"Berikan Hak Politik Kepada Rakyat Papua Untuk
Menentukan Nasibnya Di Dunia"
Pendahuluan
Mungkin ada yang berpikir bahwa umpannya telah dimana oleh
ikan yang diimpikan. Iya kemungkinan demikian namun semua orang mengetahui
syair "sedalam laut bisa diukur namun dalamnya hati orang tidak bisa
diukur". Syair itu benar-benar terlukis dalam watak para birokrat berwatak
militeristik dan rakus yang hidup dibawah sistim Imprealis NKRI ini.
Hal itu jelas terlihat dalam implementasi perjanjian helsinki antara Aceh vs Indonesia dimana
salah satu pasalnya menghendaki Aceh mengunakan bendera GAM, namun pasca
helsinki Pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No. 77 Tahun 2007 yang melarang
pengunaan bendera GAM di Aceh.
Hari ini wacana yang sama didorong oleh Indonesia dalam
melihat persoalan politik Indonesia dan Papua melalui prodak politik gado-gado
Indonesia, yaitu Dialog Jakarta—Papua.
Pertanyaannya adalah siapa yang bisa menjamin pemerintah Indonesia
akan bijaksana dalam menjalankan hasil dialog dan prakteknya akan berbeda
sikapnya dengan menjalankan perjanjian helsinki?
Jika akhirnya, jawabannya adalah "dialog hanya sebagai
upaya politik saja" maka disarankan untuk jangan terlibat dalam politik
gado-gado Indonesia untuk Papua dan Internasional itu.
Berpolitiklah Dengan Kaum Beradab
Segalak-galaknya Hitler akhirnya beliaupun menyerah pada
ajal hingga terbaring dipusaranya. Dunia beradap tidak menghentikam
kekejamannya diatas pusarannya itu, namun dunia membuka sebuah peradilan
internasional yang dikenal dengan peradilan Norenberg
yang didalamnya dunia melalui hakim pengadili para pengikut dan pengemar Hitlter
dengan hukuman mati atas semua kekejaman yang terjadi pada saat Ia berkuasa.
Kenyataan itu menunjukan bahwa sekalipun sejarah kolonialime
yang dikuatkan dengan sistim imperial yang berbasis pada teori markantilisme
dilahirkan oleh barat di pasca masa pencerahan namun semuanya bisa tunduk dan
menghargai magna carta dan deklarasi kemerdekaan Amerika yang telah dikukuhkan
dalam deklarasi internasiona tentang hak asasi manusia yang menjadi dasar
pembentukan PBB yang menjadi penanda usainya perang dunia kedua.
Hari ini semua negara di dunia mengadopsi norma Internasional
yang dikeluarlan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam bentuk Deklarasi
Internasional, Kovenan Internasional, Statuta Internasional dan Konvensi
Internasional yang ditandai dengan proses ratifikasi menjadi aturan hukum yang
berlaku dalam negaranya masing-masing, seperti di indonesia yang tercernin
dalam UU No 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang
Ekonomi Sosial Budaya dan UU No 12 Tahun 2005 tentang Ratifilasi Kovenan
Internasional tentang Sipil Politik yang pada pasal 1 kedua aturan tersebut
mengatur perihal "Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Suatu Bangsa."
Sekalipun Indonesia telah meratifikasi kedua aturan tersebut
namun hingga saat ini, para pejuang hak menentukan nasib sendiri terus dikriminalisasi
dengan pasal 105 KUHP (makar) dan bahkan distiqma sebagai separatis dan makar.
Selain itu mayoritas kasus pelanggaran HAM Berat belum tertangani dengan
maksimal melalu Pengadilan HAM yang dibentuk berdasarkan UU No 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM.
Inilah bukti bahwa para birokrat Indonesia yang berwatak
militeristik itu tidak beradab sehingga tidak layak bangsa yang beradap seperti
bangsa West Papua berpolitik dengan mereka karena tidak akan mendapatkan hasil
yang bermartabat.
