Penyataan Sikap
Aliansi Mahasiswa Papua
"Ham dan Demokrasi Mati Rakyat papua Mati"
Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) merupakan penjajah bagi Rakyat dan Bangsa Papua Barat, hal ini dibuktikan dengan rentetan sejarah perjuangan panjang Bangsa Papua melepaskan diri dari negara kolonial belanda tepatnya pada tanggal 1 Desember 1961. Namun, secara sepihak Indonesia mengklaim dengan dalil papua barat merupakan bekas jajahan hindia belanda sehingga dengan itulah disahkan Tri Komando Rakyat ( Trikora ) 19 Desember 1961, New York Agreement 15 Agustus 1962, Aneksasi 1 Mei 1963, dan Penentuan Pendapatan Rakyat ( PEPERA ) 1969 bahkan sebelum pepera dilakukan PT. Freeport sudah masuk 7 April 1967. dari rentetan pelanggaran Hak Asasi Manusia tercatat di Tahun 1961 s/d Tahun 1998 pengiriman militer berirama pembantaian massal yang terjadi diatas tanah West Papua mencapai 16 Operasi.
Sejak, Kejatuhan Orde Baru kembali menggelorakan perjuangan kemerdekaan rakyat West Papua, Megawati memberikan UU Otsus yang menjanjikan kedaulatan bagi rakyat West Papua yang termarjinalisasi, mengobati luka lama akibat penindasan, dan mengakomodasi kehadiran partai politik lokal. Namun nyatanya janji tersebut langsung terbantah dengan adanya pembunuhan Theys Eluay. Kejadian itu membayangi UU Otsus dan menjadi peringatan akan berlanjutnya kekuasaan dan impunitas militer Indonesia. Benar saja, selama 20 tahun Otsus diterapkan tanpa memperhatikan mekanisme demokrasi yang sejati. Lembaga-lembaga pemerintahan lokal menjadi sasaran campur tangan dan pengawasan pemerintah pusat untuk menjalankan Akses Modal Kapital di Tanah papua dan Implementasinya pun lebih terfokus pada proyek-proyek pemusnahan Rakyat Papua.
Oleh sebab itu, pada 2020 organisasi-organisasi masyarakat sipil dan aktivis politik mengorganisasi penolakan atas evaluasi UU Otsus dan perpanjangannya. Pada Juli 2020, terbentuklah Petisi Rakyat Papua (PRP) yang dukung oleh 117 kelompok dan Organisasi Gerakan Rakyat. Mei 2021, PRP menyatakan telah menerima lebih dari 700.000 tanda tangan penolakan perpanjangan Otsus. PRP membantah klaim Jakarta yang mengatakan bahwa Otsus berhasil menyejahterakan dan mengikutsertakan orang asli West Papua dalam memerintah wilayah mereka. PRP juga menunjukkan keberatan atas meningkatnya militerisasi di West Papua dan menuntut Pemerintah Indonesia segera berhenti “mereduksi persoalan-persoalan pokok rakyat West Papua ke dalam pembahasan dana Otsus.”
Terhadap proses evaluasi yang dikontrol para politisi Jakarta, Rakyat sipil membuat penolakan dalam bentuk protes jalanan yang sering kali berujung pembubaran, Perampasan oleh aparat. September 2020, misalnya, ribuan orang di Yahukimo, Wamena, Dogiyai, Deiyai, Sorong, Merauke, Kaimana, Nabire, Manokwari, serta diseluruh tanah West Papua melakukan aksi serentak dengan tema umum’’TOLAK OTSUS JILID II, TOLAK PEMEKARAN DAN BERIKAN REFERENDUM BAGI BANGSA WEST PAPUA’’ , namun yang terjadi adalah penangkapan massa aksi dan pembunuhan terhadap massa aksi. Keprihatinan atas tindakan keras terhadap penyampaian pendapat di muka umum, yang disuarakan dalam surat bersama Pelapor Khusus PBB, ditanggapi Pemerintah Indonesia dengan mengatakan bahwa tindakan keras terhadap demonstrasi tolak Otsus dilakukan demi menghindari penyebaran Covid-19. Namun, Pemerintah juga mengamini tindakan itu dilakukan karena ada unsur “separatisme”.
Karenanya, pihak berwenang menggunakan pandemi sebagai dalih pembubaran aksi protes dan mempercepat pembahasan UU Otsus sambil membunuh kubu yang menolak.
Bukan hanya itu, Jokowi Bersama menteri dalam Negeri Tito Karnavian serta para antek – anteknya ikut terlibat dalam dalam penangkapan Victor Yeimo serta seluruh tahanan politik lainnya di West Papua serta ikut terlibat juga dalam Pemekaran provinsi yang sebelumnya ada dua Provinsi Papua dan Papua Barat kini bertambah menjadi 6 provinsi yakni Barat Daya, Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua Pegunungan Tengah. Yang sudah tentu, ini merupakan awal kehancuran orang papua di tanah sendiri. Awal dimana perampasan tanah, air, udara, serta laut yang akan massif serta meloloskan kepentingan negara – negara maju untuk mengambil sumber daya alam serta membunuh rakyat papua atas nama Infrastruktur.
