyarakat tetap semakin parah. Banyak rang yang lahir tetapi banyak juga yang meninggal dunia. Buta aksara pun demikian, banyak anak-anak kecil yang seharusnya sekolah tetapi dari waktu ke waktu mereka tinggal berburuh di hutan. Belum adanya sekolah, mengakibatkan semua orang di Korowai tidak sekolah.
Persoalan kesehatan dan pendidikan di wilayah ini hanya menjadi permasalahan penting dalam merumuskan program pembangunan jangkah pendek,menengah dan panjang di masing-masing kabupaten, provinsi Papua dan pemerintah pusat. Namun mereka terkesan menjadi objek pembangunan semata, sama sekali tidak menikmati manfaat sebagai warga negara yang mempunyai hak untuk hidup layak, sehat, dan mendapatkan akses pendidikan yang secukupnya.
Syukur, karena pada 23 Oktober 2017, pemerintah pusat melalui menteri kesehatan dikabrkan akan menyambangi di dataran rendah ini. Pemerintah daerah, baik dinas kesehatan Papua dan kabupaten Yahukimo, Boven Digoel, Asmat, Mappi dan Pegunungan Bintang juga disebut-sebut akan menghampir masyakarat sesuai pemekaran kampung dan distrik masing-masing.
Hal ini disusul dari kasus Puti Hatil yang menjadi viral akibat luka di pipi kiri yang terbolong. Banyak media dan sejumlah pihak terkait senantiasa mendiskusikan kasus Puti yang tak kunjung sembuh cepat. Buah Hati bapak Daniel Hatil (30) itu masih dirawat di Rumah Sakit Dian Harapan, Waena, Jayapura.
Bocah kecil asal kampung Afimabul itu masih belum oprasi, karena HBnya masih rendah. Ia bersama ibunya Lanol Mauf (24), adiknya Bertha Hatil (1) dan Thomas (15) masih berada di rumah sakit dari 03 Oktober – sekarang. Luka Puti, sungguh mengetuk mata, telinga dan hati semua pihak yang selama ini belum mengetahui kesehatan masyarakat di wilayah persimpangan 5 kabupaten ini.
Kali ini, pemerintah patut diapresiasi karena dalam waktu dekat akan ke Danowage, selanjutnya akan kelilingi setiap pemukiman masyarakat di dataran rendah itu. Dinas kesehatan berencana akan menyewah pesawat yang begitu mahal. Dikabarkan, bahwa pemerintah akan mengirim tim terpadu yang berasal dari dinas kesehatan Papua dan 4 kabupaten (Yahukimo, Boven Digoel, Asmat, dan Mappi).
Bakal dari wilayah Meepago,yakni kabupaten Paniai dan Intan Jaya juga dikabarkan siap membantu. Selain itu, dikabarkan juga kalau meneteri kesehatan RI akan kesana bersama rombongan tim yang diutus langsung dari presiden Joko Widodo. Pemerintah akan hadir dengan SDM dan sarana prasarana termasuk bahan makanan.
Di dalam tim terpadu itu, akan ada perawat, dokter dan selaga peralatan medis yang diperluhkan. Disamping itu akan menempatkan petugas selama 7/8 bulan. Namun tim terpadu itu rupanya tidak melibatkan semua pihak yang terkait, mislkan tim peduli, pemerhati kesehatan dan pendidikan, LSM, Akademisi, Tokoh Agama dan pihak lain yang mempunyai peran pentingnya.
Menjelang kunjungan menteri kesehatan RI, Nila Moeloek dan tim terpadu ke Korowai; kami,Tim Peduli Kesehatan dan Pendidikan Rimba Papua (TPKP Papua) menyampaikan dengan hormat:
1. Pemerintah perluh perhatikan secara penuh selama Puti Hatil menjalani pengobatan di Rumah Sakit Dian Harapan (RSDH), Waena, Jayapura. Singkatnya, dengan harapan agar dapat mengalokasikan dana,jika tidak keberatan dari dana KPS, DAK, dan lainnya.
2. Membiayai dan mengobati keluarga Puti Hatil, yakni Bapak Daniel Hatil, Ibu Lanol Mauf, Adik Bertha Hatil dan Thomas, termasuk membiayai kebutuhan makan dan minum selama di rumah sakit. Berobat terlebih dahulu, sebelum mereka ke kampung.