Untuk itu, harapannya arahkan seluruh pikiran dan tindakan
kepada negara-negara yang beradap di kawasan Pasifik, kawasan Karibia dan
kawasan Atlantik serta di benua Australia, Asia (kecuali indonesia), Afrika,
dan Eropa serta terkhususnya di PBB sebab disana hidup manusia-manusia yang
beradab serta menghargai esensi HAM yang hakiki sebagaimana diwujudkan oleh
Jhose Ramos Horta untuk pembebasan nasional Timor Lorosae atau Timur Leste
sejal tahun 1975 dan mendapatkan kemenangan demokratis melalui referendum pada
tahun 1999.
Wajah Politik Indonesia Yang Busuk
Tengku Muhammad Hasan Tiro perna menyatakan bahwa Indonesia
adalah alat kolonialismenya feodalisme Jawa terhadap bangsa-bangsa lain
disekitarnya. Pernyataan Tengku diatas sudah dapat merepresentasikan wajah
sistim imprealisme NKRI dan karakter birokrat Indonesia yang menguasai seluruh
pemerintahan Indonesia di setiap daerah/wilayah.
Bukan hanya pemerintahan sesunguhnya. Para intelektualnya
juga demikian sebagaimana kekhawatiran Amin Rais terkait perjuangan Papua Merdeka
yang makin mendunia karena telah mengandeng akademisi di beberapa universitas
ternama di dunia dan bahkan ada tuntutan memberlakukan dua alternatif sekaligus
seperti di Aceh dan Timor Leste dalam persoalan politik Papua".
Kekhawatiran beliau menunjukan kode ke negara untuk melakukan sesuatu untuk
menghambat proses perjuangan politik Papua Merdeka.
Selain intelektual indonesia, beberapa tokoh agama juga
berusaha mencampur adukan aturan hukum berdasarkan ajaran agama serta
mengkonekkan agama dengan politik negara kesatuan sehingga makin banyak
penganut agama yang fanatik mengunakan ayat-ayat kitab suci dalam kerangka
nasionalisme sehingga ada yang siap mati demi NKRI.
Semua itu membuktikan bahwa karakter berpolitik Indonesia
sanggat tidak beradap dan paling sering mengunakan jurus aji mumpung untuk
mencapai keinginannya.
Melalui realitas Negara Indonesia (selanjutnya: Indonesia)
adalah alat kolonialisme feodalisme Jawa serta pandangan inteletual yang
dikafani ayat-ayat kitab suci milik kebudayaan pagan yang termanifestasikan
dalam agama samawi yang digunakan oleh Birokrat Indonesia yang berwatak militer
pemilik jurus aji mumpung itu, tidak mungkin ada keadilan yang bermartabat dari
mereka sebab hukumnya pun lahir dari proses politik yang penuh akan limbah
darah manusia korban pembantaian demi suatu misi egois yang rakus dari segelitir
kapital Indonesia dan kapital kaliber internasional.
Atas kondisi itu, Tuhan apa yang ada dalam negara Indonesia
sehingga masih ada tokoh agama yang berharap lebih dari perintah indonesia? Bukanlah
Uskup Agung Afrika selatan perna bilang bahwa "sementara Anda sembayang di
dalam rumah ibadah, mereka sibuk menjarah rumahmu dan Sumber Daya Alam dalam
perut bumimu."
Marilah kita sembayang buat mereka yang makin buta dengan
cahaya keadilan, sebab Tokoh Revolusionar Yesus Kristuspun perna berkata bahwa
"Berikan kepada kaisar apa yang kaisar punya dan berikan kepada Tuhan apa
yang Tuhan punya." Maka itu, ingatlah pesan Abraham Lincolt, SUARA RAKYAT
ADALAH SUARA TUHAN.
Tidak Ada Tuhan Pemberi Keadilan Dalam Politik
Martino Sardi (Dosen Hukum di Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta) perna berkata bahwa Tokoh Revolusioner Yesus Kristus juga
berpolitik untuk membangun ajarannya ditengah feodalisme Yahudi dan Kekaisaran
Romawi, namum dia berjuang demi kerajaan yang tidak ada di muka bumi. Atas
politiknya yang dinilai radikal sehingga dia di salibkan tanpa kesalahan dan
tidak berdasarkan hukum Yahudi maupun hukum romawi, katanya berdasarkan hukum
kerakusan dan kenafsuan atas jabatan para tokoh Yahudi yang menjabat imam,
besar waktu itu.