Sejak pemilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir tahun 2014 hingga 2023, Kapitalisme Global dan militer [ TNI dan POLRI ] bekerja sama dan membiarkan terus mengakumulasi lebih banyak kekuasaan dan anggaran dengan melanggengkan struktur komando teritorial yang mengizinkannya mengakses SDA—secara legal maupun ilegal. Sejak lama, pemerintah pusat dan pemerintah local, militer dan kapital global terlibat dalam kegiatan ekonomi ilegal di West Papua, termasuk di usaha penebangan kayu dan pengamanan perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan, yang juga disertai penggusuran orang-orang West Papua dari tanahnya. Militer, Pemerintah Indonesia dan elit local juga merupakan penerima alokasi dana Otsus dalam jumlah yang besar, dua per persen dari anggaran nasional Indonesia, serta dana pembangunan, dan dana infrastruktur. Bupati-bupati terpilih memiliki anggaran yang bisa diakses militer untuk melakukan operasi militer melawan dugaan ancaman pemberontak di West Papua.
Kendati UU Otonomi Khusus Jilid I – II , G - 20, Omnibus, UU Minerba, UU KUHP serta seluruh kebijakan negara hanya untuk kepentingan Eksploitasi Kapital Modal di Tanah West Papua. Sehingga, aparat keamanan [ TNI dan POLRI ] menjadi anjing penjaga para pemodal untuk meraup banyak untung dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua yang melimpah, bahkan TNI dan POLRI dengan dalih operasi kontra pemberontakan dan transmigrasi terus memperlancar aktivitasnya di papua. Hal ini menyebabkan kasus-kasus pembungkaman kebebasan berekspresi secara damai terus berlanjut. Larangan pengibaran bendera Bintang Kejora tetap diberlakukan, dan, tidak ketinggalan, tetap terjadi pembunuhan di luar hukum oleh TNI/Polri.
bahkan, Presiden Jokowi mengizinkan militer memperluas struktur teritorialnya dengan membangun dua komando daerah militer (kodam) baru, salah satunya di Provinsi Papua dan Papua Barat. Pihak militer mengklaim bahwa hal ini diperlukan dalam rangka melawan gerakan perlawanan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Namun, TPNPB tidak hadir dalam jumlah yang signifikan di tanah West Papua. Tampaknya militer tengah berusaha menjustifikasi penambahan struktur komando teritorial yang bisa membuat mereka terus melanggengkan kepentingan bisnisnya.
Sedangkan, di lain sisi Jokowi – Ma'ruf Amin serta Mahfud Md tidak mau mendengarkan apa keinginan TNPN PB dan Rakyat Papua, untuk segera melakukan ‘’PERUNDINGAN’’ melainkan pemerintah indonesia membantah pernyataan tersebut.
Serangkaian penjelasan di atas dapat menyimpulkan bahwa akar permasalahan yang terjadi di West Papua adalah cacatnya sejarah Aneksasi. Kondisi ini kemudian membuahkan praktek militerisasi yang berimbas pada maraknya pelanggaran HAM (pembunuhan di luar hukum, penangkapan, penyiksaan, pembungkaman kebebasan berpendapat), penyingkiran Orang Asli Papua (OAP), dan kerusakan lingkungan. Karenanya diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni hak menentukan nasib sendiri.
Maka, dengan ini, kami Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), menyatakan sikap politik sebagai berikut:
1. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Bangsa West Papua
2. Cabut UU Otonomi Khusus Jilid II dan Hentikan Pembentukan Daerah Otonomi Baru: Papua Barat Daya, Papua Tengah, Pegunungan Papua Tengah, Papua Selatan
3. Buka akses jurnalis asing dan nasional seluas-luasnya di West Papua
4. Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua
5. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap mahasiswa West Papua di Indonesia
6. Bebaskan Viktor Yeimo, Melkias KY, serta seluruh tahanan politik West Papua tanpa syarat
7. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan eksploitasi PT Antam di Pegunungan Bintang
8. Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal-jenderal pelanggar HAM
9. Hentikan rasisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri
10. Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Maybrat, dan Seluruh Wilayah West Papua lainnya
11. Cabut Omnibus Law, UU Minerba, UU KUHP, Serta seluruh Produk Indonesia yang melanggengkan Penindasan, Pembunuhan dan Perampasan Ruang Hidup Rakyat Papua.
12. Indonesia Stop Etnosida, Ekosida Dan Genosida Di West Papua
13. Belanda harus bertanggung jawab untuk menuntaskan proses dekolonisasi West Papua sebagaimana pernah mereka janjikan
14. PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses menentukan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua
15. Mendesak Pemerintah RI untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua secara langsung
16. Berikan Jaminan kebebasan akses informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi bangsa West Papua
17. Mendukung Pernyataan Egianus Kogoya ‘’ Segera Indonesia Buka Meja Perundingan, yang di Fasilitasi Oleh PBB''
Demikian pernyataan sikap ini dibuat. Kami menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di West Papua untuk mendukung perjuangan bangsa West Papua. dalam menentukan nasib sendiri.