3. Melibatkan semua pihak dalam tim terpadu, untuk gotong royong mendorong kesehatan dan pendidikan masyarakat di suku Korowai.
4. Menempatkan petugas medis, perawat dan dokter lebih dari 7/8 bulan dengan catatan mendirikan Pustu dan Puskesmas di setiap basis pemukiman warga yang ada di setiap kampung dan distrik.
5. Mendaftarkan secara resmi, SD Simson Samuel Awom Brukmakot yang dibangun oleh Komunitas Peduli Kemanusiaan Daerah Terpencil (Kopkedaat Papua), ke dinas pendidikan pemuda dan olah raga di kabupaten Yahukimo. Menjadikan sekolah tersebut berbasis asrama yang dilengkapi segala sarana dan prasarana.
6. Menempatkan guru yang memiliki kepedulian, semangat melayani yang kuat, siap hidup bersama masayarakat pedalaman, baik di SD darurat yang dibangun Kopkedat Papua maupun Donowage yang sedang menjalankan proses belajar mengajar. Tetapi juga menempat guru untuk semua basis sekolah yang sudah tutup dan tidak ada aktivitas belajar mengajar.
7. Pemerintah memperhatikan semua anak-anak Korowai, Kombai, Kopkaka dan empat suku lainnya, yang tersebar di Jayapura,Jawa, Bali, Manado, dan Wamena. Mereka adalah orang-orang pertama yang harus dan wajib diperhaikan terutama biaya pendidikan sampai mendapat gelar sarjana.
8. Membuka lapangan terbang (bukan infrastruktur jalan dan jembatan) ke setiap kampung atau daerah yang sulit dijangkau oleh semua pihak terkait. Sehingga kedepan mempermudah akses bagi pemerintah, pemerhati kesehatan dan pendidikan tapi juga untuk masyarakat sendiri.
9. Pemerintah pusat, provinsi dan masing-masing kabupaten wajib memberikan kebijakan khusus di bidang kesehatan, pendidikan infrastruktur lapangan terbang, serta membangun perumahan sehat dan sanitasi air bersih dengan menyusun program jangkah pendek, menengah dan panjang.
10. Jika pemerintah berkenan, membagi alokasi dana dari Otsus, APBD, APBN, DAK dan lainya pada dua jalur:
a. Pertama, bagi satu ke kas pemerintah daerah dari 5 kabupaten untuk menjalankan tugasnya di wilayah yang tertinggal ini.
b. Kedua, kasih ke setiap penginjil (penginjil dan misionaris) dan komunitas peduli kemanusiaan yang sementara bekerja bakal merangkap sebagai guru dan tenaga medis yang bukan resmi.
11. Jika 10 poin diatas tidak mempertimbangkan secara bijak. Kami berpikir begini Ibu Bapak yang kami cintai dan banggakan: “lebih baik kita tidak tidak usah bicara banyak, tidak pergi menghampiri mereka, diam seribuh kata bahasa, dan merenungkan baik sampai 37 tahun lagi. Barulah kembali menyinggung dan selamatkan mereka lagi. Semoga mereka kita menganggap yang utama dan terutama seperti kita anggap kita sendiri dan orang penting.”
Catatan akhir: Jika ada kekeliruan dengan siaran pers ini, silahkan menghubungi contact person atau alamat ini. Nomor Handphone: 0821 8935 1093 (Yan Akobiarik), 0813 1406 0428 (Norberd Bobii), dan 0821 9978 6700 (Soleman Itlay). Alamat email: dani.tribesman@gmail.com. Alamat halaman atau groaup di Facebook: Kopkedat Papua dan TPKP Rimba Papua.
Demikian siaran pers dan pernyataan, kami sampaikan dengan penuh harapan agar bekerja sama sampai titik perubahan jatuh di seluruh dataran rimba Korowai, Papua.
Jayapura, 20 Oktober 2017
Hormat Kami,
Komunitas Peduli Kemanusiaan Daerah Terpencil (Kopkedat Papua) Tim Peduli Kesehatan dan Pendidikan Rimba Papua (TPKP Papua)
Yan Akobiarik Soleman Itlay
Ketua Sekertaris