Kondisi serupa sedang terjadi dalam politik gado-gado
Indonesia melalui Dialog Jalarta—Papua dimana status politik Papua dalam Indonesia
yang berlandaskan pada New York Agreement
(1962) melalui praktek Pepera tahun 1969 yang bertentanggan dengan prinsip ‘satu
orang satu suara’ itu dipaksakan agar Bangsa West Papua mengakuinya dan
selanjutnya dapat diduduk setara dengan para pembunuh, perampok, pemerkosa dan
ahli sejarah palsu serta politisi komporador Indonesia dalam meja perundingan
yang penuh dengan muatan kepentungan ekonomi-politik.
Untuk dipahami bahwa persoalan politik West Papua itu bukan
persoalan perang suku sehingga hanya dengan penyelesaian adat dan ritual
perdamaian semuanya selesai sehingga Dialog Jakarta—Papua yang mirip dengan
penyelesaian denda adat dan ritual perdamaian salanjutnya selesai. Persoalan Papua
itu lebih dari persoalan perang suku. Persoalan Papua itu bukan masalah dosa
siapa sehingga perlu sakramen pengakuan dosa selanjutnya diberkati untuk hidup
baru dalam roh kudus.
Persoalan Papua itu persoalan Internasional yang melibatkan
PBB yang telah melukiskan sejarah hitam PBB atas resolusi yang dikeluarkan
sehingga menjadi dasar klaim bagi pemerintah Indonesia atas Papua.
Untuk itu bagi mereka yang disiapkan untuk menjadi pedagang
politik gado-gado Indonesia untuk Papua dan Internasional bisa berpikir dua
kali, sebab tidak ada Tuhan pemberi keadilan dalam politik Indonesia yang sarat
akan muatan kepentingan kapital Indonesia dan kapital Internasional dalam
bingkai sistim imperial NKRI.
Semoga sejarah Uskup Agung Timur Timor, Fransiskus Xaferius
Ximenes Bello bisa dijadikan teladan untuk menyelesaikan konflik politik
Indonesia vs Papua jika ingin menjadi Tokoh Revolusioner Yesus Kristus Bagi
Bangsa Papua.
Nelson Mandela Dan Desmond Gagal Mendaulatkan EKONONI Bangsa Afrika
Semua tahu tentang Nelson Mandela. Beliau adalah simbol kekuatan
manusia yang hidup dalam penjara selama 28 tahun dan tidak merima remisi
ataupun abolisi dari penjajah Inggris. Semua juga tahu Uskup Agung Afrika
Selatan, Desmond Tutu. Keduanya melakukan perjuangan tanpa kekerasan hingga
bebaskan Afrika Selatan dari politik Apartheit. Mekanisme yang digunakan mereka
berdua adalah perundingan dengan mimpi orang Afrika dapat menikmati segala
fasilitas publik dan dapat mencalonkan diri menjadi Legislatif dan Eksekutif.
Perjuangan mereka berhasil dengan ditandai melalui pemilu pertama yang diikuti
oleh segenap Bangsa Afrika Selatan dimana dalam pemilu itu Nelson mandela
terpilih menjadi presiden, yang menjadi simbol terhapusnya Aparteheit di bumi
Afrika Selatan.
Meskipun demikian keduanya tidak mampu memberikan
kemerdekaan secara ekonomi kepada bangsa Afrika di Afrika Selatan.
Semua orang tahu bahwa Papua adalah gudang SDA di dunia.
Atas pengetahuan itu semua mata dari seluruh negara tertuju kesana dan bahkan
masuk kesana mengunakan segala cara baik melalui pendekatan agama, bisnis,
kepentingan politik dan lain sebagainya.
Indonesia dan Amerika Serikat adalah negara yang saat ini
menguasai Papua secara politik dan ekonomi dimana penguasaannya dilakukan
secara sepihak (ilegal) tanpa melibatkan masyarakat adat Papua. Pertanyaannya
adalah apakah Dialog Jakarta—Papua dapat menghapus kontrak karya III (2021 -
2041) yang telah Indonesia dan Freeport lakukan pada tanggal 27 Agustus 2017
kemarin? Apakah dialog Jakarta—Papua dapat mengubah saham 51% milik pemerintah
Indonesia yang diperoleh dari drama panjang pemerintah Indonesia minta saham?
Dialog Jakarta—Papua tidak mungkin bisa membatalkan kontrak
karya itu karena kontrak karya merupakan perjanjian yang mengikat pemerintah
Indonesia dan Freeport dimana perikatan itu sah dalam hukum perdata Indonesia
dan Internasional sepanjang Papua dalam Indonesia. Artinya jika dialog
Jakarta--Papua untuk menguatkan Papua dalam NKRI maka situasinya mirip seperti
perjuangan Nelson Mandela dan Desmon Tutu, diatas.
Mungkin itu yang dimaksud dengan merdeka secara politik
namun dijajah secara ekonomi dalam bingkai neokolonialisme dibawah baying-bayang
sistim imprealis NKRI.
Penutup
Allah Bangsa Papua telah mengetuk seluruh penjuru mata angin
dunia melalui anak-anak Bangsa West Papua itu sendiri (diplomat Papua) sehingga
sudah banyak negara peduli, prihatin dan bersolidaritas untuk mendukung West Papua
menentukan sikap politik melalui mekanisme hak menentukan nasib sendiri yang
dijamin dalam hukum Internasional.
Hari ini negara itu sudah menguncangkan sidang umum PBB
melalui pidato-pidato kenegaraan dimana semua itu dilakukan atas prinsip
kemanusiaan yang beradap dalam logika politik internasional yang bermartabat
atas prinsip-prinsip HAM yang diakui dunia dan hukum Negara Indonesia.
Praktek dialog Jakarta—Papua yang adalah prodak politik
gado-gado Indonesia untuk Papua dan Internasional yang dilahirkan dari rahim
birokrat Indonesia yang berwatak militeristik, sesungguhnya hanya untuk
melindungi kepentingan saham 51% milik pemerintah Indonesia yang di peroleh
dari drama pemerintah Indonesia minta saham itu. Disisi lain untuk melindungi
kepentingan eksploitas uranium dari perut bumi Papua oleh Freeport untuk
Amerika Serikat. Hal itu dikuatan secara hukum perdata bahwa kontrak karya
adalah perjanjian yang mengikat kedua pihak dan menjadi hukum sendiri bagi keduanya
yang diakui dalam hukum Indonesia dan Internasional yang tidak bisa dibatalkan
melalui Dialog Jakarta—Papua yang bentuknya mirip seperti mekanisme
penyelesaian secara adat yang diakhiri dengan ritual perdamaian dalam
penyelesaian persoalan perang suku.
Pesan Tengku Muhammat Hasan Tiro terkait watak birokrat Indonesia
wajib digaris bawahi jika ingin berpolitik dengan birokrat Indonesia.
Belajarlah dari Uskup Agung Timor Timur Fransiskus Xaferius Ximenes Bello jika
ingin menjadi Tokoh Revolusioner Yesus Kristus Bagi Bangsa Papua.
Ingatlah selalu pesan Tokoh Revolusionar Yesus Kristus yang
tersohor tentang politik kekuasaan yaitu : BERIKAN PADA KAISAR APA YANG KAISAR
PUNYA DAN BERIKAN PADA TUHAN APA YANG TUHAN PUNYA. Selanjutnya pesan dari Tokoh
Pembebasan Perbudakan Di Amerika Serikat, Abraham Lincol yaitu : SUARA RAKYAT
ADALAH SUARA TUHAN.
Untuk mengakhiri uraian singkat ini, akan dimuat kembali
pesan seorang Hakim Mahkama Agung Republik Indonesia kepada peserta pelatihan
karya bantuan hukum pada tahun 2008. Berikut pesannya :
"Di Negara ini (Indonesia) tidak ada keadilan sehingga
jika Anda ingin keadilan maka mintalah ke dunia Internasional. Dengan begitu
maka percayalah bahwa cahaya keadilan akan bersinar di tanah airmu"
Artejo Alkostra
(Pengacara Kasus Santa Crus dan sekaligus sebagai Hakim
Indonesia pertama yang putuskan Bebas atas Kasus Makar Di Serui)
"Kritikanmu adalah Pelitaku"
Penulis adalah aktivis kemanusiaan, juga mahasiswa yang kuliah di kota Yogyakarta